Sistem pertahanan tubuh terkandung dalam sel-sel darah beserta plasmanya.
Ucapan terimakasih lagi kepada penulis buku “Fisiologi Hewan Air”, Dr. Ir. Ridwan Affandi dan Dr. Ir. Usman Muhammad Tang, Ms serta penerbitan Univ. Riau Press. Sebab, artikel ini merupakan sepotong kecil dari segudang ilmu fisiologi yang terkandung dalam buku itu. Semoga, dari sepotong informasi tentang immunitas ini dapat bermanfaat bagi pembaca di dunia maya, serta jika masih penasaran dapat mencari sendiri buku yang telah disebutkan di atas. Berikut saduran sederhana ini:
Istilah imun berasal dari bahasa latin yang berarti bebas dari beban. Dalam penggunaan secara klasik, imun diartikan sebagai daya tahan relatif proses terhadap reinfeksi mikroba tertentu. Pengertian imun sekarang ini mencakup semua mekanisme fisiologis yang membantu untuk mengenal benda asing pada dirinya, untuk menetralkan, menyisihkan atau memetabolisasi benda asing tersebut dengan atau tanpa kerusakan pada jaringan sendiri.
Dari pengertian tersebut, yang pertama-tama menentukan ada tidaknya tindakan oleh tubuh yang disebut respon imun, yaitu pengenalan apakah benda itu asing atau tidak. Walaupun benda itu berasal dari tubuhnya sendiri, namun apabila dikenal asing maka tubuh akan memberikan respon, tetapi sebaliknya walaupun benda itu berasal dari luar, dapat dikenal sebagai hal yang tidak asing.
Vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda dan konfigurasi asing, karena memiliki sel khusus disebut limfosit yang bertugas untuk mengenali dan membedakan apakah konfigurasi asing itu (antigen) milik sendiri atau bukan, sedangkan prosesnya disebut respon imun.
Sebagaimana halnya dengan hewan vertebrata lainnya yang memiliki sistem imunitas, ikan juga mempunyai sistem tersebut. Namun terdapat beberapa perbedaan sistem imunitas antara ikan dengan vertebrata lainnya yakni organ pembentuk, proses pembentukan, produk (jenis dan komponen) immun tersebut dan mekanisme lainnya yang berkaitan dengan sistem respon imunitas tersebut. Roitt (1985) menyatakan bahwa memori spesifitas dan pengenalan zat asing merupakan dasar dari proses perkembangan respon immun.
Mori (1990) dan Ingram (1980) mengemukakan, bahwa immunitas pada hewan merupakan upaya proteksi terhadap infeksi dan preservasi fisiologis homeostasi. Proteksi immunologik itu bersifat spesifik dan non spesifik (Corbel, 1975; Ellis, 1988). Anderson dan Siwicki (1993) menyatakan, bahwa respon immunisasi spesifik memerlukan stimulasi terlebih dahulu dan bersifat khusus terhadap patogen penginduksinya ; respon non spesifik bersifat umum dan keberadaannya bersifat permanen dalam tubuh ikan (Ellis, 1988).
Respon immun dapat dibagi menjadi respon imun alamiah yang bersifat non spesifik dan respon immun adaptif yang bersifat spesifik. Mekanisme efektor seluler dalam proses immun alamiah akan melibatkan secara langsung sel-sel yang mempunyai kemampuan fagositosis, seperti netrofil dan makrofage. Sedangkan pada efektor immun humoral, ditengahi oleh produk sel jaringan limfosit sendiri yang tersensitasi spesifik yang disebut antibodi. Kedua mekanisme efektor ini tidak berdiri sendiri melainkan saling membantu dalam membentuk jaringan fungsional.
Sistem Imunitas
Ikan terdapat pada semua lingkungan, meliputi panti benih (Hatchery), usaha-usaha perikanan (fish farm), fasilitas akuakultur alami. Gangguan yang sering dialami oleh ikan adalah penyakit. Penyakit ini muncul apabila kondisi ikan stress, ada gen penyebab penyakit (patogen) dan lingkungan yang buruk (Anderson, 1974). Sebagaimana hewan vertebrata lainnya, ikan memiliki sistem kekebalan/immunitas, hanya berbeda dengan vertebrata lainnya, yaitu pada organ pembentuknya.
Pertahanan tubuh non spesifik meliputi barier mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) dan pertahanan seluler (sel makrofag, leukosit seperti monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil). Mukus ikan yang menyelimuti permukaan tubuh, insang dan terdapat juga pada lapisan mukosa usus berperan untuk memperangkap patogen secara mekanik dan eleminasi patogen secara kimiawi dengan lisosim dan enzim proteolitik lainnya (Anderson, 1974). Ingram (1980) mengemukakan bahwa mukus juga mengandung antibodi (pertahanan spesifik), aglutinin alamiah dan lisin yang berkemampuan mengeliminir patogen.
Kulit dan sisik ikan berperan dalam perlindungan mekanik terhadap invasi patogen melalui proses pembelahan kutilel ataupun hiperlasia sel-sel malphigi (Robert, 1989). Reaksi peradangan juga dapat terjadi di sekitar situs masuknya patogen, dalam hal ini komponen lainnya yang berperan dalam proses pertahanan seluler seperti leukosit akan membanjiri situs untuk memfagosit patogen yang ada tersebut (Anderson, 1974). Pandangan ini dimaksudkan untuk membatasi meluasnya penyebaran patogen dalam tubuh inang.
Respon immun seluler hasil aktivasi limfosit T yang menghasilkan sel-sel efektor dari respon kekebalan yang diperantarai sel. Sel efektor ini berpartisipasi dalam eliminasi benda asing melalui proses fagositosis penolakan alograf, sifat toksiknya terhadap partikel asing (antigen), produksi limfokin, aktivitas sel makrofag pembentukan sel T-helper (TH) dan sel T-spresor (TS) (Wishkovsky and Avtalion, 1982 dalam Alifuddin, 1996).
Seperti halnya dengan leukosit mamalia, leukosit ikan pun merupakan salah satu sistem alat pertahanan yang bersifat non spesifik, terdiri dari agranulosit dan granulosit. Jumlah total leukosit ikan bergantung pada jenis ikannya; pada ikan lele (Clarias batachus) sebanyak 64,75 x 103 sel/mm3 (Chinabut, et al, 1991), sedang pada ikan rainbow trout sebesar 7,8 – 2,9 x 103 sel/mm3 (Wendemeter dan Yasutake, 1977). Lagler et.al (1977) menyebutkan bahwa leukosit terdiri dari agronulosit (limfosit, monosit dan trombosit) dan granulosit (neutrofil, basofil, dan eusinofil).
Limfosit ikan berjumlah 71,12 – 82,88 % dari total leukosit. Pada ikan lele berukuran lebih kecil dari ukuran eritrosit inti selnya hampir memenuhi seluruh sel, berwarna gelap dengan sedikit sitoplasma mengelilingi inti dan tidak bergranula. Monosit berkemampuan menembus dinding pembuluh darah kapiler, masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag.
Trombosit merupakan komponen darah yang paling kecil, tidak berinti dan berdiameter 3 – 4 mikrometer, jumlahnya sangat bervariasi, terutama pada kejadian adanya luka pada tubuh ikan. Granulosit ikan terdiri dari neutrofil dan esofil (Lagler et al, 1977). Neutrofil ikan berdiameter 9 – 13 mikrometer, berbentuk bundar dengan sitoplasmanya mengandung granula. Jumlah neutrofil dalam darah sebanyak 6 – 8 % total leukosit (Robert, 1989).
Pertahanan tubuh spesifik dilakukan oleh antibodi yang merupakan respon humoral. Antibodi merupakan suatu protein spesifik dari fraksi gamma. Globulin yang terbentuk akibat stimulasi antigen dan terdapat dalam plasma darah; disebut juga sebagai immunoglobulin (Ig). Struktur dasar molekul Ig terdiri dari dua rantai polipeptida ringan (rantai L) yang ditautkan oleh ikatan disulfida dan memiliki status pengikatan antigen.
Kelas-kelas Ig didasarkan atas tipe rantai beratnya; pada mamalia dikenal ada lima kelas Ig, yaitu IgG, IgA, IgD, dan IgE. Ikan hanya memiliki satu kelas Ig yakni IgM (Robert, 1989) dengan berat molekulnya 700 kDa (Lobb, 1986) dan koefisien sedimentasi 16 S. IgM ini merupakan makroglobulin, kestabilan struktur molekulnya dilakukan oleh rantai J. Klasifikasi Ig tersebut didasarkan atas sifat fisika-kimia, kandungan karbohidrat dan komposisi asam amino molekul Ig (Rosenshein et al, 1986). Ig ini selain terdapat dalam plasma darah juga ditemukan dalam mukus, usus, cairan empedu dan dalam telur ikan mas (Robert, 1989).
Selain antibodi, di dalam plasma darah terdapat substansi lainnya yang juga berperan dalam sistem immunitas ikan. Substansi-substansi tersebut antara lain interperon, transferin, natural hemaglutinin, presipitin, lisosime dan protein C-reaktif. Substansi tersebut merupakan faktor yang mempunyai peran biologik penting dalam proses respon immun ikan yang saling berkait dengan mekanisme pertahanan lainnya.
Mekanisme Infeksi
Stress adalah kondisi dimana pertahanan tubuh ikan menurun, dan stress merupakan salah satu kunci terjadinya infeksi yang peranannya sangat dominan. Tress bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk dan tidak nyaman lagi bagi kehidupan ikan, misalnya kondisi oksigen perairan yang kurang, kelebihan karbondioksida di dalam air, pH ekstrem dan lain-lain. Apabila kondisi ini ditunjang dengan keberadaan mikroorganisme patogen, misalnya parasit, bakteri, virus maupun cendawan maka akan memudahkan terjadinya infeksi pada ikan.
Pada umumnya, interaksi antara patogen dan lingkungan akan menyebabkan timbulnya penyakit pada ikan (Anderson, 1974). Pada kondisi lingkungan yang normal dan ikan dalam kondisi sehat, keberadaan patogen tidak menimbulkan penyakit. Dalam kegiatan budidaya dimana kondisi lingkungan terbatas dengan kepadatan yang tinggi, serta pengolahan kualitas air yang kurang tepat dapat mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sehingga ikan menjadi stress dan patogen dapat berkembang menjadi patogen yang mematikan. Bila digambarkan dengan diagram Venn, keadaan tersebut adalah sebagai berikut:
Mikroorganisme patogen ikan dapat menyerang hanya bagian luar saja dan ada yang menginfeksi sampai ke dalam dan merusak organ-organ dalam (penyakit sistemik). Ektoparasit adalah mikroorganisme parasit yang menginfeksi bagian luar dari tubuh ikan, diantaranya adalah Trichodina, Epistilis, Ichthyophthirius, Dactylogyrus, dan lain-lain. Endoparasit adalah parasit yang menginfeksi bagian dalam tubuh ikan, diantaranya adalah Oodium, Capillaria, Cryptobia. Mikroorganisme bakterial yang menyebabkan penyakit pada ikan, diantaranya adalah Vibrio spp; Aeromonas, dan lain-lain (Anderson, 1974). Selain itu ada penyakit mikotik, yaitu penyakit yang disebabkan cendawan, misalnya cendawan Aphanomyces, Saprolegnia, Dyctyclus. Penyakit viral banyak dijumpai pada udang windu yang dibudidayakan, diantaranya adalah MBV (Monodon Baculo Virus), HPV (Hepatopancreatic Parvo Virus), White spot, dan lain-lain.
Pada lingkungan perairan, ikan akan banyak berhubungan secara langsung dengan populasi virus, bakteri maupun protozoa yang beberapa diantaranya berpotensi untuk menyebabkan infeksi. Penetrasi dan invasi agen patogen ke ikan adalah langkah awal proses infeksi. Masuknya patogen ke tubuh ikan dicapai melalui beberapa mekanisme yang tergantung pada kondisi fisik dan fisiologis ikan (status kesehatan), virulensi (kemampuan untuk menimbulkan penyakit) dan jumlah mikroorganisme patogen yang ada. Adanya luka pada kulit merupakan jalan masuk utama (port of entry) untuk beberapa infeksi bakteri dan virus yang dapat diikuti infeksi skunder, misalnya oleh cendawan Saprolegnia. Selain melalui kulit, mikroorganisme dapat masuk ke tubuh melalui insang, misalnya protozoa jenis Costia dapat masuk dan menyerang ginjal dan menjadi penyebab penyakit ginjal ikan.
Proses Pembentukan Respon Immun
Secara umum respon immun dapat dibedakan atas respon yang bersifat spesifik dan respon seluler yang bersifat non spesifik. Mekanisme kerja kedua respon immun tersebut saling menunjang antara satu dengan yang lainnya melalui mediator seperti limfokin dan sitokin. Sistem pertahanan tubuh ini diperlukan untuk proteksi tubuh terhadap serangan patogen, seperti virus, bakteri, cendawan dan parasit, dengan demikian homeostasi tubuh tetap terkendali dan kondisi patososiologinya seimbang (Anderson, 1990).
Pembentukan respon tersebut dilakukan oleh sel limposit yang juga akan membentuk sel memori (Robert, 1989). Proses pembentukan respon immun dimulai oleh stimulasi patogen yang merupakan protein asing dan dikenal sebagai antigen. Anderson (1990) menjelaskan bahwa dalam proses imunomodulasi melibatkan dua mekanisme, sistem immun afferent ini dimulai dengan kontak, seleksi dan pemrosesan antigen dan sistem immun efferent yang menghasilkan aktifitas limposit, antibodi dan mekanisme pertahanan lainnya, seperti respon seluller, faktor non limfoid baik humoral maupun seluler.
Makrofag yang merupakan sistem pertahanan pertama akan menghancurkan antigen melalui proses fagositosis setelah terjadi aktifitas antigenik, yang kemudian mengirimkan sandi-sandi ke sel-sel limposit. Selanjutnya sel-sel limposit akan berproliferasi dan membentuk sub populasi limposit, yaitu limposit T (sel T); sedangkan respon immun humoral merupakan respon yang dijalankan oleh antibodi dan dapat dideteksi dalam serum, melibatkan limposit B (disebut sel B atau sel plasma).
Limposit B akan membentuk antibodi yang diliberalisasikan ke dalam plasma darah; antibodi ini merupakan suatu molekul protein terutama dari fraksi gamma globulin yang disebut juga dengan immunoglobulin (Ig) (Nisonoff, 1984). Ig bersifat sangat spesifik yang karenanya hanya beraksi terhadap mikroba yang menstimulasi pembentukannya. Eliminasi protein asing melalui reaksi pada situs pengikatan antigen-antibodi (epitopdeterminan). Ellis (1982) menyatakan bahwa dalam proses pembentukan Ig tersebut, sel B ini selain membentuk antibodi terhadap suatu patogen, juga membentuk sel memori terhadap patogen tersebut. Dengan adanya sel memori ini akan mempercepat waktu pembentukan respon sekunder terhadap patogen yang sama (Lamers et al, 1985); dalam proses ini pun sel T helper berperan dalam pematangan sel memori tersebut. Seperti halnya sel B, sel T juga membentuk sel T memori dimana ingatan-ingatan immunologis ini nantinya berperan dalam mempercepat respon dalam reinfeksi patogen yang sama.
Ikan merupakan hewan poikilothermik, karena itu proses-proses fisiologisnya yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidupnya, misalnya suhu. Respon imun yang merupakan proses fisiologis juga dipengaruhi oleh suhu (Klesius, 1990). Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan respon imun ikan adalah hormon kortisol, umur ikan, dan densitas ikan. Selain itu, polusi juga dapat mempengaruhi terbentuknya respon immun baik yang humoral maupun seluler (Anderson 1979).
Rijker et al., (1980) dan Clem et.al., (1984) mengemukakan, bahwa respon immun hewan poikilothermik tergantung pada suhu. Pada suhu rendah produk respon humoral dan seluler berkurang: batas bawah dan atas respon ini berkaitan dengan kisaran suhu ikan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, ada dua tahap yakni, tahap tidak tergantung suhu dan tahap tergantung suhu.
Tahap suhu independent merupakan tahap awal aktivitas pembentukan respon immun, meliputi proses antigen dari pengenalannya sebagai protein asing, sedang tahap berikutnya yakni sintesa dan pelepasan antibodi dalam sirkulasi merupakan tahap suhu independent yang sensitif terhadap perubahan suhu. Dalam hal ini berkaitan dengan lamanya waktu pembentukan dan pelepasan respon. Karena itu, umumnya respon immun optimal ikan perairan hangat pada suhu 20 – 30o C, sedang ikan perairan dingin pada suhu 10 – 15 oC (Ginkel et al 1985). Perubahan suhu perairan yang ekstrim berimplikasi dengan mudahnya ikan terjangkiti penyakit-penyakit infeksius musiman.
Menurunnya tanggap kebal juga dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar kortisol dalam darah. Pada ikan, kortisol diproduksi oleh sel interrenal pronophron ikan yang menderita stress. Dalam upaya pemulihan diri dari keadaan stress, ikan memproduksi kortisol dan catecholamine (Fletcher, 1986). Namun, untuk jangka panjang kadar kortisol yang tinggi akan berdampak negatif terhadap kesehatan ikan. Anderson et al (1982) mengungkapkan bahwa kortisol merupakan hormon yang diketahui mempunyai efek sebagai immunosuppresor: hal ini akan menekan terbentuknya tanggap kebal ikan, kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan ikan mudah terinfeksi atau tertular penyakit.
Ikan-ikan dengan status gizi yang baik, vitamin C dosis tinggi mampu meningkatkan ketahanan tubuh ikan; vitamin C ini mempunyai peranan dalam sintesa protein yang diperlukan dalam pembentukan respon immun dan biosintesa kolagen untuk mempercepat proses penyembuhan luka (Robinson, 1991). Vitamin C dibutuhkan untuk diferensiasi aktifitas limfoid organ. Karena itu defisiensi vitamin C akan berimplikasi negatif.
Densitas ikan juga mempengaruhi pembentukan respon immun dalam hal ini densitas merupakan immunosuppresor (Robert, 1989). Dalam interaksi sosial pada populasi ikan, feromone merupakan substansi yang dikeluarkan dan disebut Crowding pheromone, mempengaruhi proses pembentukan tanggap kebal. Oleh sebab itu, ikan dalam suatu populasi dengan densitas tinggi akan sangat mudah terinfeksi dan tertular penyakit infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Penulis buku “Fisiologi Hewan Air”, Dr. Ir. Ridwan Affandi dan Dr. Ir. Usman Muhammad Tang, Ms serta penerbitan Univ. Riau Press
Disalin di Cengkareng, Jakarta Barat
Ucapan terimakasih lagi kepada penulis buku “Fisiologi Hewan Air”, Dr. Ir. Ridwan Affandi dan Dr. Ir. Usman Muhammad Tang, Ms serta penerbitan Univ. Riau Press. Sebab, artikel ini merupakan sepotong kecil dari segudang ilmu fisiologi yang terkandung dalam buku itu. Semoga, dari sepotong informasi tentang immunitas ini dapat bermanfaat bagi pembaca di dunia maya, serta jika masih penasaran dapat mencari sendiri buku yang telah disebutkan di atas. Berikut saduran sederhana ini:
Istilah imun berasal dari bahasa latin yang berarti bebas dari beban. Dalam penggunaan secara klasik, imun diartikan sebagai daya tahan relatif proses terhadap reinfeksi mikroba tertentu. Pengertian imun sekarang ini mencakup semua mekanisme fisiologis yang membantu untuk mengenal benda asing pada dirinya, untuk menetralkan, menyisihkan atau memetabolisasi benda asing tersebut dengan atau tanpa kerusakan pada jaringan sendiri.
Dari pengertian tersebut, yang pertama-tama menentukan ada tidaknya tindakan oleh tubuh yang disebut respon imun, yaitu pengenalan apakah benda itu asing atau tidak. Walaupun benda itu berasal dari tubuhnya sendiri, namun apabila dikenal asing maka tubuh akan memberikan respon, tetapi sebaliknya walaupun benda itu berasal dari luar, dapat dikenal sebagai hal yang tidak asing.
Vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda dan konfigurasi asing, karena memiliki sel khusus disebut limfosit yang bertugas untuk mengenali dan membedakan apakah konfigurasi asing itu (antigen) milik sendiri atau bukan, sedangkan prosesnya disebut respon imun.
Sebagaimana halnya dengan hewan vertebrata lainnya yang memiliki sistem imunitas, ikan juga mempunyai sistem tersebut. Namun terdapat beberapa perbedaan sistem imunitas antara ikan dengan vertebrata lainnya yakni organ pembentuk, proses pembentukan, produk (jenis dan komponen) immun tersebut dan mekanisme lainnya yang berkaitan dengan sistem respon imunitas tersebut. Roitt (1985) menyatakan bahwa memori spesifitas dan pengenalan zat asing merupakan dasar dari proses perkembangan respon immun.
Mori (1990) dan Ingram (1980) mengemukakan, bahwa immunitas pada hewan merupakan upaya proteksi terhadap infeksi dan preservasi fisiologis homeostasi. Proteksi immunologik itu bersifat spesifik dan non spesifik (Corbel, 1975; Ellis, 1988). Anderson dan Siwicki (1993) menyatakan, bahwa respon immunisasi spesifik memerlukan stimulasi terlebih dahulu dan bersifat khusus terhadap patogen penginduksinya ; respon non spesifik bersifat umum dan keberadaannya bersifat permanen dalam tubuh ikan (Ellis, 1988).
Respon immun dapat dibagi menjadi respon imun alamiah yang bersifat non spesifik dan respon immun adaptif yang bersifat spesifik. Mekanisme efektor seluler dalam proses immun alamiah akan melibatkan secara langsung sel-sel yang mempunyai kemampuan fagositosis, seperti netrofil dan makrofage. Sedangkan pada efektor immun humoral, ditengahi oleh produk sel jaringan limfosit sendiri yang tersensitasi spesifik yang disebut antibodi. Kedua mekanisme efektor ini tidak berdiri sendiri melainkan saling membantu dalam membentuk jaringan fungsional.
Sistem Imunitas
Ikan terdapat pada semua lingkungan, meliputi panti benih (Hatchery), usaha-usaha perikanan (fish farm), fasilitas akuakultur alami. Gangguan yang sering dialami oleh ikan adalah penyakit. Penyakit ini muncul apabila kondisi ikan stress, ada gen penyebab penyakit (patogen) dan lingkungan yang buruk (Anderson, 1974). Sebagaimana hewan vertebrata lainnya, ikan memiliki sistem kekebalan/immunitas, hanya berbeda dengan vertebrata lainnya, yaitu pada organ pembentuknya.
Pertahanan tubuh non spesifik meliputi barier mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) dan pertahanan seluler (sel makrofag, leukosit seperti monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil). Mukus ikan yang menyelimuti permukaan tubuh, insang dan terdapat juga pada lapisan mukosa usus berperan untuk memperangkap patogen secara mekanik dan eleminasi patogen secara kimiawi dengan lisosim dan enzim proteolitik lainnya (Anderson, 1974). Ingram (1980) mengemukakan bahwa mukus juga mengandung antibodi (pertahanan spesifik), aglutinin alamiah dan lisin yang berkemampuan mengeliminir patogen.
Kulit dan sisik ikan berperan dalam perlindungan mekanik terhadap invasi patogen melalui proses pembelahan kutilel ataupun hiperlasia sel-sel malphigi (Robert, 1989). Reaksi peradangan juga dapat terjadi di sekitar situs masuknya patogen, dalam hal ini komponen lainnya yang berperan dalam proses pertahanan seluler seperti leukosit akan membanjiri situs untuk memfagosit patogen yang ada tersebut (Anderson, 1974). Pandangan ini dimaksudkan untuk membatasi meluasnya penyebaran patogen dalam tubuh inang.
Respon immun seluler hasil aktivasi limfosit T yang menghasilkan sel-sel efektor dari respon kekebalan yang diperantarai sel. Sel efektor ini berpartisipasi dalam eliminasi benda asing melalui proses fagositosis penolakan alograf, sifat toksiknya terhadap partikel asing (antigen), produksi limfokin, aktivitas sel makrofag pembentukan sel T-helper (TH) dan sel T-spresor (TS) (Wishkovsky and Avtalion, 1982 dalam Alifuddin, 1996).
Seperti halnya dengan leukosit mamalia, leukosit ikan pun merupakan salah satu sistem alat pertahanan yang bersifat non spesifik, terdiri dari agranulosit dan granulosit. Jumlah total leukosit ikan bergantung pada jenis ikannya; pada ikan lele (Clarias batachus) sebanyak 64,75 x 103 sel/mm3 (Chinabut, et al, 1991), sedang pada ikan rainbow trout sebesar 7,8 – 2,9 x 103 sel/mm3 (Wendemeter dan Yasutake, 1977). Lagler et.al (1977) menyebutkan bahwa leukosit terdiri dari agronulosit (limfosit, monosit dan trombosit) dan granulosit (neutrofil, basofil, dan eusinofil).
Limfosit ikan berjumlah 71,12 – 82,88 % dari total leukosit. Pada ikan lele berukuran lebih kecil dari ukuran eritrosit inti selnya hampir memenuhi seluruh sel, berwarna gelap dengan sedikit sitoplasma mengelilingi inti dan tidak bergranula. Monosit berkemampuan menembus dinding pembuluh darah kapiler, masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag.
Trombosit merupakan komponen darah yang paling kecil, tidak berinti dan berdiameter 3 – 4 mikrometer, jumlahnya sangat bervariasi, terutama pada kejadian adanya luka pada tubuh ikan. Granulosit ikan terdiri dari neutrofil dan esofil (Lagler et al, 1977). Neutrofil ikan berdiameter 9 – 13 mikrometer, berbentuk bundar dengan sitoplasmanya mengandung granula. Jumlah neutrofil dalam darah sebanyak 6 – 8 % total leukosit (Robert, 1989).
Pertahanan tubuh spesifik dilakukan oleh antibodi yang merupakan respon humoral. Antibodi merupakan suatu protein spesifik dari fraksi gamma. Globulin yang terbentuk akibat stimulasi antigen dan terdapat dalam plasma darah; disebut juga sebagai immunoglobulin (Ig). Struktur dasar molekul Ig terdiri dari dua rantai polipeptida ringan (rantai L) yang ditautkan oleh ikatan disulfida dan memiliki status pengikatan antigen.
Kelas-kelas Ig didasarkan atas tipe rantai beratnya; pada mamalia dikenal ada lima kelas Ig, yaitu IgG, IgA, IgD, dan IgE. Ikan hanya memiliki satu kelas Ig yakni IgM (Robert, 1989) dengan berat molekulnya 700 kDa (Lobb, 1986) dan koefisien sedimentasi 16 S. IgM ini merupakan makroglobulin, kestabilan struktur molekulnya dilakukan oleh rantai J. Klasifikasi Ig tersebut didasarkan atas sifat fisika-kimia, kandungan karbohidrat dan komposisi asam amino molekul Ig (Rosenshein et al, 1986). Ig ini selain terdapat dalam plasma darah juga ditemukan dalam mukus, usus, cairan empedu dan dalam telur ikan mas (Robert, 1989).
Selain antibodi, di dalam plasma darah terdapat substansi lainnya yang juga berperan dalam sistem immunitas ikan. Substansi-substansi tersebut antara lain interperon, transferin, natural hemaglutinin, presipitin, lisosime dan protein C-reaktif. Substansi tersebut merupakan faktor yang mempunyai peran biologik penting dalam proses respon immun ikan yang saling berkait dengan mekanisme pertahanan lainnya.
Mekanisme Infeksi
Stress adalah kondisi dimana pertahanan tubuh ikan menurun, dan stress merupakan salah satu kunci terjadinya infeksi yang peranannya sangat dominan. Tress bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk dan tidak nyaman lagi bagi kehidupan ikan, misalnya kondisi oksigen perairan yang kurang, kelebihan karbondioksida di dalam air, pH ekstrem dan lain-lain. Apabila kondisi ini ditunjang dengan keberadaan mikroorganisme patogen, misalnya parasit, bakteri, virus maupun cendawan maka akan memudahkan terjadinya infeksi pada ikan.
Pada umumnya, interaksi antara patogen dan lingkungan akan menyebabkan timbulnya penyakit pada ikan (Anderson, 1974). Pada kondisi lingkungan yang normal dan ikan dalam kondisi sehat, keberadaan patogen tidak menimbulkan penyakit. Dalam kegiatan budidaya dimana kondisi lingkungan terbatas dengan kepadatan yang tinggi, serta pengolahan kualitas air yang kurang tepat dapat mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sehingga ikan menjadi stress dan patogen dapat berkembang menjadi patogen yang mematikan. Bila digambarkan dengan diagram Venn, keadaan tersebut adalah sebagai berikut:
Mikroorganisme patogen ikan dapat menyerang hanya bagian luar saja dan ada yang menginfeksi sampai ke dalam dan merusak organ-organ dalam (penyakit sistemik). Ektoparasit adalah mikroorganisme parasit yang menginfeksi bagian luar dari tubuh ikan, diantaranya adalah Trichodina, Epistilis, Ichthyophthirius, Dactylogyrus, dan lain-lain. Endoparasit adalah parasit yang menginfeksi bagian dalam tubuh ikan, diantaranya adalah Oodium, Capillaria, Cryptobia. Mikroorganisme bakterial yang menyebabkan penyakit pada ikan, diantaranya adalah Vibrio spp; Aeromonas, dan lain-lain (Anderson, 1974). Selain itu ada penyakit mikotik, yaitu penyakit yang disebabkan cendawan, misalnya cendawan Aphanomyces, Saprolegnia, Dyctyclus. Penyakit viral banyak dijumpai pada udang windu yang dibudidayakan, diantaranya adalah MBV (Monodon Baculo Virus), HPV (Hepatopancreatic Parvo Virus), White spot, dan lain-lain.
Pada lingkungan perairan, ikan akan banyak berhubungan secara langsung dengan populasi virus, bakteri maupun protozoa yang beberapa diantaranya berpotensi untuk menyebabkan infeksi. Penetrasi dan invasi agen patogen ke ikan adalah langkah awal proses infeksi. Masuknya patogen ke tubuh ikan dicapai melalui beberapa mekanisme yang tergantung pada kondisi fisik dan fisiologis ikan (status kesehatan), virulensi (kemampuan untuk menimbulkan penyakit) dan jumlah mikroorganisme patogen yang ada. Adanya luka pada kulit merupakan jalan masuk utama (port of entry) untuk beberapa infeksi bakteri dan virus yang dapat diikuti infeksi skunder, misalnya oleh cendawan Saprolegnia. Selain melalui kulit, mikroorganisme dapat masuk ke tubuh melalui insang, misalnya protozoa jenis Costia dapat masuk dan menyerang ginjal dan menjadi penyebab penyakit ginjal ikan.
Proses Pembentukan Respon Immun
Secara umum respon immun dapat dibedakan atas respon yang bersifat spesifik dan respon seluler yang bersifat non spesifik. Mekanisme kerja kedua respon immun tersebut saling menunjang antara satu dengan yang lainnya melalui mediator seperti limfokin dan sitokin. Sistem pertahanan tubuh ini diperlukan untuk proteksi tubuh terhadap serangan patogen, seperti virus, bakteri, cendawan dan parasit, dengan demikian homeostasi tubuh tetap terkendali dan kondisi patososiologinya seimbang (Anderson, 1990).
Pembentukan respon tersebut dilakukan oleh sel limposit yang juga akan membentuk sel memori (Robert, 1989). Proses pembentukan respon immun dimulai oleh stimulasi patogen yang merupakan protein asing dan dikenal sebagai antigen. Anderson (1990) menjelaskan bahwa dalam proses imunomodulasi melibatkan dua mekanisme, sistem immun afferent ini dimulai dengan kontak, seleksi dan pemrosesan antigen dan sistem immun efferent yang menghasilkan aktifitas limposit, antibodi dan mekanisme pertahanan lainnya, seperti respon seluller, faktor non limfoid baik humoral maupun seluler.
Makrofag yang merupakan sistem pertahanan pertama akan menghancurkan antigen melalui proses fagositosis setelah terjadi aktifitas antigenik, yang kemudian mengirimkan sandi-sandi ke sel-sel limposit. Selanjutnya sel-sel limposit akan berproliferasi dan membentuk sub populasi limposit, yaitu limposit T (sel T); sedangkan respon immun humoral merupakan respon yang dijalankan oleh antibodi dan dapat dideteksi dalam serum, melibatkan limposit B (disebut sel B atau sel plasma).
Limposit B akan membentuk antibodi yang diliberalisasikan ke dalam plasma darah; antibodi ini merupakan suatu molekul protein terutama dari fraksi gamma globulin yang disebut juga dengan immunoglobulin (Ig) (Nisonoff, 1984). Ig bersifat sangat spesifik yang karenanya hanya beraksi terhadap mikroba yang menstimulasi pembentukannya. Eliminasi protein asing melalui reaksi pada situs pengikatan antigen-antibodi (epitopdeterminan). Ellis (1982) menyatakan bahwa dalam proses pembentukan Ig tersebut, sel B ini selain membentuk antibodi terhadap suatu patogen, juga membentuk sel memori terhadap patogen tersebut. Dengan adanya sel memori ini akan mempercepat waktu pembentukan respon sekunder terhadap patogen yang sama (Lamers et al, 1985); dalam proses ini pun sel T helper berperan dalam pematangan sel memori tersebut. Seperti halnya sel B, sel T juga membentuk sel T memori dimana ingatan-ingatan immunologis ini nantinya berperan dalam mempercepat respon dalam reinfeksi patogen yang sama.
Ikan merupakan hewan poikilothermik, karena itu proses-proses fisiologisnya yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidupnya, misalnya suhu. Respon imun yang merupakan proses fisiologis juga dipengaruhi oleh suhu (Klesius, 1990). Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan respon imun ikan adalah hormon kortisol, umur ikan, dan densitas ikan. Selain itu, polusi juga dapat mempengaruhi terbentuknya respon immun baik yang humoral maupun seluler (Anderson 1979).
Rijker et al., (1980) dan Clem et.al., (1984) mengemukakan, bahwa respon immun hewan poikilothermik tergantung pada suhu. Pada suhu rendah produk respon humoral dan seluler berkurang: batas bawah dan atas respon ini berkaitan dengan kisaran suhu ikan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, ada dua tahap yakni, tahap tidak tergantung suhu dan tahap tergantung suhu.
Tahap suhu independent merupakan tahap awal aktivitas pembentukan respon immun, meliputi proses antigen dari pengenalannya sebagai protein asing, sedang tahap berikutnya yakni sintesa dan pelepasan antibodi dalam sirkulasi merupakan tahap suhu independent yang sensitif terhadap perubahan suhu. Dalam hal ini berkaitan dengan lamanya waktu pembentukan dan pelepasan respon. Karena itu, umumnya respon immun optimal ikan perairan hangat pada suhu 20 – 30o C, sedang ikan perairan dingin pada suhu 10 – 15 oC (Ginkel et al 1985). Perubahan suhu perairan yang ekstrim berimplikasi dengan mudahnya ikan terjangkiti penyakit-penyakit infeksius musiman.
Menurunnya tanggap kebal juga dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar kortisol dalam darah. Pada ikan, kortisol diproduksi oleh sel interrenal pronophron ikan yang menderita stress. Dalam upaya pemulihan diri dari keadaan stress, ikan memproduksi kortisol dan catecholamine (Fletcher, 1986). Namun, untuk jangka panjang kadar kortisol yang tinggi akan berdampak negatif terhadap kesehatan ikan. Anderson et al (1982) mengungkapkan bahwa kortisol merupakan hormon yang diketahui mempunyai efek sebagai immunosuppresor: hal ini akan menekan terbentuknya tanggap kebal ikan, kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan ikan mudah terinfeksi atau tertular penyakit.
Ikan-ikan dengan status gizi yang baik, vitamin C dosis tinggi mampu meningkatkan ketahanan tubuh ikan; vitamin C ini mempunyai peranan dalam sintesa protein yang diperlukan dalam pembentukan respon immun dan biosintesa kolagen untuk mempercepat proses penyembuhan luka (Robinson, 1991). Vitamin C dibutuhkan untuk diferensiasi aktifitas limfoid organ. Karena itu defisiensi vitamin C akan berimplikasi negatif.
Densitas ikan juga mempengaruhi pembentukan respon immun dalam hal ini densitas merupakan immunosuppresor (Robert, 1989). Dalam interaksi sosial pada populasi ikan, feromone merupakan substansi yang dikeluarkan dan disebut Crowding pheromone, mempengaruhi proses pembentukan tanggap kebal. Oleh sebab itu, ikan dalam suatu populasi dengan densitas tinggi akan sangat mudah terinfeksi dan tertular penyakit infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Penulis buku “Fisiologi Hewan Air”, Dr. Ir. Ridwan Affandi dan Dr. Ir. Usman Muhammad Tang, Ms serta penerbitan Univ. Riau Press
Disalin di Cengkareng, Jakarta Barat
0 comments:
Post a Comment