PENDAHULUAN
Direktorat
Jendral Perikanan Budidaya dengan menetapkan 120 komoditas unggulan karena
mempunyai potensi besar untuk ekspor, yaitu: udang, rumput laut, ikan lele
(dumbo), ikan kerapu, ikan nila, ikan gurami, ikan bandeng, ikan patin, ikan
hias dan abalone. Program ini diharapkan dapat memberi kontibusi yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, perolehan devisa, penciptaan lapangan
kerja dan peningkatan pendapatan pembudidaya.
Kenyataan
di lapangan, khusus untuk lele dumbo akhir-akhir ini kualitasnya semakin
menurun, berupa penurunan bobot per satuan waktu pemeliharaan, penurunan
ketahanan terhadap penyakit, sehingga perlu ada inovasi untuk menjawab masalah
ini. Lele Sangkuriang adalah salah satu varietas lele dumbo hasil persilangan
betina F2 lele dumbo jantan >F6, dihasilkan lele dumbo F2–6 selanjutnya
pejantan turunan ini dikawinkan dengan betina F2. Kehadiran lele varietas baru
ini untuk menjawab masalah penurunan kualitas lele dumbo.
Lele
Sangkuriang sebagai komoditas perikanan dengan nilai ekonomis tinggi belum
banyak yang dibudidayakan secara benar sehingga banyak sekali hal yang harus
diteliti dalam kaitannya dengan teknik budidaya agar kegiatan budidaya yang
dilakukan dapat berhasil. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan adanya
penelitian untuk mengantisipasi faktor-faktor kegagalan produksi terutama
terhadap manajemen pakan dan penanggulangan penyakit.
Penggunaan
bahan obat–obatan, antibiotik atau bahan kimia lain yang banyak diaplikasikan
dalam produksi perikanan untuk mengantisipasi serangan penyakit, mulai
dikurangi mengingat bahan-bahan tersebut dapat mengakibatkan residu pada ikan.
Upaya
pencegahan penyakit dan usaha untuk meningkatkan kelangsungan hidup hewan
budidaya tersebut, saat ini mulai digunakan probiotik dalam usaha pembenihan
ikan, Crustacea dan kerang-kerangan. Probiotik
itu sendiri adalah makanan tambahan (suplemen) berupa sel-sel mikroorganisme
hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi hewan inang yang
mengkonsumsinya melalui penyeimbangan
flora mikroorganisme intestinal dalam saluran pencernaan (Irianto, 2007;
Anonim, 2003).
Menurut
Irianto (2007), pemberian organisme probiotik dalam akuakultur dapat diberikan
melalui pakan, air maupun melalui perantaraan pakan hidup seperti rotifera atau
artemia. Pemberian probiotik dalam pakan, berpengaruh terhadap kecepatan
fermentasi pakan dalam saluran pencernaan, sehingga akan sangat membantu proses
penyerapan makanan dalam pencernaan ikan. Fermentasi pakan mampu mengurai
senyawa kompleks menjadi sederhana sehingga siap digunakan ikan, dan sejumlah
mikroorganisme mampu mensistesa vitamin dan asam-asam amino yang dibutuhkan
oleh larva hewan akuatik.
Pemberian
probiotik pada pelet dengan cara disemprotkan dapat menimbulkan terjadinya
fermentasi pada pelet dan meningkatkan kecepatan pencernaan. Selanjutnya akan
meningkatkan konversi pakan ikan, peternak dapat memproduksi lele ukuran layak
jual dalam waktu lebih singkat (60-70 hari), sehingga dapat menekan biaya
produksi.
Permasalahan
yang akan dikaji dalam penelitian ini: apakah pemberian pelet yang mengandung
probiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan lele sangkuriang?
METODE
Dalam
pelaksanaan penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut setelah
bak terpal plastik berisi air, kegiatan selanjutnya yaitu memasang aerator
sebagai pemasok oksigen ke dalam air. Bibit lele ditimbang lebih dahulu,
kemudian dimasukkan ke dalam bak terpal plastik
Setiap
seminggu sekali dilakukan pengukuran berat biomassa lele. Hal ini dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa seminggu sudah terjadi pertambahan ukuran berat badan
dan panjang tubuh bibit lele. Penimbangan ini bertujuan untuk mengetahui laju
pertumbuhan lele dan untuk menentukan kembali jumlah pakan yang harus
diberikan.
Pemeliharaan
lele kurang lebih selama 1 bulan. Pakan yang diberikan 5 - 8 % dari berat
biomassa per hari (INFIS 1992; Mahyuddin, 2008). Berat biomassa standar dalam
penelitian ini adalah berat biomassa rata-rata hewan uji tiap perlakuan
(Martuti 1989). Dengan demikian, jumlah pakan yang diberikan per hari apabila
diberi pakan 8 % berat biomassa adalah 8/100 x 4 g = 0,32 g/hari/ekor. Meliputi
pengukuran pH air, kandungan O2 terlarut dalam air dan suhu air dilakukan
setiap tiga hari sekali selama penelitian.
Pengukuran
pertumbuhan lele uji dengan menghitung pertambahan berat biomassa dalam satu
wadah (Matondang, 1984 dalam Martuti 1989). Pertumbuhan biomassa mutlak
ditetapkan berdasarkan hasil pertambahan biomassa lele uji untuk masing-masing
bak penelitian.
Perhitungan
biomassa mutlak sesuai dengan rumus dari Effendi (1997), yaitu:
W = Wt – Wo Keterangan:
W
= Pertumbuhan biomassa mutlak lele uji (g)
Wt
= Biomassa lele uji pada akhir penelitian (g)
Wo
= Biomassa lele uji pada awal penelitian (g)
Laju pertumbuhan “instantaneous growth (g) ”
dihitung dengan rumus Everhart et al (1975) dalam Martuti (1989), yaitu :
Wt = Wo x e g x t Keterangan :
g = Koefisien laju pertumbuhan e = Bilangan dasar logaritma natural (2,7183)
t = Lama penelitian (minggu)
Logaritma
dari persamaan tersebut di atas merupakan regresi linier dimana “g” merupakan
koefisien arahnya. Jadi laju pertumbuhan “instantaneous growth (g)” didapat
dari regresi linier persamaan berikut :
Ln Wt =
Ln Wo + gt
Konversi pakan (FCR) adalah jumlah (berat)
pakan yang dapat membentuk suatu unit berat ikan. Adapun rumus untuk menghitung
FCR adalah :
makanan
yang dimakan(g)
FCR =
pertambahanberat (g)
Selama
proses penelitian dilakukan pengamatan jumlah lele yang mati dan jumlah lele
yang masih hidup, sehingga dapat dihitung prosentase kematian dan kelangsungan
hidup lele (menurut Chapman 1968 dalam Martuti 1989) menggunakan rumus:
S = (1 - Z) x 100 Keterangan :
S
= Kelangsungan hidup (%)
Z
= Koefisien laju kematian, dihitung dengan
rumus
Z = ln No – ln Nt / t
No
= Jumlah lele hidup pada awal penelitian Nt = Jumlah lele hidup selama periode
penelitian t = Waktu (minggu)
Hasil dan Pembahasan
Hasil
pengamatan terhadap pertumbuhan lele Sangkuriang terdiri dari pertumbuhan berat
biomassa, kemudian diolah menjadi berat biomassa mutlak (tabel 1) dan dihitung laju pertumbuhan “instantaneous
growth (g)”(tabel 2 )
Dari
uji normalitas dan homogenitas yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa data
pertumbuhan berat biomassa mutlak dan laju pertumbuhan “instantaneous growth
(g)” bersifat normal dan homogen pada taraf 5 %. Sehingga data tersebut
langsung bisa diuji sidik ragamnya.
Untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan lele Sangkuriang, data
pertumbuhan berat biomassa mutlak, dan laju pertumbuhan “instantaneous growth
(g)” diuji dengan analisis varian (ANAVA). Hasil analisis menunjukkan tidak ada
perbedaan perlakuan terhadap pertumbuhan lele Sangkuriang.
Pertumbuhan
Berat Biomassa Mutlak
Tabel
1 Data Pertumbuhan Berat Biomassa Mutlak
Lele Sangkuriang
Perlakuan Ulangan
Pertumbuhan berat biomassa mutlak
(g)
A
|
1
2
3
|
2007
1984
1975
|
Jumlah
Rata-rata
|
|
5966
1988,67
|
B
|
1
2
3
|
2062
2024
1995
|
Jumlah
Rata-rata
|
|
6081
2027
|
C
|
1
2
3
|
2048
2110
2035
|
Jumlah
Rata-rata
|
|
6193
2064,33
|
D
|
1
2
3
|
2033
2044
2117
|
Jumlah
Rata-rata
|
|
6194
2064,67
|
Keterangan
:
A = Kontrol (pelet tidak disemprot
probiotik)
B = Pelet yang disemprot dengan probiotik
dan diangin-anginkan selama 10 menit
C = Pelet yang disemprot dengan probiotik
dan diangin-anginkan selama 20 menit
D = Pelet yang disemprot dengan probiotik
dan diangin-anginkan selama 40 menit
Setelah
dilakukan uji normalitas dan homogenitas, data pertumbuhan biomassa mutlak
dianalisis sidik ragam, menunjukkan tidak ada perbedaan perlakuan pada taraf
signifikansi (α) sebesar 5 %, maka Ho diterima. Dengan kata lain, pemberian
probiotik dalam pelet dengan variasi waktu yang berbeda tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan lele Sangkuriang. Pertumbuhan berat biomassa mutlak
rata-rata tertinggi dicapai oleh perlakuan D (2064,67g), selanjutnya
berturut-turut diikuti oleh C (2064,33 g), B (2027 g) dan perlakuan A (1988,67
g).
Oleh
karena F hitung lebih kecil dari F tabel, maka tidak dilanjutkan analisis uji
lanjut Duncan
Laju
Pertumbuhan “instantaneous growth (g)”
Tabel
2. Data Laju Pertumbuhan “instantaneous
growth (g)” Lele Sangkuriang
Perlakuan
|
Ulangan
|
Laju Pertumbuhan
“instantaneous growth (g)”
|
A
|
1
2
3
|
0,405
0,4325
0,4125
|
Rata-rata
|
|
0,42
|
B
|
1
2
3
|
0,4375
0,4375
0,4125
|
Rata-rata
|
|
0,43
|
C
|
1
2
3
|
0,4275
0,4075
0,415
|
Rata-rata
|
|
0,42
|
D
|
1
2
3
|
0,3975
0,41
0,4025
|
Rata-rata
|
|
0,40
|
Tabel
2 dapat dilihat rata-rata laju pertumbuhan “instantaneous growth (g)” lele
Sangkuriang tertinggi pada perlakuan B dengan rata-rata sebesar 0,43 dan laju
pertumbuhan terendah pada perlakuan D sebesar 0.40. Ini membuktikan bahwa
penambahan probiotik pada pelet tidak berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan.
Data
laju pertumbuhan “instantaneous growth (g)” yang ada dianalisis ragam,
sebelumnya dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Pengambilan taraf
signifikansi (α) sebesar 5 % memungkinkan didapatkannya nilai F tabel 4,07.
Oleh karena F hitung (2,419) < F tabel (4,07), maka Ho diterima. Dari
keempat perlakuan, laju pertumbuhan “instantaneous growth (g)” ratarata
tertinggi diperoleh dari perlakuan B (0,43), kemudian berturut-turut perlakuan
C dan A (0,42), dan perlakuan D (0,40). Karena tidak ada pengaruh perlakuan,
maka tidak dilakukan pengujian wilayah ganda Duncan
Nilai
konversi pakan setiap ulangan untuk masing-masing perlakuan A, B, C dan D
secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 tersebut terlihat bahwa
perlakuan C mempunyai FCR yang paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain.
Tabel
3. Nilai FCR lele Sangkuriang Untuk Setiap Perlakuan dan Ulangan
Perlakuan 1 2 3 Ratarata
A 0,675 0,55 0,475 0,567
B 0,475 0,4 0,55 0,475
C 0,375 0,4 0,275 0,35
D 0,275 0,6 0,2 0,358
Untuk
menjaga padat penebaran awal yang sama tiap perlakuan dan ulangan, dan menjaga
agar tidak terjadi keragaman yang besar pada data pertumbuhan biomassa lele
Sangkuriang, maka lele Sangkuriang yang mati selama minggu I penelitian diganti
dengan stok lele yang berasal dari sumber benih.
Tabel
4. Mortalitas dan Kelangsungan Hidup lele Sangkuriang
Kelangsun
Perlakuan
Ulangan No Nt Mortalitas gan Hidup (%)
n %
A 1
2
3 100
100
100 100
100
100 0
0
0 0
0
0 100
100
100
Rata-rata 0 100
B
1
2
3 100
100
100 99
100
100 1
0
0 1
0
0 99
100
100
Rata-rata 1 99,67
C 1
2
3 100
100
100 100
100
100 0
0
0 0
0
0 100
100
100
Rata-rata 0 100
D 1
2
3 100
100
100 100
100
100 0
0
0 0
0
0 100
100
100
Rata-rata 0 100
Keterangan
:
No = Jumlah lele Sangkuriang pada awal
penelitian
Nt = Jumlah lele Sangkuriang hidup pada minggu
akhir penelitian N = Jumlah lele
Sangkuriang yang mati selama penelitian
Kualitas
Air
Parameter
kualitas air yang diamati meliputi suhu, derajat keasaman (pH), dan oksigen
terlarut (DO). Pada saat penelitian berlangsung kisaran parameter kualitas air
masih dalam kondisi normal dan layak untuk pemeliharaan lele Sangkuriang.
Tabel
5. Kisaran Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Pada Setiap Perlakuan
Suhu
air (°C) 24-26 24-26 24-26 24-26 pH 6,5-7,5 6,5-7,5 6,5-7,5 6,5-7,5
Oksigen
terlarut (ppm) 7,4-9,2 7,1-8,4 7,1-8,8 7,1-8,7
Pembahasan
Dari
hasil analisis varians, penambahan probiotik pada pelet dengan variasi waktu
sampai 40 menit tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan biomassa mutlak dan laju
pertumbuhan lele Sangkuriang. Hal ini kemungkinan disebabkan karena acuan yang
digunakan untuk menentukan variasi waktu tersebut adalah hasil percobaan jenis
demonstration plot (Demplot) yang dilakukan di tambak –tambak propinsi Jawa Timur. Pada demplot tersebut
udang diberi perlakuan probiotik tetapi dikulturkan dalam tambak (bukan skala
laboratorium). Di dalam tambak, udang mendapat berbagai makanan alami yang
mendukung pertumbuhan secaa maksimal, sedangkan pada skala laboratorium, hewan
coba hanya mendapat makanan dari pelet.
Hasil
yang diperoleh dari perhitungan konversi pakan menunjukkan bahwa nilai konversi
pakan dari perlakuan C (0,35) lebih baik dari pada perlakuan D (0,358), A
(0,567) dan perlakuan B (0,475). Pendapat ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh (Huet 1971 dalamMartuti 1989), bahwa besar kecilnya nilai konversi pakan
tidak hanya ditentukan oleh jumlah pakan yang diberikan, melainkan juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kepadatan, berat setiap individu, umur
kelompok hewan, temperatur air media dan cara pemberian pakan (kualitas,
penempatan dan frekuensi pemberian pakan).
Berdasar
hasil penelitian, diperoleh hasil perhitungan bahwa tingkat kelangsungan hidup
tertinggi pada perlakuan A, C, dan D (100%), perlakuan B (99,67%). Hal ini
diduga karena penambahan probiotik pada pelet tidak mengganggu kelulushidupan
lele Sangkuriang. Menurut Fuller (1992) dalam Nizar (2006) mikroba probiotik
merupakan mikroba yang aman dan relatif menguntungkan dalam saluran pencernaan.
Mikroba ini menghasilkan zat yang tidak berbahaya bagi kultivasi tetapi justru
menghancurkan mikroba patogen pengganggu sistem pencernaan. Kematian benih lele
Sangkuriang selama penelitian diduga karena sejak awal perlakuan benih tersebut sudah sakit.
Hasil
pengukuran parameter kualitas air media selama penelitian, didapatkan bahwa
besaranbesaran kualitas air masih dalam batas kelayakan dan mendukung kehidupan
serta pertumbuhan hewan uji. Adapun kisaran untuk parameter kualitas air yang
meliputi suhu kisarannya adalah sekitar 24-30 °C. Apabila suhu pemeliharaan
melebihi kisaran akan sangat membahayakan kehidupan lele Sangkuriang. Jika suhu
pemeliharaan kurang dari kisaran (suhu rendah), mengakibatkan aktivitas lele
Sangkuriang menjadi rendah dan nafsu makan berkurang, sehingga akan
mengakibatkan pertumbuhan lele Sangkuriang menjadi lambat. Adapun kisaran untuk
parameter pH adalah sekitar 6-8 (Mahyuddin, 2007). Kisaran parameter oksigen
terlarut adalah sekitar 5-10 ppm.
SIMPULAN
DAN SARAN
Simpulan
Pemberian
probiotik yang disemprot dalam pelet dan diangin-anginkan selama 10 menit, 20
menit dan 40 menit tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan berat biomassa
mutlak dan laju pertumbuhan “instantaneous growth (g)” lele Sangkuriang
Saran
Perlu
dilakukan penelitian lanjutan untuk mempelajari tentang pengaruh probiotik dari
berbagai produk pabrik dalam mempengaruhi pertumbuhan lele Sangkuriang.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2003. Mikroba Probiotik : Penunjang Agribisnis dan Penyelamatan Lingkungan. Dalam PPAU Ilmu Hayati ITB.
http://tl.lib.itb.ac.id/go.php?id=jbpksimba-gdl-grey-2003-ppauilmuha-4
_______.2007.
Kesandung Residu, Probiotik Maju. Dalam TROBOS.
http://www.trobos.com/show_article.php?rid=13&aid=443
Esa,
2003. Menghemat Pakan dalam Tambak Intensif. Majalah Agrobis. No. 507. Minggu 1
Pebruari 2003 Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Bogor : Yayasan
Dewi Sri. 105 hal.
Hidayat,
N; Irnia K. dan Wike A P. 2006. Membuat Minuman Prebiotik & Probiotik.
Surabaya : Trubus Agrisarana.
INFIS
(Indonesian Fisheries Information System). 1992. Pemberian Pakan. Semarang:
Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
Irianto,
A. 2007. Potensi Mikroorganisma : Di Atas Langit Ada Langit. Ringkasan Orasi
Ilmiah di Fakultas Biologi Universitas Jenderal Sudirman Tanggal 12 Mei.
Mahyuddin,
K., 2008. Panduan Lengkap Agrobisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya
Martuti,
Nana KT. 1989. Penggunaan Berbagai Materi “Attractant” Dalam Pakan Buatan
Terhadap Pertumbuhan Udang Windu (Paneus monodon Fabricius). Skripsi. Semarang
: Fakultas Peternakan UNDIP.
Nizar,
S. 2006. Pengaruh Pemberian Probiotik Dengan Dosis Yang Berbeda Pada Pakan
Buatan Terhadap Laju Pertumbuhan dan Konversi Pakan Benih Ikan Patin (Pangasius
sp.) Skripsi. Semarang:
Fakultas
Perikanan dan Kelautan UNDIP.
Samadi.
2002. Probiotik Pengganti Antibiotik Dalam Pakan Ternak. Rubrik Opini, Koran
Kompas. http:
//www.ppi-goettingen.de/mimbar/kliping/probiotik
html.
Sewaka,
HD. 1990. Pakan Ikan. Jakarta : CV. Yasaguna
Sudjana.
2002. Desain Dan Analisis Eksperimen. Bandung : Penerbit Tarsito
0 comments:
Post a Comment