Maraknya penyalahgunaan
bahan kimia formalin sebagai pengawet makanan dewasa ini bukanlah merupakan hal
yang baru lagi. Penggunaan formalin (dalam bahasa kimianya disebut juga
formaldehide) tersebut terbukti berdampak buruk bagi kesehatan konsumen, mulai
dari iritasi ringan sampai dengan gangguan kesehatan yang mengakibatkan
kematian.
Tentunya hal ini
tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, melihat telah menyebar dan maraknya
penyalahgunaan bahan kimia tersebut ditanah air. Untuk itu penulis mencoba
melakukan penelitian dalam hal ini. Penulisan ini dibuat dengan menggunakan
metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu suatu penelitian terhadap norma
atau hukum, antara lain peraturan perundangundang yang terkait maupun
putusan-putusan pengadilan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini mencakup;
Peraturan perundangundangan terkait, Putusan-putusan pengadilan, serta pendapat
para ahli hukum. Cara pengumpulan data yaitu-dengan menggunakan metode studi
pustaka, dan menggunakan metode analisis data secara Kualitatif
Larangan terhadap penggunaan formalin sebagai
pengawet makanan sebenarnya sudah lama diterapkan, yaitu dalam Permenkes No.
722 1 MENKES 1 PER I IX l 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah
diubah dengan Permenkes No. 1168 / MENKES 1 PER 1 X I 1999, namun
penyalahgunaan bahan kimia tersebut dewasa ini masih banyak ditemukan. Hal ini
membuktikan bahwa tidak efektifnya peraturan perundang-undangan tersebut, dan
penegakan hukumnya pun masih dipertanyakan. Pelaku usaha yang memasarkan
makanan dengan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanannya tentunya
melanggar ketentuan UUPK, UU Pangan, dan UU Kesehatan, untuk itu kepada pelaku
usaha dapat dikenakan sanksi yang seberat-beratnya. Selain mengeluarkan
regulasi baru dan mengenakan sanksi yang berat kepada pelaku usaha yang rela
meracuni konsumen untuk memperoleh keuntungan semata, kondisi ini tentunya
harus juga diantisipasi dengan pembinaan dan pengawasan yang ketat, serta
memberikan alternatif lain pengganti formalin yang lebih baik bagi pelaku usaha
dalam mengawetkan makanannya.
Belakangan, masyarakat
kembali dikisruhkan dengan larangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal
produk makanan impor asal Cina yang mengandung zat kimia berbahaya formalin dan
zat dietilenglikol. Larangan BPOM tanggal 27 July 2007 lalu itu bukan yang
pertama dikeluarkan terhadap penggunaan formalin di makanan.
Formalin sendiri sebenarnya
merupakan salah satu zat disinfektan efektif yang digunakan produsen obat
serangga untuk membunuh kuman dan bakteri. Karena kekhasannya itu, bahkan
dipergunakan kepada mayat untuk tujuan mengawetkan oleh kebanyakan manusia.
Formalin berasal dari
larutan formaldehid (Nama dagang formalin) yang dicampur air dengan
perbandingan kadar 30-40 persen. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam
bentuk sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10
persen serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram.
Metanol yang yang
terkandung, berfungsi sebagai stabilisator, mempunyai cara yang unik dalam
sifatnya sebagai isinfektan. Formaldehida membunuh bakteri dengan membuat
jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel bakteri akan
ke-ring dan membentuk lapisan baru di permukaan.
Itu artinya, tidak saja
membunuh bakteri, formalin juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan
di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila disinfektan
lainnya, seperti tetracycline, amikacin, baytril, mendeaktifasikan serangan
bakteri dengan cara membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi,
maka formaldehida akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi
tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya.
Produk Berformalin
Keberadaan formaldehida
sendiri kemudian di ditemukan dalam berbagai macam produk. Formaldehida juga
ditemukan pada asap rokok dan udara yang tercemar asap kendaraan bermotor.
Selain itu bisa didapat juga pada produk-produk termasuk antiseptik, obat,
cairan pencuci piring, pelembut cucian, perawatan sepatu, pembersih karpet, dan
bahan adhesif. Formaldehida juga ada dalam kayu lapis terutama bila masih baru.
Kadar formaldehida akan turun seiring berjalannya waktu.
Secara natural formaldehida
sudah terkandung dalam bahan makanan mentah dalam kisaran 1 mg per kg hingga 90
mg per kg. Selain dikenal sebagai formalin, nama dagang formaldehida sendiri
sangat beragam, di antaranya ivalon, quaternium-15, lysoform, formalith, BVF,
metylene oxide, morbicid, formol, superlsoform dan lain-lain. Sementara
quaternium-15 bisa ditemukan di hampir semua jenis produk perawatan.
Suatu bahan kimia dikatakan
beracun bila berada di atas ambang batas yang diperbolehkan. American
Conference of Governmental and Industrial Hygienists (ACGIH) menetapkan ambang
batas (Threshold Limit Value/TLV) untuk formaldehida adalah 0,4 ppm. Sementara
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) merekomendasikan
paparan limit untuk para pekerja adalah 0,016 ppm selama periode 8 jam,
sedangkan untuk 15 menit 0,1 ppm.
Dalam International
Programme on Chemical Safety (IPCS) disebutkan bahwa batas toleransi
formaldehida yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg per
liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0,2 mg.
Sementara formalin yang
boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa hanya 1,5 mg
hingga 14 mg per hari.
Hampir semua jaringan di
tubuh mempunyai kemampuan untuk memecah dan memetabolisme formaldehida. Salah
satunya membentuk asam format dan dikeluarkan melalui urine. Formaldehida dapat
dikeluarkan sebagai CO2 dari dalam tubuh. Tubuh juga diperkirakan bisa
memetabolisme formaldehida bereaksi dengan DNA atau protein untuk membentuk
molekul yang lebih besar sebagai bahan tambahan DNA atau protein tubuh.
Formaldehida tidak disimpan
dalam jaringan lemak. NIOSH menyatakan formaldehida berbahaya bagi kesehatan
jika kadarnya mencapai 20 ppm. Sedangkan dalam Material Safety Data Sheet
(MSDS), formaldehida dicurigai memiliki sifat menjurus kepada pembentukan sel
kanker.
Di antara zat berbahaya yang
paling banyak digunakan adalah formalin. Sudah jadi rahasia umum tentang banyak
oknum pedagang maupun nelayan yang menggunakan bahan pengawet berbahaya itu.
Makanya, menyusul kondisi yang kian mengerikan, baru-baru ini Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) bersama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
melakukan kajian soal kian parahnya tingkat penggunaan zat-zat berbahaya dalam
makanan yang dipasarkan kepada masyarakat.
Hasilnya, MUI mengeluarkan
Fatwa bernomor 43 Tahun 2012 tentang Penyalahgunaan Formalin dan Bahan
Berbahaya Lainnya dalam Penanganan dan Pengolahan Ikan. Inti dari fatwa itu
penggunaan formalin dan bahan berbahaya untuk pengolahan ikan basah maupun ikan
kering diharamkan. “Penggunaan formalin dan bahan berbahaya lainnya dalam
penanganan dan pengolahan ikan yang membahayakan kesehatan dan jiwa hukumnya
haram.”
Lembaran Fatwa MUI itupun
menjelaskan ketentuan haram ini juga berlaku bagi orang yang melakukan kegiatan
penggunaan formalin dan zat berbahaya lainnya untuk ikan maupun pangan lainnya.
“Memproduksi dan memperdagangkan ikan dan produk perikanan yang menggunakan
formalin dan bahan berbahaya lainnya yang membahayakan kesehatan dan jiwa
hukumnya haram.”
Dalam fatwanya, MUI juga
meminta pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pengganti bahan-bahan
berbahaya kimia berbahaya untuk produk perikanan, seperti pabrik es yang
bersubsidi agar harga es balok bisa terjangkau pedagang dan nelayan. MUI juga
merekomendasikan agar pemerintah melakukan tata niaga produk formalin agar tak
dijual secara bebas, dan mengawasi peredarannya agar tak disalahgunakan.
Formalin adalah larutan yang
tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Formalin dikenal sebagai bahan
pembunuh hama dan banyak digunakan dalam industri. Formalin sangat berbahaya
bila masuk dalam tubuh manusia. Akibatnya bisa menimbulkan penyakit kanker dan
penyakit-penyakit berbahaya lainnya.
Kita berharap fatwa MUI ini
benar-benar dapat menyadarkan orang-orang yang selama ini menggunakan formalin
dalam produk-produk makanan yang dijualnya ke konsumen. Selain itu,
masyarakatpun harus proaktif mencari tahu tanda-tanda makanan yang sudah
menggunakan zat-zat berbahaya. Ini semua agar terhindar dari ancaman yang
mematikan.Ambang Batas
Merujuk kepada peraturan
menteri kesehatan no 722/Menkes /IX/1988 tanggal 22 September 1998, yang
menyebut formalin termasuk bahan pengawet yang dilarang. Suatu bahan kimia
dikatakan beracun bila berada di atas ambang batas yang diperbolehkan.
American Conference of
Governmental and Industrial Hygienists (ACGIH) menetapkan ambang batas untuk
formalin adalah 0,4 ppm. Sementara National Institute for Occupational Safety
and Health (NIOSH) merekomendasikan paparan limit untuk para pekerja adalah
0,016 ppm selama periode delapan jam, sedangkan untuk 15 menit adalah 0,1 ppm.
Dalam International
Programme on Chemical Safety (IPCS) disebutkan bahwa batas toleransi formalin
yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg per liter atau
dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0,2 mg.
Berdasarkan informasi ini,
sebaiknya Badan Pengawasan Obat dan Makanan menetapkan nilai ambang batas yang
jelas, dan menjelaskan ke masyarakat mengenai kandungan formalin yang berbahaya
bagi kesehatan. Bukan menarik barang dari perederan untuk muncul di kemudian
hari.
Selain itu, perlu cara
mendidik produsen atau pedagang mengenai tingkat bahaya dan risiko yang
dihadapi. Dengan demikian masyarakat tidak panik dan menolak semua bahan yang
diperkirakan mengandung formalin.
Sebab formalin secara
alamiah sudah ada di alam. Dan formalin menjadi berbahaya tidak saja ketika
bercampur makanan, tetapi juga dalam udara dan masuk melalui pernapasan maupun
kulit manusia.(Bagus Herawan/Ijs)
Informatif dan bermanfaat...., bravo penyuluh..
ReplyDeleteWebsitenya sangat aktif...