PENDAHULUAN
Akhir-akhir
ini banyak masyarakat membicarakan pengawetan pangan, khususnya penggunaan
forma- lin yang dilarang oleh Depkes untuk pengawetan. Formalin bukanlah bahan
pengawet untuk makanan, namun merupakan antiseptik mikroba yang hanya digunakan
dalam pengolahan produk non pangan seperti plastik. Oleh karena itu para
peneliti pangan telah memberikan beberapa alternatif bahan pengganti formalin,
seperti picung dan kitosan (Nuraida et al.,2000; Anon., 2006a).
Bahan-bahan
pengganti tersebut diharapkan mampu memberikan jaminan keamanan pangan bagi
konsumen seiring dengan tuntutan masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya
keamanan pangan. Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin, yang
dihasilkan dari ekstraksi
limbah
*) Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan
Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan pengolahan industri udang dan
rajungan. Kadar kitin dalam udang berkisar antara 60–70% dan bila diproses
menjadi kitosan menghasilkan 15–20% (Anon., 2001).
Kitosan
dapat diaplikasikan antara lain sebagai penghambat pertumbuhan bakteri, fungi
termasuk yang patogen, serta mengimobilisasi enzim dan mikroba. Sebagai agen
antibakteri, pertumbuhan E. coli telah dihambat dengan konsentrasi lebih dari 0,02%
kitosan dalam media kulturnya. Pertumbuhan beberapa patogen tanaman juga
terhambat dengan adanya kitosan. Berkaitan dengan sifat tersebut, pemanfaatan
kitosan sebagai fungsi aditif untuk pengolahan pangan telah dikembangkan
seperti pengemas pickle kitosan (Hirano, 1988).
Telah
dilaporkan pula tentang aktivitas imunologi dari turunan kitin termasuk kitosan
yakni kemampuannya menstimulasi resistensi inang pada tikus dalam melawan
bakteri seperti Staphylococcus aureus, E. coli, dan kapang seperti Candida
albicans sehingga dapat menahan infeksi dan melawan pertumbuhan sarkoma. Studi
in vitro menunjukkan bahwa kitosan terutama dalam bentuk larut air dapat memacu
makrofag ke bentuk fagositosis non spesifik sebaik aktivitas sitotoksis.
Kitosan yang bersifat tidak larut air berbeda secara signifikan dalam
menstimulasi respon humoral (rata-rata 250%). Dosis efektifnya adalah 10 x
lebih tinggi daripada turunannya yang bersifat larut air. Aktivitas
imunoadjuvan dari kitosan telah menerangkan pengaruh derivat kitin dalam hal
resistensinya melawan infeksi mikroba dan pertumbuhan tumor ( Knapczyk et al.,
1988).
Kitosan
banyak digunakan untuk keperluan biomedis, karena sifat-sifat kitosan yang
dapat dengan cepat menggumpalkan darah, bersifat hipoalergenik dan memiliki
sifat antibakteri alamiah (Anon., 2006b).
Kitin menekan populasi total
kapang dan menstimulasi litik dan
antibiotik yang diproduksi mikroorganisme seperti Actinomycetes. Efek anti
kapang kitin adalah secara tidak langsung, namun melalui mikroorganisme tanah
yang bersifat antagonis. Secara in vitro, bentuk deasetilasi dari kitin,
kitosan menghambat pertumbuhan kapang secara signifikan, meskipun beberapa
strain atau spesies kapang kurang sensitif. Kitosan tidak hanya berinteraksi
secara spesifik dengan kapang, tetapi juga mempengaruhi jaringan, menghambat
pertumbuhan sel jaringan dalam suspensi, menginduksi akumulasi fitoaleksin
(agen antimikroba dengan berat molekul rendah dan sebagai inhibitor proteinase
serta mengubah permeabilitas membran). Kitosan dilaporkan juga mengaglutinasi
beberapa jenis bakteri dan khamir (Leuba & Stossel, 1985).
Berdasarkan
sifat ini beberapa pakar mengklaim bahwa kitosan dapat digunakan sebagai
pengganti formalin yang dapat mengawetkan ikan segar maupun ikan asin (Anon.,
2006 a). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konfirmasi apakah kitosan
mempunyai sifat pengawet pada cumi-cumi segar.
BAHAN
DAN METODE
Bahan
yang digunakan untuk penelitian adalah cumi-cumi segar yang diperoleh dari TPI
Muara Angke Jakarta. Cumi-cumi tersebut langsung dies dalam coolbox dan dibawa
ke laboratorium Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan
dan Perikanan, Jakarta. Terhadap cumi-cumi segar dilakukan analisis kimia,
mikrobiologi dan organoleptik. Analisis kimia meliputi proksimat, Total
Volatile Base (TVB), pH dan kadar air, sedangkan analisis mikrobiologi adalah
Total Plate Count (TPC) dan pengamatan organoleptik meliputi rupa, warna, bau,
dan rasa secara deskriptif.
Cumi-cumi
segar dicuci, ditiriskan dan disortasi/ dipilih yang utuh dan berukuran sama.
Kemudian dibuat larutan stok kitosan dengan cara melarutkan kitosan sebanyak
1,5% (b/v) dalam larutan asam asetat 1%.
Kemudian larutan stok tersebut diencerkan dengan akuades sebanyak 2, 3, 4 dan 5
kali hingga masing-masing diperoleh larutan kitosan dengan konsentrasi 0,75;
0,50; 0,38; dan 0,30%. Selanjutnya cumi-cumi segar tersebut direndam dalam
larutan kitosan masing-masing selama 30 menit. Pada penelitian ini digunakan 5
perlakuan konsentrasi kitosan termasuk kontrol (cumi-cumi segar yang direndam
dalam akuades). Cumi-cumi yang telah diperlakukan disimpan pada suhu kamar dan
setiap 8 jam diambil contoh untuk diamati sampai cumi-cumi tersebut ditolak
oleh panelis.
Analisis
Total Plate Count (TPC) dilakukan dengan metode pour plate (SNI, 1991), Total
Volatile Base (TVB) dan kadar air dengan metode AOAC (AOAC,
1999).
Pengukuran pH dilakukan dengan alat pH meter. Penelitian menggunakan rancangan
acak lengkap dengan 3 kali ulangan. Analisis data dilakukan secara sidik ragam
(Anova). Apabila hasil Anova berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut Duncan Mul-
tiple Range Test (DMRT) (Steel & Torrie, 1989).
HASIL
DAN BAHASAN
Komposisi
Proksimat Cumi-Cumi Segar
Komposisi
proksimat cumi-cumi segar disajikan pada Tabel 1. Kadar air pada cumi segar
sangat tinggi yaitu 84,84%. Kadar garamnya 0,52% dan kadar abu cukup rendah
0,86%. Hal ini dikarenakan cumi-cumi tidak mempunyai tulang, kadar mineral
sekitar 0,2% yaitu selisih antara kadar abu dan kadar garam.
No.
Pa rameter/Param eters Ka ndunga n/Content
1
Kadar air/Mois ture c ontent ( %
) 84.84 ± 0.88
2
Kadar abu/As h c ontent ( % ) 0.86 ± 0.08
3
Kadar garam/Salt c ontent ( % ) 0.52 ± 0.26
4
Kadar protein/Protein c ontent (
% ) 20.68 ± 0.16
5
Kadar lemak /Fat c ontent ( % ) 0.16 ± 0.02
6
Nilai pH/pH value 6.44 ± 0.07
7
Kadar TVB/TVB c ontent ( mgN% ) 17.61 ± 1.07
Sedangkan
kadar lemaknya cukup rendah (0,16%) tetapi kadar protein cukup tinggi (20,68%).
Nilai pH cumi-cumi 6,44 dan kadar TVB cumi-cumi segar adalah 17,61mgN%, yang
mengindikasikan bahwa cumi-cumi tersebut cukup segar.
Kadar
Total Volatile Base (TVB)
Kadar
TVB cumi-cumi dari semua perlakuan meningkat selama penyimpanan, namun dengan
laju yang agak berbeda. Pada perlakuan perendaman dengan larutan kitosan 0,30;
0,38; dan 0,50%, peningkatan TVB sebesar 2–3 kali lipat telah terjadi sejak jam
ke-8, yang kemudian melonjak drastis hingga hampir atau bahkan lebih dari 10
kali lipat. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh yang
nyata antar perlakuan konsentrasi kitosan (p~0,05), kecuali pada perlakuan
konsentrasi kitosan 0,75%. Pada perlakuan ini, meskipun jumlah TVB telah
meningkat 2 kali lipat pada jam ke 8, jumlah tersebut tidak meningkat hingga
jam ke-16. Peningkatan drastis baru terjadi pada penyimpanan jam ke-24 hingga
mencapai lebih dari 127 mgN%. Meskipun demikian, jumlah ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan jumlah yang dihasilkan perlakuan lain.
Penyimpanan (jam )/Storage (hour)
0 8 16 24 32 40
0% 17.61±1.07 51.67±4.36
161.34±9.33 221.47±13.12 - -
0.30% 18.59±2.07
69.39±1.84 128.53±2.50 149.30±8.68
177.62±11.04 -
0.38% 18.68±1.11
121.22±12.14 182.165±0.5 185.05±4.13
536.58±2.13 -
.50% 13.45±1.00
31.17±5.68 148.23±6.22 169.55±0.95
175.56±8.53 -
0.75% 22.15±1.64
41.84±1.64 47.60±1.67 127.43±9.33 153.14±0.50 206.19±1.89
Keterangan/Note: – Tidak
dilakukan pengamatan karena sampel telah ditolak oleh panelis/
No
observation due to sample rejection by panelists
Meskipun masih di atas batas yang disyaratkan
untuk ikan segar yaitu 30 mgN% (Sikorski et al.,
1990),
dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dalam larutan 0,75% kitosan dapat
memperpanjang daya simpan cumi-cumi selama 16 jam, tetapi perlakuan yang lain,
termasuk kontrol, hanya mampu memperpanjang daya simpan hingga 8 jam.
Total
Plate Count (TPC)
Total
Plate Count pada cumi-cumi segar selama penyimpanan mengalami peningkatan
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa sejak awal percobaan (pengamatan jam ke-0), larutan kitosan pada kadar
0,75
dan 0,50% mampu menurunkan jumlah bakteri hingga mencapai 2 siklus log,
sedangkan perlakuan kitosan 0,38 dan 0,30% tidak berbeda dengan kontrol. Hal
ini mengindikasikan bahwa perlakuan konsentrasi kitosan pada kadar tinggi dapat
memberikan efek hambatan terhadap pertumbuhan bakteri.
Pada
jam ke-8 jumlah bakteri cumi-cumi dari semua perlakuan berpengaruh nyata
terhadap jumlah bakteri. Pada konsentrasi 0,30% jumlah bakteri diturunkan
sebesar satu siklus log, sedangkan pada kadar yang lebih tinggi, penurunan
dapat mencapai 2 siklus log tanpa adanya perbedaan antar ketiga level
konsentrasi kitosan. Jumlah bakteri yang dicapai pada ketiga perlakuan tersebut
masih memenuhi standar SNI (SNI 01-2729, 1992) yaitu 5 x 105/g. Namun demikian
pada jam ke-16 hanya perlakuan konsentrasi 0,75% yang berhasil menahan perkembangan
bakteri dengan peningkatan hanya satu siklus log, dibandingkan dengan perlakuan
lain, termasuk kontrol, yang terus meningkat hingga 3-4 siklus log.
Pada
jam ke-32 dan seterusnya, semua perlakuan sudah tidak mempunyai pengaruh yang
berbeda satu sama lain, dengan jumlah bakteri yang sudah sangat tinggi, yakni
mencapai 109 hingga 1011/g.
Berdasarkan
hasil analisis TPC tersebut dapat dikatakan bahwa bila didasarkan pada
persyaratan SNI, hanya pada konsentrasi minimal 0,38% dengan lama penyimpanan 8
jam saja yang masih dapat diterima. Pada konsentrasi yang lebih rendah dan
waktu penyimpanan yang lebih lama, produk sudah tidak memenuhi persyaratan SNI.
Mutu
Organoleptik
Penilaian
organoleptik cumi-cumi segar secara deskriptif menunjukkan bahwa cumi-cumi
dengan perlakuan perendaman dalam larutan kitosan konsentrasi 0,30; 0,38 dan
0,50% memiliki rasa sepet dan sedikit asam, sedangkan perendaman dalam larutan kitosan
dengan konsentrasi 0,75% menghasilkan produk dengan rasa sepet
dan pahit.
Pola
perubahan nilai organoleptik selama penyimpanan cumi-cumi pada suhu kamar
terlihat cenderung berkorelasi dengan nilai TVB pada semua perlakuan, yakni
semakin tinggi nilai TVB maka penilaian panelis terhadap mutu organoleptik
cumi- cumi semakin menurun. Meskipun berdasarkan nilai TVB, sebenarnya produk
sudah melewati ambang batas kesegaran sejak jam ke-8, tetapi dari hasil
pengamatan rupa, warna, bau dan tekstur, dengan mengesampingkan adanya rasa
pahit, produk baru ditolak panelis pada jam ke-24 untuk kontrol, jam ke- 32
untuk perlakuan konsentrasi kitosan 0,30; 0,38; dan 0,50%, dan jam ke-40 untuk
konsentrasi tertinggi, yaitu 0,75%. Hal yang sama terjadi dengan hasil
pengamatan TPC, dimana pada kontrol dan perlakuan 0,30% jumlah bakteri sudah
melebihi standar pada
P
e nyim pa na n (ja m )/S to rage (h ou r)
0
8 16 24 32 40
0% 4.
48 7.12 8.48 9.48 - -
0.30%
4. 24 6.46
7.30 9.94
10.99 -
0.38%
3. 68 5.91
7.96 9.11
10.50 -
0.50%
3. 94 5.36
7.16 8.59
8.86 -
0.75%
2. 73 5.10
6.62 9.70
10.15 11.15
Keterangan/Note:
– Tidak dilakukan pengamatan karena
sampel telah ditolak oleh panelis/
No
observation due to sample rejection by panelists
Kondisi di atas mengindikasikan bahwa meskipun
menurut penilaian panelis, perlakuan perendaman pada larutan kitosan dapat
memperpanjang masa simpan cumi-cumi hingga lebih dari 24 jam, namun untuk
tujuan ekspor, produk sudah akan ditolak pada jam ke-8 karena tidak memenuhi
standar yang ditetapkan. Bila dilihat dari TPC dan TVBnya, memang produk yang
diberi perlakuan lebih dari 0,75% masih dapat diterima hingga jam ke-16, tetapi
panelis kurang menyukai adanya rasa tambahan yaitu agak pahit.
Selain
rasa pahit, perlakuan perendaman dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 0,50
dan 0,75% menyebabkan penampakan yang kurang baik, karena perlakuan kitosan
tersebut mengakibatkan kulit cumi- cumi terkelupas, meskipun warna dan tekstur
tidak berubah yakni berwarna ungu kecoklatan dengan tekstur kenyal dan elastis.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengaruh asam asetat sebagai pelarut
kitosan.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1. Berdasarkan nilai TVB dan TPC,
perlakuan perendaman dalam larutan 0,75% kitosan dapat memperpanjang daya
simpan cumi-cumi selama
16
jam, sedangkan perlakuan yang lain, termasuk kontrol, hanya mempunyai daya
simpan hingga 8 jam.
2. Dari hasil pengamatan rupa, warna, bau
dan tekstur, dengan mengesampingkan rasa tambahan, produk baru ditolak panelis
pada jam ke-24 untuk kontrol, jam ke-32 untuk perlakuan konsentrasi kitosan
0,30; 0,38; dan 0,50%, dan jam ke-40 untuk konsentrasi tertinggi, yaitu
0,75%.
3. Pada konsentrasi kitosan 0,38 dan 0,50%
terdeteksi rasa tambahan berupa rasa sepet dan agak asam, sedangkan pada
konsentrasi 0,75% rasa tambahan berupa rasa agak pahit. Pada konsentrasi di
atas 0,50% kulit cumi banyak terkelupas, sehingga menurunkan nilai rupa/
kenampakan.
4. Penggunaan pelarut
asam asetat perlu dipertimbangkan karena berpengaruh
terhadap rasa dan kenampakan produk. Penggunaan kitosan larut air (karboksimetil kitosan) disarankan untuk diteliti.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2001 Chitosan bahan alami pengganti forma- lin.
http://antara news.co./chitosan.html 2001. Diakses 22 November 2006.
Anonim.
2006a. Chitosan sebagai bahan pengganti for- malin lebih aman sebagai pengawet
makanan. Unhas, 7 Januari 2006. http://www.kompas.com/
kesehatan/news/0601/07/081509.htm
Anonymous.
2006b. Chitosan: manufacture and proper- ties. http://en.wikipedia.org/wiki.
chitosan. Diakses
21
November 2006. 4 pp.
AOAC.
1999. Official Methods of Analysis, 13th ed. Asso- ciation Official of Analytical
Chemist. Washington DC.
1018
pp.
Hirano,
S. 1988. Production and application of chitin and chitosan in Japan. In:
Skjack-Braek, G., Sandford, P., and Anthonsen, T. (eds.). Chitin and Chitosan.
Elsevier Applied Science. London and New York. p. 39–40
Knapczyk,
J., Krowczynski, L., Marchut, E., Brzozowski, T., Marcinkiewicz, J., Guminska,
M., Konturek, S.J. and Ptak, W. 1988. Some biomedical properties of chitosan.
In: Skjack-Braek, G., Sandford, P. and Anthonsen, T. (eds.). Chitin and
Chitosan. Elsevier Applied Science. London and New York. p. 610–615.
Leuba,
J.J. and Stossel, P. 1985. Chitosan and other poliamines: antifungal activity
and interaction with biological membranes. In: Muzarelli, R., Jeuniaux, C. and
Gooday, G.W. (eds.). Chitin in Nature and Tech- nology. Plenum Press New York
and London. 215 pp.
Nuraida,
L., Andarwulan, N. dan Kristikasari, E. 2000.
Antimicrobial
activity of fresh and fermented picung (Pangium edule Reinw) seed againts
pathogenic and food spoilage bacteria. J. Food Tech. Industry. 4(2):18–26.
Sikorski,
Z.E., Kolakowska, A. and Burt, J.R. 1990.
Postharvest
biochem. and microbial changes. In: Sikorski, Z.E. (ed.). Seafood: Resource,
Nutrition Composition and Preservation. CRC Press Inc. Boca Reton, Fl. p.
55–75.
SNI
01-2339.1991. Metode Pengujian Mikrobiologi Produk Perikanan Penentuan Total
Aerobic Plate (TPC). Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. p. 1–2.
SNI
01-2729.1992. Ikan Segar. Standar Produk Perikanan Komoditas Ikan dan Udang.
Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta. 2 pp.
Steel,
R.G.D. and Torrie, J.H. 1989. Prinsip dan Prosedur
Statistika,
2nd ed. PT. Gramedia, Jakarta. 748 pp.
0 comments:
Post a Comment