Ikan-ikan biasanya melakukan perkawinan secara alami dan tergantung pada musim. Sebagai contoh ikan mas pada awal musim penghujan, ikan tawes pada musim penghujan dan ikan gurami pada musim kemarau. Beberapa ikan sangat sukar memijah kalau tidak berada di habitat aslinya. Beberapa jenis ikan yang mempunyai sifat tersebut misalnya ikan sidat (Ohta et al. 1997, Lokman et al. 2001).
Studi mengenai induksi pematangan gonad ikan sidat telah banyak dilakukan, antara la-
69
in Ohta et al. (1997), dan Kagawa et al. (1997). Karena siklus hidup ikan ini cukup rumit maka reproduksinya belum diketahui dengan jelas. Ikan sidat yang matang seksual hampir tidak pernah ditemukan di perairan daratan. Demikian pula pada kondisi budidaya, sulit bagi ikan sidat untuk mencapai matang gonad dan mengalami ovulasi.
Ikan sidat yang dipelihara dalam wadah budidaya secara seksual bersifat immature, dan memiliki GSI berkisar antara 1 – 2%. Sedangkan di alam, silver eel betina yang bermigrasi menuju ke laut ternyata juga mempunyai GSI antara 1 – 2% (Yamamoto et al. 1974) dengan ovarium yang mengandung oosit pada tahap yolk globule primer dan tahap oil droplet. Di New Zealand, Anguilla dieffenbachii mengandung ovarium dengan oosit yang sudah mencapai tahap midvitelogenik dan GSI nya sekitar 7% (Lokman dan Young 1998). Namun baik untuk ikan sidat betina dalam wadah budidaya ataupun yang diperoleh dari alam yang GSInya sudah cukup tinggi dan tahap perkembangan gonadnya telah berkembang dengan baik, ternyata tidak dapat mengalami matang gonad dan ovulasi di bawah lingkungan budidaya (Yamamoto et al. 1974). Untuk itu ikan sidat memerlukan perlakuan induksi hormonal secara eksogen untuk mematangkan gonadnya dan menginduksi ovulasinya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan pada beberapa spesies Anguilla, menunjukkan bahwa pematangan gonad dan ovulasi ikan sidat juga dapat diinduksi secara hormonal seperti yang telah banyak dilakukan pada ikan-ikan ekonomis lainnya. Awal penelitian induksi maturasi dan ovulasi dilakukan di Negara Eropa pada tahun 1930an. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Ohta et al. (1997) dan Kagawa et al. (1997) telah berhasil menginduksi ovulasi A. japonica dengan penyuntikan 17α, 20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one (DHP) yang dikombinasikan dengan ekstrak hipofisis salmon. Hingga saat ini metode yang digunakan untuk menginduksi pematangan oosit dan ovulasi pada sidat betina mengacu pada penelitian Ohta (1997) yaitu dengan menggunakan ekstrak hipofisis salmon dan DHP.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh ekstrak hipofisis ikan mas (besar dosis dan frekuensi penyuntikan) terhadap perkembangan gonad ikan sidat (Anguilla bicolor bicolor) betina.
METODA PENELITIAN
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2006 hingga Januari 2007. Contoh ikan sidat Anguilla bicolor bicolor dengan berat lebih dari 600 gram diperoleh dari perairan Segara Anakan, Cilacap-Jawa Tengah. Pemeliharaan ikan sidat dan pengamatan laboratorium dilakukan di laboratorium Fisiologi Hewan Air Jurusan MSP - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB – Darmaga, Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 x 3, 4 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa dosis ekstrak hipofisis ikan mas jantan matang gonad (0, ¼ dan ½) dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis (tiap 1, 2, dan 3 minggu). Parameter yang diamati meliputi: Pertambahan bobot mutlak, perkembangan gonad, diameter folikel, Gonado Somatic Index (GSI), Hepato Somatic Index (HSI) dan perkembangan hati.
GSI dihitung dengan menggunakan rumus GSI (%) = 100 x Bobot gonad/Bobot tubuh (g), dan HSI dihitung dengan rumus HSI (%) = 100 x Bobot hati/Bobot tubuh (g) (Effendi 2002). Perbedaan antar rataan perlakuan diuji dengan uji Tukey.
Pemeliharaan
Wadah yang digunakan untuk percobaan dan aklimatisasi berupa bak berjumlah 9 buah ukuran 2 x 2 x 1 m3, diisi dengan air tawar setinggi 60 cm (volume 2400 liter), dan dilengkapi dengan potongan-potongan pralon, aerasi, tempat pakan dan plastik hitam untuk penutup bak. Sebelum dimasukkan ke dalam bak percobaan, ikan diaklimatisasi selama kurang lebih satu bulan kemudian ikan ditimbang, dan dibagi-bagi ke dalam 9 bak percobaan masing-masing 4 ekor per bak. Pakan standar diberikan sebanyak 3% per berat badan dua kali sehari, pukul 10.00 dan 16.00 WIB, dengan komposisi pakan seperti pada Tabel 1.
Penyuntikan Ekstrak Hipofisis
Perlakuan dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok hormon. Kelompok kontrol
( P 0F1, P0F2, P0F3), disuntik hanya dengan 0,9% NaCl. Sedangkan pada kelompok perlakuan dengan hormonal, ekstrak hipofisis disuntikkan secara intramuscular dengan ¼ dosis setiap 1, 2 dan 3 minggu (P1F1, P1F2, P1F3) dan ½ dosis juga setiap 1, 2 dan 3 minggu (P 2F1, P2F2, P2F3). Ekstrak hipofisis diperoleh dari hipofisa ikan mas jantan yang matang gonad, lalu digerus. Setiap dua hari setelah penyuntikan, seluruh ikan diukur bobot tubuhnya. Penyuntikan dihentikan setelah suntikan ke-10 untuk penyuntikan per 1 minggu (P0F1, P1F1, P2F1), suntikan ke-5 (P0F2, P1F2, P2F2) untuk penyuntikan per 2 minggu, dan suntikan ke-4 untuk penyuntikan per 3 minggu (P0F3, P1F3, P2F3). Dua minggu setelah minggu terakhir penyuntikan ekstrak hipofisis, ikan diukur bobot tubuhnya, kemudian dibedah untuk mengamati gonad dan hati secara makroskopis dan mikroskopis. Analisa histologis gonad dilakukan dengan tiga macam pewarnaan; Hematoksilin-eosin (HE) untuk pengamatan topografi, Sudan black untuk mendeteksi lemak dan Periodic Acid Schiff (PAS) untuk mendeteksi karbohidrat netral, sedangkan untuk hati dilakukan dua pewarnaan, HE dan PAS.
Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Standar Selama Masa Aklimatisasi.
Bahan Pakan Komposisi (%)
Tepung ikan 52.8
Tepung rebon 19.2
Tepung terigu 6.0
Mineral mix 2.0
Minyak ikan 8.0
Minyak jagung 8.0
Vitamin mix 2,0
CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) 2,0
J u m l a h 100
Kadar Protein 45
Energi 360 kkal/100 gram
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Ikan Sidat selama Penyuntikan Ekstrak Hipofisis
Selama ikan sidat dipelihara dalam air tawar dan selama perlakuan induksi maturasi, nafsu makannya baik sehingga pertumbuhannya juga baik. Pertumbuhan selama aklimatisasi dan selama induksi maturasi gonad dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata dosis dan frekuensi penyuntikan serta interaksi kedua perlakuan tersebut terhadap pertambahan bobot mutlak rata-rata (PBM). Nilai PBM meningkat sesuai dengan kenaikan dosis hormon, walaupun tidak berbeda nyata melalui uji Tukey, kecuali kelompok P1F1 dan P2F1.
Beberapa macam hormon dihasilkan dari lobus anterior, antara lain hormon pertumbuhan (Growth Hormone), Prolaktin, Tirotropin, ACTH, Lipotropin, dan FSH, LH atau GTH-I dan II pada ikan. Hormon pertumbuhan yang terkandung dalam hipofisis itulah yang merangsang pertumbuhan ikan sidat sehingga menyebabkan PBM nya meningkat sesuai kenaikan dosis.
Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis
Gonad Ikan Sidat pada Akhir Penyuntikan
Ekstrak Hipofisis
Gambaran makroskopis gonad untuk masing-masing perlakuan, dapat dilihat pada Gambar 2. Pada kelompok perlakuan P2F1, P1F1 dan P2F2, gonad berbentuk pita berwarna putih dan tebal yang memiliki lamella dengan lebar lamella 2.0 – 2.5 cm, pada kelompok perlakuan P1F2 dan P2F3 gonad juga berbentuk pita berwarna putih berlamella dengan lebar lamella lebih kecil yaitu 1.0 – 1.5 cm. Pada perlakuan P1F3 gonad berbentuk pita berwarna kuning muda dengan lebar lamella kurang lebih 1.0 cm. Pada kelompok perlakuan yang tidak disuntik dengan hormon atau kelompok kontrol, gonadnya terlihat berwarna kuning muda agak bening dan tipis dengan lebar kurang dari 1.0 cm.
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Gambar 1. Pertambahan Bobot Tubuh RataRata Ikan Sidat selama Proses Aklimatisasi dan Induksi dengan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas.
Gambar 2. Gambaran Makroskopis Gonad Ikan Sidat pada Akhir Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas. (P0 = Dosis Kontrol, P1 = ¼ Dosis, P2 = ½ Dosis, F1, F2, F3 masing-masing Frekuensi Pemberian Setiap 1, 2 dan 3 Minggu).
Nilai GSI ikan sidat betina hasil induksi maturasi dengan ekstrak hipofisis ikan mas secara keseluruhan berkisar antara 1.07 sampai dengan 3.37 (Gambar 3).
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis ekstrak hipofisis dan frekuensi penyuntikan, masing-masing memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai GSI (p ≤ 0.01), demikian pula kombinasi antara kedua perlakuan juga memberikan pengaruh yang sangat nyata (p ≤ 0.01). Ekstrak hipofisis ikan mas tampak dapat meningkatkan GSI ikan sidat. Nilai GSI maksimum diperoleh pada perlakuan ekstrak hipofisis ½ dosis yang disuntikkan setiap minggu (P2F1), yaitu sebesar 3.37, selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh perlakuan P1F1 (3.29), P2F2 (2.86), P1F2 (2.41), P2F3 (1.91), dan P1F3 (1.20), sedangkan rata-rata GSI kontrol (P0F) adalah 1.08. Dari uji Tukey menunjukkan bahwa nilai rata-rata GSI setiap kelompok saling berbeda sangat nyata (p ≤ 0.01), kecuali pada kelompok P2F1 tidak berbeda nyata dengan kelompok P1F1 (p ≤ 0.01).
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Gambar 3. Diagram GSI (%) Rata-Rata Ikan Sidat Betina Hasil Induksi Maturasi Dengan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas.
Pada proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad akan semakin bertambah beratnya diimbangi dengan bertambah besar ukurannya (Effendie 2002).
Gambaran Histologis Gonad Ikan Sidat pada Akhir Penyuntikan Hormon Hipofisa Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Hasil analisa histologis dengan pewarnaan HE dapat memperlihatkan struktur folikel beserta diameternya. Tipe folikel yang tampak di semua kelompok rata-rata adalah tahap previtellogenesis (tahap perinukleolus sampai oil droplet) pada kelompok kelompok P2F3, P1F2,, P1F3, P0F hingga awal vitelogenik pada tahap pembentukan granula yolk globule (kelompok P2F1, P1F1, P2F2) (Gambar 4). Selama perkembangan gonad, oosit dikelilingi lapisan sel-sel yang membentuk dua lapisan yaitu lapisan granulosa di sebelah dalam yang menempel pada oosit dan lapisan teka di sebelah luarnya (Hoar dan Nagahama 1978). Sel granulosa pada pinggiran oosit berperan penting dalam penyerapan material lipoprotein (berasal dari hati) oleh oosit. Pematangan oosit dicirikan pergerakan awal inti atau vesikula germinal ke bagian tepi dekat mikropil yang diakhiri tahap pembelahan meiosis pertama (Takashima dan Hibiya 1997).
Struktur folikel dalam tahap perkembangan pada umumnya sama pada banyak jenis ikan. Pada tahap previtellogenik, oosit terdapat di tengah dan dikelilingi oleh sel-sel folikel. Lapisan sel folikel terdiri dari sublayer dalam berupa lapisan sel-sel granulosa serta selapis atau dua lapisan teka yang merupakan sublayer luar. Lapisan teka dan granulosa dipisahkan oleh membran basal, antara oosit dan lapisan sel granulosa terdapat zona radiata. Pada tahap ini mulai terjadi penumpukan oil droplet.
Gambar 4. Tipe Folikel Ikan Sidat Setelah Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas (GV: Germinal Vesicle, Pewarnaan HE, Perbesaran 200x, P 0 = Dosis Kontrol, P 1 = ¼ Dosis, P2 = ½ Dosis, F1, F2, F3 masing-masing Frekuensi Pemberian Setiap 1, 2 dan 3 Minggu).
Pada tahap cortical alveoli di awal proses vitellogenesis, vesikula yolk mulai nampak pada folikel dengan diameter ± 200 μm. Tahapan tersebut dinamakan primary yolk globule. Selanjutnya terjadi akumulasi yolk globule dan membran basal bagian dalam lebih tebal serta diameter folikel membesar sekitar 250 – 900 μm (Aida et al. 2003). Tahapan ini dikenal dengan secondary yolk globule.
Dalam penelitian ini, dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis berpengaruh nyata terhadap diameter folikel. Hasil anova menunjukkan bahwa baik dosis maupun frekuensi penyuntikan serta interaksi kedua perlakuan, memberikan pengaruh yang nyata (p ≤ 0.01) pada diameter folikel. Pengaruh dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis terhadap nilai GSI berkorelasi dengan pengaruh dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis terhadap nilai diameter folikel beroosit. Seperti pada pengaruh pemberian ekstrak hipofisis terhadap nilai GSI, dosis ½ yang disuntikkan setiap minggu (P2F1) menghasilkan nilai diameter folikel terbesar pula yaitu 229.06 ± 0.6 µm (Gambar 5). Selanjutnya, ukuran diameter folikel rata-rata dari yang besar secara berturut-turut setelah P2F1 adalah kelompok P1F1 (223.15 ±
0.8 µm), P2F2 (216.05 ± 0.4 µm), P1F2 (182.22 ± 0.3 µm), P2F3 (109.24 ± 0.2 µm), dan P1F3 (99.24 ± 0.2 µm). . Uji lanjut Tukey menunjukkan perbedaan nyata antar kelompok perlakuan kecuali P1F1 dengan P2F1 dan P1F3 dengan P2F3.
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Gambar 5. Diagram Diameter Folikel Ikan Sidat Betina Hasil Induksi Maturasi dengan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas.
Dalam penelitian ini ukuran diameter oosit pada kelompok P2F1 merupakan nilai yang paling besar yaitu 229.06 ± 0.6 µm, namun nilai itu masih jauh dari ukuran diameter folikel A. japonica sebagaimana dilaporkan oleh Kagawa et al. (1995) dan Yamamoto et al. (1974). Pada penelitian tersebut, induksi pematangan gonad dilakukan dengan ekstrak hipofisis salmon sebesar 35 mg/kg bobot tubuh sebanyak 8 hingga 15 kali penyuntikan secara intramuscular, ketika oosit mencapai tahap primary globule yolk atau cortical alveoli di awal tahap vitellogenik. Induksi pada A. japonica tersebut menghasilkan oosit yang mencapai tahap vitelogenesis sempurna dengan diameter folikel oosit sebesar 750 - 800 µm.
Dalam penelitian ini ukuran atau tahap perkembangan gonad ternyata tidak mencapai maksimal setelah induksi, mungkin disebabkan oleh tingkat perkembangan gonad ikan yang digunakan ketika dimulai induksi baru mencapai tahap previtellogenesis, walaupun bobot tubuh ikan telah mencapai lebih dari 700 gram seperti yang digunakan pada referensi hasil penelitian Kagawa et al. (1995). Untuk itu perlu dilakukan lagi penelitian selanjutnya dengan menggunakan ikan sidat betina yang ditangkap bukan di daerah estuaria tetapi yang sudah bermigrasi ke laut.
Pewarnaan Sudan Black
Pewarnaan Sudan Black adalah pewarnaan untuk mendeteksi adanya lemak. Dengan pewarnaan ini, lemak akan terwarnai hitam, sedangkan inti terwarnai merah. Kadar lemak dalam folikel dapat dibedakan berdasarkan tingkat kehitaman atau intensitas warna folikel.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kelompok P2F1 mempuyai tingkatan warna hitam tertinggi, yang berarti bahwa kadar lemak dalam folikel untuk kelompok ini yang terbanyak (Gambar 6). Urutan tingkatan kandungan kadar lemak selanjutnya adalah kelompok P1F1, P2F2, P2F3, P1F2, P1F3, dan yang terakhir adalah kelompok kontrol (P0F).
Gambar 6. Struktur Histologis Folikel Ikan Sidat Masing-Masing Perlakuan Setelah Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas (Pewarnaan Sudan Black, Perbesaran 400x, P0 = Dosis Kontrol, P1 = ¼ Dosis, P2 = ½ Dosis, F1, F2, F3 masing-masing Penyuntikan Setiap 1, 2 dan 3 Minggu).
Seperti telah disebutkan di atas, tipe folikel yang tampak sebagai hasil induksi pematangan gonad dengan ekstrak hipofisis adalah tahap previtellogenesis (kelompok P2F3, P1F2,, P1F3, P0F) yang ditandai dengan adanya penumpukan oil droplet, sehingga positif dengan pewarnaan Sudan Black. Tipe folikel lainnya yang nampak sebagai hasil induksi pematangan dengan ekstrak hipofisis adalah tahap awal vitellogenik (kelompok P2F1, P1F1, P2F2). Menurut Mommsen dan Walsh (1988), vitellogenin yang dihasilkan di hati setelah masuk ke dalam oosit akan dipecah menjadi beberapa jenis lipid sebagai komponen yolk seperti lipovitellin, phosvitin dan phosvette. Selain oil droplet, jenis-jenis lipid tersebut antara lain yang terdeteksi positif oleh Sudan Black.
Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Metoda pewarnaan PAS mendeteksi senyawa karbohidrat yang termasuk dalam kelompok karbohidrat netral. Yang termasuk dalam kelompok karbohidrat netral antara lain adalah amilase, glikogen, lipofuksin, glikoprotein dan glikolipid.
Pada penelitian ini, pewarnaan PAS menunjukkan hasil yang positif pada gonad hasil semua perlakuan. Warna merah terlihat di seluruh bagian folikel terutama pada membran basal. Membran basal folikel pada perlakuan terutama P1F1, P2F1 dan P2F2 mengandung warna yang lebih tua dan lebih tebal. Takashima dan Hibiya (1995) melaporkan bahwa dinding folikel bertambah kompleksitasnya selama vitellogenesis. Pada tahap vitellogenesis, jumlah lapisan dinding menjadi lebih tebal dan terdiri dari sedikitnya tiga lapis.
Sedangkan pada sitoplasma, vakuola di tepi oosit cenderung kosong dan berwarna pucat, namun pada kelompok perlakuan P1F1, P2F1 dan P2F2 terdapat beberapa granul di bagian perifer yang jelas terwarnai merah terang (Gambar 7). Menurut Mommsen dan Walsh (1988), pada tahap vitellogenik terjadi sintesis protein prekursor yolk atau vitellogenin di hati yang kemudian dibawa ke oosit dan direkonstruksi menjadi protein yolk globule. Pada penelitian ini, granul-granul dekat membran basal yang terwarnai dengan kuat dengan pewarnaan PAS adalah yolk globule.
Struktur histologis folikel yang nampak pada penelitian ini sesuai dengan hasil yang diperlihatkan Adachi et al. in Aida et al. (2003) untuk A. japonica. Dengan pewarnaan PAS, vesikula yolk globule mulai tampak pada tahap awal vitellogenik, dan terdapat di bagian perifer dekat membran basal. Pada kondisi ini, diameter folikel A. japonica dilaporkan berukuran 250 – 300 µm, sedangkan pada penelitian ini diameter folikel A. bicolor bicolor berukuran antara 215.65 sampai dengan 229.66 µm.
Hipofisis
Pada gambaran makroskopis hati, bentuk dan warna hati untuk masing-masing kelompok perlakuan tidak terlihat berbeda kecuali pada ukuran dan beratnya.
Hasil analisis sidik ragam/anova menunjukkan pengaruh yang sangat nyata untuk dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis serta kombinasi kedua perlakuan terhadap nilai HSI (Gambar 8). Pemberian dosis ½ memberikan nilai HSI yang lebih besar dibandingkan dengan penyuntikan dosis ¼. Hasil yang tertinggi diperlihatkan oleh kelompok P2F1 sebesar 2.27. Dengan uji Tukey, nilai tersebut berbeda sangat nyata dibandingkan dengan nilai kelompok lainnya. Urutan selanjutnya adalah kelompok P1F1 (1.80), P2F2 (1.74), P2F3 (1.63) dan P1F2 (1.58). Kenaikan nilai HSI terlihat berbanding lurus dengan kenaikan nilai GSI.
Gonado Somatic Index (GSI) erat kaitannya dengan vitellogenesis yang terjadi di hati. Proses terbentuknya vitelogenin dimulai dari adanya isyarat-isyarat lingkungan yang semuanya merangsang hipotalamus untuk mensekresikan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). GnRH yang disekresikan ke dalam darah akan merangsang hipofisis untuk mensekresikan hormon-hormon gonadotropin/GtH (Mommsen dan Walsh 1988). Dalam penelitian ini hormon-hormon hipofisis ditambahkan melalui penyuntikan. Jenis hormon GtH yang disekresikan terdiri atas dua macam yaitu GtH I yang berperan dalam meningkatkan estradiol-17β yang berfungsi merangsang sintesis dan sekresi vitelogenin, sedangkan GtH II berperan dalam merangsang produksi hormon steroid yang berfungsi dalam proses pematangan akhir (Nagahama 1987). Hormon gonadotropin (GtH I) akan memberikan respon terhadap ovarium untuk meningkatkan produksi estrogen, kemudian ditranspor menuju jaringan sasaran yaitu hati melalui cara difusi, dan secara spesifik merangsang vitellogenesis. Pada saat proses berlangsung, yolk bertambah dalam jumlah dan ukurannya, sehingga volume oosit membesar serta berat oosit meningkat, sehingga akhirnya menyebabkan meningkatnya nilai GSI.
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Seperti telah disebutkan di atas, yang dapat dideteksi oleh reaksi PAS adalah kelompok karbohidrat netral, antara lain glikogen. Pada penelitian ini, kelompok yang memiliki intensitas warna tertinggi adalah kelompok P2F1 yang menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat netralnya tinggi. Dibandingkan kelompok kontrol yang intensitas warna merahnya sangat rendah (Gambar 9 kiri), kelompok P2F1 menunjukkan warna merah yang pekat (Gambar 9 kanan). Hal ini menunjukkan bahwa secara alami tanpa perlakuan hormon secara eksogen, ikan sidat A. bicolor bicolor dengan ukuran lebih dari 700 gram masih belum aktif menyimpan hasil metabolismenya dalam bentuk glikogen untuk keperluan persiapan perkembangan gonad sampai dengan maturasi.
Pada ikan, salah satu fungsi hati adalah membentuk vitellogenin yang merupakan fosfolipoglikoprotein (Takashima & Hibiya 1995). PAS positif dalam penelitian ini salah satu indikasi yang menunjukkan adanya keaktifan dalam hati dalam proses vitellogenesis dan keaktifan lainnya sehingga dihasilkan glikokonjugat yang merupakan karbohidrat netral.
Gambar 9. Struktur Histologis Hati Ikan Sidat Perlakuan Akibat Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas (Pewarnaan PAS, Pembesaran 200x, P0F = Kontrol, P2F1 = Dosis ½ yang Diberikan Setiap 2 Minggu).
Rekapitulasi skor percobaan induksi maturasi gonad ikan sidat betina disajikan pada Tabel 2. Hasil rekapitulasi ini menyimpulkan bahwa hasil yang tertinggi akibat pengaruh penyuntikan ekstrak hipofisis terhadap GSI, HSI, diameter oosit, kandungan lemak dan kandungan glikonjugat kelompok perlakuan P2F1.
Tabel 2. Rekapitulasi Skor GSI, HSI, Diameter Folikel, Kandungan Lemak Dalam Folikel Serta Kandungan Glikokonjugat dalam Folikel dan Hati serta Pertambahan Bobot Mutlak.
Kan- Kan- Kan-
Dia-
Perla- dungan dungan dungan Total
GSI HSI meter PBM
kuan lemak protein glikogen Skor
Folikel
folikel folikel hati
P0F1 1 1 1 1 1 1 1 7
P0F2 1 1 1 1 1 1 1 7
P0F3 1 1 1 1 1 1 1 7
P1F1 5 5 8 6 4 4 5 37
P1F2 3 3 6 3 3 3 2 23
P1F3 1 2 3 2 2 2 3 15
P2F1 5 7 9 7 4 4 8 44
P2F2 4 4 7 5 4 4 3 31
P2F3 2 4 3 4 3 3 4 23
Keterangan:
GSI: Gonado Somatic Index, HSI: Hepato Somatic Index, PBM:
Pertambahan Bobot Mutlak.
Keterangan penentuan skor berdasarkan nilai atau intensitas warna yang diperoleh melalui Skor GSI yaitu 1: 1.00-1.49, 2: 1.50-1.99, 3: 2.00-2.49, 4: 2.50-2.99, 5: 3.00-3.49. Skor
HSI, yaitu 1: 1.00-1.19, 2: 1.20-1.39, 3: 1.401.59, 4: 1.60-1.79, 5: 1.80-1.99, 6: 2.00-2.19, 7: 2.20-2.39. Skor diameter folikel, yaitu 1: 85.00-89.99, 2: 90.00-94.99, 3: 95.00-99.99, 4:
100.00-104.99, 5: 105.00-109.99, 6: 110.00114.99, 7: 115.00-119.99, 8: 120.00-124.99, 9: 125.00-129.99.
Skor Pertambahan Bobot Mutlak (PBM) adalah 1: 20.00-49.99, 2: 50.00-79.99, 3: 80.00109.99, 4: 110.00-139.99, 5: 140.00-169.99, 6:
170.00-199.99, 7: 200.00-229.99 dan 8: 230.00259.99. Skor kandungan lemak dalam folikel adalah 1: warna hitam sangat tipis dan sedikit, 2: warna hitam tipis tetapi lebih banyak dari (1), 3: warna hitam lebih tebal dari (2) tetapi tidak merata, 4: warna hitam lebih tebal dari (3) dan agak merata, 5: warna hitam agak tebal tetapi tidak merata, 6: warna hitam tebal dari (5), lebih merata dan 7: warna hitam sangat tebal dan merata. Skor kandungan glikokonjugat adalah 1: warna merah ungu sangat tipis, 2: warna merah tipis tetapi lebih tebal dari (1), 3: warna merah tipis tetapi lebih tebal dari (2), dan 4: warna merah tebal dan merata.
KESIMPULAN DAN SARAN
Folikel yang nampak di semua kelompok perlakuan rata-rata masih berada pada tahap previtellogenik (kelompok P0F, P1F2, P2F3, P1F3) dan tahap awal vitelogenik (P2F1, P1F1, P2F2). Total skor nilai GSI, HSI, diameter folikel, kadar lemak dalam folikel, kadar glikokonjugat dalam folikel dan hati, yang terbesar adalah kelompok perlakuan P2F1 (dosis ½ yang diberikan setiap minggu selama 10 minggu).
Untuk penelitian selanjutnya, pada induksi pematangan gonad betina disarankan menggunakan ikan sidat dengan ukuran bobot tubuh di atas 1000 g pada fase silver eel yang sedang bermigrasi ke laut.
PUSTAKA
Aida K, Katsumi T, Kohei Y (eds.). 2003. Eel Biology. Springer. Tokyo. 497p.
Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor. 163p.
Hoar WS, Nagahama. 1978. The celluler sources of sex steroids in teleost gonads. Ann. Biol. Anim Bioch Biophys 18 (4): 893 – 898.
Kagawa H, Hideki T, Hiromi O, Koichi O, Keiji H. 1995. In vitro effects of 17α –hydroxyprogesterone and
17α, 20β –dihydroxy-4-pregnen-3-one on final maturation of oocytes at various developemental stages in artificially matured Japanese eel Anguilla japonica. Fisheries Science, 61 (6): 1012 – 1013.
Kagawa H, Hideki T, Hiromi O, Koichi O, Iinuma N.
1997. Induced ovulation by injection of 17, 20β – dihydroxy-4-pregnen-3-one in artificially matured
Studi mengenai induksi pematangan gonad ikan sidat telah banyak dilakukan, antara la-
69
in Ohta et al. (1997), dan Kagawa et al. (1997). Karena siklus hidup ikan ini cukup rumit maka reproduksinya belum diketahui dengan jelas. Ikan sidat yang matang seksual hampir tidak pernah ditemukan di perairan daratan. Demikian pula pada kondisi budidaya, sulit bagi ikan sidat untuk mencapai matang gonad dan mengalami ovulasi.
Ikan sidat yang dipelihara dalam wadah budidaya secara seksual bersifat immature, dan memiliki GSI berkisar antara 1 – 2%. Sedangkan di alam, silver eel betina yang bermigrasi menuju ke laut ternyata juga mempunyai GSI antara 1 – 2% (Yamamoto et al. 1974) dengan ovarium yang mengandung oosit pada tahap yolk globule primer dan tahap oil droplet. Di New Zealand, Anguilla dieffenbachii mengandung ovarium dengan oosit yang sudah mencapai tahap midvitelogenik dan GSI nya sekitar 7% (Lokman dan Young 1998). Namun baik untuk ikan sidat betina dalam wadah budidaya ataupun yang diperoleh dari alam yang GSInya sudah cukup tinggi dan tahap perkembangan gonadnya telah berkembang dengan baik, ternyata tidak dapat mengalami matang gonad dan ovulasi di bawah lingkungan budidaya (Yamamoto et al. 1974). Untuk itu ikan sidat memerlukan perlakuan induksi hormonal secara eksogen untuk mematangkan gonadnya dan menginduksi ovulasinya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan pada beberapa spesies Anguilla, menunjukkan bahwa pematangan gonad dan ovulasi ikan sidat juga dapat diinduksi secara hormonal seperti yang telah banyak dilakukan pada ikan-ikan ekonomis lainnya. Awal penelitian induksi maturasi dan ovulasi dilakukan di Negara Eropa pada tahun 1930an. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Ohta et al. (1997) dan Kagawa et al. (1997) telah berhasil menginduksi ovulasi A. japonica dengan penyuntikan 17α, 20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one (DHP) yang dikombinasikan dengan ekstrak hipofisis salmon. Hingga saat ini metode yang digunakan untuk menginduksi pematangan oosit dan ovulasi pada sidat betina mengacu pada penelitian Ohta (1997) yaitu dengan menggunakan ekstrak hipofisis salmon dan DHP.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh ekstrak hipofisis ikan mas (besar dosis dan frekuensi penyuntikan) terhadap perkembangan gonad ikan sidat (Anguilla bicolor bicolor) betina.
METODA PENELITIAN
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2006 hingga Januari 2007. Contoh ikan sidat Anguilla bicolor bicolor dengan berat lebih dari 600 gram diperoleh dari perairan Segara Anakan, Cilacap-Jawa Tengah. Pemeliharaan ikan sidat dan pengamatan laboratorium dilakukan di laboratorium Fisiologi Hewan Air Jurusan MSP - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB – Darmaga, Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 x 3, 4 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa dosis ekstrak hipofisis ikan mas jantan matang gonad (0, ¼ dan ½) dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis (tiap 1, 2, dan 3 minggu). Parameter yang diamati meliputi: Pertambahan bobot mutlak, perkembangan gonad, diameter folikel, Gonado Somatic Index (GSI), Hepato Somatic Index (HSI) dan perkembangan hati.
GSI dihitung dengan menggunakan rumus GSI (%) = 100 x Bobot gonad/Bobot tubuh (g), dan HSI dihitung dengan rumus HSI (%) = 100 x Bobot hati/Bobot tubuh (g) (Effendi 2002). Perbedaan antar rataan perlakuan diuji dengan uji Tukey.
Pemeliharaan
Wadah yang digunakan untuk percobaan dan aklimatisasi berupa bak berjumlah 9 buah ukuran 2 x 2 x 1 m3, diisi dengan air tawar setinggi 60 cm (volume 2400 liter), dan dilengkapi dengan potongan-potongan pralon, aerasi, tempat pakan dan plastik hitam untuk penutup bak. Sebelum dimasukkan ke dalam bak percobaan, ikan diaklimatisasi selama kurang lebih satu bulan kemudian ikan ditimbang, dan dibagi-bagi ke dalam 9 bak percobaan masing-masing 4 ekor per bak. Pakan standar diberikan sebanyak 3% per berat badan dua kali sehari, pukul 10.00 dan 16.00 WIB, dengan komposisi pakan seperti pada Tabel 1.
Penyuntikan Ekstrak Hipofisis
Perlakuan dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok hormon. Kelompok kontrol
( P 0F1, P0F2, P0F3), disuntik hanya dengan 0,9% NaCl. Sedangkan pada kelompok perlakuan dengan hormonal, ekstrak hipofisis disuntikkan secara intramuscular dengan ¼ dosis setiap 1, 2 dan 3 minggu (P1F1, P1F2, P1F3) dan ½ dosis juga setiap 1, 2 dan 3 minggu (P 2F1, P2F2, P2F3). Ekstrak hipofisis diperoleh dari hipofisa ikan mas jantan yang matang gonad, lalu digerus. Setiap dua hari setelah penyuntikan, seluruh ikan diukur bobot tubuhnya. Penyuntikan dihentikan setelah suntikan ke-10 untuk penyuntikan per 1 minggu (P0F1, P1F1, P2F1), suntikan ke-5 (P0F2, P1F2, P2F2) untuk penyuntikan per 2 minggu, dan suntikan ke-4 untuk penyuntikan per 3 minggu (P0F3, P1F3, P2F3). Dua minggu setelah minggu terakhir penyuntikan ekstrak hipofisis, ikan diukur bobot tubuhnya, kemudian dibedah untuk mengamati gonad dan hati secara makroskopis dan mikroskopis. Analisa histologis gonad dilakukan dengan tiga macam pewarnaan; Hematoksilin-eosin (HE) untuk pengamatan topografi, Sudan black untuk mendeteksi lemak dan Periodic Acid Schiff (PAS) untuk mendeteksi karbohidrat netral, sedangkan untuk hati dilakukan dua pewarnaan, HE dan PAS.
Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Standar Selama Masa Aklimatisasi.
Bahan Pakan Komposisi (%)
Tepung ikan 52.8
Tepung rebon 19.2
Tepung terigu 6.0
Mineral mix 2.0
Minyak ikan 8.0
Minyak jagung 8.0
Vitamin mix 2,0
CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) 2,0
J u m l a h 100
Kadar Protein 45
Energi 360 kkal/100 gram
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Ikan Sidat selama Penyuntikan Ekstrak Hipofisis
Selama ikan sidat dipelihara dalam air tawar dan selama perlakuan induksi maturasi, nafsu makannya baik sehingga pertumbuhannya juga baik. Pertumbuhan selama aklimatisasi dan selama induksi maturasi gonad dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata dosis dan frekuensi penyuntikan serta interaksi kedua perlakuan tersebut terhadap pertambahan bobot mutlak rata-rata (PBM). Nilai PBM meningkat sesuai dengan kenaikan dosis hormon, walaupun tidak berbeda nyata melalui uji Tukey, kecuali kelompok P1F1 dan P2F1.
Beberapa macam hormon dihasilkan dari lobus anterior, antara lain hormon pertumbuhan (Growth Hormone), Prolaktin, Tirotropin, ACTH, Lipotropin, dan FSH, LH atau GTH-I dan II pada ikan. Hormon pertumbuhan yang terkandung dalam hipofisis itulah yang merangsang pertumbuhan ikan sidat sehingga menyebabkan PBM nya meningkat sesuai kenaikan dosis.
Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis
Gonad Ikan Sidat pada Akhir Penyuntikan
Ekstrak Hipofisis
Gambaran makroskopis gonad untuk masing-masing perlakuan, dapat dilihat pada Gambar 2. Pada kelompok perlakuan P2F1, P1F1 dan P2F2, gonad berbentuk pita berwarna putih dan tebal yang memiliki lamella dengan lebar lamella 2.0 – 2.5 cm, pada kelompok perlakuan P1F2 dan P2F3 gonad juga berbentuk pita berwarna putih berlamella dengan lebar lamella lebih kecil yaitu 1.0 – 1.5 cm. Pada perlakuan P1F3 gonad berbentuk pita berwarna kuning muda dengan lebar lamella kurang lebih 1.0 cm. Pada kelompok perlakuan yang tidak disuntik dengan hormon atau kelompok kontrol, gonadnya terlihat berwarna kuning muda agak bening dan tipis dengan lebar kurang dari 1.0 cm.
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Gambar 1. Pertambahan Bobot Tubuh RataRata Ikan Sidat selama Proses Aklimatisasi dan Induksi dengan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas.
Gambar 2. Gambaran Makroskopis Gonad Ikan Sidat pada Akhir Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas. (P0 = Dosis Kontrol, P1 = ¼ Dosis, P2 = ½ Dosis, F1, F2, F3 masing-masing Frekuensi Pemberian Setiap 1, 2 dan 3 Minggu).
Nilai GSI ikan sidat betina hasil induksi maturasi dengan ekstrak hipofisis ikan mas secara keseluruhan berkisar antara 1.07 sampai dengan 3.37 (Gambar 3).
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis ekstrak hipofisis dan frekuensi penyuntikan, masing-masing memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai GSI (p ≤ 0.01), demikian pula kombinasi antara kedua perlakuan juga memberikan pengaruh yang sangat nyata (p ≤ 0.01). Ekstrak hipofisis ikan mas tampak dapat meningkatkan GSI ikan sidat. Nilai GSI maksimum diperoleh pada perlakuan ekstrak hipofisis ½ dosis yang disuntikkan setiap minggu (P2F1), yaitu sebesar 3.37, selanjutnya secara berturut-turut diikuti oleh perlakuan P1F1 (3.29), P2F2 (2.86), P1F2 (2.41), P2F3 (1.91), dan P1F3 (1.20), sedangkan rata-rata GSI kontrol (P0F) adalah 1.08. Dari uji Tukey menunjukkan bahwa nilai rata-rata GSI setiap kelompok saling berbeda sangat nyata (p ≤ 0.01), kecuali pada kelompok P2F1 tidak berbeda nyata dengan kelompok P1F1 (p ≤ 0.01).
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Gambar 3. Diagram GSI (%) Rata-Rata Ikan Sidat Betina Hasil Induksi Maturasi Dengan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas.
Pada proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad akan semakin bertambah beratnya diimbangi dengan bertambah besar ukurannya (Effendie 2002).
Gambaran Histologis Gonad Ikan Sidat pada Akhir Penyuntikan Hormon Hipofisa Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Hasil analisa histologis dengan pewarnaan HE dapat memperlihatkan struktur folikel beserta diameternya. Tipe folikel yang tampak di semua kelompok rata-rata adalah tahap previtellogenesis (tahap perinukleolus sampai oil droplet) pada kelompok kelompok P2F3, P1F2,, P1F3, P0F hingga awal vitelogenik pada tahap pembentukan granula yolk globule (kelompok P2F1, P1F1, P2F2) (Gambar 4). Selama perkembangan gonad, oosit dikelilingi lapisan sel-sel yang membentuk dua lapisan yaitu lapisan granulosa di sebelah dalam yang menempel pada oosit dan lapisan teka di sebelah luarnya (Hoar dan Nagahama 1978). Sel granulosa pada pinggiran oosit berperan penting dalam penyerapan material lipoprotein (berasal dari hati) oleh oosit. Pematangan oosit dicirikan pergerakan awal inti atau vesikula germinal ke bagian tepi dekat mikropil yang diakhiri tahap pembelahan meiosis pertama (Takashima dan Hibiya 1997).
Struktur folikel dalam tahap perkembangan pada umumnya sama pada banyak jenis ikan. Pada tahap previtellogenik, oosit terdapat di tengah dan dikelilingi oleh sel-sel folikel. Lapisan sel folikel terdiri dari sublayer dalam berupa lapisan sel-sel granulosa serta selapis atau dua lapisan teka yang merupakan sublayer luar. Lapisan teka dan granulosa dipisahkan oleh membran basal, antara oosit dan lapisan sel granulosa terdapat zona radiata. Pada tahap ini mulai terjadi penumpukan oil droplet.
Gambar 4. Tipe Folikel Ikan Sidat Setelah Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas (GV: Germinal Vesicle, Pewarnaan HE, Perbesaran 200x, P 0 = Dosis Kontrol, P 1 = ¼ Dosis, P2 = ½ Dosis, F1, F2, F3 masing-masing Frekuensi Pemberian Setiap 1, 2 dan 3 Minggu).
Pada tahap cortical alveoli di awal proses vitellogenesis, vesikula yolk mulai nampak pada folikel dengan diameter ± 200 μm. Tahapan tersebut dinamakan primary yolk globule. Selanjutnya terjadi akumulasi yolk globule dan membran basal bagian dalam lebih tebal serta diameter folikel membesar sekitar 250 – 900 μm (Aida et al. 2003). Tahapan ini dikenal dengan secondary yolk globule.
Dalam penelitian ini, dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis berpengaruh nyata terhadap diameter folikel. Hasil anova menunjukkan bahwa baik dosis maupun frekuensi penyuntikan serta interaksi kedua perlakuan, memberikan pengaruh yang nyata (p ≤ 0.01) pada diameter folikel. Pengaruh dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis terhadap nilai GSI berkorelasi dengan pengaruh dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis terhadap nilai diameter folikel beroosit. Seperti pada pengaruh pemberian ekstrak hipofisis terhadap nilai GSI, dosis ½ yang disuntikkan setiap minggu (P2F1) menghasilkan nilai diameter folikel terbesar pula yaitu 229.06 ± 0.6 µm (Gambar 5). Selanjutnya, ukuran diameter folikel rata-rata dari yang besar secara berturut-turut setelah P2F1 adalah kelompok P1F1 (223.15 ±
0.8 µm), P2F2 (216.05 ± 0.4 µm), P1F2 (182.22 ± 0.3 µm), P2F3 (109.24 ± 0.2 µm), dan P1F3 (99.24 ± 0.2 µm). . Uji lanjut Tukey menunjukkan perbedaan nyata antar kelompok perlakuan kecuali P1F1 dengan P2F1 dan P1F3 dengan P2F3.
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Gambar 5. Diagram Diameter Folikel Ikan Sidat Betina Hasil Induksi Maturasi dengan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas.
Dalam penelitian ini ukuran diameter oosit pada kelompok P2F1 merupakan nilai yang paling besar yaitu 229.06 ± 0.6 µm, namun nilai itu masih jauh dari ukuran diameter folikel A. japonica sebagaimana dilaporkan oleh Kagawa et al. (1995) dan Yamamoto et al. (1974). Pada penelitian tersebut, induksi pematangan gonad dilakukan dengan ekstrak hipofisis salmon sebesar 35 mg/kg bobot tubuh sebanyak 8 hingga 15 kali penyuntikan secara intramuscular, ketika oosit mencapai tahap primary globule yolk atau cortical alveoli di awal tahap vitellogenik. Induksi pada A. japonica tersebut menghasilkan oosit yang mencapai tahap vitelogenesis sempurna dengan diameter folikel oosit sebesar 750 - 800 µm.
Dalam penelitian ini ukuran atau tahap perkembangan gonad ternyata tidak mencapai maksimal setelah induksi, mungkin disebabkan oleh tingkat perkembangan gonad ikan yang digunakan ketika dimulai induksi baru mencapai tahap previtellogenesis, walaupun bobot tubuh ikan telah mencapai lebih dari 700 gram seperti yang digunakan pada referensi hasil penelitian Kagawa et al. (1995). Untuk itu perlu dilakukan lagi penelitian selanjutnya dengan menggunakan ikan sidat betina yang ditangkap bukan di daerah estuaria tetapi yang sudah bermigrasi ke laut.
Pewarnaan Sudan Black
Pewarnaan Sudan Black adalah pewarnaan untuk mendeteksi adanya lemak. Dengan pewarnaan ini, lemak akan terwarnai hitam, sedangkan inti terwarnai merah. Kadar lemak dalam folikel dapat dibedakan berdasarkan tingkat kehitaman atau intensitas warna folikel.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kelompok P2F1 mempuyai tingkatan warna hitam tertinggi, yang berarti bahwa kadar lemak dalam folikel untuk kelompok ini yang terbanyak (Gambar 6). Urutan tingkatan kandungan kadar lemak selanjutnya adalah kelompok P1F1, P2F2, P2F3, P1F2, P1F3, dan yang terakhir adalah kelompok kontrol (P0F).
Gambar 6. Struktur Histologis Folikel Ikan Sidat Masing-Masing Perlakuan Setelah Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas (Pewarnaan Sudan Black, Perbesaran 400x, P0 = Dosis Kontrol, P1 = ¼ Dosis, P2 = ½ Dosis, F1, F2, F3 masing-masing Penyuntikan Setiap 1, 2 dan 3 Minggu).
Seperti telah disebutkan di atas, tipe folikel yang tampak sebagai hasil induksi pematangan gonad dengan ekstrak hipofisis adalah tahap previtellogenesis (kelompok P2F3, P1F2,, P1F3, P0F) yang ditandai dengan adanya penumpukan oil droplet, sehingga positif dengan pewarnaan Sudan Black. Tipe folikel lainnya yang nampak sebagai hasil induksi pematangan dengan ekstrak hipofisis adalah tahap awal vitellogenik (kelompok P2F1, P1F1, P2F2). Menurut Mommsen dan Walsh (1988), vitellogenin yang dihasilkan di hati setelah masuk ke dalam oosit akan dipecah menjadi beberapa jenis lipid sebagai komponen yolk seperti lipovitellin, phosvitin dan phosvette. Selain oil droplet, jenis-jenis lipid tersebut antara lain yang terdeteksi positif oleh Sudan Black.
Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Metoda pewarnaan PAS mendeteksi senyawa karbohidrat yang termasuk dalam kelompok karbohidrat netral. Yang termasuk dalam kelompok karbohidrat netral antara lain adalah amilase, glikogen, lipofuksin, glikoprotein dan glikolipid.
Pada penelitian ini, pewarnaan PAS menunjukkan hasil yang positif pada gonad hasil semua perlakuan. Warna merah terlihat di seluruh bagian folikel terutama pada membran basal. Membran basal folikel pada perlakuan terutama P1F1, P2F1 dan P2F2 mengandung warna yang lebih tua dan lebih tebal. Takashima dan Hibiya (1995) melaporkan bahwa dinding folikel bertambah kompleksitasnya selama vitellogenesis. Pada tahap vitellogenesis, jumlah lapisan dinding menjadi lebih tebal dan terdiri dari sedikitnya tiga lapis.
Sedangkan pada sitoplasma, vakuola di tepi oosit cenderung kosong dan berwarna pucat, namun pada kelompok perlakuan P1F1, P2F1 dan P2F2 terdapat beberapa granul di bagian perifer yang jelas terwarnai merah terang (Gambar 7). Menurut Mommsen dan Walsh (1988), pada tahap vitellogenik terjadi sintesis protein prekursor yolk atau vitellogenin di hati yang kemudian dibawa ke oosit dan direkonstruksi menjadi protein yolk globule. Pada penelitian ini, granul-granul dekat membran basal yang terwarnai dengan kuat dengan pewarnaan PAS adalah yolk globule.
Struktur histologis folikel yang nampak pada penelitian ini sesuai dengan hasil yang diperlihatkan Adachi et al. in Aida et al. (2003) untuk A. japonica. Dengan pewarnaan PAS, vesikula yolk globule mulai tampak pada tahap awal vitellogenik, dan terdapat di bagian perifer dekat membran basal. Pada kondisi ini, diameter folikel A. japonica dilaporkan berukuran 250 – 300 µm, sedangkan pada penelitian ini diameter folikel A. bicolor bicolor berukuran antara 215.65 sampai dengan 229.66 µm.
Hipofisis
Pada gambaran makroskopis hati, bentuk dan warna hati untuk masing-masing kelompok perlakuan tidak terlihat berbeda kecuali pada ukuran dan beratnya.
Hasil analisis sidik ragam/anova menunjukkan pengaruh yang sangat nyata untuk dosis dan frekuensi penyuntikan ekstrak hipofisis serta kombinasi kedua perlakuan terhadap nilai HSI (Gambar 8). Pemberian dosis ½ memberikan nilai HSI yang lebih besar dibandingkan dengan penyuntikan dosis ¼. Hasil yang tertinggi diperlihatkan oleh kelompok P2F1 sebesar 2.27. Dengan uji Tukey, nilai tersebut berbeda sangat nyata dibandingkan dengan nilai kelompok lainnya. Urutan selanjutnya adalah kelompok P1F1 (1.80), P2F2 (1.74), P2F3 (1.63) dan P1F2 (1.58). Kenaikan nilai HSI terlihat berbanding lurus dengan kenaikan nilai GSI.
Gonado Somatic Index (GSI) erat kaitannya dengan vitellogenesis yang terjadi di hati. Proses terbentuknya vitelogenin dimulai dari adanya isyarat-isyarat lingkungan yang semuanya merangsang hipotalamus untuk mensekresikan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). GnRH yang disekresikan ke dalam darah akan merangsang hipofisis untuk mensekresikan hormon-hormon gonadotropin/GtH (Mommsen dan Walsh 1988). Dalam penelitian ini hormon-hormon hipofisis ditambahkan melalui penyuntikan. Jenis hormon GtH yang disekresikan terdiri atas dua macam yaitu GtH I yang berperan dalam meningkatkan estradiol-17β yang berfungsi merangsang sintesis dan sekresi vitelogenin, sedangkan GtH II berperan dalam merangsang produksi hormon steroid yang berfungsi dalam proses pematangan akhir (Nagahama 1987). Hormon gonadotropin (GtH I) akan memberikan respon terhadap ovarium untuk meningkatkan produksi estrogen, kemudian ditranspor menuju jaringan sasaran yaitu hati melalui cara difusi, dan secara spesifik merangsang vitellogenesis. Pada saat proses berlangsung, yolk bertambah dalam jumlah dan ukurannya, sehingga volume oosit membesar serta berat oosit meningkat, sehingga akhirnya menyebabkan meningkatnya nilai GSI.
Frekuensi Penyuntikan (minggu)
Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Seperti telah disebutkan di atas, yang dapat dideteksi oleh reaksi PAS adalah kelompok karbohidrat netral, antara lain glikogen. Pada penelitian ini, kelompok yang memiliki intensitas warna tertinggi adalah kelompok P2F1 yang menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat netralnya tinggi. Dibandingkan kelompok kontrol yang intensitas warna merahnya sangat rendah (Gambar 9 kiri), kelompok P2F1 menunjukkan warna merah yang pekat (Gambar 9 kanan). Hal ini menunjukkan bahwa secara alami tanpa perlakuan hormon secara eksogen, ikan sidat A. bicolor bicolor dengan ukuran lebih dari 700 gram masih belum aktif menyimpan hasil metabolismenya dalam bentuk glikogen untuk keperluan persiapan perkembangan gonad sampai dengan maturasi.
Pada ikan, salah satu fungsi hati adalah membentuk vitellogenin yang merupakan fosfolipoglikoprotein (Takashima & Hibiya 1995). PAS positif dalam penelitian ini salah satu indikasi yang menunjukkan adanya keaktifan dalam hati dalam proses vitellogenesis dan keaktifan lainnya sehingga dihasilkan glikokonjugat yang merupakan karbohidrat netral.
Gambar 9. Struktur Histologis Hati Ikan Sidat Perlakuan Akibat Penyuntikan Ekstrak Hipofisis Ikan Mas (Pewarnaan PAS, Pembesaran 200x, P0F = Kontrol, P2F1 = Dosis ½ yang Diberikan Setiap 2 Minggu).
Rekapitulasi skor percobaan induksi maturasi gonad ikan sidat betina disajikan pada Tabel 2. Hasil rekapitulasi ini menyimpulkan bahwa hasil yang tertinggi akibat pengaruh penyuntikan ekstrak hipofisis terhadap GSI, HSI, diameter oosit, kandungan lemak dan kandungan glikonjugat kelompok perlakuan P2F1.
Tabel 2. Rekapitulasi Skor GSI, HSI, Diameter Folikel, Kandungan Lemak Dalam Folikel Serta Kandungan Glikokonjugat dalam Folikel dan Hati serta Pertambahan Bobot Mutlak.
Kan- Kan- Kan-
Dia-
Perla- dungan dungan dungan Total
GSI HSI meter PBM
kuan lemak protein glikogen Skor
Folikel
folikel folikel hati
P0F1 1 1 1 1 1 1 1 7
P0F2 1 1 1 1 1 1 1 7
P0F3 1 1 1 1 1 1 1 7
P1F1 5 5 8 6 4 4 5 37
P1F2 3 3 6 3 3 3 2 23
P1F3 1 2 3 2 2 2 3 15
P2F1 5 7 9 7 4 4 8 44
P2F2 4 4 7 5 4 4 3 31
P2F3 2 4 3 4 3 3 4 23
Keterangan:
GSI: Gonado Somatic Index, HSI: Hepato Somatic Index, PBM:
Pertambahan Bobot Mutlak.
Keterangan penentuan skor berdasarkan nilai atau intensitas warna yang diperoleh melalui Skor GSI yaitu 1: 1.00-1.49, 2: 1.50-1.99, 3: 2.00-2.49, 4: 2.50-2.99, 5: 3.00-3.49. Skor
HSI, yaitu 1: 1.00-1.19, 2: 1.20-1.39, 3: 1.401.59, 4: 1.60-1.79, 5: 1.80-1.99, 6: 2.00-2.19, 7: 2.20-2.39. Skor diameter folikel, yaitu 1: 85.00-89.99, 2: 90.00-94.99, 3: 95.00-99.99, 4:
100.00-104.99, 5: 105.00-109.99, 6: 110.00114.99, 7: 115.00-119.99, 8: 120.00-124.99, 9: 125.00-129.99.
Skor Pertambahan Bobot Mutlak (PBM) adalah 1: 20.00-49.99, 2: 50.00-79.99, 3: 80.00109.99, 4: 110.00-139.99, 5: 140.00-169.99, 6:
170.00-199.99, 7: 200.00-229.99 dan 8: 230.00259.99. Skor kandungan lemak dalam folikel adalah 1: warna hitam sangat tipis dan sedikit, 2: warna hitam tipis tetapi lebih banyak dari (1), 3: warna hitam lebih tebal dari (2) tetapi tidak merata, 4: warna hitam lebih tebal dari (3) dan agak merata, 5: warna hitam agak tebal tetapi tidak merata, 6: warna hitam tebal dari (5), lebih merata dan 7: warna hitam sangat tebal dan merata. Skor kandungan glikokonjugat adalah 1: warna merah ungu sangat tipis, 2: warna merah tipis tetapi lebih tebal dari (1), 3: warna merah tipis tetapi lebih tebal dari (2), dan 4: warna merah tebal dan merata.
KESIMPULAN DAN SARAN
Folikel yang nampak di semua kelompok perlakuan rata-rata masih berada pada tahap previtellogenik (kelompok P0F, P1F2, P2F3, P1F3) dan tahap awal vitelogenik (P2F1, P1F1, P2F2). Total skor nilai GSI, HSI, diameter folikel, kadar lemak dalam folikel, kadar glikokonjugat dalam folikel dan hati, yang terbesar adalah kelompok perlakuan P2F1 (dosis ½ yang diberikan setiap minggu selama 10 minggu).
Untuk penelitian selanjutnya, pada induksi pematangan gonad betina disarankan menggunakan ikan sidat dengan ukuran bobot tubuh di atas 1000 g pada fase silver eel yang sedang bermigrasi ke laut.
PUSTAKA
Aida K, Katsumi T, Kohei Y (eds.). 2003. Eel Biology. Springer. Tokyo. 497p.
Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor. 163p.
Hoar WS, Nagahama. 1978. The celluler sources of sex steroids in teleost gonads. Ann. Biol. Anim Bioch Biophys 18 (4): 893 – 898.
Kagawa H, Hideki T, Hiromi O, Koichi O, Keiji H. 1995. In vitro effects of 17α –hydroxyprogesterone and
17α, 20β –dihydroxy-4-pregnen-3-one on final maturation of oocytes at various developemental stages in artificially matured Japanese eel Anguilla japonica. Fisheries Science, 61 (6): 1012 – 1013.
Kagawa H, Hideki T, Hiromi O, Koichi O, Iinuma N.
1997. Induced ovulation by injection of 17, 20β – dihydroxy-4-pregnen-3-one in artificially matured
0 comments:
Post a Comment