1 Defenisi dan Morfologi Rumput laut
Ribuan tahun sebelum masehi (SM), bangsa Cina sudah memanfaatkan rumput laut sebagai makanan sehat dan obat-obatan. Kemudian pada 65 SM, bangsa Romawi mulai menggunakannya untuk bahan kosmetik.
Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati, tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya di karang, lumpur pasir, batu, dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik.(Davidson, 1980)
Secara taksonomi, rumput laut dikelompokkan ke dalam divisio Thallophyta. Berdasarkan kandungan pigmennya, rumput laut dikelompokkan menjadi empat kelas :
1. Rhodophyceae (ganggang merah)
2. Phaeophyceae (ganggang coklat)
3. Chlorophyceae (ganggang hijau)
4. Cyanophyceae (ganggang biru-hijau)
Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan sejak dulu sudah diperdagangkan yaitu : Eucheuma sp, Hypnea sp, Gracilaria sp, Gelidium sp, dari kelas Rhodophyaceae serta Sargassum sp dari kelas Phaeophyceae.
Eucheuma sp. dan Hypnea sp. menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut karaginan (carrageenan). Gracilaria sp. dan Gelidium sp. menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agar. Sementara Sargassum sp. yang menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut alginat. Rumput laut yang menghasilkan karaginan disebut pula Carraginophyte (karaginofit), penghasil agar disebut agarophyte (agarofit), dan penghasil alginat disebut alginophyte (alginofit).
2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Sargassum Sp.
Rumput laut jenis Sargassum sp ini umumnya memiliki bentuk thallus silindris atau gepeng. Cabangnya rimbun menyerupai pohon di darat. Bentuk daun melebar, lonjong atau seperti pedang. Mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter. Warna thallus umumnya coklat . Berikut ini adalah klasifikasi dari Sargassum sp.
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Phaeophycea
Bangsa : Fucales
Suku : Sargassaceae
Marga : Sargassum
Jenis : Sargassum sp.
Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh Sargassum sp. antara lain thallus pipih, licin, batang utama bulat agak kasar, dan holdfast (bagian yang digunakan untuk melekat) berbentuk cakram. Cabang pertama timbul pada bagian pangkal sekitar 1 cm dari holdfast. Percabangan berselangseling secara teratur. Bentuk daun oval dan memanjang berukuran (40x10) mm. Pinggir daun bergerigi jarang, berombak, dan ujung melengkung atau meruncing. Vesicle (gelembung seperti buah) berbentuk lonjong, ujung meruncing berukuran (7x1,5) mm, dan agak pipih. Rumput laut jenis ini mampu tumbuh pada substrat batu karang di daerah berombak. (Othmer, 1986)
2.2.1 Potensi pemanfaatan Sargassum Sp.
Rumput laut sargassum telah lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan obat. Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan karbohidrat (gula atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu, rumput laut juga mengandung vitamin-vitamin, seperti A,B1,B2,B6,B12, dan C; betakaroten; serta mineral, seprti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan yodium.
Hidrokoloid dari Rumput laut (Karaginan, Agar dan Alginat) sangat diperlukan mengingat fungsinya sebagai gelling agent, stabilizer, emulsifier agent, pensuspesi, pendispersi yang berguna dalam berbagai industri seperti industri makanan, minuman, farmasi dan kosmetik, maupun industri lainnya seperti cat tekstil, film, makanan ternak, keramik, kertas, fotografi dan lain- lain.
2.2.2. Alginat
Alginat merupakan fikokoloid atau hidrokoloid yang diekstraksi dari alga coklat (phaeophyceae). Senyawa tersebut merupakan suatu polimer linier yang disusun oleh dua unit monomerik, yaitu β-D-mannuronic acid dan α-L-guluronic acid. Adapun rumput laut komersil sebagai penghasil alginat yang berasal dari genus-genus Laminaria, Lessonia, Ascophyllum, Sargassum dan Turbinaria.
Alginat menjadi penting karena penggunaanya yang cukup luas untuk dalam industri antara lain sebagai bahan pengental, pensuspensi, penstabil, pembentuk flim, pembentuk gel, disintegrating agent, dan bahan pengemulsi. Sehubungan dengan fungsi tersebut maka alginat banyak dibutuhkan oleh berbagai industri, seperti farmasi (5%), tekstil (50%), makanan dan minuman (30%), kertas (6%), serta industri lainnya (9%). Alginat diekstrak dari rumput laut coklat (Phaeophyceae), misalnya Laminaria dan Sargassum. Asam alginat adalah suatu polisacharida yang terdiri dari D-mannuronic acid dan L-guluronic acid yang merupakan asamasam karbosiklik (R-COOH) dengan perbandingan mannuronic acid/guluronic acid antara 0,3– 2,35.
COOH O β-D-mannuronic acid α-L-guluronic acid Gambar 2.1 Struktur Alginat
Alginat berfungsi sebagai pemelihara bentuk jaringan pada makanan yang dibekukan, counteract penggetahan dan pengerasan dalam industri roti berlapis gula, pensuspensi dalam sirop, pengemulsi dalam salad dressing, serta penambah busa pada industri bir. Di bidang bioteknologi, alginat digunakan sebagai algin-immobilisasi sel dari yeast pada proses produksi 7
alkohol. Di bidang farmasi dan kosmetik, alginat dimanfaatkan dalam bentuk asam alginat atau garam sodium alginat dan kalsium alginat. (Anggadiredja.T.J. 1989) Mineral esensial yang dikandung rumput laut sangat banyak, antara lain besi dan kalsium. Kandungan kalsium rumput laut sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan susu, sehingga rumput laut sangat tepat dikonsumsi untuk mengurangi dan mencegah gejala osteoporosis.
Rumput laut mengandung berbagai vitamin yaitu vitamin A, B kompleks, C, D, dan K. Kandungan vitamin tersebut memberi nutrisi pada kulit sehingga kulit lebih lembab dan kencang. Vitamin C bisa membantu menangkal radikal bebas.
Kandungan protein dan serat rumput laut juga sangat tinggi. Serat pada rumput laut bisa membuat perut terasa lebih kenyang. Selain itu, rumput laut bisa meluruhkan lemak-lemak di perut, sehingga bahan ini banyak dimanfaatkan untuk produk pelangsing.
Manfaat luar biasa rumput laut lainnya adalah kemampuannya untuk membantu proses memperbarui jaringan kulit yang rusak sehingga banyak pula dipakai sebagai produk antikeloid. Selain manfaat diatas juga terdapat manfaat yang lain, yaitu :
• Anti kanker, Penelitian Harvard School of Public Health di Amerika mengungkap, wanita premenopause di Jepang berpeluang tiga kali lebih kecil terkena kanker payudara dibandingkan wanita Amerika. Hal ini disebabkan pola makan wanita Jepang yang selalu menambahkan rumput laut di dalam menu mereka.
• Antioksi dan Klorofil pada gangang laut hijau dapat berfungsi sebagai antioksidan. Zat ini membantu membersihkan tubuh dari reaksi radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh.
• Mencegah Kardiovaskular, Para Ilmuwan Jepang mengungkap, ekstrak rumput laut dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Bagi pengidap stroke, mengkonsumsi rumput laut juga sangat dianjurkan karena dapat menyerap kelebihan garam pada tubuh.
• Makanan Diet Kandungan serat (dietary fiber) pada rumput laut sangat tinggi. Serat ini bersifat mengenyangkan dan memperlancar proses metabolisme tubuh sehingga sangat baik dikonsumsi penderita obesitas. Karbohidratnya juga sukar dicerna sehingga Anda akan merasa kenyang lebih lama tanpa takut kegemukan.
• Secara tradisional, rumput laut dipercaya dapat mengobati batuk, asma, bronkhitis, TBC, cacingan, sakit perut, demam, influenza, dan artritis.
http://kosmo.vivanews.com/news/read/13244-rawat_kulit_dengan_rumput_laut
2.3 Kitosan
2.3.1 Kitin dan Kitosan
Kitin merupakan polisakarida rantai linier dengan rumus β(1-4)2- asetamida 2-deoksiDglucopyranosa (Muzzerelli,R.A.A.1997) dan kitin sebagai precursor kitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1811 oleh orang Perancis bernama Henri Braconnot sebagai hasil isolasi dari jamur. Sedangkan kitin dari kulit serangga ditemukan pada tahun 1820. (Rismana,2004)
Kitin murni mengandung gugus asetamida (NH-COCH3), dan kitosan murni mengandung gugus amino (NH2). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia senyawa tersebut.(Roberts,G.A.F,1992)
Kitosan merupakan senyawa turunan dari kitin yang memiliki struktur (1,4)-2-amino-2deoksi β-D-Glukosa. Sumber kitosan yang sangat potensial adalah kerangka crustaceae (Muzzerelli,R.A.A.1997).
Kitosan ditemukan oleh C.Rouget pada tahun 1895, dia menemukan bahwa kitin yang telah didihkan pada larutan KOH juga dapat diperlukan dengan NaOH panas maka akan terjadi pelepasan gugus asetil (proses deasetilasi) yang terikat pada atom nitrogen menjadi gugus amino bebas yang disebut dengan kitosan. (Vinvogrado,A.P,1971).
2.3.2 Kegunaan Kitin dan Kitosan
Dewasa ini aplikasi kitin da kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitin, dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat cair, pengikat dan penyerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tannin, PCB, (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan membran mulai terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara dibidang pertanian dan pangan kitin dan kitosan digunakan sebagai pencampur ransum pakan ternak, antimikrob, antijamur, serat bahan pangan, pestisida, herbisida, virusida, tanaman, dan deasedifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikrob dan anti jamur juga diterapkan dibidang kedokteran kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albican dan Staphvlacoccus aureus. Selain itu bipolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialis, bahan shampoo, dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortoprdik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, antiinfeksi.(Purwantiningsih,S.,1992)
Kitosan banyak digunakan oleh berbagai industri antara lain industri farmasi, kesehatan, biokimia, bioteknologi, pangan, pengolahan limbah, kosmetik, agroindustri, industri tekstil, industri kertas dan industri elektronika. Aplikasi khusus berdasarkan sifat yang dipunyai antara lain untuk pengolahan limbah cair terutama bahan bersifat resin penukar ion untuk meminimalisasi logam-logam berat, mengkoagulasi minyak/lemak, serta mengurangi kekeruhan, penstabilan minyak, rasa dan lemak dalam produksi industri pangan. (Rismana,2004)
2.3.3 Pengolahan Kitin dan Kitosan
Kitin yang terdapat padat kulit atau cangkang ini masih terikat dengan protein, CaCO3, pigmen, dan lemak. Berbagai teknik dilakukan untuk memisahkannya, tetapi pada umumnya ada tiga tahapan yaitu deproteinisasi dengan NaOH encer, demineralisasi dengan HCl encer dan deasitilasi dengan NaOH pekat
Beberapa penelitian menggunakan proses deproteinisasi dan demineralisasi yang berbeda, ada yang demineralisasi dulu kemudian deproteinisasi atau sebaliknya. Pilihan pengolahan tergantung dari tujuan penggunaan kitosan (Brine, 1984).
2.3.4 Deproteinisasi
Proses deproteinisasi ini dilakukan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada kulit atau cangkang kepiting. Proses deproteinisasi ini menggunakan berbagai pereaksi seperti Na2CO3, NaHCO3, KOH, Na2SO4, Na2S, Na3PO4 dan NaOH.
Tabel 2.1 Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi
Sumber Konsentrasi NaOH (N) Suhu
(oC) Lama Reaksi (Jam)
Udang 0,125
0,25
0,75
1,25 100 65
100
100 0,5
1
- 0,5
Kepiting 0,50 1,00
1,00
1,00
1,25
1,25 65
80
100
100
85 – 90
100 2 3
36
72
1,5 – 2,25
24
Lobster 2,50 1,00
1,25
2,50 Suhu kamar
100
80 – 85
100 72
60
1
2,5
(Roberts,G.A.F, 1992).
Penggunaan enzim untuk memisahkan protein juga dilakukan dalam beberapa penelitian, diantaranya dengan pepsin, setelah didemineralisasi sebelumnya dengan suatu zat. Perlakuan dengan enzim ini masih menyisakan protein sekitar 5 % yang memerlukan proses lanjutan (Roberts,G.A.F, 1992).
2.3.5 Demineralisasi
Proses demineralisasi bertujuan untuk memisahkan kitin dari CaCO3. Proses demineralisasi ini menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH dan HCOOH. Umumnya menggunakan HCl 50 % (Roberts,G.A.F, 1992).
Tabel 2.2 Kondisi Perlakuan dengan HCl pada Proses Demineralisasi
Sumber Konsentrasi HCl (N) Suhu (oC) Lama Reaksi (Jam)
Udang 0,275
0,5
1,25
1,57 Suhu Kamar Suhu Kamar
Suhu Kamar
20 – 22 16
-
1
1 – 3
Kepiting 0,65
1,0
1,0
1,57 2,0
11,0 Suhu Kamar Suhu Kamar
Suhu Kamar
Suhu Kamar
Suhu Kamar -20 24
12
- 5
48
4
Lobster 1,57
2,0
2,0 Suhu Kamar Suhu Kamar
Suhu Kamar 11 – 14
5
48
(Roberts,G.A.F, 1992).
2.3.6 Deasetilasi
Kitin yang diperoleh dari proses deproteinisasi dan demineralisasi tidak dapat larut dalam sebahagian besar pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya, maka kitin dideasetilasi dengan pelarut alkali menjadi kitosan. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya penyerapan kitin akan meningkat dengan bertambahnya gugus amino (NH3) yang terdapat di dalamnya (Muzzarelli, 1997).
Proses deasetilasi kimiawi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil kitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Hwang dan Shin (2000) menggunakan larutan NaOH 40 % dalam proses deasetilasi kitin, pada suhu 70 oC selama 6 jam yang menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi 92 %. Derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin dan berat jenis (Hwang dan Shin ,2000)
Makin tinggi konsentrasi alkali yang digunakan makin rendah suhu atau makin singkat waktu yang diperlukan dalam proses ini.
2.3.7 Klasifikasi Isoterm Adsorpsi
Terdapat 5 persamaan isoterm yang dapat digunakan untuk mengambil proses adsorpsi, yaitu isoterm adsorpsi Langmuir, Freundlich, Temkin, Brunauer-Emmett-Teller (BET) dan dubirin. Akan tetapi, hanya 2 persamaan pertama yang sering digunakan
a. Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir merupakan isoterm adsorpsi yang pertama dikembangkan secara teoritis sekaligus menjadi dasar bagi banyak persamaan isoterm baru. Isoterm Langmuir ini mengasumsikan bahwa adsorbat hanya membentuk lapisan tunggal diatas permukaan adsorben yang homogen. Isoterm Langmuir juga dapat digunakan untuk mengamati adsorpsi serempak 2 gas pada permukaan adsorben yang sama. Pada kasus ini, kemungkinan terjadinya reaksi antara kedua gas tersebut harus diperhatikan. Markham dan Benton adalah dua peneliti pelopor yang pertama kali mengembangkan isoterm Langmuir untuk campuran gas biner dengan tetap menjaga semua asumsi teori asli, yaitu permukaan adsorben diasumsikan homogen.
Beberapa hasil kemisorpsi menunjukkan bahwa kesahihan persamaan Langmuir hanya terjadi pada kisaran yang pendek dan terbatas. Selain itu, perhitungan kalor adsorpsi pada teori Langmuir tidak mempertimbangkan permukaan yang telah menjerap adsorbat, sedangkan pada kenyataanya kalor adsorpsi akan turun seiring dengan berkurangnya jumlah daerah luasan permukaan yang belum menjerap adsorbat.
b. Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich adalah bentuk terbatas dari isoterm Langmuir dan hanya bisa diterapkan pada tekanan uap sedang. Isoterm Freundlich biasanya berlaku untuk adsorpsi cairan pada permukaan padatan. Isoterm ini biasanya paling umum digunakan, karena dapat mencirikan kebanyakan proses adsorpsi dengan baik (Pope, 2004). Isoterm Freundlich menganggap bahwa pada sisi permukaan adsorben terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan. Namun, Isoterm Freundlich tidak memperkirakan keberadaan sisi-sisi permukaan yang dapat mengganggu terjadinya adsorpsi saat kesetimbangan tercapai. Di sisi lain, hanya ada beberapa sisi aktif saja yang mampu mengadsorpsi molekul terlarut (Pope, 2004).
2.3.8 Interaksi Kitosan Dengan Ion Logam
Muzzarelli (1977) menyatakan bahwa kitosan mengikat logam melalui pertukaran ion, penyerapan dan pengkhelatan. Ketiga proses tersebut bergantung pada ion logam masing – masing.
2.3.9 Sifat-sifa Kitosan
Kitosan adalah padatan amorf putih yang tidak larut dalam alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu. Keterlarutan kitosan yang paling baik ialah dalam larutan asam asetat 1%, asam format 10% dan asam sitrat 10%. Kitosan tidak dapat larut dalam asam piruvat, asam laktat, dan asam-asam anorganik pada pH tertenu, walaupun setelah dipanaskan dan diaduk dengan waktu yang agak lama. Keterlarutan kitosan dalam larutan asam format ataupun asam asetat dapat membedakan kitosan dan kitin karena kitin tidak dapat melatut dalam keadaan pelarut asam tersebut.
Kitosan memiliki sifat unik yang dapat digunakan dalam berbagai cara serta memiliki kegunaan yang beragam, antara lain sebagai perekat, aditif untuk kertas dan tekstil, penjernihan yang beragam, antara lain sebagai perekat, penjernihan air minum, serta untuk mempercepat penyembuhan luka, dan memperbaiki sifat pengikatan warna. Kitosan merupakan penkelat yang kuat untuk ion logam transisi. Kitosan mempunyai kemampuan untuk mengadsorbsi logam dan membentuk kompleks kitosan dengan logam. (Robert,G.A.F,1992)
Kitosan dibedakan dari kitin oleh kelarutannya dalam larutan asam encer. Kitosan bermuatan positif karena kelompok amina pada pH asam, yang besarannya tergantung pada tingkat deasetilasi, dan dengan demikian kitosan diklasifikasikan sebagai polielektronik kationik, sedangkan polisakarida yang lain memberikan muatan netral ataupun anionik.(Hwang dan Shin,2001)
2.3.10 Sifat Fisik-Kimia pada Kitin
Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373 ± 0,03 kal/g/oC (Knorr,1984).
Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa, tetapi larut dalam asam formiat, asam metanasulfonat, N,N-dimetilasemida yang mengandung 5% litium klorida, heksafluoroisopropil alkahol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-diklorotana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 (%[V/V]).(Hirano,1986). Asam mineral pekat seperti H2SO4, HNO3 dan H3PO4 dapat melarutkan kitin sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil. (Bastaman,1989)
2.4 Pendayagunaan Limbah Udang
Limbah udang yang mencapai 30-40% dari produksi udang beku belum banyak dimanfaatkan. Menurut Moelyanto (1979), limbah udang selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan, dapat juga dipergunakan untuk keperluan industri. Pembuatan kitosan dari kulit udang dapat dipakai sebagai bahan kimia untuk industri dan kertas. Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri udang beku baru sebagian kecil yang dimanfaatkan, yaitu dibuat tepung
kepala yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan ternak (Mudjiman, 1982)
Kulit udang mengandung unsur yang bermanfaat yaitu protein kalsium dan kitin yang mempunyai kegunaan dan prospek yang baik dalam industri. Protein dan kalsium dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan pakan ternak sedangkan kitin dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan, zat pengemulsi, bahan tambahan untuk antibiotik dan kosmetik (Knorr, 1984)
2.5 Pencemaran Logam
Penggunaan logam sebagai bahan baku berbagai jenis industri untuk memenuhi kebutuhan manusia akan mempengaruhi kesehatan manusia melalui 2 jalur, yaitu :
1. Kegiatan industri akan menambah polutan logam dalam lingkungan udara, air, tanah, dan makanan
2. Perubahan biokimia logam sebagai bahan baku berbagai jenis industri biasa mempengaruhi kesehatan manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terpisahkan dari benda-benda yang berasal dari logam. Logam yang digunakan untuk membuat alat perlengkapan rumah tangga, seperti sendok, garpu, pisau, dan berbagai jenis peralatan rumah tangga lainnya. Pesatnya pembangunan dan penggunaan berbagai bahan baku logam biasanya berdampak negatif yaitu munculnya kasus pencemaran yang melebihi batas sehingga mengakibatkan kerugian dan meresahkan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah perindustrian maupun masyarakat pengguna produk industri tersebut. Hal itu terjadi karena sangat besarnya resiko terpapar logam berat maupun logam transisi yang bersifat toksik dalam dosis atau konsentrasi tertentu.
Tingkat toksisitas logam berat terhadap hewan air, mulai dari yang paling toksik, adalah Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni, dan Co. Sementara itu, tingkat toksisitas terhadap manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, As, Cr, Sn, Zn. Polutan logam mencemari lingkungan, baik dilingkungan udara, air, dan tanah yang berasal dari proses alami dan kegiatan industri. Proses alami antara lain siklus alamiah sehingga bebatuan gunung berapi biasa memberikan kontribusi ke lingkungan udara, air, dan tanah. Kegiatan manusia yang biasa menambah polutan bagi lingkungan berupa kegiatan industri. Pencemaran logam, baik industri, kegiatan domestik, maupun sumber alami dari batuan akhirnya sampai ke sungai atau laut dan selanjutnya mencemari manusia melalui ikan, air minum, atau air sumber irigasi lahan pertanian sehingga tanaman sebagai sumber pangan manusia tercemar logam.
2.5.1. Logam Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Cd umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang (Cd sulfit). Kadmium bisa membentuk ion Cd2+ yang bersifat tidak stabil. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4 g/mol, titik leleh 321o C, dan titik didih 767oC.
Kadmium bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, serta dapat dimanfaatkan sebagai pencampur logam lain, seperti nikel (Ni), emas (Au), kuprum (Cu), dan besi (Fe). Cd terutama terdapat dalam kerak bumi bersama dengan seng (Zn). Terdapat satu jenis mineral Cd di alam, yaitu green ockite (CdS) yang terdapat dalam lingkungan pada kadar yang rendah berasal dari kegiatan penambangan seng (Zn), timah (Pb), dan kobalt (Co) serta kuprum (Cu). Sementara dalam kadar tinggi, kadmium berasal dari emisi industri, antara lain dari hasil sampingan penambagan, peleburan seng (Zn) dan timbal (Pb). Sumber pencemaran dan paparan Cd berasal dari populasi udara, keramik, rokok, air sumur, makanan yang tumbuh di daerah pertanian yang tercemar Cd, fungisida, pupuk, serta cat. (Widowati,W. 2006)
2.5.2 Logam Berat
Logam berat didefenisikan sebagai logam yang memiliki densitas atau kerapatan tinggi merupakan pencemaran yang banyak dijumpai baik dilingkungan darat maupun di perairan. Keberadaan logam berat akan membawa pengaruh pada kehidupan organisme di lingkungan (termasuk manusia), karena sifatnya yang meracun dan dapat menyebabkan kematian apabila jumlahnya melewati ambang batas yang ditetapkan. Kandungan logam berat di lingkungan dapat dikurangi dengan cara menyerapnya, salah satunya dengan menggunakan kitosan.
Beberapacontoh logam berat ialah Hg, Zn, Cd, Cu, Co, Pb, dan Cr. Proses penyerapan logam berat pada kitosan dan modifikasinya berlangsung spontan (Karthikeyan et al., 2004) Bahkan, Gotoh et al., (2004) menyatakan bahwa Cu2+, Co2+, dan Cd2+ mencapai kesetimbangan adsorpsi hanya dalam 10 menit. Dalam proses adsorpsi logam berat dari limbah, kompetisi antarion logam mungkin saja terjadi. Ion logam dengan afinitas tinggi pada kitosan akan memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi pula. (Gotoh et al., 2004)
2.6 Spektrofotometri Serapan Atom
Spektrofotometer serapan atom adalah metoda pengukuran kuantitatif suatu unsur yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom – atom bentuk gas dalam keadaan dasar. Telah lama ahli kimia menggunakan pancaran radiasi oleh atom yang dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analisis. Fraksi atom – atom yang tereksitasi berubah secara eksponensial dengan temperatur. Teknik ini digunakan untuk penetapan sejumlah unsur, kebanyakan logam dan sampel yang sangat beraneka ragam (Walsh, 1955).
2.6.1. Prinsip Dasar Spektrofotometer Serapan Atom
Jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi dilewatkan nyala yang mengandung atomatom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Hal ini merupakan dasar penentuan kuantitatif logam-logam dengan menggunakan SSA.
Proses terbentuknya uap yang mengandung atom-atom logam dalam nyala, dapat diringkaskan sebagai berikut : bila suatu larutan yang mengandung senyawa yang cocok dari logam yang akan diselidiki itu dilewatkan ke dalam nyala, terjadilah peristiwa berikut secara berturutan dengan cepat :
1. Penghilangan pelarut atau evaporasi yang meninggalkan residu padat
2. Penguapan zat padat dilanjutkan dengan desosiasi menjadi atom-atom penyusun yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar.
Beberapa atom dapat tereksitasi oleh energi termal dari nyala ke tingkatan-tingkatan energi yang lebih tinggi dan mencapai kondisi dalam mana mereka akan memancarkan energi.
( Vogel, A.I, 1992)
2.6.2 Cara Kerja Spektrofotometer Serapan Atom
Setiap alat SSA terdiri atas tiga komponen berikut :
a. Unit atomisasi
b. Sumber radiasi
c. Sistem pengukur fotometrik
Atomisasi dapat dilakukan baik dengan nyala maupun dengan tungku. Untuk mengubah unsur metalik menjadi uap atau hasil disosiasi diperlukan energi panas. Temperatur harus benarbenar terkendali dengan sangat hati-hati agar proses atomisasinya sempurna. Ionisasi harus dihindarkan dan ini dapat terjadi bila temperatur terlalu tinggi.
Bahan bakar dan gas oksidator dimasukkan dalam kamar pencampur kemudian dilewatkan melalui baffle menuju ke pembakar. Nyala akan dihasilkan. Sampel dihisap masuk ke kamar pencampur. Hanya tetesan kecil yang dapat melalui buffle. Dengan gas asetilen dan oksidator udara tekan, temperatur dapat dikendalikan secara elektris. Biasanya temperatur dinaikkan secara bertahap, untuk menguapkan dan sekaligus mendisosiasikan senyawa yang dianalisis. (Khopkar, S.M, 1990)
2.6.3 Gangguan Pada SSA dan Mengatasinya
Gangguan yang nyata pada SSA adalah seringkali didapatkan suatu harga yang tidak sesuai dengan konsentrasi unsur sampel yang ditentukan. Penyebab dari gangguan ini adalah faktor matriks sampel, faktor kimia adanya gangguan molekuler yang bersifat menyerap radiasi.
Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan cendrung mengabsorbsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya ionisasi atom akan menjadi sumber kesalahan pada SSA oleh karena spektrum radiasi oleh ion jauh berbeda dengan spektrum absorbsi atom netral yang memang akan ditentukan. Ada beberapa usaha untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA yaitu dengan jalan :
1. Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian untuk itu dipakai gas pembakar campuran C2H2 + N2O yang memberikan nyala dengan temperatur yang tinggi.
2. Menambahkan elemen pengikat gugus atau atom penyangga, sehingga terikat kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya, penentuan logam yang terikat sebagai garam, dengan penambahan logam, yang lainnya akan terjadi ikatan lebih kuat dengan anion penggangu.
3. Pengeluaran unsur penggangu dari matriks sampel dengan cara ekstraksi. (Mulja.M, 1995)
Ribuan tahun sebelum masehi (SM), bangsa Cina sudah memanfaatkan rumput laut sebagai makanan sehat dan obat-obatan. Kemudian pada 65 SM, bangsa Romawi mulai menggunakannya untuk bahan kosmetik.
Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati, tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya di karang, lumpur pasir, batu, dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik.(Davidson, 1980)
Secara taksonomi, rumput laut dikelompokkan ke dalam divisio Thallophyta. Berdasarkan kandungan pigmennya, rumput laut dikelompokkan menjadi empat kelas :
1. Rhodophyceae (ganggang merah)
2. Phaeophyceae (ganggang coklat)
3. Chlorophyceae (ganggang hijau)
4. Cyanophyceae (ganggang biru-hijau)
Beberapa jenis rumput laut Indonesia yang bernilai ekonomis dan sejak dulu sudah diperdagangkan yaitu : Eucheuma sp, Hypnea sp, Gracilaria sp, Gelidium sp, dari kelas Rhodophyaceae serta Sargassum sp dari kelas Phaeophyceae.
Eucheuma sp. dan Hypnea sp. menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut karaginan (carrageenan). Gracilaria sp. dan Gelidium sp. menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agar. Sementara Sargassum sp. yang menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut alginat. Rumput laut yang menghasilkan karaginan disebut pula Carraginophyte (karaginofit), penghasil agar disebut agarophyte (agarofit), dan penghasil alginat disebut alginophyte (alginofit).
2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Sargassum Sp.
Rumput laut jenis Sargassum sp ini umumnya memiliki bentuk thallus silindris atau gepeng. Cabangnya rimbun menyerupai pohon di darat. Bentuk daun melebar, lonjong atau seperti pedang. Mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter. Warna thallus umumnya coklat . Berikut ini adalah klasifikasi dari Sargassum sp.
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Phaeophycea
Bangsa : Fucales
Suku : Sargassaceae
Marga : Sargassum
Jenis : Sargassum sp.
Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh Sargassum sp. antara lain thallus pipih, licin, batang utama bulat agak kasar, dan holdfast (bagian yang digunakan untuk melekat) berbentuk cakram. Cabang pertama timbul pada bagian pangkal sekitar 1 cm dari holdfast. Percabangan berselangseling secara teratur. Bentuk daun oval dan memanjang berukuran (40x10) mm. Pinggir daun bergerigi jarang, berombak, dan ujung melengkung atau meruncing. Vesicle (gelembung seperti buah) berbentuk lonjong, ujung meruncing berukuran (7x1,5) mm, dan agak pipih. Rumput laut jenis ini mampu tumbuh pada substrat batu karang di daerah berombak. (Othmer, 1986)
2.2.1 Potensi pemanfaatan Sargassum Sp.
Rumput laut sargassum telah lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan obat. Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan karbohidrat (gula atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu, rumput laut juga mengandung vitamin-vitamin, seperti A,B1,B2,B6,B12, dan C; betakaroten; serta mineral, seprti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan yodium.
Hidrokoloid dari Rumput laut (Karaginan, Agar dan Alginat) sangat diperlukan mengingat fungsinya sebagai gelling agent, stabilizer, emulsifier agent, pensuspesi, pendispersi yang berguna dalam berbagai industri seperti industri makanan, minuman, farmasi dan kosmetik, maupun industri lainnya seperti cat tekstil, film, makanan ternak, keramik, kertas, fotografi dan lain- lain.
2.2.2. Alginat
Alginat merupakan fikokoloid atau hidrokoloid yang diekstraksi dari alga coklat (phaeophyceae). Senyawa tersebut merupakan suatu polimer linier yang disusun oleh dua unit monomerik, yaitu β-D-mannuronic acid dan α-L-guluronic acid. Adapun rumput laut komersil sebagai penghasil alginat yang berasal dari genus-genus Laminaria, Lessonia, Ascophyllum, Sargassum dan Turbinaria.
Alginat menjadi penting karena penggunaanya yang cukup luas untuk dalam industri antara lain sebagai bahan pengental, pensuspensi, penstabil, pembentuk flim, pembentuk gel, disintegrating agent, dan bahan pengemulsi. Sehubungan dengan fungsi tersebut maka alginat banyak dibutuhkan oleh berbagai industri, seperti farmasi (5%), tekstil (50%), makanan dan minuman (30%), kertas (6%), serta industri lainnya (9%). Alginat diekstrak dari rumput laut coklat (Phaeophyceae), misalnya Laminaria dan Sargassum. Asam alginat adalah suatu polisacharida yang terdiri dari D-mannuronic acid dan L-guluronic acid yang merupakan asamasam karbosiklik (R-COOH) dengan perbandingan mannuronic acid/guluronic acid antara 0,3– 2,35.
COOH O β-D-mannuronic acid α-L-guluronic acid Gambar 2.1 Struktur Alginat
Alginat berfungsi sebagai pemelihara bentuk jaringan pada makanan yang dibekukan, counteract penggetahan dan pengerasan dalam industri roti berlapis gula, pensuspensi dalam sirop, pengemulsi dalam salad dressing, serta penambah busa pada industri bir. Di bidang bioteknologi, alginat digunakan sebagai algin-immobilisasi sel dari yeast pada proses produksi 7
alkohol. Di bidang farmasi dan kosmetik, alginat dimanfaatkan dalam bentuk asam alginat atau garam sodium alginat dan kalsium alginat. (Anggadiredja.T.J. 1989) Mineral esensial yang dikandung rumput laut sangat banyak, antara lain besi dan kalsium. Kandungan kalsium rumput laut sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan susu, sehingga rumput laut sangat tepat dikonsumsi untuk mengurangi dan mencegah gejala osteoporosis.
Rumput laut mengandung berbagai vitamin yaitu vitamin A, B kompleks, C, D, dan K. Kandungan vitamin tersebut memberi nutrisi pada kulit sehingga kulit lebih lembab dan kencang. Vitamin C bisa membantu menangkal radikal bebas.
Kandungan protein dan serat rumput laut juga sangat tinggi. Serat pada rumput laut bisa membuat perut terasa lebih kenyang. Selain itu, rumput laut bisa meluruhkan lemak-lemak di perut, sehingga bahan ini banyak dimanfaatkan untuk produk pelangsing.
Manfaat luar biasa rumput laut lainnya adalah kemampuannya untuk membantu proses memperbarui jaringan kulit yang rusak sehingga banyak pula dipakai sebagai produk antikeloid. Selain manfaat diatas juga terdapat manfaat yang lain, yaitu :
• Anti kanker, Penelitian Harvard School of Public Health di Amerika mengungkap, wanita premenopause di Jepang berpeluang tiga kali lebih kecil terkena kanker payudara dibandingkan wanita Amerika. Hal ini disebabkan pola makan wanita Jepang yang selalu menambahkan rumput laut di dalam menu mereka.
• Antioksi dan Klorofil pada gangang laut hijau dapat berfungsi sebagai antioksidan. Zat ini membantu membersihkan tubuh dari reaksi radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh.
• Mencegah Kardiovaskular, Para Ilmuwan Jepang mengungkap, ekstrak rumput laut dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Bagi pengidap stroke, mengkonsumsi rumput laut juga sangat dianjurkan karena dapat menyerap kelebihan garam pada tubuh.
• Makanan Diet Kandungan serat (dietary fiber) pada rumput laut sangat tinggi. Serat ini bersifat mengenyangkan dan memperlancar proses metabolisme tubuh sehingga sangat baik dikonsumsi penderita obesitas. Karbohidratnya juga sukar dicerna sehingga Anda akan merasa kenyang lebih lama tanpa takut kegemukan.
• Secara tradisional, rumput laut dipercaya dapat mengobati batuk, asma, bronkhitis, TBC, cacingan, sakit perut, demam, influenza, dan artritis.
http://kosmo.vivanews.com/news/read/13244-rawat_kulit_dengan_rumput_laut
2.3 Kitosan
2.3.1 Kitin dan Kitosan
Kitin merupakan polisakarida rantai linier dengan rumus β(1-4)2- asetamida 2-deoksiDglucopyranosa (Muzzerelli,R.A.A.1997) dan kitin sebagai precursor kitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1811 oleh orang Perancis bernama Henri Braconnot sebagai hasil isolasi dari jamur. Sedangkan kitin dari kulit serangga ditemukan pada tahun 1820. (Rismana,2004)
Kitin murni mengandung gugus asetamida (NH-COCH3), dan kitosan murni mengandung gugus amino (NH2). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia senyawa tersebut.(Roberts,G.A.F,1992)
Kitosan merupakan senyawa turunan dari kitin yang memiliki struktur (1,4)-2-amino-2deoksi β-D-Glukosa. Sumber kitosan yang sangat potensial adalah kerangka crustaceae (Muzzerelli,R.A.A.1997).
Kitosan ditemukan oleh C.Rouget pada tahun 1895, dia menemukan bahwa kitin yang telah didihkan pada larutan KOH juga dapat diperlukan dengan NaOH panas maka akan terjadi pelepasan gugus asetil (proses deasetilasi) yang terikat pada atom nitrogen menjadi gugus amino bebas yang disebut dengan kitosan. (Vinvogrado,A.P,1971).
2.3.2 Kegunaan Kitin dan Kitosan
Dewasa ini aplikasi kitin da kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitin, dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat cair, pengikat dan penyerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tannin, PCB, (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan membran mulai terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara dibidang pertanian dan pangan kitin dan kitosan digunakan sebagai pencampur ransum pakan ternak, antimikrob, antijamur, serat bahan pangan, pestisida, herbisida, virusida, tanaman, dan deasedifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikrob dan anti jamur juga diterapkan dibidang kedokteran kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albican dan Staphvlacoccus aureus. Selain itu bipolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialis, bahan shampoo, dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortoprdik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, antiinfeksi.(Purwantiningsih,S.,1992)
Kitosan banyak digunakan oleh berbagai industri antara lain industri farmasi, kesehatan, biokimia, bioteknologi, pangan, pengolahan limbah, kosmetik, agroindustri, industri tekstil, industri kertas dan industri elektronika. Aplikasi khusus berdasarkan sifat yang dipunyai antara lain untuk pengolahan limbah cair terutama bahan bersifat resin penukar ion untuk meminimalisasi logam-logam berat, mengkoagulasi minyak/lemak, serta mengurangi kekeruhan, penstabilan minyak, rasa dan lemak dalam produksi industri pangan. (Rismana,2004)
2.3.3 Pengolahan Kitin dan Kitosan
Kitin yang terdapat padat kulit atau cangkang ini masih terikat dengan protein, CaCO3, pigmen, dan lemak. Berbagai teknik dilakukan untuk memisahkannya, tetapi pada umumnya ada tiga tahapan yaitu deproteinisasi dengan NaOH encer, demineralisasi dengan HCl encer dan deasitilasi dengan NaOH pekat
Beberapa penelitian menggunakan proses deproteinisasi dan demineralisasi yang berbeda, ada yang demineralisasi dulu kemudian deproteinisasi atau sebaliknya. Pilihan pengolahan tergantung dari tujuan penggunaan kitosan (Brine, 1984).
2.3.4 Deproteinisasi
Proses deproteinisasi ini dilakukan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada kulit atau cangkang kepiting. Proses deproteinisasi ini menggunakan berbagai pereaksi seperti Na2CO3, NaHCO3, KOH, Na2SO4, Na2S, Na3PO4 dan NaOH.
Tabel 2.1 Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi
Sumber Konsentrasi NaOH (N) Suhu
(oC) Lama Reaksi (Jam)
Udang 0,125
0,25
0,75
1,25 100 65
100
100 0,5
1
- 0,5
Kepiting 0,50 1,00
1,00
1,00
1,25
1,25 65
80
100
100
85 – 90
100 2 3
36
72
1,5 – 2,25
24
Lobster 2,50 1,00
1,25
2,50 Suhu kamar
100
80 – 85
100 72
60
1
2,5
(Roberts,G.A.F, 1992).
Penggunaan enzim untuk memisahkan protein juga dilakukan dalam beberapa penelitian, diantaranya dengan pepsin, setelah didemineralisasi sebelumnya dengan suatu zat. Perlakuan dengan enzim ini masih menyisakan protein sekitar 5 % yang memerlukan proses lanjutan (Roberts,G.A.F, 1992).
2.3.5 Demineralisasi
Proses demineralisasi bertujuan untuk memisahkan kitin dari CaCO3. Proses demineralisasi ini menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH dan HCOOH. Umumnya menggunakan HCl 50 % (Roberts,G.A.F, 1992).
Tabel 2.2 Kondisi Perlakuan dengan HCl pada Proses Demineralisasi
Sumber Konsentrasi HCl (N) Suhu (oC) Lama Reaksi (Jam)
Udang 0,275
0,5
1,25
1,57 Suhu Kamar Suhu Kamar
Suhu Kamar
20 – 22 16
-
1
1 – 3
Kepiting 0,65
1,0
1,0
1,57 2,0
11,0 Suhu Kamar Suhu Kamar
Suhu Kamar
Suhu Kamar
Suhu Kamar -20 24
12
- 5
48
4
Lobster 1,57
2,0
2,0 Suhu Kamar Suhu Kamar
Suhu Kamar 11 – 14
5
48
(Roberts,G.A.F, 1992).
2.3.6 Deasetilasi
Kitin yang diperoleh dari proses deproteinisasi dan demineralisasi tidak dapat larut dalam sebahagian besar pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya, maka kitin dideasetilasi dengan pelarut alkali menjadi kitosan. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya penyerapan kitin akan meningkat dengan bertambahnya gugus amino (NH3) yang terdapat di dalamnya (Muzzarelli, 1997).
Proses deasetilasi kimiawi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil kitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Hwang dan Shin (2000) menggunakan larutan NaOH 40 % dalam proses deasetilasi kitin, pada suhu 70 oC selama 6 jam yang menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi 92 %. Derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin dan berat jenis (Hwang dan Shin ,2000)
Makin tinggi konsentrasi alkali yang digunakan makin rendah suhu atau makin singkat waktu yang diperlukan dalam proses ini.
2.3.7 Klasifikasi Isoterm Adsorpsi
Terdapat 5 persamaan isoterm yang dapat digunakan untuk mengambil proses adsorpsi, yaitu isoterm adsorpsi Langmuir, Freundlich, Temkin, Brunauer-Emmett-Teller (BET) dan dubirin. Akan tetapi, hanya 2 persamaan pertama yang sering digunakan
a. Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir merupakan isoterm adsorpsi yang pertama dikembangkan secara teoritis sekaligus menjadi dasar bagi banyak persamaan isoterm baru. Isoterm Langmuir ini mengasumsikan bahwa adsorbat hanya membentuk lapisan tunggal diatas permukaan adsorben yang homogen. Isoterm Langmuir juga dapat digunakan untuk mengamati adsorpsi serempak 2 gas pada permukaan adsorben yang sama. Pada kasus ini, kemungkinan terjadinya reaksi antara kedua gas tersebut harus diperhatikan. Markham dan Benton adalah dua peneliti pelopor yang pertama kali mengembangkan isoterm Langmuir untuk campuran gas biner dengan tetap menjaga semua asumsi teori asli, yaitu permukaan adsorben diasumsikan homogen.
Beberapa hasil kemisorpsi menunjukkan bahwa kesahihan persamaan Langmuir hanya terjadi pada kisaran yang pendek dan terbatas. Selain itu, perhitungan kalor adsorpsi pada teori Langmuir tidak mempertimbangkan permukaan yang telah menjerap adsorbat, sedangkan pada kenyataanya kalor adsorpsi akan turun seiring dengan berkurangnya jumlah daerah luasan permukaan yang belum menjerap adsorbat.
b. Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich adalah bentuk terbatas dari isoterm Langmuir dan hanya bisa diterapkan pada tekanan uap sedang. Isoterm Freundlich biasanya berlaku untuk adsorpsi cairan pada permukaan padatan. Isoterm ini biasanya paling umum digunakan, karena dapat mencirikan kebanyakan proses adsorpsi dengan baik (Pope, 2004). Isoterm Freundlich menganggap bahwa pada sisi permukaan adsorben terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan. Namun, Isoterm Freundlich tidak memperkirakan keberadaan sisi-sisi permukaan yang dapat mengganggu terjadinya adsorpsi saat kesetimbangan tercapai. Di sisi lain, hanya ada beberapa sisi aktif saja yang mampu mengadsorpsi molekul terlarut (Pope, 2004).
2.3.8 Interaksi Kitosan Dengan Ion Logam
Muzzarelli (1977) menyatakan bahwa kitosan mengikat logam melalui pertukaran ion, penyerapan dan pengkhelatan. Ketiga proses tersebut bergantung pada ion logam masing – masing.
2.3.9 Sifat-sifa Kitosan
Kitosan adalah padatan amorf putih yang tidak larut dalam alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu. Keterlarutan kitosan yang paling baik ialah dalam larutan asam asetat 1%, asam format 10% dan asam sitrat 10%. Kitosan tidak dapat larut dalam asam piruvat, asam laktat, dan asam-asam anorganik pada pH tertenu, walaupun setelah dipanaskan dan diaduk dengan waktu yang agak lama. Keterlarutan kitosan dalam larutan asam format ataupun asam asetat dapat membedakan kitosan dan kitin karena kitin tidak dapat melatut dalam keadaan pelarut asam tersebut.
Kitosan memiliki sifat unik yang dapat digunakan dalam berbagai cara serta memiliki kegunaan yang beragam, antara lain sebagai perekat, aditif untuk kertas dan tekstil, penjernihan yang beragam, antara lain sebagai perekat, penjernihan air minum, serta untuk mempercepat penyembuhan luka, dan memperbaiki sifat pengikatan warna. Kitosan merupakan penkelat yang kuat untuk ion logam transisi. Kitosan mempunyai kemampuan untuk mengadsorbsi logam dan membentuk kompleks kitosan dengan logam. (Robert,G.A.F,1992)
Kitosan dibedakan dari kitin oleh kelarutannya dalam larutan asam encer. Kitosan bermuatan positif karena kelompok amina pada pH asam, yang besarannya tergantung pada tingkat deasetilasi, dan dengan demikian kitosan diklasifikasikan sebagai polielektronik kationik, sedangkan polisakarida yang lain memberikan muatan netral ataupun anionik.(Hwang dan Shin,2001)
2.3.10 Sifat Fisik-Kimia pada Kitin
Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373 ± 0,03 kal/g/oC (Knorr,1984).
Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa, tetapi larut dalam asam formiat, asam metanasulfonat, N,N-dimetilasemida yang mengandung 5% litium klorida, heksafluoroisopropil alkahol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-diklorotana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 (%[V/V]).(Hirano,1986). Asam mineral pekat seperti H2SO4, HNO3 dan H3PO4 dapat melarutkan kitin sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil. (Bastaman,1989)
2.4 Pendayagunaan Limbah Udang
Limbah udang yang mencapai 30-40% dari produksi udang beku belum banyak dimanfaatkan. Menurut Moelyanto (1979), limbah udang selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan, dapat juga dipergunakan untuk keperluan industri. Pembuatan kitosan dari kulit udang dapat dipakai sebagai bahan kimia untuk industri dan kertas. Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri udang beku baru sebagian kecil yang dimanfaatkan, yaitu dibuat tepung
kepala yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan ternak (Mudjiman, 1982)
Kulit udang mengandung unsur yang bermanfaat yaitu protein kalsium dan kitin yang mempunyai kegunaan dan prospek yang baik dalam industri. Protein dan kalsium dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan pakan ternak sedangkan kitin dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan, zat pengemulsi, bahan tambahan untuk antibiotik dan kosmetik (Knorr, 1984)
2.5 Pencemaran Logam
Penggunaan logam sebagai bahan baku berbagai jenis industri untuk memenuhi kebutuhan manusia akan mempengaruhi kesehatan manusia melalui 2 jalur, yaitu :
1. Kegiatan industri akan menambah polutan logam dalam lingkungan udara, air, tanah, dan makanan
2. Perubahan biokimia logam sebagai bahan baku berbagai jenis industri biasa mempengaruhi kesehatan manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terpisahkan dari benda-benda yang berasal dari logam. Logam yang digunakan untuk membuat alat perlengkapan rumah tangga, seperti sendok, garpu, pisau, dan berbagai jenis peralatan rumah tangga lainnya. Pesatnya pembangunan dan penggunaan berbagai bahan baku logam biasanya berdampak negatif yaitu munculnya kasus pencemaran yang melebihi batas sehingga mengakibatkan kerugian dan meresahkan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah perindustrian maupun masyarakat pengguna produk industri tersebut. Hal itu terjadi karena sangat besarnya resiko terpapar logam berat maupun logam transisi yang bersifat toksik dalam dosis atau konsentrasi tertentu.
Tingkat toksisitas logam berat terhadap hewan air, mulai dari yang paling toksik, adalah Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni, dan Co. Sementara itu, tingkat toksisitas terhadap manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, As, Cr, Sn, Zn. Polutan logam mencemari lingkungan, baik dilingkungan udara, air, dan tanah yang berasal dari proses alami dan kegiatan industri. Proses alami antara lain siklus alamiah sehingga bebatuan gunung berapi biasa memberikan kontribusi ke lingkungan udara, air, dan tanah. Kegiatan manusia yang biasa menambah polutan bagi lingkungan berupa kegiatan industri. Pencemaran logam, baik industri, kegiatan domestik, maupun sumber alami dari batuan akhirnya sampai ke sungai atau laut dan selanjutnya mencemari manusia melalui ikan, air minum, atau air sumber irigasi lahan pertanian sehingga tanaman sebagai sumber pangan manusia tercemar logam.
2.5.1. Logam Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Cd umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang (Cd sulfit). Kadmium bisa membentuk ion Cd2+ yang bersifat tidak stabil. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4 g/mol, titik leleh 321o C, dan titik didih 767oC.
Kadmium bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, serta dapat dimanfaatkan sebagai pencampur logam lain, seperti nikel (Ni), emas (Au), kuprum (Cu), dan besi (Fe). Cd terutama terdapat dalam kerak bumi bersama dengan seng (Zn). Terdapat satu jenis mineral Cd di alam, yaitu green ockite (CdS) yang terdapat dalam lingkungan pada kadar yang rendah berasal dari kegiatan penambangan seng (Zn), timah (Pb), dan kobalt (Co) serta kuprum (Cu). Sementara dalam kadar tinggi, kadmium berasal dari emisi industri, antara lain dari hasil sampingan penambagan, peleburan seng (Zn) dan timbal (Pb). Sumber pencemaran dan paparan Cd berasal dari populasi udara, keramik, rokok, air sumur, makanan yang tumbuh di daerah pertanian yang tercemar Cd, fungisida, pupuk, serta cat. (Widowati,W. 2006)
2.5.2 Logam Berat
Logam berat didefenisikan sebagai logam yang memiliki densitas atau kerapatan tinggi merupakan pencemaran yang banyak dijumpai baik dilingkungan darat maupun di perairan. Keberadaan logam berat akan membawa pengaruh pada kehidupan organisme di lingkungan (termasuk manusia), karena sifatnya yang meracun dan dapat menyebabkan kematian apabila jumlahnya melewati ambang batas yang ditetapkan. Kandungan logam berat di lingkungan dapat dikurangi dengan cara menyerapnya, salah satunya dengan menggunakan kitosan.
Beberapacontoh logam berat ialah Hg, Zn, Cd, Cu, Co, Pb, dan Cr. Proses penyerapan logam berat pada kitosan dan modifikasinya berlangsung spontan (Karthikeyan et al., 2004) Bahkan, Gotoh et al., (2004) menyatakan bahwa Cu2+, Co2+, dan Cd2+ mencapai kesetimbangan adsorpsi hanya dalam 10 menit. Dalam proses adsorpsi logam berat dari limbah, kompetisi antarion logam mungkin saja terjadi. Ion logam dengan afinitas tinggi pada kitosan akan memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi pula. (Gotoh et al., 2004)
2.6 Spektrofotometri Serapan Atom
Spektrofotometer serapan atom adalah metoda pengukuran kuantitatif suatu unsur yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom – atom bentuk gas dalam keadaan dasar. Telah lama ahli kimia menggunakan pancaran radiasi oleh atom yang dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analisis. Fraksi atom – atom yang tereksitasi berubah secara eksponensial dengan temperatur. Teknik ini digunakan untuk penetapan sejumlah unsur, kebanyakan logam dan sampel yang sangat beraneka ragam (Walsh, 1955).
2.6.1. Prinsip Dasar Spektrofotometer Serapan Atom
Jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi dilewatkan nyala yang mengandung atomatom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Hal ini merupakan dasar penentuan kuantitatif logam-logam dengan menggunakan SSA.
Proses terbentuknya uap yang mengandung atom-atom logam dalam nyala, dapat diringkaskan sebagai berikut : bila suatu larutan yang mengandung senyawa yang cocok dari logam yang akan diselidiki itu dilewatkan ke dalam nyala, terjadilah peristiwa berikut secara berturutan dengan cepat :
1. Penghilangan pelarut atau evaporasi yang meninggalkan residu padat
2. Penguapan zat padat dilanjutkan dengan desosiasi menjadi atom-atom penyusun yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar.
Beberapa atom dapat tereksitasi oleh energi termal dari nyala ke tingkatan-tingkatan energi yang lebih tinggi dan mencapai kondisi dalam mana mereka akan memancarkan energi.
( Vogel, A.I, 1992)
2.6.2 Cara Kerja Spektrofotometer Serapan Atom
Setiap alat SSA terdiri atas tiga komponen berikut :
a. Unit atomisasi
b. Sumber radiasi
c. Sistem pengukur fotometrik
Atomisasi dapat dilakukan baik dengan nyala maupun dengan tungku. Untuk mengubah unsur metalik menjadi uap atau hasil disosiasi diperlukan energi panas. Temperatur harus benarbenar terkendali dengan sangat hati-hati agar proses atomisasinya sempurna. Ionisasi harus dihindarkan dan ini dapat terjadi bila temperatur terlalu tinggi.
Bahan bakar dan gas oksidator dimasukkan dalam kamar pencampur kemudian dilewatkan melalui baffle menuju ke pembakar. Nyala akan dihasilkan. Sampel dihisap masuk ke kamar pencampur. Hanya tetesan kecil yang dapat melalui buffle. Dengan gas asetilen dan oksidator udara tekan, temperatur dapat dikendalikan secara elektris. Biasanya temperatur dinaikkan secara bertahap, untuk menguapkan dan sekaligus mendisosiasikan senyawa yang dianalisis. (Khopkar, S.M, 1990)
2.6.3 Gangguan Pada SSA dan Mengatasinya
Gangguan yang nyata pada SSA adalah seringkali didapatkan suatu harga yang tidak sesuai dengan konsentrasi unsur sampel yang ditentukan. Penyebab dari gangguan ini adalah faktor matriks sampel, faktor kimia adanya gangguan molekuler yang bersifat menyerap radiasi.
Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan cendrung mengabsorbsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya ionisasi atom akan menjadi sumber kesalahan pada SSA oleh karena spektrum radiasi oleh ion jauh berbeda dengan spektrum absorbsi atom netral yang memang akan ditentukan. Ada beberapa usaha untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA yaitu dengan jalan :
1. Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian untuk itu dipakai gas pembakar campuran C2H2 + N2O yang memberikan nyala dengan temperatur yang tinggi.
2. Menambahkan elemen pengikat gugus atau atom penyangga, sehingga terikat kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya, penentuan logam yang terikat sebagai garam, dengan penambahan logam, yang lainnya akan terjadi ikatan lebih kuat dengan anion penggangu.
3. Pengeluaran unsur penggangu dari matriks sampel dengan cara ekstraksi. (Mulja.M, 1995)
bisakah saya minta jurnal pendukung yang menyatakan bahwa kitosan dapat larut dalam asam sitrat 10%?
ReplyDelete