Ikan patin siam merupakan salah satu spesies ikan introduksi yang memiliki nilai ekonomis untuk dibudidayakan. Hal ini disebabkan karena ikan patin siam memiliki keunggulan antara lain laju pertumbuhannya cepat, fekunditas tinggi, dapat diproduksi secara massal dan memiliki harga jual yang tinggi dan rasa daging yang digemari oleh masyarakat (Susanto dan Amri, 2001).
Untuk memenuhi permintaan ikan patin yang terus meningkat, maka dilakukan pengelolaan induk. Salah satu tujuan dari pengelolaan induk adalah untuk mendapatkan benih yang berkualitas dalam kuantitas yang memadai. Permasalahan dalam pengelolaan induk ikan patin siam adalah rendahnya derajat tetas telur yang diakibatkan karena tidak sesuainya kualitas pakan induk yang diberikan (Yulfiperius, et al., 2003). Untuk mendapatkan benih yang cukup dan bermutu baik salah satu caranya adalah dengan memperbaiki kualitas telur melalui perbaikan kualitas pakan yang diberikan.
Komposisi pakan yang baik dapat mempercepat perkembangan gonad dan fekunditas ikan (Halver, 1976). Kandungan nutrisi yang terkandung dalam pakan mempengaruhi proses reproduksi ikan terutama menyangkut lama waktu pemijahan dan kualitas telur yang dihasilkan. Kendala utama dalam perbaikan kualitas pakan adalah besarnya alokasi biaya untuk pengadaan pakan sekitar 60-70% dari komponen biaya produksi. Hal ini disebabkan karena bahan baku pembuat pakan yakni tepung ikan merupakan bahan baku impor. Hal ini menjadi sebuah masalah tersendiri dalam budidaya ikan yang dapat berdampak pada menurunnya pendapatan para pembudidaya ikan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan biaya produksi adalah dengan cara mencari bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai campuran pakan buatan, bahan pakan alternatif tersebut harus mengandung kadar nutrisi yang tinggi dan mudah didapat, yaitu dengan menambahkan bahan pakan alami dalam pakan induk. Pakan alami sangat dibutuhkan untuk pengembangan ikan secara menyeluruh, terutama pada saat atau menjelang pemijahan, karena kebutuhan asam amino esensial dan asam lemak esensial dapat dipenuhi oleh pakan alami (Axelrod et al., 1983).
Salah satu pakan alami yang dapat digunakan sebagai pakan induk adalah tepung cacing tanah. Cacing tanah dikenal sebagai umpan dalam kegiatan pemancingan ikan (Chumaidi, 2005). Cacing tanah memiliki kadar protein yang tinggi yaitu 61,47%, kadar lemak kasar 9,28%, dan karbohidrat 12%. Selain itu, cacing tanah juga mengandung tokoferol dan vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan dan dapat digunakan untuk memacu proses reproduksi ikan (www.o-fish.com).
Pemberian kombinasi tepung ikan dan tepung cacing tanah untuk memacu proses reproduksi pada ikan perlu diteliti lebih lanjut. Selain dapat memberikan informasi tentang manfaat tepung cacing tanah terhadap proses reproduksi ikan, sekaligus dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif induk patin siam (Pangasius hypopthalmus).
METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 di Loka Riset Perikanan Air Tawar Sukamandi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Obyek penelitian ini adalah ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) yang diberi pakan dari pelet dengan bahan baku campuran tepung cacing tanah.
Metode yang digunakan adalah model eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari empat perlakuan yaitu: a) perlakuan kontrol yaitu perlakuan tanpa penambahan tepung cacing tanah; b) penambahan tepung cacing tanah sebanyak 10% dari total formulasi bahan pakan; c) penambahan tepung cacing tanah sebanyak 20% dari total formulasi bahan pakan; dan d) penambahan tepung cacing tanah sebanyak 30% dari total formulasi bahan pakan. Setiap perlakuan masing-masing diulang sebanyak empat kali.
Parameter Yang Diamati
Tingkat Kematangan Gonad dan ukuran telur: Tingkat kematangan gonad dapat diketahui dengan cara mengamati ciri-ciri dari organ seksual induk ikan patin siam betina dengan menggunakan metode kanulasi (Effendi, 1997) dan pengukuran diameter telur dilakukan di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Ukuran telur ditentukan dengan mengambil contoh telur minimal sebanyak 100 butir telur yang diletakkan di atas obyek glass dan diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer (Effendi, 1978).
Pemberian Pakan Uji: Induk ikan patin siam betina diberi pakan dalam bentuk pelet tenggelam. Pakan kontrol dan pakan uji diformulasikan berdasarkan kadar protein yang dibutuhkan oleh ikan patin siam yaitu pelet dengan kadar protein sebesar ± 38%. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB sebanyak 1% perhari dari bobot tubuh total induk.
Penentuan Hewan Uji: Hewan uji yang digunakan adalah induk betina ikan patin siam yang berumur ± 2 tahun dengan bobot ± 2 kilogram yang diperoleh dari Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, Kabupaten Subang Jawa Barat. Jumlah induk betina yang digunakan sebanyak 16 ekor. Jumlah induk dalam perlakuan digunakan sebagai ulangan. Induk ikan patin siam jantan yang digunakan berumur ± 1 tahun dengan bobot ± 2 kilogram sebanyak 16 ekor.
Seleksi Induk: Induk yang digunakan dalam penelitian adalah induk-induk yang telah di grading berdasarkan tingkat kematangan gonad yang sama. Dasar yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad adalah berdasarkan pertimbangan morfologi yaitu warna dan perkembangan diameter telur. Induk-induk sebelum dilakukan penelitian diletakkan di dalam jaring sesuai dengan perlakuan. Setiap induk betina ikan patin siam diberi tagging agar mudah dalam memantau perkembangan tingkat kematangan gonadnya. Pengamatan perkembangan tingkat matang gonad induk betina ikan dapat dilakukan dua minggu sekali dengan cara diperiksa secara morfologi dan dengan menggunakan metode kanulasi. Selain dengan cara kanulasi, perkembangan tingkat kematangan gonad juga dapat dipantau dengan cara mengukur diameter sampel telur di bawah mikroskop binokuler.
Pemijahan: Induk disuntik pada bagian belakang sirip punggung sebelah kiri dengan menggunakan jarum suntik steril. Dosis hormon HCG yang disuntikkan sebanyak 500 IU/kg induk ikan patin siam betina. Setelah 24 jam, selanjutnya induk betina disuntik dengan menggunakan ovaprim. Induk disuntik pada bagian belakang sirip punggung sebelah kanan dengan menggunakan jarum suntik steril. Dosis hormon ovaprim yang disuntikkan sebanyak 0,5 ml/kg induk ikan patin siam betina. Setelah disuntik, ikan patin siam betina dicacat nomor tagging (tanda) yang telah disuntikkan ke dalam tubuhnya. Induk patin siam betina yang telah disuntik, dikembalikan ke dalam jaring. Kurang lebih setelah 10 jam dari waktu penyuntikan kedua, dilakukan stripping yaitu mengurut bagian perut dari depan ke arah lubang kelamin untuk mengeluarkan telur.
Telur yang diperoleh ditampung ke dalam baki plastik. Sedangkan sperma yang diperoleh ditampung di dalam mangkok. Kemudian sperma ditambahkan larutan fisiologis (NaCl 0,9%) dengan perbandingan NaCl dan sperma sebesar 4:1. Kemudian diaduk dengan menggunakan bulu ayam selama 1-2 menit. Langkah selanjutnya adalah mencampurkan sperma yang sudah diencerkan ke dalam telur, Perbandingan induk jantan dan betina adalah 1:1. Selanjutnya sperma yang telah dicampur dengan telur, diaduk dengan menggunakan bulu ayam sampai merata selama ± 3 menit, kemudian telur ditebar pada corong penetasan.
Pemeliharaan Larva: Pemeliharaan larva dilakukan di toples pemeliharaan. Larva yang berumur 30 jam sampai dengan umur dua hari, larva diberi pakan nauplii artemia. Naupli artemia diberikan setiap dua jam sekali.
Analisis Data: Data dianalisis dengan menggunakan analisis komparatif dan analisis asosiatif. Analisis komparatif dengan menggunakan analisis ragam (uji F) dan apabila F hitung lebih besar daripada F tabel, maka dilanjutkan dengan uji LSD.
HASIL
Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad pada awal penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematangan gonad induk patin siam betina berada pada tingkat kematangan gonad (TKG) I yang bercirikan rata-rata diameter telur pada setiap perlakuan berkisar antara 0,1 – 0,2 mm. Perkembangan diameter telur yang diambil dan diukur sebagai indikator kematangan seksual pada ikan patin siam, yang diamati tingkat kematangan gonad setiap dua minggu sekali sekali, menghasilkan keragaman yang jelas.
Respons tingkat kematangan gonad induk patin betina penambahan tepung cacing tanah dalam pakan yang diberikan dapat dilihat dari kecepatan perkembangan tingkat kematangan gonad pada setiap perlakuan yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Diameter Telur Perperiode Sampling pada Setiap Perlakuan
Hasil pengamatan menunjukkan keragaman respons sintasan larva terhadap penambahan tepung cacing tanah dalam pakan uji yang diberikan (Gambar 2).
Gambar 2. Nilai Rata-rata Sintasan Larva Ikan Patin Siam
Nilai rata-rata sintasan larva ikan patin siam tertinggi terdapat pada perlakuan pakan yang diberi penambahan cacing tanah sebesar 10% yaitu sebesar 59,57% kemudian diikuti oleh perlakuan pakan yang diberi penambahan cacing tanah sebesar 20%, 30% dan kontrol yang berturut-turut sebesar 59,45%, 59,4% dan 56,58%. Sintasan larva memberikan respons yang signifikan atas tingkat penambahan tepung cacing (Tabel 1).
Tabel 1. Respons Sintasan Larva
Penambahan Tepung Cacing Tanah (%)
Rata-rata
Kontrol (0%)
56.58a
10%
59.57b
20%
59.45b
30%
59.4b
Keterangan: Notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD pada taraf uji 5%.
Berdasarkan pada Tabel 1. tampak bahwa sintasan larva dipengaruhi jumlah penambahan tepung cacing tanah. Pakan dengan penambahan tepung cacing tanah sebesar 10% menghasilkan sintasan larva yang tidak berbeda dengan penambahan tepung sebanyak 20% dan 30%, begitu pula dengan pakan dengan penambahan tepung cacing tanah sebesar 20% menghasilkan sintasan larva yang tidak berbeda dengan penambahan tepung sebanyak 30%. Terdapat hubungan kuadratik antara jumlah penambahan tepung cacing dengan sintasan larva yang ditunjukan dengan persamaan Y = -0,008X2 + 0,335X + 56,814 dengan nilai R2 sebesar 0,622 (Gambar 3). Berdasarkan model di atas, titik maksimal sintasan larva 60,32% diperoleh pada penambahan tepung cacing optimal sebesar 21%. Nilai duga titik optimum ini tidak jauh berbeda dengan nilai dugaan sementara pada 20%.
Gambar 3. Hubungan antara Sintasan Larva dengan Penambahan Tepung Cacing Tanah
Pengukuran kualitas air pada penelitian ini meliputi pengukuran suhu, pH, DO dan kadar ammonia. Pengukuran kualitas air dilakukan pada setiap seminggu sekali selama penelitian berlangsung. Kisaran parameter kualitas air di kolam pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran Parameter Kualitas Air di Kolam Pemeliharaan
Nomor
Keterangan
Parameter Kualitas Air
Suhu ( 0C) pH
DO
(mg/L)
Amonia ** ( mg/L)
1.
Kisaran yang terukur waktu penelitian
6,11
28,4 – 31,3 –
7,95
4,1 – 7,91
0,05
2.
Kisaran yang disarankan*
25-30 6,0-8,0
>4
0,02
Keterangan : ** Sunarma (2007)
** = data tidak berupa kisaran
PEMBAHASAN
Tingkat Kematangan Gonad dan Ukuran Telur
Perlakuan yang diberi penambahan tepung cacing menghasilkan proses pematangan gonad yang lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak diberi penambahan tepung cacing. Pada periode sampling yang ketiga dan keempat (Gambar 1.) jumlah sel telur rata-rata yang ada pada diameter ukuran 0,6-0,8 (TKG III) maupun diameter 0,9-1,1 mm (TKG IV) pada perlakuan pakan yang diberi penambahan tepung cacing tanah sebesar 10%, 20% dan 30% lebih banyak dibandingkan jumlah sel telur rata-rata pada perlakuan kontrol.
Perbedaan kecepatan perkembangan diameter telur ini diduga disebabkan karena adanya perbedaan kandungan Highly Unsaturated Fatty Acid (HUFA) pada pakan uji yang diberikan. Penambahan tepung cacing tanah meningkatkan kandungan HUFA pada pakan uji serta menyebabkan perkembangan diameter telur pada ketiga perlakuan ini menjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Selain itu, kadar protein juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan diameter telur ikan patin siam.
Izqueirdo et al., (2001) menyatakan bahwa HUFA berperan secara langsung maupun tidak langsung proses pematangan gonad dan proses steroidogenesis. Kadar HUFA pada telur gilthead seabream akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar n-3 HUFA pada pakan yang diberikan, terutama peningkatan 18:3Ω-3, 18:4Ω-3 dan 20:5Ω-3 (EPA, asam eicopentaenoik) (Fernandez-Palacios et al.,1995).
Pakan dengan kadar protein yang rendah mempengaruhi komposisi protein pada induk yang kemudian digunakan oleh tubuh sebagai cadangan untuk pembentukan dan pematangan gonad (Gunasekera et al., 1996; Al Hafedh, et al.,1999). Minissery et al.,(2001) melaporkan bahwa tingkat pemberian protein akan berpengaruh terhadap ukuran diameter telur pada common carp.
Selama pengamatan diameter telur, masih banyak telur dengan diameter yang tidak seragam. Hal ini yang menyebabkan minimnya jumlah induk yang dapat berovulasi.
Ketidakseragaman diameter telur ini diduga terkait dengan perkembangan gonad yang kurang optimal. Hal ini disebabkan karena energi dari pakan yang dikonsumsi yang dialokasikan untuk kegiatan reproduksi tidak dapat terserap secara maksimal. Faktor yang mempengaruhi penyerapan energi dari pakan yang dikonsumsi adalah faktor pakan dan lingkungan perairan. Penambahan tepung cacing dalam pakan uji menyebabkan kadar abu yang terukur menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan pakan kontrol. Tingginya kadar abu ini diduga akan menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan energi dari pakan yang diberikan (Badruzzaman, 1995).
Selain itu, beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyerapan energi dari pakan yang dikonsumsi oleh ikan patin siam antara lain kadar amoniak. Kadar amoniak yang melebihi kadar yang dapat ditoleransi oleh induk ikan patin akan menyebabkan penurunan nafsu makan induk ikan patin siam (Sari, 2009). Selama penelitian, kadar amoniak yang terukur di lokasi penelitian menunjukkan nilai yang melebihi ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ikan patin siam, yaitu sebesar 0,05 mg/L sedangkan kadar amoniak di perairan yang dapat ditoleransi oleh patin adalah sekitar 0,02 mg/L.
Menurunnya nafsu makan pada ikan patin siam mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi. Bila jumlah pakan yang dikonsumsi berkurang, maka alokasi energi untuk kegiatan reproduksi ikan juga berkurang. Lebih jauh berkurangnya alokasi energi untuk kegiatan reproduksi berdampak pada perkembangan gonad ikan patin siam.
Sintasan Larva
Faktor yang mempengaruhi sintasan larva adalah kualitas telur yang dihasilkan. Menurut Laven dan Sorgeloos (1991) ada dua senyawa yang dinilai penting untuk perkembangan larva yaitu Highly Unsaturated Fatty Acid (HUFA) dan Vitamin C. Soliman et al. (1986) mengemukakan bahwa vitamin C dalam ransum yang diterima oleh induk dapat ditransfer ke telur, dan disiapkan untuk perkembangan embrio. Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperan dalam mendukung perkembangan embrio (Sandnes, 1991). Selama perkembangan embrio, kandungan vitamin C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto, dan Ikeda, 1987).
Selama perkembangan embrio kandungan vitamin C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto, dan Ikeda, 1987). Ketersediaan vitamin C pada stadium awal ini sangat bergantung pada ransum yang diterima oleh induk. Larva yang berhasil ditetaskan akan bergantung pada cadangan yolksack yang ada sampai memasuki tahap membuka mulut ketika mulai memakan pakan yang berasal dari luar (Watanabe dan Kiron, 1994) dan kemudian larva akan terlepas dari beberapa komponen kimia pada telur (Watanabe et al., 1984c; Verakunpiriya et al., 1996; Bell et al., 1997; Vassallo-Agius et al.,1998; Almansa et al., 1999). Larva ikan patin berkembang setiap saat, mulai dari organ hingga sifat-sifatnya termasuk sifat makannya.
Setelah menetas, organ tubuh larva belum sempurna. Pada saat itu larva tidak makan, tetapi akan menghabiskan kuning telur sebagai makanan cadangannya. Proses ini berlangsung selama kurang lebih dua hari. Habisnya yolksack yang terdapat pada embrio tergantung dari suhu pada saat pemeliharaan. Pada saat cadangan yolksack yang menempel pada embrio habis, embrio akan berada pada fase peralihan makanan dari yolksack ke pakan alami. Pada fase ini, merupakan fase kritis dalam pemeliharan embrio. Embrio banyak mengalami kematian akibat perubahan pola makan ini.
Ikan patin siam tidak mampu mensintesis vitamin C sehingga untuk mempertahankan metabolisme sel, vitamin C mutlak harus diperoleh dari luar tubuh (Faster dalam Sandnes, 1991) yaitu dari penambahan vitamin C dalam pakan yang diberikan. Ketidakmampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan karena tidak adanya enzim L-gulunolakton oksidase yang berperanan penting dalam konversi L-gulunolakton ke bentuk 2-keto-L-gulunolakton sebagai tahap akhir dalam sintesis vitamin C (Chaterje dalam Soliman et al.,1986). Selain itu, vitamin C merupakan senyawa yang labil terhadap panas dan mudah teroksidasi oleh udara (Halver, 1988). Selama proses pembuatan pakan dan perendaman di air, kandungan vitamin C pakan dapat berkurang, bergantung pada tipe vitamin C dan perekat makanan yang digunakan (Sandnes, 1991).
Faktor lain yang mempengaruhi sintasan larva adalah kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor krusial dalam pemeliharaan larva. Kondisi lingkungan yang memegang peranan penting adalah suhu. Pada saat pemeliharaan larva, kisaran suhu yang terukur berkisar antara 28-300C. Kisaran ini sesuai dengan kisaran yang dianjurkan pada saat pemeliharaan larva (Sunarma, 2007).
Kualitas Air
Parameter suhu yang terukur, kisaran suhu di atas kisaran suhu yang disarankan untuk budidaya ikan patin siam. Hal ini diduga disebabkan karena musim kemarau yang berlangsung pada saat pelaksanaan penelitian. Kisaran pH dan DO yang terukur di kolam penelitian masih dalam kisaran yang disarankan. Kadar amoniak yang terukur, nilainya melebihi ambang batas yang disarankan. Hal ini diduga disebabkan karena adanya pengaruh pemberian pakan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang mengendap di kolam pemeliharaan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian pakan dengan kandungan cacing tanah berbeda pada pakan uji induk ikan patin siam menghasilkan respons reproduktif yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian cacing tanah. Pemberian pakan dengan kandungan cacing tanah optimal sebesar 21% menghasilkan respons sintasan larva yang maksimal sebesar 60,32%.
Saran
Penggunaan tepung cacing tanah sebagai bahan pakan dengan penambahan sebanyak 21% dapat dilakukan untuk meningkatkan respons reproduktif induk ikan patin siam dengan sintasan yang maksimal. Perlu penelitian lanjutan tentang penggunaan penggunaan tepung cacing tanah sebagai bahan pakan yang dapat merangsang proses reproduksi ikan patin pada skala indoor.
Serta perlu penelitian yang bertujuan untuk mengurangi kadar abu di dalam tepung cacing tanah.
Hasil karya ilmiah dan telah di publikasikan oleh :
ROMI SUSANTI DAN ARIF MAYUDIN
Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak Jl. Ahmad Yani Pontianak 78124
DAFTAR PUSTAKA
Alava V.R., A. Kanazawa, S. Thesima dan S. Koshio. 1993. Effects Of Dietary Vitamin A, E, And C On The Ovarian Development Of Penaeus Japonicus. Nippon Suisan Gakkaishi. 59 (7): 1235-1241.
Axelrod, H. R., C. Emmens, W. Burges, N. Pronek, G. Axelrod. 1983. Exotic Tropical Fishes
(Expanded Edition). T.F.H. Publications, Inc. 211 West Sylvania Aveneu, Neptune City. 1302p.
Badruzzaman, Z. D. 1995. Pemberian Tepung Cacing Tanah sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Ransum terhadap Performansi Itik Tegal. Skripsi.
Effendi, M. I. 1978. Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 112p.
Fernandez-Palacios H., Izquierdo, M., Robaina, L., Valencia, A., Salhi, M., D. Montero. 1997. The Effect of Dietary Protein and Lipid From Squid and Fish Meals on Eggs Quality of Broodstock for Gilthead Seabream (Sparus aurata). Aquaculture 148, 233-246.
Ginzburg, A. S. 1972. Fertilization in Fishes and The Problem of Polyspermy. Israel Program for Scientific Translation, Jerusalem. 366pl.
Halver, J. E. 1976. Fish Nutrition. London and New York: Academic Press. 713p.
Izquierdo. M. S, Fernandez-Palacios H., Tacon, A.G.J. 2001. Effect of Broodstock Nutrition on Reproductive Performance of Fish. Elsivier.
Sadness K., Ulgenes, Y., Braekkan, O.R., F. Utne. 1984. The Effect of Ascorbic Acid Supplementation in Broodstock Feed on Reproduction of Rainbow Trout (Salmo gairdneri). Aquaculture 43, 167-177.
Sunarma, A. 2007. Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus). Sukabumi: BBPBAT.
Susanto dan Amri. 2001. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Marine Culture. JICA Textbook The General Aquaculture Course. Kanagawa International Fisheries Training Center, Japan International Agency.
Watanabe T., Fujimura, T., Lee, M.J., Fukusho, K., Satoh, S., T. Takeuchi. 1991b. Effect of Polar and Nonpolar Lipids from Krill on Quality of Eggs of Red Seabream Pagrus major. Nippon Suisan Gakkaishi 57 (4), 695-698.
Yulfiperius, Ing Mokoginta, dan D. Jusadi. 2003. Pengaruh Kadar Vitamin E dalam Pakan terhadap Kualitas Telur Ikan Patin (Pangasius hypothalmus). Jurnal Ikhtiologi Indonesia, Volume 3 Nomor 1, Juni 2003.
Untuk memenuhi permintaan ikan patin yang terus meningkat, maka dilakukan pengelolaan induk. Salah satu tujuan dari pengelolaan induk adalah untuk mendapatkan benih yang berkualitas dalam kuantitas yang memadai. Permasalahan dalam pengelolaan induk ikan patin siam adalah rendahnya derajat tetas telur yang diakibatkan karena tidak sesuainya kualitas pakan induk yang diberikan (Yulfiperius, et al., 2003). Untuk mendapatkan benih yang cukup dan bermutu baik salah satu caranya adalah dengan memperbaiki kualitas telur melalui perbaikan kualitas pakan yang diberikan.
Komposisi pakan yang baik dapat mempercepat perkembangan gonad dan fekunditas ikan (Halver, 1976). Kandungan nutrisi yang terkandung dalam pakan mempengaruhi proses reproduksi ikan terutama menyangkut lama waktu pemijahan dan kualitas telur yang dihasilkan. Kendala utama dalam perbaikan kualitas pakan adalah besarnya alokasi biaya untuk pengadaan pakan sekitar 60-70% dari komponen biaya produksi. Hal ini disebabkan karena bahan baku pembuat pakan yakni tepung ikan merupakan bahan baku impor. Hal ini menjadi sebuah masalah tersendiri dalam budidaya ikan yang dapat berdampak pada menurunnya pendapatan para pembudidaya ikan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan biaya produksi adalah dengan cara mencari bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai campuran pakan buatan, bahan pakan alternatif tersebut harus mengandung kadar nutrisi yang tinggi dan mudah didapat, yaitu dengan menambahkan bahan pakan alami dalam pakan induk. Pakan alami sangat dibutuhkan untuk pengembangan ikan secara menyeluruh, terutama pada saat atau menjelang pemijahan, karena kebutuhan asam amino esensial dan asam lemak esensial dapat dipenuhi oleh pakan alami (Axelrod et al., 1983).
Salah satu pakan alami yang dapat digunakan sebagai pakan induk adalah tepung cacing tanah. Cacing tanah dikenal sebagai umpan dalam kegiatan pemancingan ikan (Chumaidi, 2005). Cacing tanah memiliki kadar protein yang tinggi yaitu 61,47%, kadar lemak kasar 9,28%, dan karbohidrat 12%. Selain itu, cacing tanah juga mengandung tokoferol dan vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan dan dapat digunakan untuk memacu proses reproduksi ikan (www.o-fish.com).
Pemberian kombinasi tepung ikan dan tepung cacing tanah untuk memacu proses reproduksi pada ikan perlu diteliti lebih lanjut. Selain dapat memberikan informasi tentang manfaat tepung cacing tanah terhadap proses reproduksi ikan, sekaligus dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif induk patin siam (Pangasius hypopthalmus).
METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 di Loka Riset Perikanan Air Tawar Sukamandi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Obyek penelitian ini adalah ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) yang diberi pakan dari pelet dengan bahan baku campuran tepung cacing tanah.
Metode yang digunakan adalah model eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari empat perlakuan yaitu: a) perlakuan kontrol yaitu perlakuan tanpa penambahan tepung cacing tanah; b) penambahan tepung cacing tanah sebanyak 10% dari total formulasi bahan pakan; c) penambahan tepung cacing tanah sebanyak 20% dari total formulasi bahan pakan; dan d) penambahan tepung cacing tanah sebanyak 30% dari total formulasi bahan pakan. Setiap perlakuan masing-masing diulang sebanyak empat kali.
Parameter Yang Diamati
Tingkat Kematangan Gonad dan ukuran telur: Tingkat kematangan gonad dapat diketahui dengan cara mengamati ciri-ciri dari organ seksual induk ikan patin siam betina dengan menggunakan metode kanulasi (Effendi, 1997) dan pengukuran diameter telur dilakukan di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Ukuran telur ditentukan dengan mengambil contoh telur minimal sebanyak 100 butir telur yang diletakkan di atas obyek glass dan diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer (Effendi, 1978).
Pemberian Pakan Uji: Induk ikan patin siam betina diberi pakan dalam bentuk pelet tenggelam. Pakan kontrol dan pakan uji diformulasikan berdasarkan kadar protein yang dibutuhkan oleh ikan patin siam yaitu pelet dengan kadar protein sebesar ± 38%. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB sebanyak 1% perhari dari bobot tubuh total induk.
Penentuan Hewan Uji: Hewan uji yang digunakan adalah induk betina ikan patin siam yang berumur ± 2 tahun dengan bobot ± 2 kilogram yang diperoleh dari Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, Kabupaten Subang Jawa Barat. Jumlah induk betina yang digunakan sebanyak 16 ekor. Jumlah induk dalam perlakuan digunakan sebagai ulangan. Induk ikan patin siam jantan yang digunakan berumur ± 1 tahun dengan bobot ± 2 kilogram sebanyak 16 ekor.
Seleksi Induk: Induk yang digunakan dalam penelitian adalah induk-induk yang telah di grading berdasarkan tingkat kematangan gonad yang sama. Dasar yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad adalah berdasarkan pertimbangan morfologi yaitu warna dan perkembangan diameter telur. Induk-induk sebelum dilakukan penelitian diletakkan di dalam jaring sesuai dengan perlakuan. Setiap induk betina ikan patin siam diberi tagging agar mudah dalam memantau perkembangan tingkat kematangan gonadnya. Pengamatan perkembangan tingkat matang gonad induk betina ikan dapat dilakukan dua minggu sekali dengan cara diperiksa secara morfologi dan dengan menggunakan metode kanulasi. Selain dengan cara kanulasi, perkembangan tingkat kematangan gonad juga dapat dipantau dengan cara mengukur diameter sampel telur di bawah mikroskop binokuler.
Pemijahan: Induk disuntik pada bagian belakang sirip punggung sebelah kiri dengan menggunakan jarum suntik steril. Dosis hormon HCG yang disuntikkan sebanyak 500 IU/kg induk ikan patin siam betina. Setelah 24 jam, selanjutnya induk betina disuntik dengan menggunakan ovaprim. Induk disuntik pada bagian belakang sirip punggung sebelah kanan dengan menggunakan jarum suntik steril. Dosis hormon ovaprim yang disuntikkan sebanyak 0,5 ml/kg induk ikan patin siam betina. Setelah disuntik, ikan patin siam betina dicacat nomor tagging (tanda) yang telah disuntikkan ke dalam tubuhnya. Induk patin siam betina yang telah disuntik, dikembalikan ke dalam jaring. Kurang lebih setelah 10 jam dari waktu penyuntikan kedua, dilakukan stripping yaitu mengurut bagian perut dari depan ke arah lubang kelamin untuk mengeluarkan telur.
Telur yang diperoleh ditampung ke dalam baki plastik. Sedangkan sperma yang diperoleh ditampung di dalam mangkok. Kemudian sperma ditambahkan larutan fisiologis (NaCl 0,9%) dengan perbandingan NaCl dan sperma sebesar 4:1. Kemudian diaduk dengan menggunakan bulu ayam selama 1-2 menit. Langkah selanjutnya adalah mencampurkan sperma yang sudah diencerkan ke dalam telur, Perbandingan induk jantan dan betina adalah 1:1. Selanjutnya sperma yang telah dicampur dengan telur, diaduk dengan menggunakan bulu ayam sampai merata selama ± 3 menit, kemudian telur ditebar pada corong penetasan.
Pemeliharaan Larva: Pemeliharaan larva dilakukan di toples pemeliharaan. Larva yang berumur 30 jam sampai dengan umur dua hari, larva diberi pakan nauplii artemia. Naupli artemia diberikan setiap dua jam sekali.
Analisis Data: Data dianalisis dengan menggunakan analisis komparatif dan analisis asosiatif. Analisis komparatif dengan menggunakan analisis ragam (uji F) dan apabila F hitung lebih besar daripada F tabel, maka dilanjutkan dengan uji LSD.
HASIL
Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad pada awal penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematangan gonad induk patin siam betina berada pada tingkat kematangan gonad (TKG) I yang bercirikan rata-rata diameter telur pada setiap perlakuan berkisar antara 0,1 – 0,2 mm. Perkembangan diameter telur yang diambil dan diukur sebagai indikator kematangan seksual pada ikan patin siam, yang diamati tingkat kematangan gonad setiap dua minggu sekali sekali, menghasilkan keragaman yang jelas.
Respons tingkat kematangan gonad induk patin betina penambahan tepung cacing tanah dalam pakan yang diberikan dapat dilihat dari kecepatan perkembangan tingkat kematangan gonad pada setiap perlakuan yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Diameter Telur Perperiode Sampling pada Setiap Perlakuan
Hasil pengamatan menunjukkan keragaman respons sintasan larva terhadap penambahan tepung cacing tanah dalam pakan uji yang diberikan (Gambar 2).
Gambar 2. Nilai Rata-rata Sintasan Larva Ikan Patin Siam
Nilai rata-rata sintasan larva ikan patin siam tertinggi terdapat pada perlakuan pakan yang diberi penambahan cacing tanah sebesar 10% yaitu sebesar 59,57% kemudian diikuti oleh perlakuan pakan yang diberi penambahan cacing tanah sebesar 20%, 30% dan kontrol yang berturut-turut sebesar 59,45%, 59,4% dan 56,58%. Sintasan larva memberikan respons yang signifikan atas tingkat penambahan tepung cacing (Tabel 1).
Tabel 1. Respons Sintasan Larva
Penambahan Tepung Cacing Tanah (%)
Rata-rata
Kontrol (0%)
56.58a
10%
59.57b
20%
59.45b
30%
59.4b
Keterangan: Notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD pada taraf uji 5%.
Berdasarkan pada Tabel 1. tampak bahwa sintasan larva dipengaruhi jumlah penambahan tepung cacing tanah. Pakan dengan penambahan tepung cacing tanah sebesar 10% menghasilkan sintasan larva yang tidak berbeda dengan penambahan tepung sebanyak 20% dan 30%, begitu pula dengan pakan dengan penambahan tepung cacing tanah sebesar 20% menghasilkan sintasan larva yang tidak berbeda dengan penambahan tepung sebanyak 30%. Terdapat hubungan kuadratik antara jumlah penambahan tepung cacing dengan sintasan larva yang ditunjukan dengan persamaan Y = -0,008X2 + 0,335X + 56,814 dengan nilai R2 sebesar 0,622 (Gambar 3). Berdasarkan model di atas, titik maksimal sintasan larva 60,32% diperoleh pada penambahan tepung cacing optimal sebesar 21%. Nilai duga titik optimum ini tidak jauh berbeda dengan nilai dugaan sementara pada 20%.
Gambar 3. Hubungan antara Sintasan Larva dengan Penambahan Tepung Cacing Tanah
Pengukuran kualitas air pada penelitian ini meliputi pengukuran suhu, pH, DO dan kadar ammonia. Pengukuran kualitas air dilakukan pada setiap seminggu sekali selama penelitian berlangsung. Kisaran parameter kualitas air di kolam pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran Parameter Kualitas Air di Kolam Pemeliharaan
Nomor
Keterangan
Parameter Kualitas Air
Suhu ( 0C) pH
DO
(mg/L)
Amonia ** ( mg/L)
1.
Kisaran yang terukur waktu penelitian
6,11
28,4 – 31,3 –
7,95
4,1 – 7,91
0,05
2.
Kisaran yang disarankan*
25-30 6,0-8,0
>4
0,02
Keterangan : ** Sunarma (2007)
** = data tidak berupa kisaran
PEMBAHASAN
Tingkat Kematangan Gonad dan Ukuran Telur
Perlakuan yang diberi penambahan tepung cacing menghasilkan proses pematangan gonad yang lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak diberi penambahan tepung cacing. Pada periode sampling yang ketiga dan keempat (Gambar 1.) jumlah sel telur rata-rata yang ada pada diameter ukuran 0,6-0,8 (TKG III) maupun diameter 0,9-1,1 mm (TKG IV) pada perlakuan pakan yang diberi penambahan tepung cacing tanah sebesar 10%, 20% dan 30% lebih banyak dibandingkan jumlah sel telur rata-rata pada perlakuan kontrol.
Perbedaan kecepatan perkembangan diameter telur ini diduga disebabkan karena adanya perbedaan kandungan Highly Unsaturated Fatty Acid (HUFA) pada pakan uji yang diberikan. Penambahan tepung cacing tanah meningkatkan kandungan HUFA pada pakan uji serta menyebabkan perkembangan diameter telur pada ketiga perlakuan ini menjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Selain itu, kadar protein juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan diameter telur ikan patin siam.
Izqueirdo et al., (2001) menyatakan bahwa HUFA berperan secara langsung maupun tidak langsung proses pematangan gonad dan proses steroidogenesis. Kadar HUFA pada telur gilthead seabream akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar n-3 HUFA pada pakan yang diberikan, terutama peningkatan 18:3Ω-3, 18:4Ω-3 dan 20:5Ω-3 (EPA, asam eicopentaenoik) (Fernandez-Palacios et al.,1995).
Pakan dengan kadar protein yang rendah mempengaruhi komposisi protein pada induk yang kemudian digunakan oleh tubuh sebagai cadangan untuk pembentukan dan pematangan gonad (Gunasekera et al., 1996; Al Hafedh, et al.,1999). Minissery et al.,(2001) melaporkan bahwa tingkat pemberian protein akan berpengaruh terhadap ukuran diameter telur pada common carp.
Selama pengamatan diameter telur, masih banyak telur dengan diameter yang tidak seragam. Hal ini yang menyebabkan minimnya jumlah induk yang dapat berovulasi.
Ketidakseragaman diameter telur ini diduga terkait dengan perkembangan gonad yang kurang optimal. Hal ini disebabkan karena energi dari pakan yang dikonsumsi yang dialokasikan untuk kegiatan reproduksi tidak dapat terserap secara maksimal. Faktor yang mempengaruhi penyerapan energi dari pakan yang dikonsumsi adalah faktor pakan dan lingkungan perairan. Penambahan tepung cacing dalam pakan uji menyebabkan kadar abu yang terukur menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan pakan kontrol. Tingginya kadar abu ini diduga akan menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan energi dari pakan yang diberikan (Badruzzaman, 1995).
Selain itu, beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyerapan energi dari pakan yang dikonsumsi oleh ikan patin siam antara lain kadar amoniak. Kadar amoniak yang melebihi kadar yang dapat ditoleransi oleh induk ikan patin akan menyebabkan penurunan nafsu makan induk ikan patin siam (Sari, 2009). Selama penelitian, kadar amoniak yang terukur di lokasi penelitian menunjukkan nilai yang melebihi ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ikan patin siam, yaitu sebesar 0,05 mg/L sedangkan kadar amoniak di perairan yang dapat ditoleransi oleh patin adalah sekitar 0,02 mg/L.
Menurunnya nafsu makan pada ikan patin siam mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi. Bila jumlah pakan yang dikonsumsi berkurang, maka alokasi energi untuk kegiatan reproduksi ikan juga berkurang. Lebih jauh berkurangnya alokasi energi untuk kegiatan reproduksi berdampak pada perkembangan gonad ikan patin siam.
Sintasan Larva
Faktor yang mempengaruhi sintasan larva adalah kualitas telur yang dihasilkan. Menurut Laven dan Sorgeloos (1991) ada dua senyawa yang dinilai penting untuk perkembangan larva yaitu Highly Unsaturated Fatty Acid (HUFA) dan Vitamin C. Soliman et al. (1986) mengemukakan bahwa vitamin C dalam ransum yang diterima oleh induk dapat ditransfer ke telur, dan disiapkan untuk perkembangan embrio. Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperan dalam mendukung perkembangan embrio (Sandnes, 1991). Selama perkembangan embrio, kandungan vitamin C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto, dan Ikeda, 1987).
Selama perkembangan embrio kandungan vitamin C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto, dan Ikeda, 1987). Ketersediaan vitamin C pada stadium awal ini sangat bergantung pada ransum yang diterima oleh induk. Larva yang berhasil ditetaskan akan bergantung pada cadangan yolksack yang ada sampai memasuki tahap membuka mulut ketika mulai memakan pakan yang berasal dari luar (Watanabe dan Kiron, 1994) dan kemudian larva akan terlepas dari beberapa komponen kimia pada telur (Watanabe et al., 1984c; Verakunpiriya et al., 1996; Bell et al., 1997; Vassallo-Agius et al.,1998; Almansa et al., 1999). Larva ikan patin berkembang setiap saat, mulai dari organ hingga sifat-sifatnya termasuk sifat makannya.
Setelah menetas, organ tubuh larva belum sempurna. Pada saat itu larva tidak makan, tetapi akan menghabiskan kuning telur sebagai makanan cadangannya. Proses ini berlangsung selama kurang lebih dua hari. Habisnya yolksack yang terdapat pada embrio tergantung dari suhu pada saat pemeliharaan. Pada saat cadangan yolksack yang menempel pada embrio habis, embrio akan berada pada fase peralihan makanan dari yolksack ke pakan alami. Pada fase ini, merupakan fase kritis dalam pemeliharan embrio. Embrio banyak mengalami kematian akibat perubahan pola makan ini.
Ikan patin siam tidak mampu mensintesis vitamin C sehingga untuk mempertahankan metabolisme sel, vitamin C mutlak harus diperoleh dari luar tubuh (Faster dalam Sandnes, 1991) yaitu dari penambahan vitamin C dalam pakan yang diberikan. Ketidakmampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan karena tidak adanya enzim L-gulunolakton oksidase yang berperanan penting dalam konversi L-gulunolakton ke bentuk 2-keto-L-gulunolakton sebagai tahap akhir dalam sintesis vitamin C (Chaterje dalam Soliman et al.,1986). Selain itu, vitamin C merupakan senyawa yang labil terhadap panas dan mudah teroksidasi oleh udara (Halver, 1988). Selama proses pembuatan pakan dan perendaman di air, kandungan vitamin C pakan dapat berkurang, bergantung pada tipe vitamin C dan perekat makanan yang digunakan (Sandnes, 1991).
Faktor lain yang mempengaruhi sintasan larva adalah kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor krusial dalam pemeliharaan larva. Kondisi lingkungan yang memegang peranan penting adalah suhu. Pada saat pemeliharaan larva, kisaran suhu yang terukur berkisar antara 28-300C. Kisaran ini sesuai dengan kisaran yang dianjurkan pada saat pemeliharaan larva (Sunarma, 2007).
Kualitas Air
Parameter suhu yang terukur, kisaran suhu di atas kisaran suhu yang disarankan untuk budidaya ikan patin siam. Hal ini diduga disebabkan karena musim kemarau yang berlangsung pada saat pelaksanaan penelitian. Kisaran pH dan DO yang terukur di kolam penelitian masih dalam kisaran yang disarankan. Kadar amoniak yang terukur, nilainya melebihi ambang batas yang disarankan. Hal ini diduga disebabkan karena adanya pengaruh pemberian pakan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang mengendap di kolam pemeliharaan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian pakan dengan kandungan cacing tanah berbeda pada pakan uji induk ikan patin siam menghasilkan respons reproduktif yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa pemberian cacing tanah. Pemberian pakan dengan kandungan cacing tanah optimal sebesar 21% menghasilkan respons sintasan larva yang maksimal sebesar 60,32%.
Saran
Penggunaan tepung cacing tanah sebagai bahan pakan dengan penambahan sebanyak 21% dapat dilakukan untuk meningkatkan respons reproduktif induk ikan patin siam dengan sintasan yang maksimal. Perlu penelitian lanjutan tentang penggunaan penggunaan tepung cacing tanah sebagai bahan pakan yang dapat merangsang proses reproduksi ikan patin pada skala indoor.
Serta perlu penelitian yang bertujuan untuk mengurangi kadar abu di dalam tepung cacing tanah.
Hasil karya ilmiah dan telah di publikasikan oleh :
ROMI SUSANTI DAN ARIF MAYUDIN
Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak Jl. Ahmad Yani Pontianak 78124
DAFTAR PUSTAKA
Alava V.R., A. Kanazawa, S. Thesima dan S. Koshio. 1993. Effects Of Dietary Vitamin A, E, And C On The Ovarian Development Of Penaeus Japonicus. Nippon Suisan Gakkaishi. 59 (7): 1235-1241.
Axelrod, H. R., C. Emmens, W. Burges, N. Pronek, G. Axelrod. 1983. Exotic Tropical Fishes
(Expanded Edition). T.F.H. Publications, Inc. 211 West Sylvania Aveneu, Neptune City. 1302p.
Badruzzaman, Z. D. 1995. Pemberian Tepung Cacing Tanah sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Ransum terhadap Performansi Itik Tegal. Skripsi.
Effendi, M. I. 1978. Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 112p.
Fernandez-Palacios H., Izquierdo, M., Robaina, L., Valencia, A., Salhi, M., D. Montero. 1997. The Effect of Dietary Protein and Lipid From Squid and Fish Meals on Eggs Quality of Broodstock for Gilthead Seabream (Sparus aurata). Aquaculture 148, 233-246.
Ginzburg, A. S. 1972. Fertilization in Fishes and The Problem of Polyspermy. Israel Program for Scientific Translation, Jerusalem. 366pl.
Halver, J. E. 1976. Fish Nutrition. London and New York: Academic Press. 713p.
Izquierdo. M. S, Fernandez-Palacios H., Tacon, A.G.J. 2001. Effect of Broodstock Nutrition on Reproductive Performance of Fish. Elsivier.
Sadness K., Ulgenes, Y., Braekkan, O.R., F. Utne. 1984. The Effect of Ascorbic Acid Supplementation in Broodstock Feed on Reproduction of Rainbow Trout (Salmo gairdneri). Aquaculture 43, 167-177.
Sunarma, A. 2007. Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus). Sukabumi: BBPBAT.
Susanto dan Amri. 2001. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Marine Culture. JICA Textbook The General Aquaculture Course. Kanagawa International Fisheries Training Center, Japan International Agency.
Watanabe T., Fujimura, T., Lee, M.J., Fukusho, K., Satoh, S., T. Takeuchi. 1991b. Effect of Polar and Nonpolar Lipids from Krill on Quality of Eggs of Red Seabream Pagrus major. Nippon Suisan Gakkaishi 57 (4), 695-698.
Yulfiperius, Ing Mokoginta, dan D. Jusadi. 2003. Pengaruh Kadar Vitamin E dalam Pakan terhadap Kualitas Telur Ikan Patin (Pangasius hypothalmus). Jurnal Ikhtiologi Indonesia, Volume 3 Nomor 1, Juni 2003.
0 comments:
Post a Comment