Wilayah pesisir merupakan suatu daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang memiliki produktivitas hayati tinggi. Adanya pasokan unsur hara dari daratan melalui aliran sungai dan aliran air permukaan ketika hujan, serta tumbuh dan berkembangnya berbagai ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria, menyebabkan wilayah pesisir sangat subur. Dengan potensi tersebut dan aksesibilitasnya yang mudah, wilayah pesisir dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.
Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan kom-paratif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beranekaragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah, sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Namun demikian, di balik potensi tersebut, keberadaan sumberdaya sering terancam akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.
Dalam dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya pembangunan ini serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya adalah terjadinya degradasi ekosistem alami.
Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove.
Luas hutan mangrove Indonesia menurut Departemen Kehutanan pada Tahun 1982 sekitar 4,25 juta ha. Hasil Inventarisasi Hutan Nasional yang dilakukan oleh Departemen yang sama menyebutkan bahwa luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1996 tinggal 3,53 juta ha. Dengan demikian dalam kurun waktu 14 Tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan hal ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia.
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Kawasan mangrove sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia dan hewan yang hidup di dalamnya atau sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu.
Berbagai fungsi dan manfaat hutan mangrove bagi manusia dan lingkungan sekitarnya telah diketahui secara umum. Mangrove, magal, bakau, hutan pantai, dan hutan api-api adalah sebutan untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus. Mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan laut. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut, serta merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput, dan hewan jenis lainnya. Disamping itu, hutan mangrove juga merupakan tempat habitat kehidupan satwa liar seperti monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung. Adapun arti penting hutan mangrove dari aspek sosial ekonomis dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu dan juga tempat wisata alam. Selain itu juga sebagai kehidupan dan sumber rezeki masyarakat nelayan dan petani di tepi pantai yang sangat tergantung kepada sumberdaya alam dari hutan mangrove.
Kerusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir Pulau Jawa misalnya, semakin cepat berlangsung seiring dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian yang lebih mengarah pada daerah pantai. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian, pemukiman, dan tempat rekreasi, serta sebagian kecil karena bencana alam (banjir, kekeringan, dan badai tsunami) serta serangan hama penyakit (Purnobasuki, 2005).
Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai strategis dari keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan sumber-daya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di Indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya. Berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memper-hatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir.
Dengan demikian, pelibatan masya-rakat dalam pengembangan dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di Indonesia yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan. Selain itu, dengan modal pengambangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya ke-bijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Indonesia upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan.
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan penelitian dibatasi dengan rumusan masalah: (1). Bagaimana kondisi kawasan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (2). Bagaimana partisipasi masyarakat dan menge-lompokkan faktor-faktor partisipasi masya-rakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (3). Bagaimana pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (4). Bagaimana pengembangan pengelolaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat?
Untuk menjawab rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian: (1). Untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi kawasan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (2). Untuk menge-lompokkan atau memetakan faktor-faktor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (3) Mengkaji pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (4) Meng-ambangkan pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Seperti yang kita ketahui bahwa metode deskriptif dirancang untuk mengumpulakan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung). Tujuan utama kita dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Travers, 1978 dalam Sevilla et. al, 1993).
Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Selat Madura Jawa Timur, tepatnya di wilayah pesisir Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik sampel bertujuan atau purposive sampling. Sampling dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan dalam sampel dilakukan dengan sengaja, dengan catatan bahwa sampel tersebut representative atau mewakili populasi. Dalam penelitian mengenai partisipasi masyarakat terhadap upaya pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Probolinggo, sampel responden diambil berdasarkan keterkaitan sampel dengan obyek penelitian. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi, dalam hal ini adalah pengguna sumber daya, pemangku kepentingan dan masyarakat pesisir Kecamatan Gending yang berada dalam wilayah ekosistem hutan mangrove. Dasar pertimbangan yang menyebabkan peneliti memilih sampel responden pada masyarakat pesisir Kecamatan Gending karena masyarakat tersebut mendiami pesisir pantai tersebut dan aktivitas yang dilakukan sehari-hari berhubungan langsung dengan kawasan mangrove di Kecamatan Gending.
Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelotian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data biofisik dan data sosial masyarakat, yang diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan lewat pengamatan/ analisis langsung dilapangan dan survey, yaitu wawancara langsung dengan masyarakat dan studi literatur.
Metode Analisis Data
1. Analisis Vegetasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2002), data-data mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon yang telah dicatat, diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan nilai penting jenis.
Kerapatan Spesies (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:
Di = ni / A
dimana, Di. adalah kerapatan spesies i, ni. adalah jumlah total individu dari spesies i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).
Kerapatan Relatif Spesies (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies i (ni) dan jumlah total individu seluruh spesies (Σn) :
RDi = (ni / Σn)x100
Frekuensi Spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies i dalam petak contoh/plot yang diamati :
Fi = pi / Σp
dimana, Fi adalah frekuensi spesies i, pi adalah jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan spesies i, dan Σp adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.
Frekuensi Relatif Spesies (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies (ΣF) :
RFi = (Fi /ΣF) x 100
Penutupan Spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies i dalam suatu unit area:
Ci = ΣBA/A
dimana, BA=πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter pohon dari jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH /π (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.
Penutupan Relatif Spesies (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan spesies i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh spesies (ΣCi) :
RCi = (Ci /ΣCi)xl00
Nilai Penting Jenis (IVi) adalah jumlah nilai kerapatan relatif spesies (RDi), frekuensi relatif spesies (RFi) dan penutupan relatif spesies (RCi)
IVi = RDi + RFi + RCi
Indeks Keaneka-ragaman
H’ = - Σ ni/N ln ni/N
dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner; ni = jumlah individu dari suatu jenis i; N = jumlah total individu seluruh jenis.
2. Analisis Faktor Masyarakat dan Kelembagaan
Untuk melihat faktor-faktor keadaan sosial masyarakat dan partisipasi masyarakat digunakan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Mangrove
Vegetasi mangrove menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Menurut Purnobasuki (2005), hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai (selain dari formasi hutan pantai) yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Vegetasi hutan mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tumbuhan bakau (Rhizophora sp.), api-api (Avicenia spp.), prepat (Sonnerateria spp.), dan tanjang (Bruguiera spp.).
Berdasarkan hasil penelititan yang dilakukan di Kecamatan Gending spesies vegetasi mangrove yang ditemukan meliputi tujuh spesies dari tiga famili, yaitu famili Avicenniaceae (Avicennia alba dan Avicennia marina), famili Rhizophoraceae (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Bruguiera gymnorrhiza), dan famili Sonneratiaceae (Sonneratia alba).
Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove
a. Tingkatan pohon
Dalam penelitian ini nilai penting jenis (IVi) paling tinggi tiap stasiun adalah Avicennia marina (164,749) pada stasiun I, Avicennia alba (166,878) pada stasiun II, Avicennia marina (110,054) pada stasiun III, Avicennia marina (117,263) pada stasiun V, stasiun VI jenis Avicennia marina (177,621), Sonneratia alba (61,437) pada stasiun VII, dan pada stasiun VIII jenis Sonneratia alba (103,079).
Untuk mengetahui keadaan pe-nguasaan spesies vegetasi dalam suatu masyarakat tumbuhan di habitatnya, dipergunakan Indeks Nilai Penting (INP). Semakin tinggi nilai INP suatu spesies maka semakin besar peran spesies tersebut dalam komunitasnya. Secara umum tingkatan pohon didominasi oleh genus Avicennia spp. dan Soneratia spp. Menurut Bengen (2002) daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicenia spp. Pada zona ini biasanya berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam. Lebih tegas Arief (2003) menyatakan bahwa genus Avicennia spp. banyak ditemui berasosiasi dengan Sonneratia spp.
b. Tingkatan Tiang
Dari hasil analisis vegetasi pada stasiun I Nilai Penting jenis (IVi) terbesar adalah jenis Rhizophora mucronata (70,586). Tingginya Nilai Penting Jenis pada stasiun I dipengaruhi oleh nilai kerapatan relatif jenis (37,143) dan nilai frekuensi relatif jenis (26,667) yang tinggi.
Pada stasiun I memiliki nilai penting jenis (IVi) yang hampir sama besarannya atau tidak ada jenis mangrove yang terlalu dominan (tabel 5.11). Hal sama juga terjadi pada stasiun III, dimana nilai penting jenis (IVi) paling tinggi adalah jenis mangrove Rhizophora mucronata (72,498) dan tidak terlalu mendominasi. Ini dapat dilihat dari selisih nilai penting jenis (IVi) dengan spesies lain tidak berbeda jauh.
Untuk ini semakin heterogen jenis dalam suatu komunitas maka peranan akan makin terbagi-bagi dan besarnya indeks nilai penting akan semakin bervariasi. Namun sebaliknya, semakin homogen jenis di dalam komunitas maka peranan jenis akan lebih terpusatkan pada beberapa jenis, bahkan mungkin hanya pada suatu jenis jika masyarakat tumbuhan tersebut membentuk suatu konsosiasi. Sangat berbeda pada stasiun II, dimana jenis Rhizophora mucronata sangat men-dominasi dengan nilai penting jenis sebesar 118,501. Jenis yang memperoleh INP tinggi berarti mempunyai nilai kumulatif penguasaan yang lebih besar dan lebih menguasai habitatnya. Jenis ini akan lebih unggul dalam memanfaatkan sumbedaya atau lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Jenis Rhizophora mucronata juga mendominasi pada stasiun VII dengan nilai penting sebesar 78,51.
Pada stasiun IV jenis spesies mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora stylosa (111,686). Sedangkan pada stasiun V, VI dan VIII nilai penting jenis yang tertinggi pada spesies Avicennia marina dengan nilai secara berturut-turut 90,884; 88,470; 60,824. Tingginya nilai penting jenis ini disebabkan oleh sebagian besar tingginya nilai kerapatan relatif jenis pada setiap stasiun pengamatan. Dalam pengkajian suatu vegetasi, kerapatan populasi seringkali merupakan ciri populasi yang pertama kali mendapatkan perhatian. Pengaruh suatu populasi terdapat komunitas dan ekosistem tidak hanya bergantung kepada spesies dari organisasi yang terlibat tetapi bergantung juga pada jumlah atau kerapatan populasi (Odum, 1993).
c. Tingkatan Pancang
Dari hasil perhitungan nilai penting jenis (IVi) paling tinggi pada setiap stasiun adalah Rhizophora mucronata (78,437) pada stasiun I, Rhizophora mucronata (163,693) pada stasiun II, Sonneratia alba (63,751) pada stasiun III, Rhizophora stylosa (107,205) pada stasiun IV, Rhizophora apiculata (70,997) pada stasiun V, Avicennia marina (89,771) pada stasiun VI, pada stasiun VII jenis Rhizophora stylosa (67,306) dan pada stasiun VIII jenis Avicennia alba (62,021).
Pada tingkat pancang didominasi oleh spesies Rhizophora spp. hal ini dapat dilihat dari nilai penting jenis (IVi) dan keberadaan spesies ini di hampir setiap stasiun pengamatan kecuali pada stasiun III genus Sonneratia spp., dan stasiun VI dan VIII genus Avicennia spp. Ketiga spesies ini merupakan tumbuhan mangrove mayor yang biasa mendominasi kawasan mangrove. Dominansi Rhizophora spp. disebabkan karena substrat yang berlumpur dan agak berpasir. Menurut Kusmana et al. (2003) Rhizophora stylosa tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir, dan batu, sedangkan Rhizophora mucronata menyukai areal yang lebih toleran dengan substrat yang lebih keras dan pasir.
d. Tingkatan Semai
Dari analisis vegetasi tingkatan semai yang memiliki nilai penting jenis (IVi) yang tinggi di setiap stasiun adalah Rhizophora mucronata (120,170) pada stasiun I, Rhizophora Mucronata (165,057) di stasiun II, Sonneratia alba (86,366) pad stasiun III, Rhizophora stylosa (154,339) pada stasiun IV, Avicennia marina (68,29) pada stasiun V, Rhizophora mucronata (97,173) di stasiun VI, Rhizophora mucronata (65,420) pada stasiun VII, dan Rhizophora stylosa (77,436) di stasiun VIII.
Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan kom-paratif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beranekaragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah, sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Namun demikian, di balik potensi tersebut, keberadaan sumberdaya sering terancam akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.
Dalam dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya pembangunan ini serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Permasalahan tersebut diantaranya adalah terjadinya degradasi ekosistem alami.
Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan aspek kelestariannya adalah hutan mangrove.
Luas hutan mangrove Indonesia menurut Departemen Kehutanan pada Tahun 1982 sekitar 4,25 juta ha. Hasil Inventarisasi Hutan Nasional yang dilakukan oleh Departemen yang sama menyebutkan bahwa luas hutan mangrove Indonesia pada tahun 1996 tinggal 3,53 juta ha. Dengan demikian dalam kurun waktu 14 Tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan hal ini terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia.
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Kawasan mangrove sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia dan hewan yang hidup di dalamnya atau sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu.
Berbagai fungsi dan manfaat hutan mangrove bagi manusia dan lingkungan sekitarnya telah diketahui secara umum. Mangrove, magal, bakau, hutan pantai, dan hutan api-api adalah sebutan untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus. Mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan laut. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut, serta merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput, dan hewan jenis lainnya. Disamping itu, hutan mangrove juga merupakan tempat habitat kehidupan satwa liar seperti monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung. Adapun arti penting hutan mangrove dari aspek sosial ekonomis dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu dan juga tempat wisata alam. Selain itu juga sebagai kehidupan dan sumber rezeki masyarakat nelayan dan petani di tepi pantai yang sangat tergantung kepada sumberdaya alam dari hutan mangrove.
Kerusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir Pulau Jawa misalnya, semakin cepat berlangsung seiring dengan bertambahnya usaha-usaha perekonomian yang lebih mengarah pada daerah pantai. Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar kawasan mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia dalam memanfaatkan dan membabat mangrove untuk usaha pertambakan, perindustrian, pertanian, pemukiman, dan tempat rekreasi, serta sebagian kecil karena bencana alam (banjir, kekeringan, dan badai tsunami) serta serangan hama penyakit (Purnobasuki, 2005).
Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Untuk dapat melakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai strategis dari keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan sumber-daya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di Indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya. Berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi juga sistem sosial. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memper-hatikan sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar bangsa bahari. Bila mereka berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal, mereka bisa menjadi pengawas laut yang efektif, menjadi pengelola perikanan lokal karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge), serta pendorong tumbuhnya ekonomi pesisir.
Dengan demikian, pelibatan masya-rakat dalam pengembangan dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di Indonesia yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan. Selain itu, dengan modal pengambangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kedasaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya ke-bijakan tersebut sulit dicapai. Oleh sebab itu, untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber daya laut di Indonesia upaya menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut harus selalu dilakukan.
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan penelitian dibatasi dengan rumusan masalah: (1). Bagaimana kondisi kawasan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (2). Bagaimana partisipasi masyarakat dan menge-lompokkan faktor-faktor partisipasi masya-rakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (3). Bagaimana pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending?; (4). Bagaimana pengembangan pengelolaan hutan mangrove yang berbasis masyarakat?
Untuk menjawab rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian: (1). Untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi kawasan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (2). Untuk menge-lompokkan atau memetakan faktor-faktor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (3) Mengkaji pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Gending; (4) Meng-ambangkan pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitik dengan metode survei. Seperti yang kita ketahui bahwa metode deskriptif dirancang untuk mengumpulakan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung). Tujuan utama kita dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Travers, 1978 dalam Sevilla et. al, 1993).
Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Selat Madura Jawa Timur, tepatnya di wilayah pesisir Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik sampel bertujuan atau purposive sampling. Sampling dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan dalam sampel dilakukan dengan sengaja, dengan catatan bahwa sampel tersebut representative atau mewakili populasi. Dalam penelitian mengenai partisipasi masyarakat terhadap upaya pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Probolinggo, sampel responden diambil berdasarkan keterkaitan sampel dengan obyek penelitian. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi, dalam hal ini adalah pengguna sumber daya, pemangku kepentingan dan masyarakat pesisir Kecamatan Gending yang berada dalam wilayah ekosistem hutan mangrove. Dasar pertimbangan yang menyebabkan peneliti memilih sampel responden pada masyarakat pesisir Kecamatan Gending karena masyarakat tersebut mendiami pesisir pantai tersebut dan aktivitas yang dilakukan sehari-hari berhubungan langsung dengan kawasan mangrove di Kecamatan Gending.
Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelotian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data biofisik dan data sosial masyarakat, yang diperoleh dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan lewat pengamatan/ analisis langsung dilapangan dan survey, yaitu wawancara langsung dengan masyarakat dan studi literatur.
Metode Analisis Data
1. Analisis Vegetasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2002), data-data mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon yang telah dicatat, diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan nilai penting jenis.
Kerapatan Spesies (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:
Di = ni / A
dimana, Di. adalah kerapatan spesies i, ni. adalah jumlah total individu dari spesies i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).
Kerapatan Relatif Spesies (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu spesies i (ni) dan jumlah total individu seluruh spesies (Σn) :
RDi = (ni / Σn)x100
Frekuensi Spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies i dalam petak contoh/plot yang diamati :
Fi = pi / Σp
dimana, Fi adalah frekuensi spesies i, pi adalah jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan spesies i, dan Σp adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.
Frekuensi Relatif Spesies (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies (ΣF) :
RFi = (Fi /ΣF) x 100
Penutupan Spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies i dalam suatu unit area:
Ci = ΣBA/A
dimana, BA=πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter pohon dari jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH /π (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.
Penutupan Relatif Spesies (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan spesies i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh spesies (ΣCi) :
RCi = (Ci /ΣCi)xl00
Nilai Penting Jenis (IVi) adalah jumlah nilai kerapatan relatif spesies (RDi), frekuensi relatif spesies (RFi) dan penutupan relatif spesies (RCi)
IVi = RDi + RFi + RCi
Indeks Keaneka-ragaman
H’ = - Σ ni/N ln ni/N
dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner; ni = jumlah individu dari suatu jenis i; N = jumlah total individu seluruh jenis.
2. Analisis Faktor Masyarakat dan Kelembagaan
Untuk melihat faktor-faktor keadaan sosial masyarakat dan partisipasi masyarakat digunakan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Mangrove
Vegetasi mangrove menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Menurut Purnobasuki (2005), hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai (selain dari formasi hutan pantai) yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Vegetasi hutan mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tumbuhan bakau (Rhizophora sp.), api-api (Avicenia spp.), prepat (Sonnerateria spp.), dan tanjang (Bruguiera spp.).
Berdasarkan hasil penelititan yang dilakukan di Kecamatan Gending spesies vegetasi mangrove yang ditemukan meliputi tujuh spesies dari tiga famili, yaitu famili Avicenniaceae (Avicennia alba dan Avicennia marina), famili Rhizophoraceae (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Bruguiera gymnorrhiza), dan famili Sonneratiaceae (Sonneratia alba).
Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove
a. Tingkatan pohon
Dalam penelitian ini nilai penting jenis (IVi) paling tinggi tiap stasiun adalah Avicennia marina (164,749) pada stasiun I, Avicennia alba (166,878) pada stasiun II, Avicennia marina (110,054) pada stasiun III, Avicennia marina (117,263) pada stasiun V, stasiun VI jenis Avicennia marina (177,621), Sonneratia alba (61,437) pada stasiun VII, dan pada stasiun VIII jenis Sonneratia alba (103,079).
Untuk mengetahui keadaan pe-nguasaan spesies vegetasi dalam suatu masyarakat tumbuhan di habitatnya, dipergunakan Indeks Nilai Penting (INP). Semakin tinggi nilai INP suatu spesies maka semakin besar peran spesies tersebut dalam komunitasnya. Secara umum tingkatan pohon didominasi oleh genus Avicennia spp. dan Soneratia spp. Menurut Bengen (2002) daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicenia spp. Pada zona ini biasanya berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam. Lebih tegas Arief (2003) menyatakan bahwa genus Avicennia spp. banyak ditemui berasosiasi dengan Sonneratia spp.
b. Tingkatan Tiang
Dari hasil analisis vegetasi pada stasiun I Nilai Penting jenis (IVi) terbesar adalah jenis Rhizophora mucronata (70,586). Tingginya Nilai Penting Jenis pada stasiun I dipengaruhi oleh nilai kerapatan relatif jenis (37,143) dan nilai frekuensi relatif jenis (26,667) yang tinggi.
Pada stasiun I memiliki nilai penting jenis (IVi) yang hampir sama besarannya atau tidak ada jenis mangrove yang terlalu dominan (tabel 5.11). Hal sama juga terjadi pada stasiun III, dimana nilai penting jenis (IVi) paling tinggi adalah jenis mangrove Rhizophora mucronata (72,498) dan tidak terlalu mendominasi. Ini dapat dilihat dari selisih nilai penting jenis (IVi) dengan spesies lain tidak berbeda jauh.
Untuk ini semakin heterogen jenis dalam suatu komunitas maka peranan akan makin terbagi-bagi dan besarnya indeks nilai penting akan semakin bervariasi. Namun sebaliknya, semakin homogen jenis di dalam komunitas maka peranan jenis akan lebih terpusatkan pada beberapa jenis, bahkan mungkin hanya pada suatu jenis jika masyarakat tumbuhan tersebut membentuk suatu konsosiasi. Sangat berbeda pada stasiun II, dimana jenis Rhizophora mucronata sangat men-dominasi dengan nilai penting jenis sebesar 118,501. Jenis yang memperoleh INP tinggi berarti mempunyai nilai kumulatif penguasaan yang lebih besar dan lebih menguasai habitatnya. Jenis ini akan lebih unggul dalam memanfaatkan sumbedaya atau lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Jenis Rhizophora mucronata juga mendominasi pada stasiun VII dengan nilai penting sebesar 78,51.
Pada stasiun IV jenis spesies mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora stylosa (111,686). Sedangkan pada stasiun V, VI dan VIII nilai penting jenis yang tertinggi pada spesies Avicennia marina dengan nilai secara berturut-turut 90,884; 88,470; 60,824. Tingginya nilai penting jenis ini disebabkan oleh sebagian besar tingginya nilai kerapatan relatif jenis pada setiap stasiun pengamatan. Dalam pengkajian suatu vegetasi, kerapatan populasi seringkali merupakan ciri populasi yang pertama kali mendapatkan perhatian. Pengaruh suatu populasi terdapat komunitas dan ekosistem tidak hanya bergantung kepada spesies dari organisasi yang terlibat tetapi bergantung juga pada jumlah atau kerapatan populasi (Odum, 1993).
c. Tingkatan Pancang
Dari hasil perhitungan nilai penting jenis (IVi) paling tinggi pada setiap stasiun adalah Rhizophora mucronata (78,437) pada stasiun I, Rhizophora mucronata (163,693) pada stasiun II, Sonneratia alba (63,751) pada stasiun III, Rhizophora stylosa (107,205) pada stasiun IV, Rhizophora apiculata (70,997) pada stasiun V, Avicennia marina (89,771) pada stasiun VI, pada stasiun VII jenis Rhizophora stylosa (67,306) dan pada stasiun VIII jenis Avicennia alba (62,021).
Pada tingkat pancang didominasi oleh spesies Rhizophora spp. hal ini dapat dilihat dari nilai penting jenis (IVi) dan keberadaan spesies ini di hampir setiap stasiun pengamatan kecuali pada stasiun III genus Sonneratia spp., dan stasiun VI dan VIII genus Avicennia spp. Ketiga spesies ini merupakan tumbuhan mangrove mayor yang biasa mendominasi kawasan mangrove. Dominansi Rhizophora spp. disebabkan karena substrat yang berlumpur dan agak berpasir. Menurut Kusmana et al. (2003) Rhizophora stylosa tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir, dan batu, sedangkan Rhizophora mucronata menyukai areal yang lebih toleran dengan substrat yang lebih keras dan pasir.
d. Tingkatan Semai
Dari analisis vegetasi tingkatan semai yang memiliki nilai penting jenis (IVi) yang tinggi di setiap stasiun adalah Rhizophora mucronata (120,170) pada stasiun I, Rhizophora Mucronata (165,057) di stasiun II, Sonneratia alba (86,366) pad stasiun III, Rhizophora stylosa (154,339) pada stasiun IV, Avicennia marina (68,29) pada stasiun V, Rhizophora mucronata (97,173) di stasiun VI, Rhizophora mucronata (65,420) pada stasiun VII, dan Rhizophora stylosa (77,436) di stasiun VIII.
0 comments:
Post a Comment