Perkembangan sistem budidaya dari tradisional ke intensif pada mayoritas tambak udang vannamei memiliki potensi terhadap peningkatan pencemaran lingkungan. Kurang optimalnya pemanfaatan pakan yang berlebihan akan menyebabkan penumpukan bahan organik. Penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam prosesnya, sehingga ketersediaan oksigen bagi biota didalamnya menjadi berkurang. Jika hal ini terjadi secara terus menerus maka akan menyebabkan kematian bagi udang dan biota lainnya. Bahan pencemaran yang sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme juga menyebabkan penimbunan dan berakibat kerusakan bagi lingkungan yang secara langsung akan mengganggu organisme yang hidup di lingkungan tersebut. Bahan pencemaran organik yang berfungsi sebagai pupuk justru merugikan akibat blooming alga dan tanaman air yang menyebabkan terjadinya kompetisi oksigen di perairan. Faktor-faktor diatas merupakan penyebab menurunnya ketahanan tubuh organisme terhadap serangan penyakit karena kualitas lingkungan yang buruk, jika hal ini dibiarkan secara terus menerus maka kematian secara masal akan terjadi sehingga populasi akan menurun.
Akhir-akhir ini muncul beberapa penyakit yang menyerang udang. Telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus atau virus-like pada komoditas udang di Indonesia, terutama oleh White Spot Baculo Virus (WSBV) dan Monodon Baculo Virus (MBV), yang saat ini sering disebut dengan penyakit bercak putih atau White Spot Syndrome Virus (WSSV). Kematian udang pada usia satu sampai dua bulan di tambak sudah menjadi hal yang umum sebagai akibat serangan virus bercak putih, yang mengakibatkan ribuan hektar tambak tidak bisa berproduksi lagi. Hal ini berdampak terhadap kerugian negara yang diperkirakan mencapai 2,5 trilyun rupiah per-tahun (Ditjen Perikanan Budidaya, 2004). Pada tambak udang, virus ini bisa mengakibatkan total kematian 100% pada 2 sampai 10 hari penyerangan (Wang et al., 2007). Mekanisme penyerangan WSSV ke tubuh udang awalnya bersifat intrasitoplasmik masuk ke dalam sel inang, kemudian pada tingkat serangan yang lebih tinggi Deoxyribonucleic Acid (DNA) virus masuk ke dalam DNA inang dan mengambil alih proses transkripsi dan translasi sesuai proses dalam DNA virus. Pada tahap transkripsi dan translasi tersebut gen WSSV mengekspresikan suatu protein non struktural yang dinamakan protein ICP11, yang diduga sangat berperan pada infeksi WSSV (Wang et al., 1997).
Pada penelitian ini biota yang diamati adalah udang vanname (Litapenaeus vannamei). Udang yang terus menerus terpapar oleh bahan pencemar, akan menyebabkan kondisinya melemah sehingga mudah terserang bibit penyakit misalnya yang paling sering dialami di lapang adalah serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Jika proses ini tidak mampu diadaptasi oleh udang tersebut maka akan mengakibatkan kematian sehingga populasi udang akan menurun.
Permasalahan yang diajukan pada penelitian ini adalah bagaimanakah kualitas lingkungan dan prevalensi penyakit WSSV pada tambak udang vannamei dengan sistem budidaya intensif .
KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS.
1. Pencemaran Perairan dan Penyakit Udang.
Pencemaran perairan terjadi akibat dari adanya pemasukan bahan organik maupun anorganik, dari substansi lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai macam dampak. Sumber pencemaran dapat berupa logam berat, bahan beracun yang berasal dari sumber kimiawi, pestisida, tumpahan minyak, sampah, dan lain-lain. Organisme yang hidup di perairan tersebut akan merespon sehingga terjadi perubahan dari segi genetik dan populasinya (Wibowo, 2004).
Bahan pencemaran yang masuk ke dalam air dapat dikelompokkan atas limbah organik, logam berat dan minyak. Setiap kelompok ini sangat dipengaruhi oleh sumber limbah yang merupakan bahan pencemar yang paling banyak ditemukan diperairan tersebut. Limbah industri adalah semua jenis bahan buangan yang berasal dari hasil samping suatu proses perindustrian, kebanyakan dalam bentuk limbah cair. Limbah industri adalah semua jenis bahan sisa atau bahan buangan yang berasal dari hasil pembuangan suatu proses perindustrian, dapat menjadi limbah yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan manusia (Palar , 1994).
Pemantauan suatu sistem perairan tidak cukup dengan mengukur secara fisikakimia airnya saja, tetapi harus melibatkan juga biota yang hidup di perairan tersebut. Hal ini berarti biota akuatik dapat dijadikan sebagai indikator biologi, karena memiliki sifat sensitif terhadap keadaan pencemaran tertentu sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis pencemaran air. Keuntungan yang didapat dari indikator biologi adalah dapat merefleksikan keseluruhan kualitas ekologi dan mengintegrasikan berbagai akibat yang berbeda, memberikan pengukuran yang akurat mengenai pengaruh komunitas biologi dan pengukuran fluktuasi lingkungan (Devi, 2002).
Kesehatan udang salah satunya dipengaruhi oleh kualitas air. Kualitas air yang baik mampu mendukung pertumbuhan secara optimal. Hal itu berhubungan dengan faktor stress udang akibat perubahan parameter kualitas air (Haliman dan Adijaya, 2006). Litopenaeus vannamei merupakan salah satu jenis udang yang mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan spesies budidaya lainnya. Rata-rata udang ini memiliki pertumbuhan yang tinggi, cocok untuk padat penebaran tinggi, toleransi suhu dan salinitas lebar, kebutuhan protein untuk pakan rendah, pemeliharaan mudah dan tingkat kelulushidupan larva tinggi (Rahman, 2007). Aspek-aspek inilah yang menyebabkan budidaya spesies ini menjadi pilihan utama untuk dibudidayakan di perairan Indonesia termasuk didalamnya wilayah Jawa Timur.
Pencemaran pada lingkungan tambak menyebabkan pertumbuhan udang terhambat, penurunan daya tahan terhadap penyakit dan kematian udang. Penyakit merupakan kendala utama dalam peningkatan produksi udang. Kategori kehidupan yang tidak sama dari udang menyebabkan udang mudah terinfeksi virus yang menyebabkan kematian, pertumbuhan lambat, dan perubahan bentuk. Penyakit pada udang jika ditinjau menurut penyebabnya dibedakan menjadi penyakit tanpa infeksi dan yang sudah terinfeksi dari asalnya. Penyakit viral merupakan pathogen paling utama dalam budidaya udang
(Lightner, 1996; Rahman, 2007).
Udang yang terserang penyakit termasuk WSSV, akan memberikan respon seluler yang bermacam-macam. Sel-sel udang yang terserang WSSV mengalami hipertropi atau pertumbuhan yang tidak normal pada inti sel. Hipertropi ini menyebabkan terjadinya lisis sel dan menimbulkan infeksi pada organ-organ yang diserang. Respon udang yang terserang WSSV bisa dilihat dari ekspresi gen yang memiliki hubungan dengan infeksinya, antara lain gen pengkode ketahanan dan kerentanannya (Kilawati, 2011).
Faktor pemicu munculnya penyakit pada udang tidak selalu disebabkan oleh munculnya organisme, faktor lingkungan seperti salinitas, kandungan O2, kadar amonia dan faktor kurangnya makanan juga menimbulkan stress pada udang (Amri, 2006). Faktor lingkungan ini mengakibatkan produksi antibodi berkurang sehingga imunitas atau kekebalan tubuh udang vannamei terhadap serangan penyakit menjadi berkurang (Soetomo, 2000).
Lingkungan memiliki kontribusi yang sangat besar bagi kondisi biota. Lingkungan yang tercemar akan mengakibatkan kondisi biota menurun sehingga mudah terserang penyakit. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang udang budidaya tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualitas air), kondisi inang (udang), dan adanya jasad patogen (penyakit). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa timbulnya serangan penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, inang, udang dan jasad organisme penyakit. Interaksi yang tidak seimbang ini menyebabkan stress pada udang, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah akhirnya mudah diserang penyakit (Kordi, 2007).
2. Infeksi Virus ke DNA Udang.
Virus merupakan salah satu jenis patogen obligat murni dengan salah satu ciri utama organisme ini tidak dapat hidup secara bebas di alam. Untuk kehidupannya virus ini tergantung sepenuhnya pada inangnya. Sifat virus yang demikian menyebabkan organisme ini mempunyai daya serang yang cukup kuat. Penyakit viral merupakan masalah serius pada budidaya udang ditambak karena dalam waktu relativ singkat dapat menyebabkan kematian. Virus yang menyerang udang ditambak antara lain Monodon Baculo Virus (MBV), Hepatopancreatic Parvolike Virus (HPV), Yellow Head Baculovirus (YBH), Infection Hypodermal and Hematopoetic Necrosis Virus (IHHNV), Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV) dan White Spot Syndrome Virus (WSSV).
Kategori Morphogenesis WSSV telah dikarakteristikkan dan secara langsug berhubungan dengan perkembangan sel yang rusak. Escobedo et al. (2008) menjelaskan beberapa kategori morphogenesis WSSV antara lain: Kategori (1), Infeksi sel ditunjukkan dengan terjadinya sedikit hipertropi pada inti. Nukleosom virus mulai nampak sebelum terlihat susunan partikel virus lainnya. Protein tersusun atas serabut fragmen. Dalam sitoplasma, reticulum endoplasma (RE) membesar dengan ribosom yang melimpah. Kategori (2), dalam nukleus, serabut materi menyebabkan circular membran yang terisi dengan inti materi yang merupakan awal dari kumpulan virus. Pada kategori ini, inklusi Cowdry-A terlihat tembus cahaya diantara stroma virus dan elektron padat pada dinding kromatin. Inti menjadi hipertropi dan membulat. Kategori (3), dalam nukleus nukleokapsid yang masih terbuka terlihat dengan kepadatan elektron yang rendah dan berangsur-angsur tumbuh dari satu terhadap yang lain. Pusat inklusi dalam inti terlihat lebih kecil daripada dalam sel pada kategori (2). Dan kepadatan elektron lebih banyak karena adanya partikel virus yang melimpah. Dinding kromatin tidak terlihat, disebabkan membran inti terganggu dan menjadi tipis transparan, yang menyatu dengan sitoplasma. Kebanyakan organel menjadi abnormal, mengalami kehancuran atau perubahan struktur membran. Kategori (4), dalam nukleus, nukleokapsid telah lengkap dengan 12 – 14 unit protein yang tersusun seri (rangkaian). Masing-masing nukleokapsid mempunyai satu lingkaran dan satu persegi. Nukleokapsid yang telah lengkap tertutup selubung. Kategori (5), kategori morphogenesis virus yang baru, partikel menjadi lonjong dan ekor panjang mendapat proyeksi dari selubung yang terinfeksi. Materi inti dari ekor terpisah dari nukleokapsid. Kemudian, nekleokapsid menjadi pendek dan lebih banyak elektron padat karena terbungkus oleh virus DNA VP15 yang komplek. Kategori (6), fase akhir dari morphogenesis, virion yang telah dewasa berbentuk elips dengan selubung tertutup yang halus dan elektron padat nukleokapsid dengan ekor panjang terproyeksi pada akhir yang tertutup. Kadang-kadang kumpulan nukleokapsid komplit terjadi pemisah dari selubung dan yang belakang dibungkus oleh selubung. Pada akhir kategori ini infeksi mengakibatkan kerusakan dan gangguan yang berat. Ruang kosong yang terlihat dalam jaringan adalah sel yang hancur.
Model Morphogenesis White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada sel inang seperti dijelaskan oleh Escobedo et al , 2008: Partikel WSSV yang menular, penularan virion WSSV menggunakan selubung protein dengan motif penyerangan sel. WSSV masuk kedalam sel. Selubung viron WSSV menyatu dengan endosome dan nukleokapsid telanjang yang terangkut dalam nukleus, seperti pada baculovirus, Nukleokapsid telanjang WSSV menyerang membran nukleus, dan genome WSSV dilepaskan dalam nucleus. Genome WSSV mulai mereplikasi, Dalam sitoplasma, mitokondria mulai mengalami kerusakan. Dalam nukleus stroma virus awalnya kelihatan seperti materi bebas yang berisi butir-butiran kecil. Sel kromatin terakumulasi dekat membran nukleus dan Retikulum Endoplasma Kasar
(REK) yang membesar dan aktif, Dinding kromatin terjadi perubahan dalam zona cincin yang tebal. Stroma virus dengan kepadatan rendah mulai membentuk gelembung yang akan terbentuk selubung virus. Gelembung mungkin terbentuk dengan membran materi yang dibentuk dalm zona cincin, seperti pada baculovirus, Partikel WSSV yang baru terkumpul dalam nukleus yang didalamnya ada elektron dense. Selubung yang kosong akan diisi dengan nukleus akan terganggu, Virion WSSV telah kompit bentuknya dan siap untuk lepas dari sel yang terinfeksi untuk memulai siklus dalam sel lain yang dapat diinfeksi.
Udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu menurunya aktivitas berenang, berenang tidak terarah, dan sering kali berenang pada salah satu sisinya saja. Selain itu udang cenderung bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada fase akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0.5 – 3.0 mm, dan bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak, segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal dan terakhir menyebar keseluruh kutikula tubunya. Pada kasus WSSV adanya bintik atau spot putih pada bagian karapas sudah menjadi tanda umum, tetapi pada induk udang warnanya menjadi merah. Udang yang terserang penyakit ini dalam waktu singkat dapat mengalami kematian (DKP, 2004; Mahardika et al., 2004).
METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai adalah diskriptif eksploratif, yang menggambarkan kejadian sosial dan mengeksplorasi data yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi di bidang ilmu pengetahuan untuk menampilkan pola perubahan populasi dengan menampilkan data udang yang survive dan karakter gen udang vannamei yang sehat dan terinfeksi virus WSSV, sebagai dampak dari proses pencemaran terhadap lingkungan.
Pengumpulan data dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono ,2005). Data primer yang diambil antara lain kualitas lingkungan secara fisika dan kimia, morfologi udang sampel, karakter gen udang vannamei dalam kaitannya dengan serangan virus WSSV.
Proses pengolahan data untuk morfologi menggunakan pemberian symbol berupa angka. Simbol angka ini kita sebut kode, pada kode tersebut sudah ditentukan. Dalam hal pemberian kode, perlu juga dicatat konteks mana istilah itu muncul. Kemudian dilakukan klasifikasi terhadap coding yang telah dilakukan. Klasifikasi dilakukan dengan melihat sejauh mana satuan makna berhubungan dengan tujuan penelitian.
Sampel udang vannamei yang sudah diidentifikasi morfologinya selanjutnya dilakukan analisa Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengetahui karakter genetik dari hewan uji. Deteksi WSSV pada DNA udang dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik WSV seluler primer.
Salah satu tehnik untuk mengetahui variasi genetik suatu spesies dari suatu populasi atau lebih adalah melakukan analisis DNA dengan PCR menggunakan primer tertentu. Produk PCR kemudian dielektroforesis dan dilakukan pemotretan untuk memperoleh dokumentasinya.
Sebelum penelitian telah dilakukan survei untuk memperoleh lokasi budidaya udang vannamei dengan metode intensif.
HASIL PENELITIAN
1. Kualitas Lingkungan.
Hasil pengamatan data rata-rata kualitas lingkungan setiap lokasi digambarkan dengan di tambak Gresik
Tabel 1. Data perbandingan kualitas air dengan SNI.
PARAMETER MALANG TL. AGUNG GRESIK SNI 01-7246-2006
Suhu (0C) 29,89 28,37 29,8 28,5 – 31,5
Kecerahan (cm) 24,71 34 25,56 30 – 45
pH 8,33 7,54 7,82 7,5 – 8,5
DO
(mg/l) 4,35 4,04 4,4 >3,5
Salinitas (ppt) 20,71 26,2 18,89 15 – 25
Alkalinitas (ppm) 168,43 121,2 234,21 100 – 150
Amonia (ppm) 0,06 1,25 0,01 <0 br="" nbsp="">Nitrit
(ppm) 0,02 0,51 0,24 <0 br="" nbsp="">TOM
(ppm) 69,1 94,64 101,46 <55 br="" nbsp="">di tambak Tulungagung.
Kualitas air pada tambak di ketiga kota menunjukkan bahwa kualitas air pada masing-masing lokasi tambak termasuk dalam kategori kualitas air yang buruk dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia 01-7246-2006 untuk budidaya udang Vannamei. Kualitas air terendah terdapat pada tambak Tulungagung berdasarkan parameter Nitrit dan Ammonia. Selain itu alkalinitas pada tambak Tulungagung juga tergolong tinggi setelah tambak Gresik.
Darti dan Iwan (2006) menyebutkan bahwa penyebab tingginya kadar nitrit antara lain kepadatan yang terlalu tinggi sehingga banyak pembusukan dari kotoran atau feses maupun sisa pakan. Kadar nitrit ini sebaiknya dijaga pada kisaran normal untuk mengantisipasi tingkat kematian udang akibat keracunan nitrit.
Konsentrasi ammonia di tambak yang melebihi 0,45 ppm, dapat menghambat pertumbuhan udang sampai 50%. Agar udang tumbuh cukup baik, amonia yang terdapat di dalam air tambak tidak boleh lebih dari 0,01 ppm. Mangampa (2010) menyatakan bahwa pengaruh langsung dari kadar amonia yang tinggi tapi belum mematikan adalah rusaknya jaringan insang.
Lembaran insang akan membengkak
(hiperplasia) sehingga fungsi insang sebagai alat pernapasan akan terganggu dalam hal pengikatan oksigen dari air. Level amonia yang tinggi di perairan juga dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga mengurangi aktifitas darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap penyakit.
Berdasarkan SNI 01-7246-2006, persyaratan nilai alkalinitas air untuk pemeliharaan udang vannamei berkisar antara 100 – 150 mg/l. Nilai alkalinitas di tambak 1 di Malang lebih besar dari tambak 2 di Tulungagung, dan nilai kisaran alkalinitas tersebut kurang optimal untuk udang (Gambar 4). Menurut Adiwidjaya et al. (2008), alkalinitas yang optimal untuk kegiatan budidaya udang vannamei berkisar antara 90-150 ppm. Apabila nilai alkalinitas di atas 150 ppm diperlukan pengenceran salinitas dan kepekatan plankton serta oksigenisasi yang cukup.
Alkalinitas tinggi inilah yang membantu dalam menyediakan unsur kalsium untuk kebutuhan osmoregulasi sel dalam tubuh udang. Alkalinitas atau yang lebih dikenal dengan total alkalinitas adalah konsentrasi total dari unsur-unsur basa yang terkandung dalam air atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3).
Menurut Rachmansyah (2004), pakan merupakan penyumbang bahan organik tertinggi sekitar (80%). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau terbuang di dasar perairan sekitar 30%. Menurut Komarawidjaja (2003), sumber kegagalan budidaya udang diduga berasal dari faktor internal lingkungan pertambakan. Faktor internal yang penting adalah perubahan kualitas air akibat penumpukan bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran udang (feses) pada substrat dasar tambak. Bahan organik tersebut, bila terurai akan terbentuk amonia yang dapat terperangkap dilapisan substrat dasar tambak atau terlarut dalam air yang akan bersifat toksik terhadap udang.
Menurut Haliman dan Adijaya (2006), salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Pada salinitas tinggi, pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Osmoregulasi merupakan proses pengaturan dan penyeimbangan tekanan osmosis antara didalam dan diluar tubuh udang. Apabila salinitas meningkat, maka pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan. Dengan kondisi lingkungan perairan yang buruk dapat mempengaruhi kondisi kesehatan udang yang sedang dibudidayakan.
Tabel 2. Data rata-rata prevalensi WSSV.
Tambak WSSV (rata-rata %)
Ciri 1 Ciri 2 Ciri 3
Malang 85% 15% 0%
T.Agung 43% 57% 0%
Gresik 70% 30% 0%
Uji morfologi dan genetik pada udang menunjukkan adanya infeksi dari infeksi ringan hingga berat. Dibuktikan dengan tingginya jumlah udang yang terinfeksi berat dan didukung adanya amplifikasi yang kuat pada uji genetik gen ICP11. Hal ini menunjukkan adanya insersi DNA virus pada
di Gresik
Tambak Malang, Tulungagung dan Gresik terindikasi mengalami infeksi WSSV tingkat ringan hingga sedang secara morfologi. Hal ini didukung oleh hasil analisa PCR yang menunjukkan adanya smear tipis pada 207 bp yaitu amplifikasi gen ICP11.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa kualitas air yang kurang baik dapat memicu munculnya virus patogenik terutama WSSV.
Nilai parameter kualitas air yang melebihi standard dan kombinasi antar parameter dapat mengakibatkan gangguan pada tubuh udang misalnya gangguan osmoregulasi. Kondisi udang yang lemah didukung dengan kondisi lingkungan yang buruk akan memicu pertumbuhan patogen dan meningkatkan patogenitasnya pada udang vannamei.
KESIMPULAN & SARAN
Kondisi perairan sangat berperan penting terhadap kondisi kesehatan hewan budidaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan yang buruk dapat meningkatkan prevalensi infeksi WSSV. Kondisi perairan harus secara ketat dikontrol untuk dapat menjaga kondisi kualtas air supaya mampu mendukung kehidupan dan kesehatan organisme budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D., Supito dan I. Sumantri. 2008.
Penerapan Teknologi Budidaya Udang Vanname (L. Vannamei) Semi Intensif Pada Lokasi Tambak salinitas Tinggi. Media Budidaya Air Payau Perekayasaan Vol. 7. Halaman 54 – 72. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Albert, B.; Johnson, A.; Lewis, J.; Raff, M.; Robert, K.; Walter, P. 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. Garland Science. New York. ISBN 0815332181 (versi online di NCBI Bookshelf).
Amri, K. 2006. Budi Daya Udang Windu Secara Intensif. Cetakan. 6. Agro Media Pustaka. Jakarta. 98 hal.
Badjoeri, Muhammad dan T. Widiyanto. 2008. Penggunaan Bakteri Nitrifikasi Untuk Bioremediasi dan Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi Amonia dan Nitrit di Tambak Udang. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Volume 34 (2) : 261 – 278. ISSN 0125 – 9830. LIPI. Jakarta.
Darti dan Iwan, D. 2006. Penebar Swadaya. http://terdalam.com/2009/01/penya kit-ikan-hias-akibat-lingkungan.html Diakses pada tanggal 10 Juni 2014 pukul 10.58 WIB.
Devi, I.A. 2002. Perifiton sebagai Indikator Biologi Kualitas Air di Sungai Citarum Hulu. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas MIPA UNPAD Jatinangor.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2006. Uji Teknologi Budidaya Udang Bebas Penyakit Bercak Putih. Mina Bahari, 3 (02): 16-17.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Escobedo, Bonilla, S. Alday, M. Wille, P, Sorgeloos, M.B Pensaert and H.J. Nauwynck. 2008. A Review on The
Morphology, Moleculer
Characteterization, Morphogenesis and Pathogenesis of White spot Syndrome Virus. Centro de
Investigation Biologicas del Noroeste, S.C. Unidad Sonora, Centenario Norte no. 53, Colombia Prados del
Centenario, Hermosillo, Sonora 82360. Mexico. Jurnal of Fish Diesase, 31, 1 – 18.
Fatchiyah. 2006. Analisa Biologi Molekuler (Isolasi DNA, PCR dan RFLP, SDSPAGE, Immunobloting dan Isoenzym). Tim Lab Biologi Molekuler dan Seluler JBUB Universitas Brawijaya Malang.
Haliman, R.W., Adijaya D. 2006. Budidaya Udang Vannamei. Penebar Swadaya.
Jakarta. 74 hal.
Hartl, D. 1980. Principles of Population Genetiks. Sinauer Associates Inc. Publisher. Sunderland. Massacushetts.
Kilawati, Y. 2011a. Ekspresi Gen Ketahanan dan Kerentanan Pada Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Sebagai Respon Terhadap Serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Artikel. Universitas Airlangga. Surabaya.
--------------. 2011b. Pengaruh Serangan WSSV Terhadap Morfologi, Tingkah Laku dan Kelulushidupan SPF Udang Vannamei Indonesia Yang Dipelihara Dalam Lingkungan Terkontrol. Journal of Biological Researchers. ISSN : 0852 – 6834 No. 7F. Universitas Brawijaya. Malang.
--------------------. dan W. Darmanto. 2009. Karakter Protein ICP11 Pada DNA
Udang Vannamei (Penaeus vannamei) yang Terinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV). Journal of Biological Researchers. ISSN : 0852 – 6834 Vol. 15 (21 – 24). Universitas Brawijaya, Malang.
Kimball, J.W. 1994. Biologi Jilid I. Alih Bahasa: Siti Sutarmi, Nawangsari Sugiri Penerbit Erlangga, Jakarta.
Komarawidjaja Wage. 2006. Pengaruh Perbedaan Dosis Oksigen terlarut
(DO) Pada Degradasi Amonium Kolam Kajian Budidaya Udang. Jurnal Hidrosfer Vol. 1 No. 1 Hal. 32-37 ISSN 1704-1043, Jakarta.
Kordi, M.G.H. dan A.B.Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budi Daya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Lightner, D. V. 1996. A Handbook of Shrimp
Pathonology and Diagnostic
Procedures for Diaseses of Cultured penaeid Shrimp. The World Aquaculture Society. Baton Rouge, Louisiana, 70803.USA.
Mahardika, K., Zafran dan I. Koesharyani. 2004. Deteksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Windu (Penaeus monodon) di Bali dan Jawa Timur Menggunakan Metode
Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10 (1): 55-60.
Murphy, R.W., Sites Jr, J.w., Buth, D.g., and Haufler, C.H. 1990 Protein I, Isozyme Electrophorensis. In Moleculer Systematic (Eds. D.M. Hilliis and C. Moritz), Sinaeur Associates. Inc, Sunderland, Massachussets, USA. PP 45-126.
Na’im, Rachman. 1996. Teknik Pengembangan Uji Diagnostik Melalui Teknik Molekuler. Jurusan Penyakit dan Kesehatan Hewan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Priatni D, M. Alifuddin dan D. Djokosetiyanto. 2006. Pengaruh Pemanasan pada Temperatur
Berbeda Selama 30 Menit terhadap Patogenitas White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Jurnal Akuakultur Indonesia 5 (1), 5-12
(2006).
Rahman, M, M. 2007. Differences In Virulance Between White Spot Syndrome Virus (WSSV) Isolates And Testing Of Some Control Strategis In ESSV Infected Shrimp. Laboratory of Virology, Department or Virology, Parasitology and Immunology Faculty of Veterinery Medicine Ghent
University, India. 177 hal.
Rustidja. 1996. Pola Warna dan Genetik Ikan Nila. Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang
Saiki, R 1998. A Practcal Approac. In Genomic Analisis (ed. KF. Davies) IRL Press at oxford United of Kingdom.
Soetomo, M. H. A. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Toha. Abdul Hamid A. 2001, Deoxybo Nucleac Acid. Keanekaragaman, Ekspresi dan Efek Pemanfaatannya. Seri Belajar Biokimia. Alfabeta, Bandung.
Trobos. 2009. Budidaya Udang Vannamei di Air Tawar
http://www.trobos.com?show_article .php?rid=17&aid=1899 . Diakses pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 17.56 WIB.
Wang, C. S., Y. J. Tsai, G. H. Kou and S. N. Chen. 1997. Detection of White Spot Syndrome Disease Virus Infection in Wild Caught Greasyback Shrimp, Metapenaeus ensis (deHaan) in
Taiwan. Fish Pathology, 32 (1): 35-41.
Wibowo. 2004. Kinetika Bioakumulasi
Logam Berat Cadmium oleh Fitoplankton chlorella sp Lingkungan Perairan laut. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Yudiati, E., Z. Arifin dan I. Riniatsih. 2010. Pengaruh Aplikasi Probiotik Terhadap Laju Sintasan dan Pertumbuhan Tokolan Udang Vanamei (Litopeneus vannamei), Populasi Bakteri Vibrio serta Kandungan Amoniak dan Bahan Organik Media Budidaya. Jurnal Ilmu Kelautan Volume 15 (3) 153 -158. ISSN 0853 – 7291. Universitas Diponegoro. Semarang.
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR).
Penerbit Andioffset. Yogyakarta.55>0>0>
Akhir-akhir ini muncul beberapa penyakit yang menyerang udang. Telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus atau virus-like pada komoditas udang di Indonesia, terutama oleh White Spot Baculo Virus (WSBV) dan Monodon Baculo Virus (MBV), yang saat ini sering disebut dengan penyakit bercak putih atau White Spot Syndrome Virus (WSSV). Kematian udang pada usia satu sampai dua bulan di tambak sudah menjadi hal yang umum sebagai akibat serangan virus bercak putih, yang mengakibatkan ribuan hektar tambak tidak bisa berproduksi lagi. Hal ini berdampak terhadap kerugian negara yang diperkirakan mencapai 2,5 trilyun rupiah per-tahun (Ditjen Perikanan Budidaya, 2004). Pada tambak udang, virus ini bisa mengakibatkan total kematian 100% pada 2 sampai 10 hari penyerangan (Wang et al., 2007). Mekanisme penyerangan WSSV ke tubuh udang awalnya bersifat intrasitoplasmik masuk ke dalam sel inang, kemudian pada tingkat serangan yang lebih tinggi Deoxyribonucleic Acid (DNA) virus masuk ke dalam DNA inang dan mengambil alih proses transkripsi dan translasi sesuai proses dalam DNA virus. Pada tahap transkripsi dan translasi tersebut gen WSSV mengekspresikan suatu protein non struktural yang dinamakan protein ICP11, yang diduga sangat berperan pada infeksi WSSV (Wang et al., 1997).
Pada penelitian ini biota yang diamati adalah udang vanname (Litapenaeus vannamei). Udang yang terus menerus terpapar oleh bahan pencemar, akan menyebabkan kondisinya melemah sehingga mudah terserang bibit penyakit misalnya yang paling sering dialami di lapang adalah serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Jika proses ini tidak mampu diadaptasi oleh udang tersebut maka akan mengakibatkan kematian sehingga populasi udang akan menurun.
Permasalahan yang diajukan pada penelitian ini adalah bagaimanakah kualitas lingkungan dan prevalensi penyakit WSSV pada tambak udang vannamei dengan sistem budidaya intensif .
KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS.
1. Pencemaran Perairan dan Penyakit Udang.
Pencemaran perairan terjadi akibat dari adanya pemasukan bahan organik maupun anorganik, dari substansi lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai macam dampak. Sumber pencemaran dapat berupa logam berat, bahan beracun yang berasal dari sumber kimiawi, pestisida, tumpahan minyak, sampah, dan lain-lain. Organisme yang hidup di perairan tersebut akan merespon sehingga terjadi perubahan dari segi genetik dan populasinya (Wibowo, 2004).
Bahan pencemaran yang masuk ke dalam air dapat dikelompokkan atas limbah organik, logam berat dan minyak. Setiap kelompok ini sangat dipengaruhi oleh sumber limbah yang merupakan bahan pencemar yang paling banyak ditemukan diperairan tersebut. Limbah industri adalah semua jenis bahan buangan yang berasal dari hasil samping suatu proses perindustrian, kebanyakan dalam bentuk limbah cair. Limbah industri adalah semua jenis bahan sisa atau bahan buangan yang berasal dari hasil pembuangan suatu proses perindustrian, dapat menjadi limbah yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan manusia (Palar , 1994).
Pemantauan suatu sistem perairan tidak cukup dengan mengukur secara fisikakimia airnya saja, tetapi harus melibatkan juga biota yang hidup di perairan tersebut. Hal ini berarti biota akuatik dapat dijadikan sebagai indikator biologi, karena memiliki sifat sensitif terhadap keadaan pencemaran tertentu sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis pencemaran air. Keuntungan yang didapat dari indikator biologi adalah dapat merefleksikan keseluruhan kualitas ekologi dan mengintegrasikan berbagai akibat yang berbeda, memberikan pengukuran yang akurat mengenai pengaruh komunitas biologi dan pengukuran fluktuasi lingkungan (Devi, 2002).
Kesehatan udang salah satunya dipengaruhi oleh kualitas air. Kualitas air yang baik mampu mendukung pertumbuhan secara optimal. Hal itu berhubungan dengan faktor stress udang akibat perubahan parameter kualitas air (Haliman dan Adijaya, 2006). Litopenaeus vannamei merupakan salah satu jenis udang yang mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan spesies budidaya lainnya. Rata-rata udang ini memiliki pertumbuhan yang tinggi, cocok untuk padat penebaran tinggi, toleransi suhu dan salinitas lebar, kebutuhan protein untuk pakan rendah, pemeliharaan mudah dan tingkat kelulushidupan larva tinggi (Rahman, 2007). Aspek-aspek inilah yang menyebabkan budidaya spesies ini menjadi pilihan utama untuk dibudidayakan di perairan Indonesia termasuk didalamnya wilayah Jawa Timur.
Pencemaran pada lingkungan tambak menyebabkan pertumbuhan udang terhambat, penurunan daya tahan terhadap penyakit dan kematian udang. Penyakit merupakan kendala utama dalam peningkatan produksi udang. Kategori kehidupan yang tidak sama dari udang menyebabkan udang mudah terinfeksi virus yang menyebabkan kematian, pertumbuhan lambat, dan perubahan bentuk. Penyakit pada udang jika ditinjau menurut penyebabnya dibedakan menjadi penyakit tanpa infeksi dan yang sudah terinfeksi dari asalnya. Penyakit viral merupakan pathogen paling utama dalam budidaya udang
(Lightner, 1996; Rahman, 2007).
Udang yang terserang penyakit termasuk WSSV, akan memberikan respon seluler yang bermacam-macam. Sel-sel udang yang terserang WSSV mengalami hipertropi atau pertumbuhan yang tidak normal pada inti sel. Hipertropi ini menyebabkan terjadinya lisis sel dan menimbulkan infeksi pada organ-organ yang diserang. Respon udang yang terserang WSSV bisa dilihat dari ekspresi gen yang memiliki hubungan dengan infeksinya, antara lain gen pengkode ketahanan dan kerentanannya (Kilawati, 2011).
Faktor pemicu munculnya penyakit pada udang tidak selalu disebabkan oleh munculnya organisme, faktor lingkungan seperti salinitas, kandungan O2, kadar amonia dan faktor kurangnya makanan juga menimbulkan stress pada udang (Amri, 2006). Faktor lingkungan ini mengakibatkan produksi antibodi berkurang sehingga imunitas atau kekebalan tubuh udang vannamei terhadap serangan penyakit menjadi berkurang (Soetomo, 2000).
Lingkungan memiliki kontribusi yang sangat besar bagi kondisi biota. Lingkungan yang tercemar akan mengakibatkan kondisi biota menurun sehingga mudah terserang penyakit. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang udang budidaya tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualitas air), kondisi inang (udang), dan adanya jasad patogen (penyakit). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa timbulnya serangan penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, inang, udang dan jasad organisme penyakit. Interaksi yang tidak seimbang ini menyebabkan stress pada udang, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah akhirnya mudah diserang penyakit (Kordi, 2007).
2. Infeksi Virus ke DNA Udang.
Virus merupakan salah satu jenis patogen obligat murni dengan salah satu ciri utama organisme ini tidak dapat hidup secara bebas di alam. Untuk kehidupannya virus ini tergantung sepenuhnya pada inangnya. Sifat virus yang demikian menyebabkan organisme ini mempunyai daya serang yang cukup kuat. Penyakit viral merupakan masalah serius pada budidaya udang ditambak karena dalam waktu relativ singkat dapat menyebabkan kematian. Virus yang menyerang udang ditambak antara lain Monodon Baculo Virus (MBV), Hepatopancreatic Parvolike Virus (HPV), Yellow Head Baculovirus (YBH), Infection Hypodermal and Hematopoetic Necrosis Virus (IHHNV), Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV) dan White Spot Syndrome Virus (WSSV).
Kategori Morphogenesis WSSV telah dikarakteristikkan dan secara langsug berhubungan dengan perkembangan sel yang rusak. Escobedo et al. (2008) menjelaskan beberapa kategori morphogenesis WSSV antara lain: Kategori (1), Infeksi sel ditunjukkan dengan terjadinya sedikit hipertropi pada inti. Nukleosom virus mulai nampak sebelum terlihat susunan partikel virus lainnya. Protein tersusun atas serabut fragmen. Dalam sitoplasma, reticulum endoplasma (RE) membesar dengan ribosom yang melimpah. Kategori (2), dalam nukleus, serabut materi menyebabkan circular membran yang terisi dengan inti materi yang merupakan awal dari kumpulan virus. Pada kategori ini, inklusi Cowdry-A terlihat tembus cahaya diantara stroma virus dan elektron padat pada dinding kromatin. Inti menjadi hipertropi dan membulat. Kategori (3), dalam nukleus nukleokapsid yang masih terbuka terlihat dengan kepadatan elektron yang rendah dan berangsur-angsur tumbuh dari satu terhadap yang lain. Pusat inklusi dalam inti terlihat lebih kecil daripada dalam sel pada kategori (2). Dan kepadatan elektron lebih banyak karena adanya partikel virus yang melimpah. Dinding kromatin tidak terlihat, disebabkan membran inti terganggu dan menjadi tipis transparan, yang menyatu dengan sitoplasma. Kebanyakan organel menjadi abnormal, mengalami kehancuran atau perubahan struktur membran. Kategori (4), dalam nukleus, nukleokapsid telah lengkap dengan 12 – 14 unit protein yang tersusun seri (rangkaian). Masing-masing nukleokapsid mempunyai satu lingkaran dan satu persegi. Nukleokapsid yang telah lengkap tertutup selubung. Kategori (5), kategori morphogenesis virus yang baru, partikel menjadi lonjong dan ekor panjang mendapat proyeksi dari selubung yang terinfeksi. Materi inti dari ekor terpisah dari nukleokapsid. Kemudian, nekleokapsid menjadi pendek dan lebih banyak elektron padat karena terbungkus oleh virus DNA VP15 yang komplek. Kategori (6), fase akhir dari morphogenesis, virion yang telah dewasa berbentuk elips dengan selubung tertutup yang halus dan elektron padat nukleokapsid dengan ekor panjang terproyeksi pada akhir yang tertutup. Kadang-kadang kumpulan nukleokapsid komplit terjadi pemisah dari selubung dan yang belakang dibungkus oleh selubung. Pada akhir kategori ini infeksi mengakibatkan kerusakan dan gangguan yang berat. Ruang kosong yang terlihat dalam jaringan adalah sel yang hancur.
Model Morphogenesis White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada sel inang seperti dijelaskan oleh Escobedo et al , 2008: Partikel WSSV yang menular, penularan virion WSSV menggunakan selubung protein dengan motif penyerangan sel. WSSV masuk kedalam sel. Selubung viron WSSV menyatu dengan endosome dan nukleokapsid telanjang yang terangkut dalam nukleus, seperti pada baculovirus, Nukleokapsid telanjang WSSV menyerang membran nukleus, dan genome WSSV dilepaskan dalam nucleus. Genome WSSV mulai mereplikasi, Dalam sitoplasma, mitokondria mulai mengalami kerusakan. Dalam nukleus stroma virus awalnya kelihatan seperti materi bebas yang berisi butir-butiran kecil. Sel kromatin terakumulasi dekat membran nukleus dan Retikulum Endoplasma Kasar
(REK) yang membesar dan aktif, Dinding kromatin terjadi perubahan dalam zona cincin yang tebal. Stroma virus dengan kepadatan rendah mulai membentuk gelembung yang akan terbentuk selubung virus. Gelembung mungkin terbentuk dengan membran materi yang dibentuk dalm zona cincin, seperti pada baculovirus, Partikel WSSV yang baru terkumpul dalam nukleus yang didalamnya ada elektron dense. Selubung yang kosong akan diisi dengan nukleus akan terganggu, Virion WSSV telah kompit bentuknya dan siap untuk lepas dari sel yang terinfeksi untuk memulai siklus dalam sel lain yang dapat diinfeksi.
Udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu menurunya aktivitas berenang, berenang tidak terarah, dan sering kali berenang pada salah satu sisinya saja. Selain itu udang cenderung bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada fase akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0.5 – 3.0 mm, dan bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak, segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal dan terakhir menyebar keseluruh kutikula tubunya. Pada kasus WSSV adanya bintik atau spot putih pada bagian karapas sudah menjadi tanda umum, tetapi pada induk udang warnanya menjadi merah. Udang yang terserang penyakit ini dalam waktu singkat dapat mengalami kematian (DKP, 2004; Mahardika et al., 2004).
METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai adalah diskriptif eksploratif, yang menggambarkan kejadian sosial dan mengeksplorasi data yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi di bidang ilmu pengetahuan untuk menampilkan pola perubahan populasi dengan menampilkan data udang yang survive dan karakter gen udang vannamei yang sehat dan terinfeksi virus WSSV, sebagai dampak dari proses pencemaran terhadap lingkungan.
Pengumpulan data dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono ,2005). Data primer yang diambil antara lain kualitas lingkungan secara fisika dan kimia, morfologi udang sampel, karakter gen udang vannamei dalam kaitannya dengan serangan virus WSSV.
Proses pengolahan data untuk morfologi menggunakan pemberian symbol berupa angka. Simbol angka ini kita sebut kode, pada kode tersebut sudah ditentukan. Dalam hal pemberian kode, perlu juga dicatat konteks mana istilah itu muncul. Kemudian dilakukan klasifikasi terhadap coding yang telah dilakukan. Klasifikasi dilakukan dengan melihat sejauh mana satuan makna berhubungan dengan tujuan penelitian.
Sampel udang vannamei yang sudah diidentifikasi morfologinya selanjutnya dilakukan analisa Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengetahui karakter genetik dari hewan uji. Deteksi WSSV pada DNA udang dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik WSV seluler primer.
Salah satu tehnik untuk mengetahui variasi genetik suatu spesies dari suatu populasi atau lebih adalah melakukan analisis DNA dengan PCR menggunakan primer tertentu. Produk PCR kemudian dielektroforesis dan dilakukan pemotretan untuk memperoleh dokumentasinya.
Sebelum penelitian telah dilakukan survei untuk memperoleh lokasi budidaya udang vannamei dengan metode intensif.
HASIL PENELITIAN
1. Kualitas Lingkungan.
Hasil pengamatan data rata-rata kualitas lingkungan setiap lokasi digambarkan dengan di tambak Gresik
Tabel 1. Data perbandingan kualitas air dengan SNI.
PARAMETER MALANG TL. AGUNG GRESIK SNI 01-7246-2006
Suhu (0C) 29,89 28,37 29,8 28,5 – 31,5
Kecerahan (cm) 24,71 34 25,56 30 – 45
pH 8,33 7,54 7,82 7,5 – 8,5
DO
(mg/l) 4,35 4,04 4,4 >3,5
Salinitas (ppt) 20,71 26,2 18,89 15 – 25
Alkalinitas (ppm) 168,43 121,2 234,21 100 – 150
Amonia (ppm) 0,06 1,25 0,01 <0 br="" nbsp="">Nitrit
(ppm) 0,02 0,51 0,24 <0 br="" nbsp="">TOM
(ppm) 69,1 94,64 101,46 <55 br="" nbsp="">di tambak Tulungagung.
Kualitas air pada tambak di ketiga kota menunjukkan bahwa kualitas air pada masing-masing lokasi tambak termasuk dalam kategori kualitas air yang buruk dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia 01-7246-2006 untuk budidaya udang Vannamei. Kualitas air terendah terdapat pada tambak Tulungagung berdasarkan parameter Nitrit dan Ammonia. Selain itu alkalinitas pada tambak Tulungagung juga tergolong tinggi setelah tambak Gresik.
Darti dan Iwan (2006) menyebutkan bahwa penyebab tingginya kadar nitrit antara lain kepadatan yang terlalu tinggi sehingga banyak pembusukan dari kotoran atau feses maupun sisa pakan. Kadar nitrit ini sebaiknya dijaga pada kisaran normal untuk mengantisipasi tingkat kematian udang akibat keracunan nitrit.
Konsentrasi ammonia di tambak yang melebihi 0,45 ppm, dapat menghambat pertumbuhan udang sampai 50%. Agar udang tumbuh cukup baik, amonia yang terdapat di dalam air tambak tidak boleh lebih dari 0,01 ppm. Mangampa (2010) menyatakan bahwa pengaruh langsung dari kadar amonia yang tinggi tapi belum mematikan adalah rusaknya jaringan insang.
Lembaran insang akan membengkak
(hiperplasia) sehingga fungsi insang sebagai alat pernapasan akan terganggu dalam hal pengikatan oksigen dari air. Level amonia yang tinggi di perairan juga dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga mengurangi aktifitas darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap penyakit.
Berdasarkan SNI 01-7246-2006, persyaratan nilai alkalinitas air untuk pemeliharaan udang vannamei berkisar antara 100 – 150 mg/l. Nilai alkalinitas di tambak 1 di Malang lebih besar dari tambak 2 di Tulungagung, dan nilai kisaran alkalinitas tersebut kurang optimal untuk udang (Gambar 4). Menurut Adiwidjaya et al. (2008), alkalinitas yang optimal untuk kegiatan budidaya udang vannamei berkisar antara 90-150 ppm. Apabila nilai alkalinitas di atas 150 ppm diperlukan pengenceran salinitas dan kepekatan plankton serta oksigenisasi yang cukup.
Alkalinitas tinggi inilah yang membantu dalam menyediakan unsur kalsium untuk kebutuhan osmoregulasi sel dalam tubuh udang. Alkalinitas atau yang lebih dikenal dengan total alkalinitas adalah konsentrasi total dari unsur-unsur basa yang terkandung dalam air atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3).
Menurut Rachmansyah (2004), pakan merupakan penyumbang bahan organik tertinggi sekitar (80%). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau terbuang di dasar perairan sekitar 30%. Menurut Komarawidjaja (2003), sumber kegagalan budidaya udang diduga berasal dari faktor internal lingkungan pertambakan. Faktor internal yang penting adalah perubahan kualitas air akibat penumpukan bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran udang (feses) pada substrat dasar tambak. Bahan organik tersebut, bila terurai akan terbentuk amonia yang dapat terperangkap dilapisan substrat dasar tambak atau terlarut dalam air yang akan bersifat toksik terhadap udang.
Menurut Haliman dan Adijaya (2006), salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Pada salinitas tinggi, pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Osmoregulasi merupakan proses pengaturan dan penyeimbangan tekanan osmosis antara didalam dan diluar tubuh udang. Apabila salinitas meningkat, maka pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan. Dengan kondisi lingkungan perairan yang buruk dapat mempengaruhi kondisi kesehatan udang yang sedang dibudidayakan.
Tabel 2. Data rata-rata prevalensi WSSV.
Tambak WSSV (rata-rata %)
Ciri 1 Ciri 2 Ciri 3
Malang 85% 15% 0%
T.Agung 43% 57% 0%
Gresik 70% 30% 0%
Uji morfologi dan genetik pada udang menunjukkan adanya infeksi dari infeksi ringan hingga berat. Dibuktikan dengan tingginya jumlah udang yang terinfeksi berat dan didukung adanya amplifikasi yang kuat pada uji genetik gen ICP11. Hal ini menunjukkan adanya insersi DNA virus pada
di Gresik
Tambak Malang, Tulungagung dan Gresik terindikasi mengalami infeksi WSSV tingkat ringan hingga sedang secara morfologi. Hal ini didukung oleh hasil analisa PCR yang menunjukkan adanya smear tipis pada 207 bp yaitu amplifikasi gen ICP11.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa kualitas air yang kurang baik dapat memicu munculnya virus patogenik terutama WSSV.
Nilai parameter kualitas air yang melebihi standard dan kombinasi antar parameter dapat mengakibatkan gangguan pada tubuh udang misalnya gangguan osmoregulasi. Kondisi udang yang lemah didukung dengan kondisi lingkungan yang buruk akan memicu pertumbuhan patogen dan meningkatkan patogenitasnya pada udang vannamei.
KESIMPULAN & SARAN
Kondisi perairan sangat berperan penting terhadap kondisi kesehatan hewan budidaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan yang buruk dapat meningkatkan prevalensi infeksi WSSV. Kondisi perairan harus secara ketat dikontrol untuk dapat menjaga kondisi kualtas air supaya mampu mendukung kehidupan dan kesehatan organisme budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D., Supito dan I. Sumantri. 2008.
Penerapan Teknologi Budidaya Udang Vanname (L. Vannamei) Semi Intensif Pada Lokasi Tambak salinitas Tinggi. Media Budidaya Air Payau Perekayasaan Vol. 7. Halaman 54 – 72. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Albert, B.; Johnson, A.; Lewis, J.; Raff, M.; Robert, K.; Walter, P. 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. Garland Science. New York. ISBN 0815332181 (versi online di NCBI Bookshelf).
Amri, K. 2006. Budi Daya Udang Windu Secara Intensif. Cetakan. 6. Agro Media Pustaka. Jakarta. 98 hal.
Badjoeri, Muhammad dan T. Widiyanto. 2008. Penggunaan Bakteri Nitrifikasi Untuk Bioremediasi dan Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi Amonia dan Nitrit di Tambak Udang. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Volume 34 (2) : 261 – 278. ISSN 0125 – 9830. LIPI. Jakarta.
Darti dan Iwan, D. 2006. Penebar Swadaya. http://terdalam.com/2009/01/penya kit-ikan-hias-akibat-lingkungan.html Diakses pada tanggal 10 Juni 2014 pukul 10.58 WIB.
Devi, I.A. 2002. Perifiton sebagai Indikator Biologi Kualitas Air di Sungai Citarum Hulu. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas MIPA UNPAD Jatinangor.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2006. Uji Teknologi Budidaya Udang Bebas Penyakit Bercak Putih. Mina Bahari, 3 (02): 16-17.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Escobedo, Bonilla, S. Alday, M. Wille, P, Sorgeloos, M.B Pensaert and H.J. Nauwynck. 2008. A Review on The
Morphology, Moleculer
Characteterization, Morphogenesis and Pathogenesis of White spot Syndrome Virus. Centro de
Investigation Biologicas del Noroeste, S.C. Unidad Sonora, Centenario Norte no. 53, Colombia Prados del
Centenario, Hermosillo, Sonora 82360. Mexico. Jurnal of Fish Diesase, 31, 1 – 18.
Fatchiyah. 2006. Analisa Biologi Molekuler (Isolasi DNA, PCR dan RFLP, SDSPAGE, Immunobloting dan Isoenzym). Tim Lab Biologi Molekuler dan Seluler JBUB Universitas Brawijaya Malang.
Haliman, R.W., Adijaya D. 2006. Budidaya Udang Vannamei. Penebar Swadaya.
Jakarta. 74 hal.
Hartl, D. 1980. Principles of Population Genetiks. Sinauer Associates Inc. Publisher. Sunderland. Massacushetts.
Kilawati, Y. 2011a. Ekspresi Gen Ketahanan dan Kerentanan Pada Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Sebagai Respon Terhadap Serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Artikel. Universitas Airlangga. Surabaya.
--------------. 2011b. Pengaruh Serangan WSSV Terhadap Morfologi, Tingkah Laku dan Kelulushidupan SPF Udang Vannamei Indonesia Yang Dipelihara Dalam Lingkungan Terkontrol. Journal of Biological Researchers. ISSN : 0852 – 6834 No. 7F. Universitas Brawijaya. Malang.
--------------------. dan W. Darmanto. 2009. Karakter Protein ICP11 Pada DNA
Udang Vannamei (Penaeus vannamei) yang Terinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV). Journal of Biological Researchers. ISSN : 0852 – 6834 Vol. 15 (21 – 24). Universitas Brawijaya, Malang.
Kimball, J.W. 1994. Biologi Jilid I. Alih Bahasa: Siti Sutarmi, Nawangsari Sugiri Penerbit Erlangga, Jakarta.
Komarawidjaja Wage. 2006. Pengaruh Perbedaan Dosis Oksigen terlarut
(DO) Pada Degradasi Amonium Kolam Kajian Budidaya Udang. Jurnal Hidrosfer Vol. 1 No. 1 Hal. 32-37 ISSN 1704-1043, Jakarta.
Kordi, M.G.H. dan A.B.Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budi Daya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Lightner, D. V. 1996. A Handbook of Shrimp
Pathonology and Diagnostic
Procedures for Diaseses of Cultured penaeid Shrimp. The World Aquaculture Society. Baton Rouge, Louisiana, 70803.USA.
Mahardika, K., Zafran dan I. Koesharyani. 2004. Deteksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Windu (Penaeus monodon) di Bali dan Jawa Timur Menggunakan Metode
Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10 (1): 55-60.
Murphy, R.W., Sites Jr, J.w., Buth, D.g., and Haufler, C.H. 1990 Protein I, Isozyme Electrophorensis. In Moleculer Systematic (Eds. D.M. Hilliis and C. Moritz), Sinaeur Associates. Inc, Sunderland, Massachussets, USA. PP 45-126.
Na’im, Rachman. 1996. Teknik Pengembangan Uji Diagnostik Melalui Teknik Molekuler. Jurusan Penyakit dan Kesehatan Hewan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Priatni D, M. Alifuddin dan D. Djokosetiyanto. 2006. Pengaruh Pemanasan pada Temperatur
Berbeda Selama 30 Menit terhadap Patogenitas White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Jurnal Akuakultur Indonesia 5 (1), 5-12
(2006).
Rahman, M, M. 2007. Differences In Virulance Between White Spot Syndrome Virus (WSSV) Isolates And Testing Of Some Control Strategis In ESSV Infected Shrimp. Laboratory of Virology, Department or Virology, Parasitology and Immunology Faculty of Veterinery Medicine Ghent
University, India. 177 hal.
Rustidja. 1996. Pola Warna dan Genetik Ikan Nila. Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang
Saiki, R 1998. A Practcal Approac. In Genomic Analisis (ed. KF. Davies) IRL Press at oxford United of Kingdom.
Soetomo, M. H. A. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Toha. Abdul Hamid A. 2001, Deoxybo Nucleac Acid. Keanekaragaman, Ekspresi dan Efek Pemanfaatannya. Seri Belajar Biokimia. Alfabeta, Bandung.
Trobos. 2009. Budidaya Udang Vannamei di Air Tawar
http://www.trobos.com?show_article .php?rid=17&aid=1899 . Diakses pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 17.56 WIB.
Wang, C. S., Y. J. Tsai, G. H. Kou and S. N. Chen. 1997. Detection of White Spot Syndrome Disease Virus Infection in Wild Caught Greasyback Shrimp, Metapenaeus ensis (deHaan) in
Taiwan. Fish Pathology, 32 (1): 35-41.
Wibowo. 2004. Kinetika Bioakumulasi
Logam Berat Cadmium oleh Fitoplankton chlorella sp Lingkungan Perairan laut. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Yudiati, E., Z. Arifin dan I. Riniatsih. 2010. Pengaruh Aplikasi Probiotik Terhadap Laju Sintasan dan Pertumbuhan Tokolan Udang Vanamei (Litopeneus vannamei), Populasi Bakteri Vibrio serta Kandungan Amoniak dan Bahan Organik Media Budidaya. Jurnal Ilmu Kelautan Volume 15 (3) 153 -158. ISSN 0853 – 7291. Universitas Diponegoro. Semarang.
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR).
Penerbit Andioffset. Yogyakarta.55>0>0>
0 comments:
Post a Comment