Biologi rotifera (Brachionus plicatilis
Taksonomi dan Morfologi Rotifera
Menurut Mujiman (1978) dalam Julianty (1999), ciri-ciri rotifera mempunyai kisaran ukuran tubuh antara 50-250 mikron, dengan struktur yang sangat sederhana, ciri khas yang merupakan dasar pemberian nama rotifera adalah terdapatnya suatu bangunan yang disebut korona. Korona ini berbentuk bulat dan berbulu getar, yang memberikan gambaran seperti roda, sehingga dinamakan rotifera.
Menurut Hyman (1951) dan Suzuki (1983) dalam Julianty (1999), Brachionus plicatilis memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Taksonomi dan Morfologi Rotifera
Menurut Mujiman (1978) dalam Julianty (1999), ciri-ciri rotifera mempunyai kisaran ukuran tubuh antara 50-250 mikron, dengan struktur yang sangat sederhana, ciri khas yang merupakan dasar pemberian nama rotifera adalah terdapatnya suatu bangunan yang disebut korona. Korona ini berbentuk bulat dan berbulu getar, yang memberikan gambaran seperti roda, sehingga dinamakan rotifera.
Menurut Hyman (1951) dan Suzuki (1983) dalam Julianty (1999), Brachionus plicatilis memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Phylum
|
:
|
Avertebrata
|
Klas:
|
:
|
Aschelmintes
|
Sub klas
|
:
|
Rotaria
|
Ordo
|
:
|
Eurotaria
|
Family
|
:
|
Brachionidae
|
Sub family
|
:
|
Brachioninae
|
Genus
|
:
|
Brachionus
|
Species
|
:
|
Brachionus plicatilis
|
w3732e0m.gif
Gambar 2.1. Brachionus plicatilis (Sumber; Mokoginta 2003)
Tubuh Brachionus plicatilis terbagi atas tiga bagian yaitu kepala, badan dan kaki atau ekor. Batas bagian kepala dengan badan tidak jelas, bagian kaki dan ekor berakhir dengan belahan yang disebut jari. Badannya dilapisi oleh kutikula yang tebal dan disebut lorika. Ujung depan tubuh dilengkapi dengan gelang-gelang silika yang kelihatan melingkar seperti spiral disebut korona dan berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut (Anonim, 1992).
Sel tubuh rotifera Brachionus picatilis tersusun sebagai jaringan tubuh yang membentuk sistem organ yang umumnya masih sangat sederhana. Sistem pencernaan dimulai dari mulut yang dekat dengan korona. Di bagian mulut terdapat faring yang disebut mastax. Kerongkongannya pendek, yaitu yang menghubungkan antara mastax dengan lambung. Makanan yang tidak dicerna dibuang keluar melalui anus (Djuhanda, 1980 dalam Wahyuni, 2009). Makanan diambil terus menerus sambil berenang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Secara alami Barchionus suka makan jasad–jasad renik yang lebih kecil dari dirinya, antara lain ganggang renik, ragi, bakteri dan protozoa.
Dari hasil penelitian Snell & Garman (1996) dalam Wahyuni (2009), menyimpulkan bahwa perkembangan rotifera secara kawin atau tidak kawin sebenarnya terjadi pada waktu yang hampir bersamaan perkawinan. Peristiwa perkawinan Brachionus plicatilis akan sangat bergantung pada peluang terjadinya kontak antara Brachionus plicatilis jantan dengan Brachionus plicatlis betina. Pada saat populasi meningkat, jumlah jantan semakin banyak maka peluang untuk tejadinya perkawinan akan semakin besar.
Lama hidup Brachionus plicatilis betina berkisar antara 12-19 hari dan umur Brachionus plicatilis jantan berkisar antara 3-6 hari. Antara bentuk jantan dan betina terdapat perbedaan bentuk yang mencolok yaitu, Brachionus jantan memiliki bentuk tubuh yang jauh lebih kecil daripada yang betina dan juga mengalami degenerasi dan yang jantan biasanya muncul pada musim-musim tertentu saja baik secara partenogenesis. (Anonim, 1990)
1.1.2 Perkembangbiakan Rotifera
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (1995) dalam Wahyuni (2009) menjelaskan bahwa Rotifera jenis Brachionus plicatilis mempunyai daur hidup yang unik dalam keadaan normal rotifera berkembang secara parthenogenesis (bertelur tanpa kawin). Brachionus plicatilis betina yang amiktik akan menghasilkan telur yang berkembang menjadi betina amiktik pula. Namun dalam keadaan yang tidak normal, misalnya terjadi perubahan salinitas, suhu air dan kualitas pakan, maka rotifera betina yang amiktik tadi, telurnya dapat menetas menjadi betina miktik. Betina miktik akan menghasilkan telur yang akan berkembang menjadi Brachionus plicatilis jantan. Selanjutnya bila Brachionus plicatilis jantan dan Brachionus plicatilis betina miktik tersebut kawin maka betina miktik akan menghasilkan telur kista yang akan tahan terhadap kondisi perairan yang sangat jelek dan tahan terhadap kekeringan. Telur kista ini akan dapat menetas lagi apabila keadaan perairan telah menjadi normal kembali.
Menurut Isnansetyo & Kurniastuti (1995) dalam Wahyuni (2009), Pada mulanya betina miktik menghasilkan 1- 6 telur kecil. Betina miktik adalah betina yang dapat dibuahi. Telur yang dihasilkan oleh betina miktik akan menetas menjadi jantan. Jantan ini akan membuahi betina miktik dan menghasilkan 1-2 telur istirahat. Telur ini mengalami masa istirahat sebelum menetas menjadi betina amiktk. Betina amiktik adalah betina yang tidak dapat dibuahi. Dari betina amiktik yang terjadi ini maka reproduksi secara aseksual akan terjadi lagi. Betina miktik hanya akan menghasilkan telur miktik demikian pula sebaliknya.
Walaupun telah banyak literatur yang menerangkan adanya perubahan antara betina amiktik menjadi betina miktik ini, namun pembiakan secara bisexual ini belum banyak diketahui secara jelas. Untuk beberapa genera dari famili Brachionidae diketahui bahwa kondisi yang menentukan seekor betina menjadi amiktik atau miktik terjadi beberapa saat sebelum telur mulai membelah. Hal ini juga menunjukkan banwa yang mngontrol produksi betina miktik ini pada umumnya adalah kondisi lingkungan (faktor luar) dan bukan merupakan faktor dalam semata (Dahril, 1996) dalam (Wahyuni,2009).
1.1.3 Kandungan Gizi Rotifera
Makanan merupakan salah satu faktor penunjang dalam perkembangan larva ikan, karena ikan membutuhkan energi untuk pertumbuhan, aktifitas dan reproduksi. Sebagian dari energi berasal dari makanan, demikian juga pertambahan biomass ikan sangat tergantung dari energi yang tersedia pada ikan tersebut. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan energi perlu diberikan makanan yang berkualitas tinggi sehingga memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Nilai nutrisi makanan, pada umumnya dilihat dari komposisi gizinya seperti kandungan protein, lemak, kadar air, serat kasar dan abu (Hariati, 1989). Menurut Anonimus (1990) Adapun kandungan gizi dari rotifera (Brachionus plicatilis) adalah: kadar air 85,70, protein: 8,60, lemak: 4,50, abu: 0,70
1.1.4 Makanan Rotifera
Brachionus sp. Umumnya bersifat omnivora dan suka memakan jasad-jasad renik yang mempunyai ukuran tubuh kecil dari dirinya, seperti : alga, ragi, bakteri dan protozoa. Brachionus plicatilis bersifat penyaring tidak selektif (non selective filter-feeder). Pakan diambil secara terus menerus sambil berenang (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995). Makanan utama dari rotifera adalah phytoplankton dan plankton lainnya, detritus dan bahan-bahan organik terutama yang mengendap di dasar perairan. Brachionus plicatilis juga pemakan segala dan partikel-partikel yang berukuran sesuai dengan besar alat penghisapnya.
1.2 Prinsip Kultur Rotifera
Pada suatu unit pembenihan, penyediaan pakan alami untuk larva ikan dibedakan menjadi dua kegiatan, yaitu kultur murni atau skala laboratorium dan kultur massal atau dalam bak bervolume besar, Brachionus sp. dapat berkembang dengan baik jika dipelihara di tempat yang mendapat sinar matahari (Mujiman, 1998). Brachionus plicatilis bersifat euthermal.
Brachionus ditemukan di perairan tawar, payau, atau laut, tergantung jenisnya (Mudjiman, 1984). Pertumbuhan populasi Brachionus sp. Dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu, pH, salinitas, konsentrasi oksigen terlarut.
Pada umumnya berbagai faktor lingkungan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan populasi Brachionus plicatilis, faktor lingkungan yang dimaksud antara lain: suhu, derajat keasaman dan salinitas (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995).
a. Suhu
Pada suhu 15°C Brachionus plicatilis masih dapat tumbuh, tetapi tidak dapat bereproduksi, sedangkan pada suhu di bawah 10°C akan terbentuk telur istirahat. Kenaikan suhu antara 15-35°C akan menaikkan laju reproduksinya. Kisaran suhu antara 22-30°C merupakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi.
b. Salinitas
Isnansetyo & Kurniastuty,(1995) menyatakan bahwa Brachionus plicatilis betina dengan telurnya dapat bertahan hidup pada salinitas 98 ppt, sedangkan salinitas optimalnya adalah 10-35 ppt, disamping itu Brachionus plicatilis juga bersifat euryhalin.
c. Derajat keasaman
Keasaman air turut mempengaruhi kehidupan rotifera. Rotifera Brachionus plicatilis ini masih dapat bertahan hidup pada pH 5 dan pH 10, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi berkisar antara 7,5-8,0 (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995).
d. Oksigen terlarut (DO)
Menurut Anonimus (1990) kualitas air media dengan kandungan oksigen terlarut tidak kurang dari 4,15 ppm layak bagi rotifera.
1.3 Teknik Kultur Rotifera
Menurut Juliaty (1999), teknik kultur rotifera secara massal dilakukan dalam bak beton berukuran 100 ton. Dalam kegiatan ini hal yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan bibit rotifera murni, ketersediaan phytoplankton sebagai pakan rotifera, juga ketersediaan pakan rotifera lainnya (ragi). Lebih lanjut dikatakan bahwa teknik kultur rotifera dilakukan dengan dua metode yaitu metode panen harian dan metode panen transfer.
Metode panen harian, rotifera dikultur dengan kepadatan 20 individu/mL kemudian dipanen pada hari ke-5 setelah mencapai kepadatan 100-150 individu sebanyak 30% dari total kultur. Selanjutnya bak kultur rotifera diisi kembali dengan phytoplankton (kepadatan 3-4 juta sel/mL) pemanean dilakukn dengan menggunakan plankton net 40 mikron dan disaring kembali dengan plankton net 250 mikron untuk memisahkan kotoran.
Metode kultur rotifera lainnya adalah metode panen transfer dalam metode ini diperlukan beberapa bak kultur alga hijau. Pada bak pertama ditebar rotifera dengan kepadatan awal 20 individu/mL setelah kepadatnnya mencapai 100 sampai 150 individu/mL rotifera dipanen dan hasil panen tersebut digunakan sebagai bibit pada bak kultur ke-2 dan seterusnya. Pemanenan dapat dilakukan setiap hari pada bak kultur rotifera yang berbeda.
Teknik kultur Rotifera pada umumnya terdiri dari pembibitan, pemeliharaan, dan pemanenan.
a. Pembibitan
Rotifera merupakan pakan alami yang membutuhkan teknik yang matang dalam melakukan pembibitan untuk mendapatkan kultur Rotifera yang bagus. Langkah pertama yaitu menyiapkan wadah berupa bak tembok atau bak fiberglass dengan ukuran 25 liter atau wadah lain tersedia. Wadah dibersihkan dengan cara mencuci kemudian mengeringkannya di bawah sinar matahari.
Media pemeliharaan yang dipakai adalah ekstrak pupuk kandang seperti kotoran ayam atau kotoran kuda. Media pemeliharaan dibuat dengan cara merebus kotoran ayam atau kuda dalam panci sebanyak 500 g/liter air. Setelah dimasak, kotoran disaring dengan menggunakan kain trilin.
Cairan hasil penyaringan ditampung dalam bak fiberglass ukuran 25 liter dan diencerkan dengan menambahkan air kolam 5-10 liter. Penambahan air kolam bertujuan agar bakteri dan jasad renik sebagai pakan rotifera dapat tumbuh.
Pada hari ketujuh, bibit rotifera yang diperoleh dari perairan umum dimasukkan ke dalam media pembibitan. Untuk memastikan ada tidaknya Rotifera dalam air harus dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Dalam waktu 1-2 minggu rotifera sudah berkembang dengan baik, dan dapat diinokulasikan untuk dipelihara. (Mujib, 2008)
b. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan setelah pembibitan. Inokulum yang sudah siap digunakan akan dikultur melalui 2 metode, yaitu:
1). Dalam akuarium (terbatas)
Ukuran akuarium yang dapat digunakan sebagai wadah pemeliharaan adalah 60 x 40 x 50 cm, sedangkan fiberglass yang biasa dipakai adalah yang berukuran hingga 1 ton. Wadah dicuci bersih dan dikeringkan di bawah terik matahari.
Akuarium diisi dengan air kolam dan volume air yang dimasukkan dihitung. Hal ini diperlukan untuk memperkirakan jumlah pupuk yang akan digunakan. Pupuk yang digunakan adalah kotoran ayam atau kotoran kuda dengan dosis 300-400 g/liter air. Pemberian pupuk dilakukan dengan jalan membungkus pupuk tersebut dalam kain, kemudian digantung hingga seluruh pupuk terendam air.
Setelah tujuh hari, kondisi air media sudah siap ditebari bibit Rotifera. Panen dapat dilakukan pada minggu berikutnya ketika populasi Rotifera mencapai puncak. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan plankton net. Kepadatan populasi akan bisa dipertahankan tetap tinggi selama satu bulan apabila setiap 5-6 hari dilakukan pemupukan ulang sebanyak separuh dosis pupuk awal.
2). Dalam kolam (massal)
Kolam yang digunakan bisa kolam tembok atau kolam tanah yang berukuran antara 100-00 m2. Kolam dikeringkan slama 2-4 hari hingga dasarnya menjadi pecah-pecah. Pencangkulan dan pembajakan dilakukan untuk membalik tanah dasar kolam sehingga udara dapat masuk ke dasar kolam. Perbaikan-perbaikan dilakukan pada saluran pemasukan serta kebocoran-kebocoran yang ada pada tanggul ditutup.
Perbaikan pH tanah air dan membunuh bibit-bibit penyakit dilakukan pengapuran dengan memakai kapur pertanian atau Kapur Tohor 200-300 g/m2. Pemupukan dilakukan dengan cara menebar irisan jerami atau daun kol secara merata dengan dosis 500 g/m2 air. Kolam diisi air hingga menggenang.
Penyemprotan insektisida dilakukan pada hari keempat setelah penggenangan. Insektisida yang dipakai adalah Sumithion 50 EC dengan dosis 4 ppm untuk membunuh organisme lain seperti Cladocera yang menjadi pemangsa Rotifera.
c. Pemanenan
Pemanenan Rotifera dapat dilakukan seminggu setelah pemeliharaan. Rotifera sudah mencapai populasi puncak. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan plankton net. Cara pemanenannya yaitu dengan mengambil air kolam kemudian air yang terkonsentrasi pada tabung plankton net ditampung dalam ember. Cara lain panen Rotifera adalah dengan menggunakan pompa air yang dialirkan pada wadah tertentu.
Pemupukan ulang perlu dilakukan untuk mempertahankan populasi Rotifera dengan dosis sebanyak setengah dosis pemupukan awal. Sebaiknya pemupukan dilakukan setiap 5-6 hari sekali. Rotifera hidup pada perairan yang banyak tersuspensi bahan organik. Kesukaannya memakan organisme lain yang mempunyai ukuran lebih kecil, seperti ganggang renik, ragi, bakteri, dan protozoa. Pada tubuhnya terdapat organ khusus yang disebut korona. Organ ini bentuknya bulat dan dilengkapi bulu getar sehingga tampak seperti roda (Mujib, 2008).
1.4 Peranan Rotifera Dalam Budidaya Perikanan
Brachionus plicatilis merupakan jenis plankton hewani yanng hidup di perairan litoral dan termasuk pakan larva ikan laut yang penting. Dalam percobaan pembenihan ikan laut, rotifera diberikan sebagai pakan larva selama kurang lebih satu bulan.
Kegunaan Brachionus plicatilis secara tidak langsung mulai berkembang. Brachionus plicatilis merupakan pakan hidup bagi jenis-jenis tertentu golongan ikan sehingga seringkali sangat diperlukan dalam budidaya. Penyediaan pakan alami berupa plankton nabati dan plankton hewani yang tidak cukup tersedia, seringkali menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan kelangsungan hidup larva ikan. Brachionus plicatilis sangat penting dalam menunjang budidaya perikanan, terutama sebagai pakan yang baik pada larva ikan maupun udang.
Budidaya ikan secara komersial dari berbagai jenis species-species diantaranya bivalve, crustaceae, dan ikan bertulang belakang akan mengalami permasalahan yang serius apabila didalam proses produksinya tidak tersedia pakan alami yang kontinyu baik kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini dikarenakan masih banyak jenis kultivan budidaya yang masih tergantung input pakan dari pakan organisme hidup, terutama untuk pemeliharaan kultivan dalam bentuk larva. Dilain pihak, budidaya pakan alami harus menyesuaikan dengan kebutuhan kultivan ikan yang dipelihara. Untuk memenuhi kebutuhan kultivan tersebut disyaratkan sifat fisiologi jenis/species pakan hidup yang dikultur, ukuran, kecepatan reproduksi, kemampuan tumbuh, dan nilai nutrisi dari setiap jenis pakan alami. Dengan perkembangan kebutuhan pangan penduduk dunia saat ini, maka peningkatan budidaya perikanan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gizi. Pengembangan budidaya perikanan baik di perairan tawar, payau maupun laut diberbagai negara merupakan suatu bentuk revolusi pertumbuhan industri baru. Kenyataan ini selaras dengan bertambahnya populasi penduduk dunia dari tahun ketahun, permintaan akan pangan dunia, potensi produksi perikanan yang sudah mencapai maximum sustainable yield, produksi pertanian yang semakin menurun akibat pergeseran tata guna lahan untuk keperluan lain dan permintaan kualitas hidup perkapita meningkat. Dengan demikian permintaan akan pangan dari sumber hewani juga akan meningkat, lebih-lebih dilihat dari kandungan protein ikan yang mempuyai kandungan asam amino yang lebih lengkap dari pada sumber protein hewani lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan gizi dari sumber protein hewani ikan diperlukan pengembangan budidaya perikanan dan untuk mendukung produksi sesuai dengan kuantitas maupun kualitas produk ikan, maka diperlukan ketersediaan pakan alami. Penyediaan pakan alami baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas diperlukan pengetahuan tentang teknik dasar budidaya pakan alami yang baik agar kontinyuitas produksi ikan hasil budidaya dapat terpenuhi sesuai dengan yang diharapkan.
Sebagaian besar larva ikan umumnya memakan tumbuhan dan atau hewan yang berukuran 4-200 mikron. Jenis tumbuhan dan hewan tersebut termasuk didalamnya adalah plankton, yakni organisme yang hidup melayang dalam air gerakannya selalu mengikuti arus. Namun demikian dari sejumlah spesies yang diketahui tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami bagi pemeliharaan larva, organisme yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan alami dalam pemliharaan larva harua memenuhi kriteria tertentu yaitu: ukuran sel sesuai dengan bukaan mulut larva, kandungan nutrisi cukup tinggi, mudah dicerna dan dapat diserap dalam tubuh larva, gerakannya lambat sehingga larva ikan mudah menangkapnya, mudah dikultur dan mampu bertahan hidup terhadap lingkungan yang fluktuatif salinitas, suhu, dan intensitas cahaya, pertumbuhan populasi membutuhkan waktu yang relatif cepat sehingga dengan segera dapat digunakan dalam keadaan segar dan hidup, usaha pembudidayaannya memerlukan biaya yang relatif sedikit, selama daur hidupnya tidak menghasilkan bahan beracun yang dapat membahayakan kehidupan larva.
Dari kriteria tersebut Brachionus plicatilis telah memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai pakan alami larva ikan karena memiliki ukuran yang relatif kecil, lambat dalam berenang, mudah dibudidayakan, mudah dicerna dan mempunyai nilai gizi yang tinggi serta diperkaya dengan asam lemak dan antibiotik (Murtiningsih, 1985).
0 comments:
Post a Comment