Rajungan
(Portunus pelagicus) banyak ditemukan pada daerah dengan geografi yang sama
seperti kepiting bakau (Scylla serrata). P. pelagicus dikenal dengan nama
rajungan, blue swimming crab atau kepiting pasir dan merupakan hasil samping
dari tambak tradisional pasang-surut di Asia (Cowan, 1992). Sejak tahun 1973 di
negara tetangga, rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang
penting dalam sektor perikanan (Anonim, 1973).
Rajungan
di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki
nilai ekonomis tinggi yang diekspor terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai
60% dari total hasil tangkapan rajungan. Rajungan juga diekspor ke berbagai
negara dalam bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan yang dalam
bentuk olahan (dalam kaleng) diekspor ke Belanda. Komoditas ini merupakan
komoditas ekspor urutan ketiga dalam arti jumlah setelah udang dan ikan
(Anonim, 1988). Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih
mengandalkan dari hasil tangkapan di laut, sehingga dikhawatirkan akan
mempengaruhi populasi di alam (Supriyatna, 1999). Alternatif yang sangat
bijaksana untuk menghindari kepunahan jenis kepiting ini melalui pengembangan
budi daya (Juwana, 2002).
Penelitian
tentang produksi massal rajungan masih relatif baru, berbeda dengan kepiting
bakau yang telah lebih lama dilakukan (Rusdi et al., 1993; Yunus et al., 1996;
Rusdi, 1999), walaupun hasil sintasannya masih rendah. Supriyatna (1999)
menyebutkan bahwa sintasan diperoleh juga masih rendah berkisar 4%-29%. Menurut
informasi dari panti benih milik perusahaan swasta, dari beberapa kali
memproduksi benih rajungan masih diperoleh sintasan rata-rata sebesar 15%.
Beberapa
spesies rajungan yang memiliki nilai ekonomis adalah Portunus trituberculatus,
P. gladiator, P. sanguinus, P. hastatoides (Nakamura,1990), dan P. pelagicus
(Supriyatna, 1999), sementara yang banyak diteliti saat ini adalah P. pelagicus
dan P. trituberculatus.
Dari
penelitian pembenihan diketahui bahwa tingkat kematian benih rajungan banyak
terjadi pada saat larva yaitu dari stadia zoea IV ke stadia megalopa. Pemberian
pakan tunggal berupa rotifera pada pemeliharaan larva rajungan dapat
menghasilkan sintasan sebesar 5,8% (Panggabean et al., 1982), dan pemberian
naupli artemia dapat menghasilkan sintasan sebesar 10% (Yatsuzuka & Sakai,
1980). Padahal pembenihan di Jepang yang telah berhasil, pakan yang diberikan
pada larva rajungan juga hanya berupa rotifer, artemia, dan cacahan daging ikan
atau kerang. Sehubungan sintasan yang masih rendah tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat diketahui faktor-faktor lain yang
mempengaruhi sintasan larva rajungan untuk dapat meningkatkan sintasannya.
Upaya
pengontrolan lingkungan larva saat ini dilakukan secara biologis dengan
memanfaatkan bakteri menguntungkan yaitu yang dapat menekan populasi
mikroorganisme yang merugikan sebagai alternatif penggunaan antibiotik. Sebagai
pengontrol biologis digunakan isolat bakteri yang mampu menekan populasi
bakteri patogen dan memacu sistem pencernaan larva rajungan. Berikut informasi
biologi di samping pembenihan rajungan sendiri yang diharapkan dapat berperan
sebagai bahan informasi dasar untuk meningkatkan teknologi perbenihan rajungan
di Indonesia.
JENIS
DAN MORFOLOGI RAJUNGAN
Secara
umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana rajungan
(Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang
lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri
akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan
hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa
air. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka
dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau (Kasry, 1996).
Dilihat
dari sistematikanya, rajungan termasuk ke dalam:
Phylum : Arthropoda
dass : Crustacea
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Branchyura
Famili : Portunidae
Genus
: Portunus
Species : Portunus pelagicus
Dari
beberapa jenis kepiting yang dapat berenang (swimming crab), sebagian besar
merupakan jenis rajungan. Sebagai contoh yang banyak terdapat di Teluk Jakarta
adalah 7 jenis rajungan seperti Portunus pelagicus, P. sanguinolentus,
Thalamita crenata, Thalamita danae, Charybdis cruciata, Charibdis natator,
Podophthalmus vigil (Anonim, 1973). Sementara beberapa informasi lain
menyebutkan bahwa jenis rajungan terdiri atas 11 jenis seperti Portunus
pelagicus Linn, P. sanguinolentus Herbst, P. sanguinus, P. trituberculatus, P.
gladiator, P. hastatoides, Thalamita crenata Latr., Thalamita danae Stimpson,
Charybdis cruciata, Charibdis natator Herbst, Podophthalmus vigil Fabr.,
(Nakamura, 1990; Soim, 1996; Supriyatna, 1999), sedangkan P. trituberculatus
banyak ditemukan di Jepang, Cina, Taiwan, dan Korea. Nilai gizi dari bagian
tubuh jenis kepiting yang dapat dimakan (edible portion) mengandung protein
65,72%; mineral 7,5%; dan lemak 0,88% (Soim, 1996).
Rajungan
di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda-beda seperti tersaji pada Tabel
1.
Tabel
1. Nama jenis rajungan di berbagai daerah
Nama
ilmiah
Nama
daerah
Sumber
: Nakamura (1990), Soim (1996), Supriyatna (1999), Juwana & Romimohtarto
(2000)
Hasil
penelitian pembenihan rajungan, Portunus trituberculatus banyak dilaporkan di
Jepang, sedangkan di Indonesia hasil penelitian banyak dilaporkan pembenihan
rajungan jenis Portunus pelagicus (Juwana, 2002). Sementara Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut, Gondol Bali tahun 2003 telah melakukan penelitian
pembenihan rajungan (Portunus pelagicus) (Gambar 2) untuk mengantisipasi
keperluan benih rajungan dalam rangka meningkatkan keberhasilan budi daya
rajungan di tambak, dan sekaligus untuk memenuhi permintaan ekspor rajungan.
Warna
rajungan jantan adalah dasar biru dengan bercak putih, sedangkan rajungan
betina berwarna dasar hijau kotor dengan bercak putih kotor. Induk rajungan
mempunyai capit yang lebih panjang dari kepiting bakau, dan karapasnya memiliki
duri sebanyak 9 buah yang terdapat pada sebelah kanan kiri mata. Bobot rajungan
dapat mencapai 400 g, dengan ukuran karapas sekitar 300 mm (12 inchi). Ukuran
rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Yang jantan
lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang. Sedang yang
betina berwarna sedikit lebih coklat (Cowan, 1992).
Rajungan
(P. pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata
terdapat duri sembilan buah, di mana duri yang terakhir berukuran lebih
panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki
(capit) berfungsi sebagai pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan, dan 1
pasang kaki berfungsi sebagai dayung untuk berenang. Nontji (1986) menyatakan rajungan
mempunyai 5 pasang kaki jalan, di mana kaki jalan pertama ukurannya besar,
memiliki capit dan kaki jalan terakhir mengalami modifikasi sebagai alat
berenang. Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai
capit, propodos, karpus, dan merus. Sedangkan pada kaki kelimayang mengalami
modifikasi pada daktilus menyerupai dayung untuk berenang dan berbentuk pipih.
HABITAT
RAJUNGAN
Rajungan
(swimming crab) memiliki tempat hidup yang berbeda dengan jenis kepiting pada
umumnya seperti kepiting bakau (Scylla serrata), tetapi memiliki tingkah laku
yang hampir sama dengan kepiting. Coleman (1991) melaporkan bahwa rajungan
(Portunus pelagicus) merupakan jenis kepiting perenang yang juga mendiami dasar
lumpur berpasir sebagai tempat berlindung. Jenis rajungan ini banyak terdapat
pada lautan Indo-Pasifik dan India. Sementara itu informasi dari panti benih
rajungan milik swasta menyebutkan bahwa tempat penangkapan rajungan terdapat di
daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali),
Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah
Lampung, daerah Medan, dan daerah Kalimantan Barat.
Moosa
(1980) memberikan informasi bahwa habitat rajungan adalah pada pantai
bersubstrat pasir, pasir berlumpur, dan di pulau berkarang, juga berenang dari
dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 56 meter. Rajungan hidup di
daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi
untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke
estuaria (Nybakken, 1986).
Rajungan
banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan
hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya
yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa.
Perkawinan
rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri
pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang
(Coleman, 1991). Disebutkan pula bahwa rajungan hidup pada kedalaman air laut
sampai 40 m (131 ft), pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur.
Rajungan merupakan binatang karnivora. Makanan rajungan berupa ikan, binatang
invertebrata dan merupakan binatang karnivora.
PEMBENIHAN
RAJUNGAN
Dalam
pembenihan baik itu pembenihan ikan, udang, ataupun pembenihan kepiting dan
rajungan, diperlukan beberapa ketentuan antara lain penyediaan induk rajungan
yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Induk
rajungan yang mengandung telur banyak terdapat pada bulan Maret sampai Mei dan
pada bulan Juni sampai Agustus. Induk-induk rajungan yang mengandung
telurdiangkut dengan wadah kantong plastik atau box polyestervolume 5-10 L
untuk 1 ekor dengan suhu air t 30°C, bila capit diikat dapat terisi lebih
banyak lagi. Lama transportasi untuk membawa induk rajungan sampai 1-5 jam dan
menggunakan aerasi yang cukup. Induk rajungan kemudian ditempatkan pada bak
beton tertutup dengan kedalaman 50 cm, dan dilakukan pergantian air atau air
mengalir. Pada bak induk harus dihindari adanya alga karena akan mengganggu
perkembangan telur. Pengamatan perkembangan telurselalu dipantau setiap hari
dan akan terlihat perubahan warna telur dari orange ke coklat dan kemudian
berwarna hitam. Penetasan telur biasanya akan terjadi pada waktu malam antara
pukul 20.00 sampai 24.00, kemudian induk diambil, dilanjutkan dengan menghitung
larva, kemudian larva dipindahkan ke bak pemeliharaan. Larva yang menetas
diseleksi, larva yang kurang baik dengan tanda-tanda kurang tertarik pada
cahaya dan ukuran larva kecil < 0,65 mm dibuang. Sebagai informasi untuk
induk rajungan yang berukuran 400 g akan menghasilkan 1 juta zoea-1. Induk
tersebut tidak digunakan lagi walaupun masih dapat menghasilkan telur sampai 4
kali.
Pemeliharaan
larva rajungan cenderung lebih cepat dibanding pemeliharaan larva kepiting
bakau; karena masa stadia zoea lebih singkat yaitu hanya mengalami 4 masa
stadia zoea (Z1-Z4). Informasi sementara menyebutkan bahwa lama perkembangan
masa stadia zoea sekitar 3-4 hari dalam kondisi suhu media air 20°C-25°C,
stadia megalopa dan crablet selama 5-7 hari. Perkembangan larva rajungan dari
zoea-1 sampai menjadi crablet seperti terlihat pada Gambar 3.
Larva
juga dapat dipelihara pada berbagai bentuk bak, tetapi yang lebih sesuai untuk
pemeliharaan larva rajungan adalah bentuk bak bulat yang ditempatkan di luar
ruangan atau ruang kaca. Sumber air yang baik digunakan dalam pemeliharaan
larva rajungan berupa air laut yang disaring dengan filter pasir. Nogami et al.
(1995) menyatakan bahwa sumber air untuk pemeliharaan larva rajungan berasal
dari air laut yang telah disaring dengan filter pasir, kemudian disterilkan
dengan sodium hipoklorit dan dinetralkan dengan sodium tiosulfat.
Langkah
yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan bak dengan
bak, dengan memper tahankan suhu air yang konstan; salinitas air 30-33 ppt; pH
air sekitar 8-8,5; oksigen 15–20 L/ton/menit; dan intensitas cahaya di atas
3.000 lux. Penebaran larva rajungan dapat dilakukan dengan kepadatan 100 ind./L
(Juwana, 2002).
Pergantian
air dalam bak larva dimulai saat stadia Zoea 2 sebanyak 10% per hari, kemudian
ditingkatkan saat megalopa menjadi 20%-50% per hari. Aerasi diharapkan merata
di seluruh bak dan jumlah aerasi optimum tergantung pada tingkat kepadatan
larva, plankton, dan pakan yang diberikan. Pada beberapa panti benih di Jepang
tidak menggunakan fitoplankton dalam bak pemeliharaan larva rajungan, sehingga
selama pemeliharaan larva dilakukan sirkulasi air untuk menjaga timbulnya
populasi plankton. Alga yang mati dapat melepaskan racun nitrogen berupa amonia
dan nitrit, oleh karena itu diperlukan adanya perlakuan air secara mikrobiologi
berupa penambahan bakteri dan ragi agar dapat mengontrol tingkat kelarutan
bahan organik yang dapat menimbulkan amonia dan nitrit. Selama pemeliharaan
larva juga dilakukan pengamatan organisme asing berupa diatom, protozoa, dan
jamur, karena diatom dan protozoa akan membahayakan larva pada tingkat kepadatan
> 5.000 sel/mL. Di samping itu pada kondisi suhu rendah diatom akan melekat
pada karapas, dan pada media air yang kotor, jamur akan menghambat proses
moultingsehingga kematian larva akan meningkat.
Kepadatan
optimal untuk produksi massal Portunus pelagicus yang dipelihara dalam bak
volume 400 liter adalah berturut-turut untuk Zoea 1, 2, 3, dan 4 sebanyak
312.000, 294.000, 200.000, dan 104.000 ekor, begitu juga pola pemberian pakan
untuk bak tersebut adalah 2 x 1 juta artemia ditambah 2 x 10 g pakan tambahan
(Juwana, 2002). Dari penelitian Juwana (1999a) dalam Juwana (2002) juga
diuraikan bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan zoea sekitar 30°C atau berkisar
27°C-32°C, sementara untuk stadia megalopa sekitar 34°C, salinitas optimum
untuk zoea sekitar 27-30 ppt, dengan intensitas cahaya 2.500 lux selama 3-12
jam/hari. Untuk stadia crablet membutuhkan air bersalinitas 28-32 ppt; suhu
28°C-30,5°C; dan intensitas cahaya 3.300 lux.
Berbagai
metode dalam jenis makanan yang diberikan dan caranya selama pemeliharaan larva
sampai crablet rajungan berurutan berupa rotifera, pakan tambahan, naupli
artemia, dan ikan rucah yang diblender, Juwana (2002) memberikan pola makan
pada P. pelagicus berurutan berupa naupli artemia, formulasi diet, dried mysid,
dan kerang hijau cincang. Sedangkan Nogami et al., (1994) memberikan urutan
jenis pakan yang diberikan pada larva rajungan (Portunus trituberculatus)
seperti pada Tabel 2.
Tabel
2. Standar pakan untuk larva rajungan (Portunus trituberculatus) (Nogami
et.al.,1994)
Jenis
Pakan
Juwana
(2002) memberikan formulasi diet makanan untuk pemeliharaan larva P. pelagicus
seperti tersaji pada Tabel 3.
Formulated
diet
Maeda
(1999) melaporkan pemberian pakan untuk larva P. trituberculatus berupa
nannochloropsis, diatom, bakteria, rotifer, artemia, dan euphansia. Dosis dan
saat pemberian pada tiap stadia rajungan tersaji pada Tabel 4.
Tabel
2. Standar pakan untuk larva rajungan (Portunus trituberculatus) (Nogami
et.al.,1994)
Jenis Pakan
|
Stadia larva
|
|||||
Z-1
|
Z-2
|
Z-3
|
Z-4
|
M
|
C
|
Keterangan : Z : Zoea, M: Megalopa, C :
Crablet
Juwana (2002) memberikan formulasi diet
makanan untuk pemeliharaan larva P. pelagicus seperti tersaji pada Tabel
3.
Tabel
3. Formulasi diet untuk pemeliharaan larva P. pelagicus
Ingredient
|
Unit
|
Formulated diet
|
Maeda (1999) melaporkan pemberian pakan
untuk larva P. trituberculatus berupa nannochloropsis, diatom, bakteria,
rotifer, artemia, dan euphansia. Dosis dan saat pemberian pada tiap stadia
rajungan tersaji pada Tabel 4.
Tabel.
4 Pemberian pakan untuk larva P. trituberculatus (Maeda, 1999)
Jenis Pakan
|
Stadia larva
|
||||
Z-1
|
Z-2
|
Z-3
|
Z-4
|
M
|
.
4 Pemberian pakan untuk larva P. trituberculatus (Maeda, 1999)
Keterangan
: Z: Zoea; M: Megalopa
Untuk
menghindari terjadinya kanibalisme dari stadia megalopa sampai crablet, maka
pada bak pemeliharaan diberikan shelter atau pelindung berupa jaring atau
waring. Kanibalisme yang terjadi selama stadia megalopa dapat dikurangi dengan
menyediakan feeding regime yang optimal dan diberi fibre plastik sebagai
shelter (Juwana, 2002). Kondisi lingkungan sangat menentukan terhadap keberhasilan
dari perbenihan rajungan di mana suhu, salinitas, makanan, dan sistem
pemeliharaan yang berbeda akan mengakibatkan proses intermoult(lama antar
pergantian kulit) dan waktu untuk metamorfosis 1 akan berbedajuga. Crablet
rajungan dapat diangkut menuju tempat pembesaran di tambak dengan kepadatan 150
ekor/liter dengan suhu air 15°C-19°C.
0 comments:
Post a Comment