1. PENDAHULUAN
Benih bandeng (nener) merupakan
salah satu sarana produksi yang utama dalam usaha budidaya bandeng di tambak.
Perkembangan Teknologi budidaya bandeng di tambakdirasakan sangat lambat
dibandingkan dengan usaha budidaya udang. Faktor ketersediaan benih merupakan
salah satu kendala dalam menigkatkan teknologi budidaya bandeng. Selama ini
produksi nener alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang
terus berkembang, oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya
untuk mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting. Tanpa
mengabaikan arti penting dalam pelestarian alam, pengembangan wilayah,
penyediian dukungan terhadap pembangunan perikanan khususnya dan pembangunan
nasional umumnya, kegiatan pembenihan bandeng di hatchery harus diarahkan untuk
tidak menjadi penyaing bagi kegiatan penangkapan nener di alam. Diharapkan
produksi benih nener di hatchery diarahkan untuk mengimbangi selisih antara
permintaan yang terus meningkat dan pasok penangkapan di alam yang diduga akan
menurun.
2. PENGERTIAN
Teknologi produksi benih di
hatchery telah tersedia dan dapat diterapkan baik dalam suatu Hatchery Lengkap
(HL) maupun Hatchery Sepenggal (HS) seperti Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT).
Produksi nener di hatchery sepenggal dapat diandalkan. Karenaresiko kecil,
biaya rendah dan hasil memadai. Hatchery sepenggal sangat cocok dikembangkan di
daerah miskin sebagai salah satu upaya penaggulangan kemiskinan bila dikaitkan
dalam pola bapak angkat dengan hatchery lengkap (HL). Dilain pihak, hatchery
lengkap (HL) dapat diandalkan sebagai produsen benih bandeng (nener) yang
bermutu serta tepat musim, jumlah dan harga. Usaha pembenihan bandeng di
hatchery dapat mengarahkan kegiatan budidaya menjadi kegiatan yang mapan dan
tidak terlalu dipengaruhi kondisi alam serta tidak memanfaatkan sumber daya
secara berlebihan. Dalam siklusnya yang utuh, kegiatan budidaya bandeng yang
mengandalkan benih hatchery bahkan dapat mendukung kegiatan pelestarian
sumberdaya baik melalui penurunan terhadap penyian-nyian sumber daya benih
species lain yang biasa terjadi pada penangkapan nener di alam maupun melalui
penebaran di perairan pantai (restocking). Disisi lain, perkembangan hatchery
bandeng di kawasan pantai dapat dijadikan titk tumbuh kegiatan ekonomi dalam
rangka pengembangan wilayah dan penyerapan tenaga kerja yang mengarah pada
pembangunan berwawasan lingkungan. Pada giliranya, tenaga yang terserap di
hatchery itu sendiri selain berlaku sebagai produsen juga berlaku sebagai
kondumen bagi kebutuhan kegiatan sehari-hari yang dapat mendorong kegiatan
ekonomi masyarakat sekitar hatchery.
3. PERSYARATAN LOKASI
Pemilihan tempat perbenihan
bandeng harus mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persyaratan lokasi adalah sebagai
berikut.
1. Status tanah dalam kaitan dengan peraturan daerah dan
jelas sebelum hatchery dibangun.
2. Mampu menjamin ketrsediaan air dan pengairan yang
memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan;
o Pergantian
air minimal; 200 % per hari.
o Suhu air,
26,5-31,0 0 C.
o PH;
6,5-8,5.
o Oksigen
larut; 3,0-8,5 ppm.
o Alkalinitas
50-500ppm.
o Kecerahan
20-40 cm (cahaya matahari sampai ke dasar pelataran).
o Air
terhindar dari polusi baik polusi bahan organik maupun an organik.
3. Sifat-sifat
perairan pantai dalam kaitan dengan pasang surut dan pasang arus perlu
diketahui secara rinci.
4. Faktor-faktor biologis seperti kesuburan perairan, rantai
makanan, speciesdominan, keberadaan predator dan kompretitor, serta penyakit
endemik harus diperhatikan karena mampu mengakibatkan kegagalan proses
produksi.
4. SARANA DAN PRASARANA
1. Sarana
Pokok
Fasilitas pokok yang dimanfaatkan
secara langsung untuk kegiatan produksi adalah bak penampungan air tawar dan
air laut, laboratorium basah, bak pemeliharaa larva, bak pemeliharaan induk dan
inkubasi telur serta bak pakan alami.
1. Bak
Penampungan Air Tawar dan Air Laut.
Bak penampungan air (reservoir)
dibangun pada ketinggian sedemikian rupa sehingga air dapat didistribusikan
secara gravitasi ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang memerlukan air (laut,
tawar bersih). Sistim pipa pemasukkan dan pembuangan air perlu dibangun pada
bak pemelihara induk, pemeliharaan larva, pemeliharan pakan alami, laboratorium
kering dan basah serta saran lain yang memerlukan air tawar dan air laut serta
udara (aerator). Laboratorium basah sebaiknya dibangun berdekatan dengan
bangunan pemeliharaan larva dan banguna kultur murni plankton serta diatur
menghadap ke kultur masal plankton dan dilengkapi dengan sistim pemipaan air
tawar, air laut dan udara.
2. Bak
Pemeliharaan Induk
Bak pemeliharaan induk berbentuk
empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman lebih dari 1 meter yang
sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan di luar ruangan langsung
menerima cahaya tanpa dinding.
3. Bak
Pemeliharan Telur
Bak perawatan telur terbuat dari
akuarium kaca atau serat kaca dengan daya tampung lebih dari 2.000.000 butir
telur pada kepadatan 10.000 butir per liter.
4. Bak Pemeliharaan
Larva
Bak pemeliharaan larva yang
berfungsi juga sebagai bak penetasan telur dapat terbuat dari serat kaca maupun
konstruksi beton, sebaiknya berwarna agak gelap, berukuran (4x5x1,5) m3 dengan
volume 1-10 ton berbentuk bulat atau bujur sangkar yang sudut-sudutnya dibuat
lengkung dan diletakkan di dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding
balik. Untuk mengatasi penurunan suhu air pada malam hari, bak larva diberi
penutup berupa terval plastik untuk menyangga atap plastik, dapat digunakan
bentangan kayu/bambu.
Gambar 1. Bak Pemeliharaan Larva
5. Bak
Pemeliharaan Makanan Alami, Kultur Plankton Chlorella sp dan Rotifera.
Bak kultur plankton chlorella sp
disesuaikan dengan volume bak pemeliharaan larva yang terbuat dari serat kaca
maupun konstruksi beton ditempatkan di luar ruangan yang dapat langsung
mendapat cahaya matahari. Bak perlu ditutup dengan plastik transparan pada
bagian atasnya agar cahaya juga bisa masuk ke dalam bak untuk melindungi dari
pengaruh air hujan. Kedalamam bak kultur chlorella sp harus diperhitungkan
sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya matahari dapat dijamin mencapai dasar
tangki. Kedalaman air dalam tangki disarankan tidak melebihi 1 meter atau 0,6
m, ukuran bak kultur plankton chlorella sp adalah (20 x 25 x 0,6)m 3 . Bak
kultur rotifera terbuat dari serat kaca maupun konstruksi baton yang
ditempatkan dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding. Perbandingan
antara volume bak chlorella, rotifera dan larva sebaliknya 5:5:1.
2. Sarana Penunjang Untuk menunjang perbenihan sarana yang
diperlukan adalah laboratorium pakan alami, ruang pompa,air blower, ruang
packking, ruang genset, bengkel, kendaraan roda dua dan roda empat serta gudang
(ruang pentimpanan barang-barang opersional) harus tersedia sesuai kebutuhan
dan memenuhi persyaratan dan ditata untuk menjamin kemudahan serta keselamatan
kerja.
1. Laboratorium pakan alami seperti laboratorium
fytoplankton berguna sebagai tempat kultur murni plankton yang ditempatkan pada
lokasi dekat hatchery yang memerlukan ruangan suhu rendah yakni 22~25 0 C.
2. Laboratorium kering termasuk laboratorium
kimia/mikrobialogi, sebaiknya dibangun berdekatan dengan bak pemeliharaan larva
berguna sebagai bangunan stok kultur dan penyimpanan plankton dengan suhu
sekitar 22~25 0 C serta dalam ruangan. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan
pemasaran hasil dilengkapi dengan fasilitas ruang pengepakan yang dilengpaki
dengan sistimpemipaan air tawar dan air laut, udara serta sarana lainnya
seperti peti kedap air, kardus, bak plastik, karet dan oksigen murni. Alat
angkut roda dua dan empat yang berfungsi untuk memperlancar pekerjaan dan
pengangkutan hasil benih harus tersedia tetap dalam keadaan baik dan siap
pakai. Untuk pembangkit tenaga listrik atau penyimpanan peralatan dilengkapi
dengan pasilitas ruang genset dan bengkel, ruang pompa air dan blower, ruang
pendingin dan gudang.
3. Sarana
Pelengkap
Sarana pelengkap dalam kegiatan
perbenihan terdiri dari ruang kantor, perpustakaan, alat tulis menulis, mesin
ketik, komputer, ruang serbaguna, ruang makan, ruang pertemuan, tempat tinggal
staf dan karyawan.
5. TEKNIK PEMELIHARAN
1. Persiapan
Opersional.
1. Sarana yang digunakan memenuhi persyaratan higienis, siap
dipakai dan bebas cemaran. Bak-bak sebelum digunakan dibersihkan atau dicuci
dengan sabun detergen dan disikat lalu dikeringkan 2-3 hari. Pembersihan bak
dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak kain yang dicelupkan
ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10% dalam 1 m 3 air) dan
didiamkan selama 1~2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat
dengan dosis 40 ppm atau desinfektan lain yi formalin 50 ppm. Menyiapkan suku
cadang seperti pompa, genset dan blower untuk mengantisipasi kerusakan pada
saat proses produksi.
2. Menyiapkan bahan makanan induk dan larva pupuk
fytoplankton, bahan kimia yang tersedia cukup sesuai jumlah dan persyaratan
mutu untuk tiap tahap pembenihan.
3. Menyiapkan tenaga pembenihan yang terampil, disiplin dan
berpengalaman dan mampu menguasai bidang kerjanya.
2. Pengadaan Induk.
1. Umur induk antara 4~5 tahun yang beratnya lebih dari 4
kg/ekor.
2. Pengangkutan induk jarak jauh menggunakan bak plastik.
Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air bersalinitas rendah (10~15)ppt,
serta suhu 24~25 0 C. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air
barsalinitas rendah (10~15) ppt, serta suhu 24~25 0 C.
3. Kepadatan induk selama pengangkutan lebih dari 18 jam,
5~7 kg/m3 air. Kedalaman air dalam bak sekitar 50 cm dan permukaan bak ditutup
untuk mereduksi penetrasi cahaya dan panas.
4. Aklimatisasi dengan salinitas sama dengan pada saat
pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening
kembali. Setelah selesai aklimatisasi salinitas segera dinaikan dengan cara
mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar.
3. Pemeliharaan
Induk
1. Induk berbobot 4~6 kg/ekor dipelihara pada kepadatan satu
ekor per 2~4 m 3 dalam bak berbentuk bundar yang dilengkapi aerasi sampai
kedalaman 2 meter.
2. Pergantian air 150 % per hari dan sisa makanan disiphon
setiap 3 hari sekali. Ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton.
3. Pemberian pakan dengan kandungan protein sekitar 35 % dan
lemak 6~8 % diberikan 2~3 % dari bobot bio per hari diberikan 2 kali per hari
yaitu pagi dan masa sore.
4. Salinitas 30~35 ppt, oksigen terlarut . 5 ppm, amoniak
< 0,01 ppm, asam belerang < 0,001 ppm, nirit < 1,0 ppm, pH; 7~85 suhu
27~33 0 C.
4. Pemilihan Induk
1. Berat induk lebih dari 5 kg atau panjang antara 55~60 cm,
bersisik bersih, cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu berenang cepat.
2. Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan dengan cara mem-bius
ikan dengan 2 phenoxyethanol dosis 200~300 ppm. Setelah ikan melemah kanula
dimasukan ke-lubang kelamin sedalam 20~40 cm tergantung dari panjang ikan dan
dihisap. Pemijahan (striping) dapat juga dilakukan terutama untuk induk jantan.
3. Diameter telur yang diperoleh melalui kanulasi dapat
digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad. Induk yang mengandung
telur berdiameter lebih dari 750 mikron sudah siap untuk dipijahkan.
4. Induk jantan yang siap dipijahkan adalah yang mengandung
sperma tingkat III yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk banyak sewaktu
dipijat dari bagian perut kearah lubang kelamin.
5. Pematangan Gonad
1. Hormon dari luar dapat dilibatkan dalam proses
metabolisme yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi dengan cara penyuntikan
dan implantasi menggunakan implanter khusus. Jenis hormon yang lazim digunakan
untuk mengacu pematangan gonad dan pemijahan bandeng LHRH –a, 17 alpha
methiltestoteron dan HCG.
2. Implantasi pelet hormon dilakukan setiap bulan pada pagi
hari saat pemantauan perkembangan gonad induk jantan maupun betina dilakukan
LHRH-a dan 17 alpha methiltestoteren masing-masing dengan dosis 100~200 mikron
per ekor (berat induk 3,5 sampai 7 kg).
6. Pemijahan Alami.
1. Ukuran bak induk 30-100 ton dengan kedalaman 1,5-3,0
meter berbentuk bulat dilengkapi aerasi kuat menggunakan “diffuser” sampai
dasar bak serta ditutup dengan jaring.
2. Pergantian air minimal 150 % setiap hari.
3. Kepadatan tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3 air.
4. Pemijahan umumnya pada malam hari. Induk jantan
mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga fertilisasi
terjadi secara eksternal.
7. Pemijahan Buatan.
1. Pemijahan buatan dilakukan melalui rangsangan hormonal.
Hormon berbentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina sudah matang
gonad sedang hormon berbentuk padat diberikan setiap bulan (implantasi).
2. Induk bandeng akan memijah setelah 2-15 kali implantasi
tergantung dari tingkat kematangan gonad. Hormonyang digunakan untuk implantasi
biasanya LHRH –a dan 17 alpha methyltestoterone pada dosis masing-masing
100-200 mikron per ekor induk (> 4 Kg beratnya).
3. Pemijahan induk betina yang mengandung telur berdiameter
lebih dari 750 mikron atau induk jantan yang mengandung sperma tingkat tiga
dapat dipercepat dengan penyuntikan hormon LHRH- a pada dosis 5.000-10.000IU
per Kg berat tubuh.
4. Volume bak 10-20 kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat
terbuat dari serat kaca atau beton ditutup dengan jaring dihindarkan dari
kilasan cahaya pada malam hari untuk mencegah induk meloncat keluar tangki.
8. Penanganan Telur.
1. Telur ikan bandeng yang dibuahi berwarna transparan,
mengapung pada salinitas > 30 ppt, sedang tidak dibuahi akan tenggelam dan
berwarna putih keruh.
2. Selama inkubasi, telur harus diaerasi yang cukup hingga
telur pada tingkat embrio. Sesaat sebelum telur dipindahkan aerasi dihentikan.
Selanjutnya telur yang mengapung dipindahkan secara hati-hati ke dalam bak
penetasan/perawatan larva. Kepadatan telur yang ideal dalam bak penetasan
antara 20-30 butir per liter.
3. Masa kritis telur terjadi antara 4-8 jam setelah
pembuahan. Dalam keadaan tersebut penanganan dilakukan dengan sangat hati-hati
untuk menghindarkan benturan antar telur yang dapat mengakibatkan menurunnya
daya tetas telur. Pengangkatan telur pada fase ini belum bisa dilakukan.
4. Setelah telur dipanen dilakukan desinfeksi telur yang
menggunakan larutan formalin 40 % selama 10-15 menit untuk menghindarkan telur
dari bakteri, penyakit dan parasit.
9. Pemeliharaan Larva.
1. Air media pemeliharaan larva yang bebas dari pencemaran,
suhu 27-31 0 C salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5-7 ppm diisikan kedalam bak
tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi sistem aerasi
dan batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm batu aerasi.
2. Larva umur 0-2 hari kebutuhan makananya masih dipenuhi
oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Setelah hari kedua setelah
ditetaskan diberi pakan alami yaitu chlorella dan rotifera. Masa pemeliharaan
berlangsung 21-25 hari saat larva sudah berubah menjadi nener.
3. Pada hari ke nol telur-telur yang tidak menetes, cangkang
telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai hari ke 8-10 larva
dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10 dilakukan pergantian
air 10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang panen.
4. Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya terjadi
mulai hari ke 3-4 sampai ke 7-8. Untuk mengurangi jumlah kematian larva, jumlah
pakan yang diberikan dan kualitas air pemeluharan perlu terus dipertahankan
pada kisaran optimal.
5. Nener yang tumbuh normal dan sehat umumnya berukuran
panjang 12-16 mm dan berat 0,006-0,012 gram dapat dipelihara sampai umur 25
hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa.
10. Pemberian Makanan Alami
1. Menjelang umur 2-3 hari atau 60-72 jam setelah menetas,
larva sudah harus diberi rotifera (Brachionus plicatilis) sebagai makanan
sedang air media diperkaya chlorella sp sebagai makanan rotifera dan pengurai metabolit.
2. Kepadatan rotifera pada awal pemberian 5-10 ind/ml dan
meningkat jumlahnya sampai 15-20 ind/ml mulai umur larva mencapai 10 hari.
Berdasarkan kepadatan larva 40 ekor/liter, jumlah chlorella : rotifer : larva =
2.500.000: 250 : 1 pada awal pemeliharaan atau sebelum 10 hari setelah menetas,
atau = 5.000.000 : 500:1 mulai hari ke 10 setelah menetas.
3. Pakan buatan (artificial feed) diberikan apabila jumlah
rotifera tidak mencukupi pada saat larva berumur lebih dari 10 hari (Lampiran
VIII.2). Sedangkan penambahan Naupli artemia tidak mutlak diberikan tergantung
dari kesediaan makanan alami yang ada.
4. Perbandingan yang baik antara pakan alami dan pakan
buatan bagi larva bandeng 1 : 1 dalam satuan jumlah partikel. Pakan buatan yang
diberikan sebaiknya berukuran sesuai dengan bukaan mulut larva pada tiap
tingkat umur dan mengandung protein sekitar 52%. Berupa. Pakan buatan komersial
yang biasa diberikan untuk larva udang dapat digunakan sebagai pakan larva
bandeng.
11. Budidaya Chlorella
Kepadatan chlorella yang
dihasilkan harus mampu mendukung produksi larva yang dikehendaki dalam kaitan
dengan ratio volume yang digunakan dan ketepatan waktu. Wadah pemeliharaan
chlorella skala kecil menggunakan botol kaca/plastik yang tembus cahaya volume
3-10 liter yang berada dalam ruangan bersih dengan suhu 23-25 0 C, sedangkan
untuk skala besar menggunkan wadah serat kaca volume 0,5-20 ton dan diletakkan
di luar ruangan sehingga langsung dengan kepadatan ± 10 juta sel/m3. Panen
chlorella dilakukan dengan cara memompa, dialirkan ke tangki-tangki
pemeliharaan rotifera dan larva bandeng. Pompa yang digunakan sebaiknya pompa
benam (submersible) untuk menjamin aliran yang sempurna. Pembuangan dan
sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta saringan yang bermata jaring
60-70 mikron, berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang
tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatanya per
milimeter.
12. Budidaya
Rotifera.
Budidaya rotifera skala besar
(HL) sebaiknya dilakukan dengan cara panen harian yaitu sebagian hasil panen
disisakan untuk bibit dalam budidaya berikutnya (daily partial harvest).
Sedangkan dilakukan dengan cara panen penuh harian (batch harvest). Kepadatan
awal bibit (inokulum) sebaiknya lebih dari 30 individu/ml dan jumlahnya
disesuaikan dengan volume kultur, biasanya sepersepuluh dari volume wadah.
Wadah pemeliharaan rotifer menggunakan tangki serat kaca volume 1-10 ton
diletakkan terpisah jauh dari bak chrollela untuk mencegah kemungkinan
mencemari kultur chlorella dan sebaiknya beratap untuk mengurangi intensitas
cahaya matahari yang dapat mempercepat pertumbuhan chlorella. Keberhasilan
budidaya rotifera berkaitan dengan ketersediaan chlorella atau Tetraselmis yang
merupakan makanannya. Sebaiknya perbandingan jumlah chlorella dan rotifer
berkisar 100.000 : 1 untuk mempertahankan kepadatan rotifer 100 individu/ml.
Pada kasus-kasus tertentu perkembangan populasi rotifer dapat dipacu dengan
penambahan air tawar sampai 23 ppt. Apalagi jumlah chlorella tidak mencukupi
dapat digunakan ragi (yeast) pada dosis 30 mg/1.000.000 rotifer. Panen rotifer
dilakukan dengan cara membuka saluran pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan
wadah penampungan serta jaringan yang bermata jaring 60-70 mikro berukuran
40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan
dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatannya per milimeter. Pencatatan
tentang perkembangan rotifer dilakukan secara teratur dan berkala serta data
hasil pengamatan dicatat untuk mengetahui perkembangan populasi serta cermat
dan untuk bahan pertimbangan pemeliharaan berikutnya.
6. PANEN
1. Panen dan Distribusi Telur.
Dengan memanfaatkan arus air
dalam tangki pemijahan, telur yang telah dibuahi dapat dikumpulkan dalam bak
penampungan telur berukuran 1x5,5x0,5 m yang dilengkapi saringan berukuran
40x40x50 cm, biasa disebut egg collector, yang ditempatkan di bawah ujung luar
saluran pembuangan. Pemanenan telur dari bak penampungan dapat dilakukan dengan
menggunakan plankton net berukuran mata 200-300 mikron dengan cara diserok.
Telur yang terambil dipindahkan ke dalam akuarium volume 30-100 liter, diareasi
selama 15-30 menit dan didesinfeksi dengan formalin 40 % pada dosis 10 ppm
selama 10-15 menit sebelum diseleksi. Sortasi telur dilakukan dengan cara
meningkatkan salinitas air sampai 40 ppt dan menghentikan aerasi. Telur yang
baik terapung atau melayang dan yang tidak baik mengendap. Persentasi telur
yang baik untuk pemeliharaan selanjutnya harus lebih dari 50 %. Kalau
persentasi yang baik kurang dari 50 %, sebaiknya telur dibuang. Telur yang baik
hasil sortasi dipindahkan kedalam pemeliharaan larva atau dipersiapkan untuk
didistribusikan ke konsumen yang memerlukan dan masih berada pada jarak yang
dapat dijangkau sebelum telur menetas ( ± 12 jam).
2. Distribusi Telur.
Pengangkutan telur dapat
dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik berukuran 40x60 cm,
dengan ketebalan 0,05 – 0,08 mm yang diisi air dan oksigen murni dengan
perbandingan volume 1:2 dan dipak dalam kotak styrofoam. Makin lama
transportasi dilakukan disarankan makin banyak oksigen yang harus ditambahkan.
Kepadatan maksimal untuk lama angkut 8 – 16 jam pada suhu air antara 20 – 25 0
C berkisar 7.500-10.000 butir/liter. Suhu air dapat dipertahankan tetap rendah
dengan cara menempatkan es dalam kotak di luar kantong plastik. Pengangkutan
sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mencegah telur menetas selama
transportasi. Ditempat tujuan, sebelum kantong plastik pengangkut dibuka
sebaiknya dilakukan penyamaan suhu air lainnya. Apabila kondisi air dalam
kantong dan diluar kantong sama maka telur dapat segera dicurahkan ke luar.
3. Panen dan Distribusi Nener.
Pemanenen sebaiknya diawali
dengan pengurangan volume air, dalam tangki benih kemudian diikuti dengan
menggunakan alat panen yang dapat disesuaikan dengan ukuran nener, memenuhi
persyaratan hygienis dan ekonomis. Serok yang digunakan untuk memanen benih
harus dibuat dari bahan yang halus dan lunak berukuran mata jaring 0,05 mm
(gambar XI.3) supaya tidak melukai nener. Nener tidak perlu diberi pakan
sebelum dipanen untuk mencegah penumpukan metabolit yang dapat menghasilkan
amoniak dan mengurangi oksigen terlarut secara nyata dalam wadah pengangkutan.
4. Panen dan Distribusi Induk.
Panen induk harus diperhatikan
kondisi pasang surut air dalam kondisi air surut volume air tambak dikurangi,
kemudian diikuti penangkapan dengan alat jaring yang disesuaikan ukuran induk,
dilakukan oleh tenaga yang terampil serta cermat. Seser / serok penangkap
sebaiknya berukuran mata jaring 1 cm agar tidak melukai induk. Pemindahan induk
dari tambak harus menggunakan kantong plastik yang kuat, diberi oksigen serta
suhu air dibuat rendah supaya induk tidak luka dan mengurangi stress.
Pengangkutan induk dapat menggunakan kantong plastik, serat gelas ukuran 2 m 3
, oksigen murni selama distribusi. Kepadatan induk dalam wadah 10 ekor/m 3
tergantung lama transportasi. Suhu rendah antara 25 – 27 0 C dan salinitas
rendah antara 10-15 ppt dapat mengurangi metabolisme dan stress akibat
transportasi. Aklimatisasi induk setelah transportasi sangat dianjurkan untuk
mempercepat kondisi induk pulih kembali.
7. ANALISA USAHA
Contoh Analisa Usaha Penbenihan
Lengkap Bandeng. Modal yang Diperlukan (Data April 1993).
1. Biaya Investasi.
1. Tanah 1
Ha @ Rp 35.000,- Rp. 35.000.000,-
2. Konstruksi
:
4 Bak
Induk Vol. 100 Ton @ Rp 15.000,- Rp. 600.000,-
20 Bak
larva vol 5 ton @ Rp 750,- Rp. 15.000.000,-
4 Bak
plankton vol 5 ton @ Rp 750,- Rp. 3.000.000,-
5 Bak
plankton vol 20 ton @ Rp 2.000 Rp. 10.000.000,-
4 Bak
rotifera vol 5 @ Rp 750 Rp. 3.000.000,-
20 Botol
plankton vol 10 liter @ Rp 3.000,- Rp. 60.000,-
Bak bius
vol 1 ton @ Rp 400,- Rp. 400.000,-
2 Bak
penampungan induk vol 3 ton @ Rp 750,- Rp. 1.500.000,-
1 set
alat lab. (mikroskop,timbangan,Induce,implamenter dll) Rp. 15.000.000,-
1 unit
Genset & Instalasi Rp. 25.000.000,-
1 unit
Pompa & instalasi Rp. 15.000.000,-
1 unit
Blower & instalasi Rp. 5.000.000,-
1 unit AC
Rp. 3.000.000,-
Jumlah Biaya Investasi Rp. 206.000.000,-
3. Prasarana
Pokok.
Bangunan
tempat pemeliharaan larva Rp. 20.000.000,-
Lab.
Plankton (alga) Rp. 5.000.000,-
Rumah
karyawan Rp. 25.000.000,-
Ruang
panen Rp. 10.000.000,-
Ruang
makan Rp. 10.000.000,-
Kantor
Rp. 5.000.000,-
Rumah
jaga Rp. 1.000.000,-
Rumah
genset dan blower Rp. 1.000.000,-
Gudang
Rp. 5.000.000,-
Refrigerator/Freezer
Rp. 1.000.000,-
Jumlah Biaya Sarana Pokok Rp. 83.000.000,-
Jumlah Biaya Investasi (a+b+c) Rp. 288.000.000,-
2. Biaya Operasional
per tahun.
1. Biaya
tetap.
Biaya
perawatan 5% dari investasi Rp. 14.448.000,-
Penyusutan
10% dari investasi Rp. 31.645.000,-
Bunga
modal 15% tahun Rp. 43.344.000,-
Ijin
usaha Rp. 2.000.000,-
Jumlah biaya tetap Rp 106.000.000,-
2. Biaya
tidak tetap.
Pengadaan
induk 50 ekor @ Rp. 300.000,- Rp. 15.000.000,-
Pakan,
induk 3%x5x50x360x1.000 Rp. 2.700.000,-
Larva,
pupuk Rp. 5.000.000,-
Hormon,
bius, alkohol, formalin Rp. 15.000.000,-
BBM :
solar; 10x4x360xRp.380 Rp. 32.000.000,-
Olie ;
8x4x12xRp 4.000,- Rp. 1.536.000,-
Gaji
karyawan :
tenaga
ahli 1x12x500 Rp. 6.000.000,-
pekerja
10x12x100 Rp. 12.000.000,-
Biaya tak
terduga Rp. 10.000.000,-
Jumlah biaya tidak tetap. Rp 100.068.000,-
Jumlah total biaya operasional/tahun (a + b) Rp.
205.505.000,-
3. Penerimaan
per tahun.
1. Produksi
telur : 20 induk selama 6 bulan (20x300.000x6 bulan) = 36.000.000 butir telur.
2. Tingkat
kelangsungan hidup 20 %. 7.200.000 benih
3. Harga
jual/ekor Rp.20,- Rp. 144.000.000,-
4. Jumlah
penerimaan selama 1 tahun Rp 288.000.000,-
4. Analisa
Biaya dan Manfaat
1. Penerimaan
kotor (III-II) Rp. 82.495.000,-
2. Pajak 10%
dari penerimaan kotor Rp. 8.249.500,-
3. Perputaran
uang sebelum dipotong Pajak (IV,1 & II A2/ Penyusutan Rp. 114.140.000,-
4. Pendapatan
bersih= (IV.3-IV.2) Rp. 105.890.500,-
5. Jangka
waktu pengambilan modal Investasi =2,7 tahun
6. Imbangan
penerimaan biaya (R/C ratio)= 3) : 2) 1,4
7. Biaya
produksi per PL
Total Biaya operasional = 205.505.00= Rp 13,70
Pembelian induk 15.000.000
8. SUMBER
Pembenihan Bandeng, Direktorat Bina Pembenihan, Direktorat
Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta, 1994
9. KONTAK HUBUNGAN
Direktorat Bina Pembenihan, Direktorat Jenderal Perikanan,
Departemen Pertanian, Jakarta
Copyright © 2002, IPTEKnet. All rights reserved
Office : BPPT, Gd.1 - Lt.16 , Jl. M.H. Thamrin 8, Jakarta
10340 , Telpon : (021) 3168701 - 02, Fax. (021)3149058
E-mail : Customer Care : Biz@iptek.net.id, Content :
infor@iptek.net.id
0 comments:
Post a Comment