Indonesia
terdiri dari kurang lebih 70 % perairan yang terdiri dari perairan laut dan
perairan tawar yang kaya akan berbagai jenis sumberdaya hayati dan liingkungan
potensial. Ditinjau dari segi perikanan darat di indonesia yang sangat penting
untuk dibahas dari segi biologi perikanan yaitu studi mengenai ikan sebagai
sumberdaya yang dapat dipanen oleh manusia, yang mencakup biologi ikan, dimana
penekanannya terhadap spesies penting sebagai sunberdaya. Tujuannya agar semua
orang mengerti dan memahami sunberdaya perikanan serta bagaimana pemanfaatan
sumberdaya tersebut secara optimum dan membuat rekomendasi dalam pemanfaatan
serta perbaikannya.
Pentingnya
pengamatan mengenai kajian jenis dan karakteristik sumberdaya perikanan dalam
dunia perikanan agar sumber hayati perairan dapat dikelola secara baik dan
tepat, dalam arti usaha menggali dan memanfaatkannya harus dilakukan secara
optimal tanpa mengganggu kelestariannya dan jangan sampai terjadi penangkapan
yang berlebihan.
Pengelolahan
sumberdaya hayati perairan adalah semua usaha yang dilakukan guna menggali dan
memanfaatkan sumber hayati perairan itu untuk kepentinhan manusia. Usaha ini harus didasarkan atas
kemampuan alam, tidak digali secara berlebihan, sehingga kelestariannya dapat
terus dipertahankan.
Dalam
dunia pangan dewasa ini, banyak terdapat produk-produk hasil olahan yang
terbuat dari sumberdaya perikanan. Khusunya di negara Indonesia terlihat dengan
jelas bahwa pemanfaatan hasil perikanan sangatlah maksimal. Hal ini terlihat
dari makanan-makanan tradisional yang banyak terbuat dari hasil laut.
Tujuan
dan Manfaat
Laporan
ini bertujuan untuk Mendeskripsikan sumberdaya perikanan ekonomis di Indonesia
pada khususnya dan dunia pada umumnya dilihat dari potensi, eksploitasi,
produksi, pemanfaatan dan alternatif pengembangan produksi pemanfaatan kepitng
bakau.
SISTEMATIKA
Klasifikasi
kepiting bakau Scylla serrta menurut (Kasry, 1996) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustaceae
Sub
kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub
ordo : Branchiura
Famili : Portunidae
Sub
famili : Lipilinae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata
Gambar
1. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber : Kasry, 1996)
MORFOLOGI
DAN ANATOMI
Deskripsi
kepiting bakau menurut Rosmaniar (2008), Famili portumudae merupakan famili
kepiting bakau yang mempunyai lima pasang kaki. Pasangan kaki kelima berbentuk
pipi dan melebar pada ruas terakhir.
karapas
pipi atau cagak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk ukuran
bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatan, tapi anterolateral bergigi lima
sampai sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut intra
orbital, bergigi dua sampai enam buah, bersungut kecil terletak melintang atau
menyerong. Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung. Terutama
ruas terakhir, dan mempunyai tiga pasang kaki jalan.
Kepiting
bakau Scylla serrta memiliki bentuk morfologi yang bergerigi, serta memiliki
karapas dengan empat gigi depan tumpul dan setiap margin anterolateral memiliki
sembilan gigi yang berukuran sama. Kepiting bakau memiliki capid yang kuat dan
terdapat beberapa duri (Motoh 1979 dan Perry 2007).
Berdasarkan
anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian
bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam
memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting
memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal
ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan sapit dalam memperoleh
makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan sapit, kemudian
baru dimakan (Shimek, 2008).
HABITAT
DAN DISTRIBUSI
Kepiting
merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan
laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap
perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan
payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang hidup dalam
ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau.
Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari
(nocturnal) (Prianto, 2007).
Kepiting
pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai plankton.
Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan dewasa
seiring dengan pembentukan carapace. Ilustrasi ini dapat dilihat pada Gambar 9,
dimana yang menjadi contoh pada gambar tersebut adalah kepiting kelapa.
Sedangkan habitat dan penyebaran kepiting (dalam contoh kepiting merah Cancer
magister) di estuary dan zona intertidal Kepiting dan rajungan tergolong dalam
satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup banyak
jenis yang termasuk dalam suku ini. Dr. kasim Moosa yang banyak menggeluti
taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan
ada 234 jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan
Seribu diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada
beberapa saja yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja
berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak
lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang
berarti. Beberapa jenis yang dapat dimakan ternyata juga dapat menimbulkan
keracunan (Nontji, 2002).
Menurut
Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1000 spesies
kepiting yang dikelompokkan ke dalam 50
famili. Sebagian besar kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh lautan mulai
dari zona supratidal hingga di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting
ada yang hidup di air tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di
daerah tropis dan di selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting
telah diidentifikasi.
Konsentrasi
maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air pasang. Kebanyakan
kepiting memanjat akar mangrove dan pohon untuk mencari makan. Pada saat siang
hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang untuk
berlindung dari serangan burung dan predator lainnya. Beberapa spesies seperti Sesarma
erythrodactyla dan Paragrapsus laevis pada saat air surut, turun ke bawah untuk
berasosiasi dengan telur-telur ikan.
Kepiting
mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan yang hidup di
wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan ini merupakan
hewan omnivora dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang dan bangkai ikan.
Kepiting ini dapat tumbuh sampai ukuran 25 cm atau dengan berat mencapai 2 kg,
dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari yang jantan (DPI & F,
2003).
Selain
kepiting atau rajungan, masih banyak jenis lainnya dari seksi Brachyura yang
mempunyai ciri-ciri bentuk, sifat-sifat hidup dan lingkungan yang berbeda-beda.
Di daerah pasang surut dengan hamparan pasir yang luas di daerah-daerah
tertentu dapat ditemukan kepiting Myctyris, nama Inggrisnya adalah soldier crab
sedangkan disini sering diberi julukan tentara Jepang. Di pantai dekat Merauke,
jika air sedang surut, mereka bisa terlihat bergerak kian kemari di atas pasir,
serentak dalam gerombolan besar yang terdiri dari ratusan atau ribuan individu,
dengan penuh kewaspadaan. Dengan sedikit saja gangguan, misalnya dengan langkah
seseorang yang mendekat, maka tiba-tiba saja mereka akan lenyap seketika secara
serempak, memasuki lubang perlindungan. Baru setelah situasi dianggap aman,
mereka akan ke luar lagi beramai-ramai hilir mudik di atas pasir (Nontji,
2002).
Siklus
hidup, habitat dan penyebaran kepiting merah (Cancer magister) di wilayah
estuaria dan zona intertidal (Sumber: www.shim.bc.ca, 2008).
Menurut
Kasry (1996) kepiting bakau dalam memnjalani hidupnya beruaya dari perairan
pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anaknya berusaha kembali ke
perairan pantai, muara, sungai atau daerah hutan mangrove untuk berlindung,
mencari makan dan berkembang biak. Rosmaniar (2008) menyatakan kepiting bakau
melangsungkan perkawinan di ekosistem bakau dan secara berangsur-angsur sesuai
dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke lautmenjauhi pantai
mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, sedangkan
kepiting jantan yang melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap
berada di perairan bakau, tambak, sela-sela akar mangrove atau paling jauh
disekitar perairan pantai, yaitu di perairan berlumpur yang makanannya
berlimpah.
Menurut
Rosmaniar dalam kasry (1996), kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi
tropis. Daerah sebenarnya meliputi wilaya Indo-Pasifik, mulai dari pantai
Selatan dan Timur Afrika Selatan. Mozambik, terus ke Iran, pakistan, kamboja,
Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan dan Philipina. Juga ditemukan di lautan Pasifik
mulai dari kepulauan Hawai, Selandia Baru dan Australia di Selatan.
MAKAN
DAN KEBIASAAN MAKAN
Dalam
hutan mangrove biasanya kepiting besar menyerang kepiting yang lebih kecil, dan
melumpuhkan dengan merusak umbai-umbai, kemudian merusak karapas menjadi
potong-potongan dan mengambil bagian-bagian yang lunak dari mangsanya untuk
dimakan. Menurut Arriola (1940) dalam
Rosmaniar (2008) kepiting bakau adalah organisme pemakan segala bangkai (Omnivorous – scavenger) dan pemakan
sesama jenis (cannibal).
Kepiting
bakau juga merupakan pemakan bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti
bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropoda dan crustacea (Rosmaniar, 2008).
Selanjutnya menurut Hutching dan Sesanger (1987) mengatakan bahwa kepiting
bakau hidup disekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya. Tangan dan capit
kepiting yang besar memungkinkan menyerang musuh dengan ganas dan merobek
makanannya. Menurut Rosmaniar (2008) sobekan-sobekan makanan tersebut dimasukan
ke mulut dengan menggunakan kedua capitnya.waktu makan kepiting bakau tidak
tertentu, tetapi malam hari lebih aktif mencari makan dari pada siang hari
karena kepiting tergolong hewan nokturnal yang aktif di malam hari.
RUAYA
Menurut
Kasry (1996) kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya dari perairan
pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anaknya berusaha kembali ke
perairan pantai, muara, sungai atau daerah hutan mangrove untuk berlindung,
mencari makan dan berkembang biak. Rosmaniar (2008) menyatakan kepiting bakau
melangsungkan perkawinan di ekosistem bakau dan secara berangsur-angsur sesuai
dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke lautmenjauhi pantai
mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, sedangkan
kepiting jantan yang melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap
berada di perairan bakau, tambak, sela-sela akar mangrove atau paling jauh
disekitar perairan pantai, yaitu di perairan berlumpur yang makanannya
berlimpah.
PERANAN
SUMBERDAYANDI EKOSISTEM
Kepitng
sebagai keystone spesies atau arti lain Spesies kunci (keystone species) adalah
suatu spesies yang menentukan kelulushidupan sejumlah spesies lain. Dengan kata
lain spesies kunci adalah spesies yang keberadaannya menyumbangkan suatu
keragaman hidup dan kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk
kehidupan lain (Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).
Secara
tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya, kepiting telah
memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses biologi di dalam
ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto (2007), beberapa
peran kepiting di dalam ekosistem pesisir, adalah sebagai berikut:
1.
Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi
menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran
detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini
menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur akan
berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan detrivor,
mikroba sebagai pengurai;
2.
Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun berbagai
jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat
perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam mencari
makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk komunikasi antar
vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan oksigen yang masuk ke
substrat yang lebih dalam sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik;
3. Membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup
karbon, unsur karbon bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting
dalam hal ini sangat penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang
merupakan jalur biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;
4. Penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya
kepiting menghasilkan ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan
ribuan larva dalam satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber
makanan bagi biota-biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat
neuston yang berarti melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan
makanan bagi ikan-ikan karnivora.
PERTUMBUHAN
DAN REPRODUKSI
Seperti
hewan air lainnya reproduksi kepiting terjadi di luar tubuh, hanya saja
sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang betina. Kepiting
betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi sang
betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga beberapa
bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan pada tempat
(bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan
ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen).
Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa
spesies dapat membawa puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan.
Telur ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian menjadi larva (individu
baru) yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk
menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas
dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan
moulting beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di
dasar perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007).
Menurut
Budiraharjo, et al (1991) dalam Rosmaniar (2008), pada kondisi lingkungan yang
memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun.
Pada umur 12-14 bulan kepiting di anggap sudah dewasa dan dapat dipijahkan.
Sekali memijah kepitinmg mampu menghasilkan jutaan telur.
Menurut
Boer, et al (1993), pertumbuhan kepiting bakau terjadi beberapa fase antara
lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa.
Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari
perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakuan pemijahan, khususnya
terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka muncul larva
tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus
perairan pantai, sebanyak lima kali (Zoea V), kemudian berganti kulit lagi
menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa
kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini dia
mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai, dan biasanya
pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian keperairan bakau untuk
kembali melangsungkan perkawinan (Suryani M, 2007)..
Selain
itu kepiting ini juga kepiting ini mengalami beberapa proses pergantian kulit
(moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama
siklus hidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau masa
juvenil (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut pada masa pemijahan sampai
megalova.
PEMANFAATAN
SUMBERDAYA
Kepiting
bakau (Scylla serrata) merupakan jenis yang dominan di Indonesia. Spesies ini
merupakan salah satu diantara komoditas perikanan yang banyak diminati oleh
masyarakat baik dari kalangan pembudidaya tambak, pengusaha maupun konsumen.
Daging kepiting tersebut mengandung protein 65,72%, lemak 0,83%, abu 7,5% dan
kadar air 9,9% (Rosmaniar, 2008).
Menurut
Samonte dan Agbayani (1992) serta Perry (2006), kepiting bakau memiliki nilai
ekonomis penting baik sebagai panen saham dan produk-produk perikanan
komersial. Serta mendatangkan keuntungan bagi masyarakat di daerah-daerah di
mana populasi kepiting bakau hidup.
Kepiting
bakau (scylla serrata) merupakan satu diantara komoditas laut yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi di pasaran dunia. Sangat digemari konsumen lokal maupun
luar negeri dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ekspor kepiting
meningkat rata-rata 14,06%. Komoditas ini mempunyai kandungan nilai gizi
tinggi, protein dan lemak, bahkan pada telur kepiting kandungan proteinnya
sangat tinggi, yaitu sebesar 88,55%. Dengan nilai komposisi demikian, komoditas
ini sangat digemari konsumen luar negeri dan menjadi salah satu makanan paling
bergengsi di kalangan mereka. Amerika Serikat merupakan negara penyerap hampir
55% produksi kepiting dunia, sedang permintaan lainnya datang dari
negara-negara di kawasan Eropa, Australia, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura,
Korea Selatan (Ditjen Perikanan, 2000) dalam (Putranto Arie Dwi, 2007).
Salah
satu cara peningkatan nilai produksi dari kepiting bakau adalah menjadikan
spesies tersebut sebagai hewan yang bercangkang lunak . Scylla serrata adalah
kepiting bakau fase ganti kulit (moulting) atau kepiting lemburi. Kepiting
dalam fase ini mempunyai keunggulan yaitu mempunyai cangkang yang lunak (soft
carapace) sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Berkaitan dengan potensi nilai
ekonomis yang menjanjikan dari kepiting bakau tersebut, maka perlu diperhatikan
kecepatan pertumbuhan dari kepiting bakau jenis Scylla serrata. Kecepatan
pertumbuhan berkaitan erat dengan kecepatan ganti kulit dikarenakan setiap
pergantian fase juga diikuti dengan pergantian kulit (Kurnia F, 2010).
Produksi
hasil tangkapan di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2007. Disini dilihat
bahwa dari tahun ke tahun produksi penangkapan kepiting bakau meningkat.
Sedangkan mengalami penurunan pada tahun 2005, hal ini mungkin dikarenakan
iklim dan cuaca yang mempengaruhi sehingga hasil tangkapan yang dihasilkan
menurun (DKP, 2008).
Produksi
dari hasil budidaya kepiting bakau sangatlah potensial. Hal ini dapat dilihat
dari diagram budidaya kepiting dan rajungan, dimana terlihat jelas bahwa dari
tahun 1998 sampai tahun 2007 produksi budidaya kepiting bakau lebih meningkat
jika dibandingkan dengan rajungan. Hal ini di karenakan karena permintaan
terhadap kepiting sangat berpotensi. Pada tahun 1998 produksi hasil budidaya kepiting menurun, hal
ini mungkin dikarenakan kurangnya penyadaran masyarakat akan potensi kepiting
bakau yang memiliiki nilai ekonomis yang tinggi. Sedangkan pada tahun 2002
peningkatan hasil budidaya sangat tinggi, mungkin di karenakan permintaan pasar
semakin meningkat (DKP, 2008).
Dari
data produksi hasil budidaya dan penangkapan di dunia, terlihat bahwa yang
sangat dominan dalam produksi kepiting yaitu dalam skala budidaya. Hal in dapat
dilihat bahwa pada tahun 2000 budidaya kepiting bakau sangat meningkat, ini
mungkin dikarenakan permintaan pasar global sangat pesat. Sedangkan produksi
hasil tangkapan dari alam sangat berfluktuasi, hal ini mungkin dikarenakan
adanya perubahan cuaca dan iklim, serta ketersediaan kepiring di alam terbatas.
PENANGKAPAN
Alat
tangkap yang sering di gunakan masyarakat nelayan masi sangatlah tradisional
yakni jenis alat tangkap tombak dan panah. Di perairan pesisir Maluku biasanya
menggunakan jenis alat tangkap tombak serta menggunakan perahu motor tempel.
Selain itu juga nelayan di Indonesia sering menggunakan jaring insang untuk
menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove (O-fish, 2010).
Menurut
Zairon (2010) alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah alat
tangkap bubu. Sedangkan Menurut DPI & F (2005), perangkap kepiting yang
digunakan dalam penagkapan kepitng bakau yaitu alat yang terbuat dari kawat
atau jaring dimana biasanya di dalam perangkap tersebut diberikan umpan dengan
jenis dan jumlah yang sama.
PEMANFAATAN
SUMBERDAYA
Menurut
Rosmaniar dalam kasry (1996), kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi
tropis. Daerah sebenarnya meliputi wilaya Indo-Pasifik, mulai dari pantai
Selatan dan Timur Afrika Selatan. Mozambik, terus ke Iran, pakistan, kamboja,
Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan dan Philipina. Juga ditemukan di lautan Pasifik
mulai dari kepulauan Hawai, Selandia Baru dan Australia di Selatan.
Rosmaniar
(2008) menyatakan kepiting bakau melangsungkan perkawinan di ekosistem bakau
dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina
akan beruaya ke lautmenjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok
untuk melakukan pemijahan, sedangkan kepiting jantan yang melakukan perkawinan
atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, sela-sela
akar mangrove atau paling jauh disekitar perairan pantai, yaitu di perairan
berlumpur yang makanannya berlimpah.
Teknik
penangkapan di Indonesia juga sangatlah sederhana. Dengan cara berburu di
tepian-tepian mangrve atau menggunakan jaring insang untuk menangkap kepiting
bakau di sekitar perairan mangrove (O-fish, 2010).
Negara
yang menjadi tujuan ekspor kepiting bukan hanya Amerika tetapi juga Cina,
Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di
kawasan Eropa. Sebuah perusahaan di Tarakan yang menjadi pengumpul sekaligus
eksportir kepiting mengaku hanya sanggup mengirim 20 ton kepiting per bulan ke
Korea, padahal permintaan mencapai 80 ton per bulan (Anonim, 2010).
PENANGANAN,
PENGOLAHAN DAN PEMASARAN
PENANGANAN
SUMBERDAYA
Kepiting
juga mudah dijual karena rasa dagingnya yang sangat gurih. Kelebihan lainnya,
pangangkutan kepiting bakau cukup gampang karena dapat dibawa dalam keadaan
hidup. Akan tetapi, selama ini kegiatan budidayanya masih terfokus pada usaha
pembesaran, penggemukan dan produksi kepiting bertelur dengan sistem keramba di
tambak yang kesemuanya menghasilkan kepiting dengan karapas keras (Karim M,
2009).
Standar
mutu rajungan yang biasanya digunakan di perusahaan pengalengan kepiting bakau
adalah kepiting dalam keadaan hidup atau
segar, tidak kopong dan tidak dalam keadaan moulting, tidak terdapat bau asing
(bau minyak tanah, solar, amonia, dan lain-lain), daging tidak dalam keadaan
lunak atau hancur. Kepiting bakau medah membusuk, untuk itu diperlukan penangan
yang baik dari awal penangkapan sampai pada tangan konsumen dalam keadaan segar
(Purwaningsi S, DKK. 2005).
PENGOLAHAN
SUMBERDAYA
Jenis-jenis
pengolahan kepiting bakau yang kebanyakan masi merupakan makanan tradisional
diantaranya: prekedel kepiting, kepiting rica-rica. Selain itu juga produk
perikanan yang diolah dari cangkang kepiting yang menghasilkan khitin dan
kitosan yang dapat bermanfaat bagi kesehatan
(Suryani M, 2007).
Dalam
dunia perdagangan, kepiting tersebut mempunyai saham sebagai komoditi ekspor di
luar minyak. Di Indonesia produksi kepitng bakau di Pulau Enggano merupakan
pemasok terbesar kepiting bakau untuk memenuhi permintaan pasar yang selalu
meningkat. Selain untuk memenuhi permintaan pasar lokal kepiting bakau ini juga
diperuntukkan guna memenuhi permintaan pasar di beberapa kota lain diantaranya
Jakarta, Lampung, Batam dan Palembang (Suryani M, 2007).
Menurut
Zairon (2010) Pemanfaatan Kepiting dan rajungan antara lain: Kepiting segar,
kepiting beku, kepiting kaleng, dan di Eropa dan Amerika di olah sebagai crab
cake, panko crab dan kepiting berkulit empuk.
KESIMPULAN
Berdasarkan
data-data yang di peroleh maka dapat disimpulkan bahwa: kepiting bakau (Scylla
serrata) merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting, serta
memiliki nilai gizi yang dapat bermanfaat bagi kesehatan dan dapat menambah
penghasilan bagi masyarakat di perairan pesisir pantai.
SARAN
Agar
di lakukan penelitihan lebih luas terhadap semua jenis kepiting bakau dan jenis
kepiting lainnya. Serta lebih memperhatikan lingkungan habitatnya (mangrove)
agar tidak berpengaruh buruk terhadap spesias yang akan mengakibatkan
kepunahan.
0 comments:
Post a Comment