Perairan umum adalah
suatu genangan air yang relatif luas yang dimiliki dan dikuasai oleh negara
serta dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Perairan
umum meliputi danau, waduk, rawa, dan sungai. Pada umumnya perairan umum
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan transportasi, penangkapan ikan, dan
sebagai sumber air untuk kehidupan rumah tangga, serta sebagai plasma nutfah
perairan.
Luas perairan umum di
Indonesia sekitar 55 juta Ha (Anonim 1995) yang meliputi
danau, waduk, sungai, dan rawa
dengan potensi pengembangan usaha budidaya sebesar 550,000 Ha (Rukyani 2001).
Syandri & Agustedi (1996) membagi
perairan umum berdasarkan wilayah menjadi
6 Kawasan yaitu
: Kawasan budidaya, lindung,
penangkapan, perhubungan, wisata dan kawasan bahaya.
Seperti kita ketahui bersama
bahwa Indonesia merupakan wilayah yang memiliki
keanekagaraman hayati yang tinggi. Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa
di Amerika Selatan memiliki jenis ikan sebanyak 5000 jenis,
di Sungai Kapuas,
Kalimantan sebanyak
310 jenis dan di
Indonesia Bagian Barat serta Sulawesi terrdapat sekitar 900 jenis ikan air
tawar dan 25 jenis ikan tersebut mempunyai nilai
ekonomis tinggi.
Menurut Anonim (1993)
di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batang hari terdapat sekitar 14 ordo, 24
famili, dan 131 spesies. Jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting
sebagai sumber protein
antara lain ikan patin, jelawat,
belida, baung dan betutu, sedangkan jenis ikan yang berpotensi untuk ikan hias
adalah botia, arwana, tilan, dan sebagainya. Jumlah dan jenis ikan yang
demikian besar ini memiliki potensi penting dan hendaknya tidak diabaikan.
Banyak ikan yang belum diketahui manfaat secara langsung yang sesunggguhnya
memiliki peran penting
dalam produksi perikanan karena kedudukannya dalam rantai
kehidupan.
Disisi lain ikan-ikan
perairan umum yang potensial ini
juga sedang mengalami
ancaman yang cukup mengkhawatirkan.
Menurut Kottelat et al. (1993) ancaman yang serius terhadap kelangsungan hidup
dan habitat ikan adalah penggundulan hutan. Ada 4 alasan yang mendukung hal ini
yaitu, Pertama, banyak jenis ikan
yang hidupnya bergantung
kepada bahan yang berasal dari
binatang dan tumbuhan
yang jatuh ke dalam air serta vegetasi yang menggantung
di atas air. Kedua, kenaikan suhu yang disebabkan berkurangnya naungan. Dengan
naiknya suhu air maka konsentrasi
oksigen terlarut dalam air akan menurun pula. Ketiga, meningkatnya kekeruhan
air karena endapan yang menumpuk, yang berasal dari tanah yang terhanyut dalam
sungai. Lumpur ini dapat menyebabkan kematian ikan, alga dan organisme lainnya
serta menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Keempat, adanya hutan terutama hutan-hutan
yang tergenang air akan menciptakan habitat yang beragam dan bersifat heterogen yang tercermin dari
keanekaragaman hayatinya. Selain penggundulan hutan ancaman lainnya adalah dari pencemaran. Menurut
Kottelat et al. (1993) bentuk pencemaran utama yang terdapat di sungai dan danau
adalah limbah organik yang berasal dari rumah tangga dan saluran pembuangan,
serta limbah industri yang berupa bahan
pewarna dan logam
berat, serta pestisida dan
herbisida yang digunakan untuk kegiatan pertanian. Selain hal tersebut di atas
para peneliti dan praktisi perikanan mengungkapkan bahwa banyak jenis ikan asli
perairan umum terancam punah akibat penangkapan yang tidak terkendali maupun
penang- kapan dengan menggunakan bahan kimia.
Dengan adanya berbagai
macam ancaman di atas maka banyak jenis
ikan asli Indonesia
terutama dari perairan umum yang
terancam punah. Kottelat et al.
(1993) menjelaskan bahwa
terdapat 29 jenis
yang berasal dari Indonesia, yang masuk Daftar Jenis Ikan
Terancam Punah. Jenis
ikan tersebut antara lain: ikan balahark
(Balantiocheilos
melanopterus), ikan botia (Botia macracnthus), semua jenis ikan
tor (Tor spp.), beberapa jenis ikan rasbora, dan ikan arwana (Scleropages formosus)
dan sudah terdaftar
dalam CITES (Convention on International
Trade for Endangered Species) sebagai ikan yang dilindungi. Anonim (1993)
melaporkan bahwa ada tujuh jenis ikan asli daerah ini yang terancam punah,
antara lain ikan chaka-chaka dan ikan botia. Di danau Singkarak salah satu
jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting dan berstatus langka adalah
ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dan perlu dilindungi dan dilestarikan
keberadaannya (Syandri & Agustedi 1996). Untuk mencegah
terjadinya kepunahan terhadap berbagai jenis ikan asli Indonesia yang merupakan
kekayaan plasma nutfah sebagai sumber kehidupan, maka perlu adanya upaya
pelestarian dalam rangka menjaga keberadaannya secara berkelanjutan (langgeng).
Oleh karena itu pelestarian plasma nutfah perairan, terutama berbagai jenis
ikan, adalah sangat diperlukan demi untuk menjaga keberadaannya baik sekarang
maupun yang akan datang sebagai sumber kehidupan.
Pelestarian Plasma
Nutfah
Di dalam Tatalaksana
untuk Perikanan yang Bertanggungjawab menurut Anonim (1995) dijelaskan bahwa
Negara dan para pengguna sumberdaya hayati akutik harus melakukan konservasi
ekosistem akuatik. Dalam hak menangkap ikan terkandung pula kewajiban untuk melakukan
konservasi dengan cara yang bertanggung
jawab sedemikian rupa sehingga dapat menjamin konservasi dan pengelolaan
sumberdaya hayati akuatik secara efektif. Selanjutnya dijelaskan bahwa
pengelolaan perikanan harus menunjukkan pemeliharaan mutu keanekaragaman dan
ketersediaan sumberdaya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk generasi kini
dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan
pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah pengelolaan seharusnya tidak hanya
menjamin konservasi spesies target
tetapi juga spesies
yang mendiami ekosistem yang sama
atau yang terkait
atau tergantung pada spesies target. Sehubungan hal tersebut
diatas, maka pelesatarian plasma nutfah merupakan mandat bukan hanya dari pemerintahan
tingkat nasional tetapi juga masyarakat Internasional yang harus segera
dilaksanakan. Pelestarian plasma nutfah
mempunyai arti suatu cara atau proses kerja untuk
melestarikan atau menjaga keberadaan plasma nutfah untuk tetap seperti
sediakala.
Sedangkan plasma
nutfah yang dimaksud
dalam bahasan ini terbatas pada keragaman berbagai jenis ikan yang ada
di perairan umum
baik di sungai,
danau maupun rawa. Pada dasarnya kegiatan pelestarian plasama nutfah
sudah banyak dilakukan oleh manusia antara lain di Sektor Kehutanan dengan
terbentuknya Taman Nasional Kerinci Sebelat di daerah Kerinci, Taman Hutan Rawa
Berbak di daerah Tanjung Jabung Timur, Kawasan Konservasi Penyu di Ujung
Genteng daerah Sukabumi, namun untuk Perikanan masih jarang dilakukan.
Menurut para ahli pada
prinsipnya pelestarian plasma nutfah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
in-situ dan ex-situ
(Vaughan & Chang
1992; Brush 1991; Pullin
1991). Secara in-situ dapat diartikan bahwa kegiatan pelestarian
dilakukan di tempat asalnya atau habitatnya, sedangkan ex-situ dilakukan diluar
habitatnya atau tempat
yang baru. Sehubungan hal tersebut maka pelestarian plasma nutfah
ikan-ikan perairan umum secara garis besar dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu in-situ
dan ex-situ (lihat lampiran).
Pelestarian Plasma
Nutfah secara In-situ
Kegiatan pelestarian
ini dilakukan di daerah habitat dimana merka berada dan tinggal sesuai dengan
siklus hidupnya. Untuk ikan-ikan
perairan umum mereka hidup di dalam sungai, rawa, danau dan
tempat alami lainnya. Cara in-situ ini dapat dibagi menjadi dua, pertama
perlindungan terhadap ikan secara dogmatis (kepercayaan) dimana ikan tersebut
dapat hidup dengan tenang tanpa ada gangguan dari manusia karena mereka mempunyai
kepercayaan bahwa bila ikan tersebut ditangkap, dimakan atau diganggu akan
mengakibatkan malapetaka bagi manusia yang mengganggunya. Jika ikan tersebut
mati maka harus dikubur dan dibungkus dengan kain kafan seperti ikan kancra
(Top sp.) di Cibulan, Kuningan
Jawa Barat. Tempat tersebut
merupakan habitat ikan kancra berupa sumber air yang sangat jernih dan
dikeramatkan. Konservasi secara kepercayaan ini mungkin masih banyak contoh
lainnya seperti terhadap ikan lele, sidat, dan jenis ikan lainnya.
Kedua perlindungan yang
dibentuk atas kebijakan pemerintah. Cara ini sangat ditentukan oleh kemauan pemerintah dan
masyarakatnya dalam melindungi berbagai jenis ikan
asli Indonesia untuk
tetap lestari yaitu dengan
membentuk daerah-daerah konservasi dan pembentukan daerah suaka perikanan di
daerah tertentu seperti sungai, danau atau rawa dimana jenis ikan tersebut
berasal.
Untuk membentuk daerah
suaka atau konservasi perikanan maka diperlukan beberapa
langkah kegitan :
a. Survey
identifikasi daerah habitat dan jenis ikannya, hal ini guna mengetahui
tempat-tempat mereka hidup untuk bertelur (spawning ground), tempat mengasuh
anaknya (nursery ground) dan ikan dewasa tinggal.
b. Pembentukan tata ruang baik di danau
atau waduk maupun di daerah
aliran sungai (DAS)
yang berupa kawasan atau zonasi:
1.
Kawasan reservat, terutama untuk tempat dimana induk ikan berada dan sebagai
tempat bertelur. Daerah ini adalah daerah larangan dimana kegiatan penangkapan
dilarang bagi siapapun. Pengelolaan perikanan sungai dan rawa dengan sistem
reservat ini telah dikembangkan oleh Hoggarth (2000) yaitu reservat konservasi
yang biasanya ditutup secara permanen, sedangkan reservat perikanan tidak
selalu ditutup sepanjang tahun.
2.
Kawasan penangkapan dimana tempat ini diperbolehkan para nelayan melakukan
penangkapan, dan daerah ini merupakan juga zona ekonomi.
3.
Kawasan budidaya, tempat ini disediakan untuk kegiatan budidaya, pemeliharaan
ikan dengan menggunakan karamba apung atau jaring apung.
4.
Kawasan
pariwisata biasanya untuk
perairan danau atau waduk dimana terdapat tempat untuk rekreasi.
5. Kawasan bahaya terutama pada perairan waduk
dimana terdapat pembangkit tenaga listrik. Zona ini sangat membahayakan baik terhadap
keselamatan manusia maupun alat pembangkit listrik itu sendiri.
6.
Kawasan transportasi terutama perairan sungai yang besar ataupun danau/waduk
dimana terdapat tempat rekreasi.
c. Melakukan penebaran ke daerah tertentu
(restocking), ikan yang
ditebar tentunya harus sesuai dengan habitatnya dan ukurannya.
Tujuan penebaran ini ada dua macam pertama untuk menambah populasi ikan agar
tetap lestari dan kedua untuk meningkatkan jumlah tangkapan sebagai sumber
pangan.
d. Membuat perangkat
peraturan tentang konservasi atau reservat maupun peraturan tentang perikanan
yang menyangkut pengelolaan perairan umum. Peraturan ini dapat berasal dari
pemerintah daerah maupun adat setempat.
e. Mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan dan masuknya bahan pencemar (polutan) yang
berasal dari limbah industri, rum tangga dan pabrik.
Dari uraian tersebut
diatas maka untuk melakukan pelestarian ikan perairan umum secara in-situ
diperlukan keterlibatan banyak pihak
terutama pemerintah, masyaraktat, LSM, sektor pertanian, kehutanan, industri
dan pertambangan. Kelihatannya faktor kerjasama dan koordinasi lebih dominan
dibandingkan dengan biaya investasi.
Pelestarian
PlasmaNutfah secara Ex-situ
Pelestarian ikan-ikan
perairan umum secara ex-situ adalah
pelestarian plasma nutfah
di luar habitatnya. Ikan-ikan tersebut dipelihara
atau dikoleksi ditempat yang baru yang telah dimodifikasi seperti kondisi
lingkungan asalnya. Cara ex-situ dapat dikelompokan menjadi dua macam. Pertama,
cryopreservation atau dengan carapengawetan. Cara ini sudah mulai
digunakan oleh para ahli untuk menyimpan sperma atau embryo dalam jangka waktu
yang cukup panjang yang sewaktu-waktu dapat digunakan atau ditumbuhkan
kembali. Namun cara
pengawetan ini memerlukan biaya investasi cukup besar. Kedua
membuat modifikasi habitat, sehingga tempat yang baru tersebut menyerupai atau
mendekati dengan kondisi lingkungan aslinya. Habitat baru ini dapat berupa kolam,
waduk, bak, atau penampungan air lainnya. Ada dua kepentingan dalam cara ini yaitu
hanya untuk pelestarian plasma nutfah saja, dan kepentingan plasma nutfah dan
aspek ekonomi (aquaculture).
Jika hanya untuk kepentingan
plasma nutfah biasanya
lebih bersifat koleksi. Ikan-ikan
tersebut disimpan dalam suatu kolam, taman-taman akuarium atau
penampungan air lainnya sebagai ikan koleksi. Cara ini banyak dilakukan oleh
para penggemar ikan (hobbiest), tempat rekreasi, maupun tempat-tempat milik
raja. Untuk kepentingan plasma nutfah dan ekonomi, dilakukan di kolam atau
penampungan air lainnya secara terkontrol. Ikan-ikan tersebut dipelihara secara
intensif untuk dapat beradaptasi, tumbuh berkembang dan dapat dibiakan serta
dapat dibudidayakan baik skala laboratorium maupun komersial. Untuk itu
beberapa hal yang harus dilakukan:
a. Domestikasi yaitu kegiatan pengadaptasian ikan- ikan alam (wild species)
terhadap lingkungan baru seperti kolam, bak, pakan buatan, penanganan
(handling) dan penangan secara terkontrol. Tujuan domestikasi ini adalah agar ikan
dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan baru secara terkontrol dan
respon terhadap pakan buatan sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta matang
telur dan dapat dipijahkan. Didalam melakukan domestikasi ini ada beberapa hal
yang harus diketahui antara lain sifat-sifat biologi, genetik, penyakit dan
aspek sosial ekonomi spesies yang didomestikasi.
b. Produksi benih skala laboratorium, bagi
ikan-ikan yang telah terdomestikasi (jinak) maka dilakukan pemijahan baik
secara alami maupun secara buatan untuk dapat menghasilkan benih. Pada skala
laboratorium ini biasanya
teknologi produksi masih sangat
terbatas dengan tingkat keberhasilan pemijahan terbatas, daya tetas telur yang
rendah, kelangsungan hidup benih rendah, dan secara ekonomi tidak
menguntungkan.
c. Produksi benih
skala komersial, pada
skala ini sudah memasukkan aspek ekonomi yang menguntungkan. Teknologi yang
dikembangkan sudah dapat diterapkan di tingkat pembenih dan secara ekonomis menguntungkan. Biasanya teknologi ini ditandai dengan
tingkat keberhasilan yang tinggi baik pada tingkat pemijahan, penetasan telur
dan kelangsungan hidup benih, sehinggga dapat menghasilkan benih dalam jumlah
yang banyak.
d. Transfer teknologi,
penyebarluasan dan mem- perkenalkan jenis ikan kepada
pembudidaya sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan jenis ikan alam (wild
species) menjadi spesies yang dibudidayakan.
Hal yang sangat
penting dalam tahap ini adalah
kesiapan teknologi terapan, kesiapan induk ikan dan sarana tempat pelatihanpara
pembudidaya, sehingga ikan tersebut dapat dikembangkan dan dibudidayakan yang
pada akhirnya dapat dilestarikan oleh para pembudidaya serta terhindar dari
ancaman kepunahan.
Pelestarian ikan-ikan
perairan umum melalui sistem budidaya ini mungkin lebih menarik dibandingkan dengan
sistem konservasi dan reservat, walaupun diperlukan biaya investasi
yang relatif besar serta jenis ikan yang dikembangkan harus mempunyai syarat
secara ekonomi menguntungkan (profitable) dan secara social dapat diterima oleh
masyarakat luas (acceptable). Benih ikan yang dihasilkan dari tempat pembenihan
(hatchery) ini juga dapat digunakan untuk penebaran perairan umum (restocking).
Kegiatan yang
dilakukan pada saat
ini lebih banyak kegiatan yang
diarahkan pada pelestarian ikan secara
ex-situ dengan sistem budidaya (aquaculture), mengingat cara
ini nampaknya lebih
sederhana tidak kompleks seperti secara in-situ. Untuk waktu yang akan
datang tidak menutup kemungkinan melakukan pelestarian ikan
perairan umum secara in-situ bekerjasama dengan instansi terkait
seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga penelitian serta
perguruan tinggi.
Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan tahun 2002 ;
a. Koleksi ikan :
Beberapa jenis ikan
perairan umum yang telah dikoleksi di kolam yaitu ikan betook, tambakan, sepat
siam, semah, labi-labi, kapiat dan tilan. Ikan- ikan tersebut dipelihara di
dalam kolam dan belum ditangani
secara intensif. Khusus
untuk ikan betook dan
sepat dapat dipijahkan
secara masal dan alami
guna penebaran perairan.
b. Domestikasi :
Jenis ikan yang didomestikasi
yaitu ikan arwana, kapiat/lampam, dan semah. Ikan arwana ini disamping
tergolong ikan langka juga banyak diminati oleh masyarakat terutama untuk ikan
hias dan mempunyai harga yang tinggi
c. Produksi benih skala laboratorium :
Ada dua jenis ikan
yaitu ikan botia dan belida. Ikan botia merupakan
ikan asli Sumatera yang mempunyai harga yang cukup tinggi, dan ikan ini diperdagangan
sebagai ikan hias dieksport ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika Serikat.
Ikan belida disamping
diperdagangkan sebagai ikan hias
(berukuran kecil) juga sebagai makanan masyarakat lokal seperti daerah Sumatera
Selatan, Jambi dan Riau.
d. Produksi benih skala masal :
Termasuk kegiatan
ini adalah ikan
patin jambal
(Pangasius djambal) dan
ikan baung. Kedua jenis ikan ini disukai oleh masyarakat Riau, Jambi dan
Palembang untuk ikan konsumsi dan mempunyai harga yang cukup tinggi. Untuk
jenis patin lokal, kegiatan ini merupakan
kegiatan lanjutan yang telah dilakukan pada tahun-tahun
sebelumnya. Domestikasi patin lokal ini telah dilakukan
bekerjasama dengan IRD (Ex-ORSTOM) Perancis sejak tahun 1997.
Berdasarkan kegiatan
tersebut di atas diharapkan bahwa pada tahun 2003 yang akan datang sudah dapat
dilakukan penyebaran teknologi ikan patin lokal dan baung dan termasuk
penyediaan induk/calon induknya. Pelestarian
jenis ikan patin
lokal ini pada
akhirnya dapat dilakukan oleh para pembenih maupun
pembudidaya (farm level).
0 comments:
Post a Comment