Mangrove, merupakan
jenis tumbuhan yang umumnya hidup di perairan dekat pantai. Mangrove yang
umumnya disebut hutan mangrove atau hutan bakau ini tumbuhnya dipengaruhi oleh
pasang surut dari air laut. Di Indonesia sendiri tanaman ini sangat melimpah
jumlahnya, bahakan berdaarkan sumber yang ada disebutkan bahwa luas hutan bakau
Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di
dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97
ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Mangrove atau tanaman
bakau ini sangat dikenal manfaatnya untuk pelindung pantai dari ancaman abrasi.
Namun, sebenarnya masih banyak sisi manfaat dari tanaman mangrove sendiri.
Mangrove dapat pula digunakan sebagai pengendali pencemaran karena mengrove
memiliki sifat mengendapkan polutan yang melaluinya. Sebagai contoh adalah
penggunaan mangrove untuk mengendapkan limbah tailing di Teluk Bintuni - Papua
Selatan yang berasal dari sisa pertambangan emas daerah dulu. Berdasarkan
artikel yang ditulis oleh para ahli kehutanan Donato, D.; Kauffman, J.B.;
Murdiyarso, D.; Kurnianto, S.; Stidham, M.; Kanninen, M yang diterbitkan pda
bulan Februari 2012 menjelaskan bahwa hutan bakau (mangrove) merupakan salah
satu hutan terkaya karbon dikawasan tropis. Jika dilihat dari sisi manfaat yang
lain, ekosistem mangrove juga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi,
hl ini dikarenakan mangrove merupakan perpaduan antara ekosistem laut dan
darat. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar
35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit,
dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993).
Sayangnya, hutan
mangrove di Indonesia saat ini terus berkurang. Sejak rentang 1999-2005, hutan
bakau sudah berkurang sebanyak 5,58 juta hektar atau sekitar 64 persennya. Saat
ini hutan mangrove di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal 3.6 juta
hektar, sisanya dalam keadaan rusak dan sedang. Ini dipaparkan di dalam diskusi
dan workshop Pengmbangan Ekowisata untuk Mendukung Konservasi Mangrove yang
digelar Kementrian Kehutanan dan japan International Cooperation Agency (JICA)
bulan Mei 2012.
Isu mengenai perubahan
iklim dan pemanasan global telah cukup sering menghiasi media. Isu itu dikupas
oleh banyak pihak, baik para pakar lingkungan, pemerintah, aktivis, mahasiswa,
hingga masyarakat awam.
Global warming terjadi
akibat terlalu menumpuknya gas karbondioksida di atmosfer bumi. Gas tersebut
menjadikan panas matahari yang terpantul oleh bumi tak bisa terlepas keluar
atmosfer. Akibatnya, panas itu terjebak di bawah karbondioksida yang
menghalanginya, seperti dalam sebuah rumah kaca. Alhasil, suhu permukaan bumi
pun meningkat sedikit demi sedikit. Global warming ini akan diikuti dengan
perubahan iklim dunia yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup semua
makhluk di bumi, yang ditandai dengan hujan terus-menerus di suatu belahan
bumi, sementara kekeringan panjang akan terjadi di belahan bumi lainnya.
Kerusakan hutan bakau
di Indonesia itu, berdasarkan sebuah sumber yang saya baca di internet, telah
mencapai angka 60 persen. Selama kurun waktu enam tahun, hutan bakau Indonesia
berkurang dari 7,7 juta hektare pada tahun 2006 menjadi 3,6 juta hektare pada
tahun 2011. Di Kabupaten Semarang sendiri, kerusakan yang terjadi telah
mencapai 4.500 hektare, atau 90% dari total luasan lahan total, yaitu 5000
hektare.
Apa hubungannya pohon
bakau dengan pemanasan global
Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa kerusakan hutan bakau, padang lamun, dan hutan rawa
memberikan dampak tiga kali lebih berbahaya daripada kerusakan hutan tropis.
Artinya, biarpun komposisi hutan sepanjang pantai dibandingkan dengan
keseluruhan hutan di dunia memang sangat kecil, namun perannya tidak bisa
dipandang sebelah mata dalam mencegah terjadinya pemanasan global. Apa yang
menjadi penyebabnya?
Komposisi hutan pantai
dunia hanya 6% dari hutan tropis. Namun, kenyataannya, emisi karbondioksida
yang akan terjadi jika ekosistem pantai itu lenyap adalah sekitar seperlima
dari jumlah emisi akibat hilangnya hutan tropis di seluruh dunia. Menghancurkan
satu hektare hutan bakau, jumlah emisinya setara dengan menebang tiga hingga
lima hektare hutan tropis.
Sayangnya, tidak semua
masyarakat memahami mengenai fakta itu. Di kalangan masyarakat bawah sendiri,
bahkan tidak sedikit yang masih saja acuh dengan isu global warming dan segala
dampak negatif yang ditimbulkannya. Barangkali itulah yang menjadi salah satu
penyebab mengapa kerusakan hutan bakau (juga hutan tropis) terus saja terjadi
di hampir seluruh belahan bumi. Padahal, melihat hasil penelitian di atas,
sesungguhnya hutan bakau menyimpan potensi manfaat yang sungguh besar.
Sebagai pencegah, maka
sebagaimana saya sebutkan di atas, hutan bakau berperan penting dalam mencegah
emisi karbondioksida yang merupakan senyawa penyebab terjadinya efek rumah
kaca. Sebagai penangkal, keberadaan hutan bakau itu dapat mencegah terjadinya
rob yang diakibatkan oleh naiknya permukaan air laut.
Kenaikan permukaan air
laut itu, merupakan dampak logis dari pemanasan global yang tengah terjadi.
Menurut perkiraan, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata
1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang,
akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun
2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin
banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer.
Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi semakin meningkat.
Ketika atmosfer
menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya
akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan
mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang akan
memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah
meningkat 10 – 25 cm (4 – 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan
memprediksi peningkatan lebih lanjut sebesar 9 – 88 cm (4 – 35 inchi) pada abad
ke-21.
Perubahan tinggi muka
laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40
inchi) saja akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah
Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Abrasi di pantai pun dengan sendirinya akan
meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang
akan meningkat di daratan. Rob yang biasa terjadi di Semarang dan kota-kota
rendah lainnya pun akan akan semakin meluas. Negara-negara kaya akan
menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya,
sedangkan negara-negara miskin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah
pantai.
Di luar masalah global
warming itu, kawasan hutan bakau juga menyimpan potensi ekonomi yang juga
besar. Dalam hutan bakau bisa dikembangkan aneka budidaya perairan seperti ikan
dan udang oleh masyarakat pantai. Pembudidayaan
ini dapat menjadi alternatif mata pencaharian yang cukup menjanjikan
bagi penduduk. Bahkan, kawasan hutan bakau yang eksotis bisa dijadikan objek
wisata yang menarik bagi para wisatawan.
Fenomena masyarakat
terkait dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim, nyatanya tak hanya
datang dari penanaman bakau oleh adik saya dan teman-teman kampusnya itu. Jika
saya cermati lebih dalam, ternyata apa yang dilakukan oleh paman saya sendiri
adalah juga merupakan sebuah langkah kecil menghadapi pemanasan global.
0 comments:
Post a Comment