Wednesday, December 5, 2012

MANFAAT HUTAN MANGROVE DALAM RANGKA PENGHIJAUAN PANTAI

December 05, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Mangrove, merupakan jenis tumbuhan yang umumnya hidup di perairan dekat pantai. Mangrove yang umumnya disebut hutan mangrove atau hutan bakau ini tumbuhnya dipengaruhi oleh pasang surut dari air laut. Di Indonesia sendiri tanaman ini sangat melimpah jumlahnya, bahakan berdaarkan sumber yang ada disebutkan bahwa luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Mangrove atau tanaman bakau ini sangat dikenal manfaatnya untuk pelindung pantai dari ancaman abrasi. Namun, sebenarnya masih banyak sisi manfaat dari tanaman mangrove sendiri. Mangrove dapat pula digunakan sebagai pengendali pencemaran karena mengrove memiliki sifat mengendapkan polutan yang melaluinya. Sebagai contoh adalah penggunaan mangrove untuk mengendapkan limbah tailing di Teluk Bintuni - Papua Selatan yang berasal dari sisa pertambangan emas daerah dulu. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh para ahli kehutanan Donato, D.; Kauffman, J.B.; Murdiyarso, D.; Kurnianto, S.; Stidham, M.; Kanninen, M yang diterbitkan pda bulan Februari 2012 menjelaskan bahwa hutan bakau (mangrove) merupakan salah satu hutan terkaya karbon dikawasan tropis. Jika dilihat dari sisi manfaat yang lain, ekosistem mangrove juga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, hl ini dikarenakan mangrove merupakan perpaduan antara ekosistem laut dan darat. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Soemodihardjo et al, 1993).
Sayangnya, hutan mangrove di Indonesia saat ini terus berkurang. Sejak rentang 1999-2005, hutan bakau sudah berkurang sebanyak 5,58 juta hektar atau sekitar 64 persennya. Saat ini hutan mangrove di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal 3.6 juta hektar, sisanya dalam keadaan rusak dan sedang. Ini dipaparkan di dalam diskusi dan workshop Pengmbangan Ekowisata untuk Mendukung Konservasi Mangrove yang digelar Kementrian Kehutanan dan japan International Cooperation Agency (JICA) bulan Mei 2012.
Isu mengenai perubahan iklim dan pemanasan global telah cukup sering menghiasi media. Isu itu dikupas oleh banyak pihak, baik para pakar lingkungan, pemerintah, aktivis, mahasiswa, hingga masyarakat awam.
Global warming terjadi akibat terlalu menumpuknya gas karbondioksida di atmosfer bumi. Gas tersebut menjadikan panas matahari yang terpantul oleh bumi tak bisa terlepas keluar atmosfer. Akibatnya, panas itu terjebak di bawah karbondioksida yang menghalanginya, seperti dalam sebuah rumah kaca. Alhasil, suhu permukaan bumi pun meningkat sedikit demi sedikit. Global warming ini akan diikuti dengan perubahan iklim dunia yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup semua makhluk di bumi, yang ditandai dengan hujan terus-menerus di suatu belahan bumi, sementara kekeringan panjang akan terjadi di belahan bumi lainnya.
Kerusakan hutan bakau di Indonesia itu, berdasarkan sebuah sumber yang saya baca di internet, telah mencapai angka 60 persen. Selama kurun waktu enam tahun, hutan bakau Indonesia berkurang dari 7,7 juta hektare pada tahun 2006 menjadi 3,6 juta hektare pada tahun 2011. Di Kabupaten Semarang sendiri, kerusakan yang terjadi telah mencapai 4.500 hektare, atau 90% dari total luasan lahan total, yaitu 5000 hektare.
Apa hubungannya pohon bakau dengan pemanasan global
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kerusakan hutan bakau, padang lamun, dan hutan rawa memberikan dampak tiga kali lebih berbahaya daripada kerusakan hutan tropis. Artinya, biarpun komposisi hutan sepanjang pantai dibandingkan dengan keseluruhan hutan di dunia memang sangat kecil, namun perannya tidak bisa dipandang sebelah mata dalam mencegah terjadinya pemanasan global. Apa yang menjadi penyebabnya?
Komposisi hutan pantai dunia hanya 6% dari hutan tropis. Namun, kenyataannya, emisi karbondioksida yang akan terjadi jika ekosistem pantai itu lenyap adalah sekitar seperlima dari jumlah emisi akibat hilangnya hutan tropis di seluruh dunia. Menghancurkan satu hektare hutan bakau, jumlah emisinya setara dengan menebang tiga hingga lima hektare hutan tropis.
Sayangnya, tidak semua masyarakat memahami mengenai fakta itu. Di kalangan masyarakat bawah sendiri, bahkan tidak sedikit yang masih saja acuh dengan isu global warming dan segala dampak negatif yang ditimbulkannya. Barangkali itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa kerusakan hutan bakau (juga hutan tropis) terus saja terjadi di hampir seluruh belahan bumi. Padahal, melihat hasil penelitian di atas, sesungguhnya hutan bakau menyimpan potensi manfaat yang sungguh besar.
Sebagai pencegah, maka sebagaimana saya sebutkan di atas, hutan bakau berperan penting dalam mencegah emisi karbondioksida yang merupakan senyawa penyebab terjadinya efek rumah kaca. Sebagai penangkal, keberadaan hutan bakau itu dapat mencegah terjadinya rob yang diakibatkan oleh naiknya permukaan air laut.
Kenaikan permukaan air laut itu, merupakan dampak logis dari pemanasan global yang tengah terjadi. Menurut perkiraan, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang, akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi semakin meningkat.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang akan memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 – 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan memprediksi peningkatan lebih lanjut sebesar 9 – 88 cm (4 – 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) saja akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Abrasi di pantai pun dengan sendirinya akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Rob yang biasa terjadi di Semarang dan kota-kota rendah lainnya pun akan akan semakin meluas. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Di luar masalah global warming itu, kawasan hutan bakau juga menyimpan potensi ekonomi yang juga besar. Dalam hutan bakau bisa dikembangkan aneka budidaya perairan seperti ikan dan udang oleh masyarakat pantai. Pembudidayaan  ini dapat menjadi alternatif mata pencaharian yang cukup menjanjikan bagi penduduk. Bahkan, kawasan hutan bakau yang eksotis bisa dijadikan objek wisata yang menarik bagi para wisatawan.
Fenomena masyarakat terkait dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim, nyatanya tak hanya datang dari penanaman bakau oleh adik saya dan teman-teman kampusnya itu. Jika saya cermati lebih dalam, ternyata apa yang dilakukan oleh paman saya sendiri adalah juga merupakan sebuah langkah kecil menghadapi pemanasan global.


0 comments:

Post a Comment