Rajungan
(Portunus pelagicus) merupakan salah satu jenis kepiting dari suku Portunidae
yang mempunyai potensi besar menjadi komoditas ekspor perikanan, dimana ekspor
rajungan secara kuantitas maupun nilai
jualnya terus mengalami peningkatan (Dirjen Perikanan, 2003).
Produk
utama ekspor rajungan adalah daging rajungan pasteurisasi (pasteurize crab
meat). Produk ini memerlukan bahan baku daging rajungan yang berkualitas tinggi
(excellent), sehingga dalam proses
produksi juga dihasilkan daging rajungan kualitas kedua (second grade).
Saat
ini daging rajungan kualitas kedua hanya
dijual dalam bentuk produk rajungan sterilisasi dan hanya dipasarkan di dalam
negeri. Walaupun demikian produk rajungan sterilisasi ini masih memiliki nilai
jual yang cukup tinggi, sehingga kurang terjangkau oleh masyarakat pada
umumnya.
Produk
rajungan kualitas kedua masih berpotensi untuk dikembangkan melalui pengolahan
menjadi produk pangan yang menarik , memiliki nilai gizi yang tinggi, dan
ekonomis harganya. Salah satu upaya
pengembangan yang perlu dicoba adalah mensubstitusi daging rajungan dengan
daging ikan lele menjadi produk naget
rajungan.
Ikan
lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup
populer di masyarakat. Ikan ini berasal dari benua Afrika dan pertama kali
didatangkan ke Indonesia pada tahun 1984. Lele dumbo termasuk ikan yang paling
mudah diterima masyarakat karena berbagai kelebihannya. Kelebihan tersebut
diantaranya
adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan
yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi serta harganya
murah. Komposisi gizi ikan lele meliputi kandungan protein (17,7 %), lemak (4,8
%), mineral (1,2 %), dan air (76 %) (Astawan, 2008).
Keunggulan
ikan lele dibandingkan dengan produk hewani lainnya adalah kaya akan leusin dan
lisin. Leusin (C6H13NO2) merupakan asam amino esensial yang sangat diperlukan
untuk pertumbuhan anak-anak dan menjaga keseimbangan nitrogen. Leusin juga
berguna untuk perombakan dan
pembentukan
protein otot. Sedangkan lisin merupakan salah satu dari 9 asam amino
esensial
yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan
dan perbaikan jaringan. Lisin termasuk asam amino yang sangat penting dan
dibutuhkan sekali dalam pertumbuhan dan perkembangan anak (Zaki, 2009).
Alasan
pengolahan produk naget
rajungan
dengan substitusi ikan lele adalah
harga
produk naget rajungan kurang terjangkau dan
hanya dipasarkan melalui swalayan atau supermarket. Berdasarkan
permasalahan tersebut, diharapkan dari substitusi daging rajungan kualitas
kedua (second grade) dan daging ikan lele dapat dihasilkan produk naget
rajungan substitusi yang bergizi tinggi dan ekonomis, sehingga harga produk olahan tersebut menjadi
terjangkau.
METODOLOGI
Rancangan
percobaan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal
dengan jumlah perlakuan sebanyak tujuh perlakuan. Masing masing percobaan
dilakukan ulangan sebanyak 3 kali, sehingga akan diperoleh satuan percobaan
sebanyak 21 buah. Variasi substitusi ikan lele yang digunakan tersaji pada
Tabel 1.
Tabel
1. Variasi Substitusi Ikan Lele
L0
: R100 U1 U2 U3
L20
: R80 U1 U2 U3
L30
: R65 U1 U2 U3
L50
: R50 U1 U2 U3
L65
: R35 U1 U2 U3
L80
: R20 U1 U2 U3
L95
: R5 U1 U2 U3
Keterangan:
L : daging lele
R :
daging rajungan
U :
ulangan
0
- 100 : angka prosentase substitusi
Bahan
dan Alat
Bahan
yang digunakan meliputi: daging ikan
lele dumbo (Clarias
gariepinus)
yang berumur sekitar 3 bulan dari peternak
ikan di Desa Banyumeneng Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, daging
rajungan second grade dari PT. Windika Utama Semarang, tepung maizena, tepung
terigu, tepung roti, bawang putih, bawang bombay, gula, garam, dan bahan
pencelup (telur), selenium, H2SO4 pekat, aquades, NaOH 40%, HCl 0,02 N, asam
borat,
indikator pp dan BTB.
Alat
yang digunakan : seperangkat alat dapur untuk memasak naget rajungan, pemanas
Kjeldahl lengkap, labu Kjeldahl, alat destilasi lengkap, alat titrasi lengkap,
formulir uji organoleptik, piring kecil dan gelas.
Prosedur
Penelitian
Variasi
yang digunakan dalam
formulasi
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan dalam pembuatan produk naget
rajungan adalah L20:R80, L35:R65,
L50:R50,
L65:R35, L80:R20, L95:R5 dan satu perlakuan tanpa substitusi daging ikan lele
(kontrol 0%). Setelah proses pembuatan
produk
naget rajungan selesai maka
dilanjutkan
dengan pengujian kadar protein dan sifat organoleptik.
Pembuatan
produk naget rajungan
Tahap-tahap
pembuatan produk naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele adalah
sebagai berikut:
1. Persiapan bahan : daging ikan lele
dipisahkan
dari duri, kotoran, dan bagian kepala ikan sehingga didapat daging ikan lele
utuh kemudian dicuci bersih. Daging rajungan dan capit rajungan ( sebagai
tangkai pegangan pada produk nugget) dicuci sampai bersih.
2. Pencampuran bahan yang terdiri dari
daging ikan lele, daging rajungan, es, garam, dan fosfat dalam food processor
berkecepatan tinggi. Kemudian ditambahkan tepung maizena, tepung terigu, bawang
putih, bawang bombay, garam, lada dan penyedap rasa dan diaduk rata dengan
ditambah irisan seledri, pengadukan dilanjutkan hingga adonan kalis.
3. Adonan dibentuk menyerupai drum stick
seberat + 50 gr dengan memanfaatkan capit rajungan sebagai sticknya. Kemudian
adonan dicelupkan ke dalam telur dan digulingkan ke dalam tepung roti, digoreng
dalam minyak panas
hingga
matang, diangkat, dan ditiriskan.
Prosedur
Uji Kadar Protein Metode
Mikro
Kjedahl (Sudarmadji, 2003)
1. Destruksi
Sampel
ditimbang 0,05 gr, kemudian masukkan ke dalam labu destruksi yang bersih dan
kering, ditambahkan
katalisator
Silenium 0,5 gr ditambah 2 ml H2SO4 pekat kemudian dipanaskan dalam ruangan
asam dengan kemiringan 45 oC sampai warna jernih (tidak ada karbon) lalu
didinginkan.
2. Destilasi
Hasil
destruksi ditambah dengan aquades sedikit demi sedikit sambil dimasukkan
kedalam labu destilasi, penambahan aquades + ½ labu destilat. Selanjutnya
ditambahkan 10 ml NaOH 40% dan
indicator
pp 3 tetes, kemudian ditutup dan dipanaskan. Hasil sulingan ditampung dalam
erlenmeyer yang berisi asam borat yang ditambahkan indicator BTB (warna
kuning). Destilasi dihentikan setelah berubah menjadi warna hijau dengan volume
+ 15 ml, sebelumnya cairan yang keluar
dari ujung destilator dites dengan kertas saring yang telah ditetesi indicator
pp, kemudian tetesi dengan cairan yang keluar dari ujung destilator. Apabila
kertas saring tidak berubah warna, maka destilasi dihentikan. Cairan yang
keluar tersebut menunjukkan pH netral, maka
destilasi
telah selesai.
3. Titrasi
Hasil
destilasi dititrasi dengan HCl 0 , 02 N dan titik akhir titrasi ditandai dengan
destilat berubah warna kuning. Blanko juga dikerjakan dengan cara yang sama.
Perhitungan
:
Kadar
N (%) =
(mlHClBahan-
mlBlanko) xNHCl x14,007 x100
mgsample
Kadar
Protein = Kadar N X F
Keterangan
: F =
Faktor konversi protein (6,25)
Penilaian
Sifat Organoleptik Nugget (Soekarto, 1990)
Penilaian
organoleptik merupakan cara penilaian terhadap mutu atau sifat suatu komoditi
dengan menggunakan formulir uji organoleptik sebagai instrument atau alat.
Dalam penelitian ini dilakukan uji kesukaan yang berfungsi untuk mengetahui
kesukaan suatu produk. Pada uji scoring diberikan penilaian terhadap mutu
sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuannya adalah pemberian suatu nilai atau
skor tertentu terhadap suatu karakteristik (Rahayu, 1998).
Panelis
yang digunakan dalam
penelitian
ini adalah panelis agak terlatih yang terdiri dari sekelompok mahasiswa S1
Teknologi
Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang sebanyak 15 orang. Produk naget
rajungan dengan
substitusi
daging ikan lele tersebut akan diujikan dengan memberi kode, kemudian panelis
diminta memberi penilaian yang meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur dengan
kriteria nilai sebagai berikut :
4
= sangat suka 3 = suka 2 =
tidak
suka 1 = sangat tidak suka
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Kadar
Protein Bahan Baku
Analisa
bahan baku yang dilakukan pada daging ikan lele dan daging rajungan, meliputi
kadar protein. Hasil analisa uji kadar protein daging ikan lele dan daging
rajungan secara kuantitatif tersaji pada
Tabel 2. Walaupun daging rajungan merupakan daging second grade dari
industri
pengolahan rajungan bukan berarti nilai
gizi dalam daging rajungan juga ikut rusak. Hal ini dikarenakan daging rajungan
yang
masuk dalam suatu industri pengolahan
rajungan yang berkualitas
ekspor
sudah teruji, baik dari kondisi fisik ( bentuk, ukuran, warna, aroma, tekstur,
dan rasa) maupun kandungan gizi rajungan.
Daging
second grade merupakan
daging
sortiran yang tidak sesuai dengan bentuk yang diinginkan untuk produk dalam
suatu industri, misal daging kurang tebal,
daging
terkelupas dan sebagainya.
Sedangkan
kualitas protein daging ikan lele dari peternak ikan dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah pakan ikan, habitat ikan dan sebagainya.
Tabel
2. Kadar Protein Bahan Baku
Bahan
Baku % Kadar
Protein
Hasil
Penelitian % Kadar
Protein
Bedasar
Literatur*
Ikan
Lele 15,74% 17 ,70%
Rajungan 17,05% 16
,85%
*Astawan
(2008) dan BBPMHP (1995) Kadar Protein Naget Rajungan Uji kadar protein yang
dilakukan dari substitusi daging ikan lele dan daging rajungan dalam pembuatan
produk naget rajungan, variasi substitusi yang digunakan adalah lele (L) :
rajungan (R) = L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35, dan L80:R20.
Analisa kadar protein dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode
mikro kjedahl. Hasil analisa kadar protein naget rajungan dengan substitusi
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar 1.
Rajungan
dengan Berbagai Variasi
Substitusi.
Gambar 1, menunjukan bahwa produk yang mempunyai
rata-rata kadar protein tertinggi yaitu pada produk tanpa penambahan daging
ikan lele (L0:R100) sebesar 10,06% sedangkan rata-rata kadar protein terendah
yaitu pada produk dengan substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
sebanyak L95:R5 sebesar 8.15 %. Hal ini terjadi karena daging rajungan memiliki
kadar protein lebih tinggi
dibanding kandar protein ikan lele mengacu pada hasil
uji kadar protein dari bahan baku yang digunakan. Jadi semakin banyak daging
rajungan yang digunakan akan samakin banyak protein yang terkandung dalam
produk dan begitu juga rata-rata kadar protein pada produk semakin sedikit
karena penggunaan daging rajungan yang semakin
sedikit
pula.
Hasil
uji kenormalan didapatkan data normal pada kadar protein dan selanjutnya data
dianalisis dengan uji anova faktor tunggal dengan menggunakan α 5% atau
0,05
diperoleh hasil bahwa p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh substitusi daging ikan lele dan daging rajungan terhadap kadar
protein produk naget rajungan. Kemudian data dilanjutkan dengan menggunakan uji
lanjut anova dengan LSD. Berdasarkan hasil uji LSD diketahui ada perbedaan
kadar protein pada substitusi L0:R100,
L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35 , L80:R20, dan L95:R5.
Badan
Standarisasi Nasional menetapkan standar minimal kadar protein untuk produk
nugget adalah 12%, b/b. Produk naget
rajungan substitusi hanya
mengandung kadar protein sekitar 8,15%10,05%. Sehingga produk naget rajungan
substitusi
ditinjau dari segi kadar proteinnya tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Badan Standarisasi Nasional.
Terjadinya
penurunan kadar protein
pada
naget rajungan dimungkinkan disebabkan oleh proses pengolahan (penggorengan).
Pengolahan dengan suhu tinggi dapat menurunkan nilai gizi yang terkandung dalam
suatu bahan pangan karena dalam pengolahan yang melibatkan pemanasan yang
tinggi karbohidrat dan protein akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non
enzimatis). Reaksi Maillard merupakan pencoklatan (browning)
makanan
pada pemanasan atau pada penyimpanan, biasanya diakibatkan oleh reaksi kimia
antara gula reduksi, terutama D-glukosa, dengan asam amino bebas atau gugus
amino bebas dari suatu asam amino yang merupakan bagian dari suatu rantai
protein. Kecepatan reaksi Maillard dapat dipengaruhi oleh suhu dan lama
pemanasan. Reagen Maillard termasuk dalam kelompok senyawa amin heterosiklik
yang dikenal
dengan
nama senyawa toksik imodazaquinolin (IQ) dan
imidazaquinoxalin
(IQx) (Winarno, 1997).
Uji
organoleptik
Uji
organoleptik dilakukan
menggunakan
uji uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang di amati meliputi tingkat
kesukaan terhadap warna, aroma,
rasa,
dan tekstur.
Warna
Warna
pada produk naget rajungan lebih cenderung
berwarna kuning
kecoklatan.
Hal ini dikarenakan proses
pengolahan
dengan penggorengan
mengakibatkan
terjadinya reaksi Maillard yang menghasilkan warna coklat karena panas.
Penggorengan yang terlalu lama akan menjadikan warna naget menjadi kehitaman
sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan warna naget rajungan. Tingkat
kesukaan panelis terhadap warna produk naget rajungan dengan substitusi daging
ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar 2.
Bardasarkan
Gambar 2,
dapat
diketahui
bahwa kesukaan panelis terhadap warna terendah pada subtitusi daging ikan lele
dan daging rajungan L20:R80 dengan rata-rata 2,33 sedangkan yang tertinggi
adalah pada substitusi daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35 dengan
rata-rata 3,00. Produk dengan substitusi L0:R100, L20:R80, dan L80:R20 memiliki
nilai
dibawah
2,5 yang artinya panelis tidak suka produk dengan variasi substitusi tersebut.
Produk dengan substitusi L35:R65, L50:R50, L65:R35, dan L95:R5 disukai panelis
karena dalam uji kesukaan memiliki
nilai
di atas 2,5.
Hasil
uji friedman diperoleh nilai p value 0,03 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi daging ikan lele dan daging rajungan
terhadap warna naget rajungan. Untuk mengetahui perbedaan warna pada tiap-tiap
perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan uji wilcoxon. Hasil yang diperoleh
dari uji wilcoxon ada perbedaan warna antara substitusi L0:R100, L20:R80,
L35:R65, L50:R50, L65:R35, L80:R20 dan L95:R5. Hal ini mungkin disebabkan oleh
warna dari bahan baku daging rajungan dan daging ikan lele yang berbeda. Daging
ikan lele setelah digiling berwarna kecoklatan sedangkan daging rajungan
setelah digiling tetap berwarna putih, sehingga dalam pencampuran bahan dapat
mempengaruhi warna dari produk yang dihasilkan.
Aroma
Aroma
yang timbul dalam proses penggorengan, sebagian merupakan aroma dari
senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil sehingga ikut menguap bersama air
bebas yang terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Bahan
makanan mengandung
karbohidrat
dan protein akan mengalami pencoklatan non-enzimatis, apabila bahan tersebut
dipanaskan (reaksi Meillard) akan dapat menghasilkan bau enak maupun tidak
enak. Bau tidak enak dihasilkan oleh
dehidrasi
kuat yaitu furfural, dehidrofurfural
dan
HMF serta hasil pemecahan yaitu piruvaldehid diasetil. Untuk pembentukan rasa
enak adalah hasil degradasi sttrecker dari asam amino alfa diubah menjadi
aldehid dengan atom karbon yang berkurang satu (Ridwan, 2008). Aroma inilah
yang menjadikan panelis suka atau tidak suka terhadap naget rajungan.
Tingkat
kesukaan panelis terhadap aroma produk
naget rajungan dengan substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar 3.
Gambar
3. Aroma naget rajungan
Berdasarkan
Gambar 3, diketahui aroma yang banyak disukai panelis adalah pada substitusi
daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35 dengan rata-rata 3,13 dan yang
kurang disukai panelis adalah pada produk dengan substitusi daging ikan lele
dan daging rajungan L95:R5 dengan rata-
rata
2,67.
Hasil
uji statistik
friedman
diperoleh
p value 0,229 lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan tidak ada pengaruh
pada aroma produk naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan daging
rajungan. Hal ini disebabkan kedua bahan baku yang digunakan memiliki sifat
organoleptik aroma yang hampir sama karena merupakan sumber daya hasil
perairan. Panelis banyak yang berpendapat bahwa aroma produk rata-rata hampir
sama dari produk substitusi yang dilakukan.
Rasa
Pengolahan
penggorengan selain menghasilkan warna dan aroma, juga menghasilkan rasa yang
gurih sebagai efek samping dari reaksi kimia dalam proses penggorengan. Produk
naget rajungan memiliki rasa yang gurih. Diharapkan rasa naget rajungan
memiliki rasa yang enak sehingga dapat dijadikan sebagai menu pelengkap
pengganti lauk yang ada saat ini. Gambar 4, menunjukkan bahwa tingkat kesukaan
panelis pada organoleptik rasa naget rajungan dengan substitusi daging ikan
lele dan daging rajungan yang paling tinggi yaitu pada substitusi L20:R80 dan
L50:R50 dengan rata-rata yang sama yaitu 2,93, sedangkan yang tidak disukai
pada substitusi daging ikan lele dan daging rajungan adalah pada variasi
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan L80:R20 dengan rata-rata 2 ,33;
yang artinya panelis tidak suka terhadap rasa produk dengan variasi substitusi
tersebut karena hasil rata-rata dari uji kesukaan dibawah 2,5.
Hasil
tingkat kesukaan panelis
terhadap rasa produk naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar
4.
dapat
mengubah rasa dan bau yang timbul, karena dapat mempengaruhi kecepatan
timbulnya rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air liur, semakin
kental suatu bahan penerimaan terhadap intensitas rasa , bau, dan rasa semakin
berkurang.
Hasil
tingkat kesukaan panelis
terhadap
tekstur produk naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan
Gambar
4. Rasa naget rajungan
Hasil
uji statistik friedman di peroleh p value 0,151 lebih besar dari 0,05 maka
dapat disimpulkan tidak ada pengaruh pada rasa produk naget rajungan dengan
substitusi daging ikan lele dan daging rajungan. Tidak adanya pengaruh pada
rasa juga disebabkan karena bahan baku yang digunakan. Kedua bahan baku yaitu
ikan lele dan rajungan merupakan sumberdaya hasil perairan yang memiliki sifat
organoleptik
rasa yang hampir sama.
Tekstur
Tekstur
naget dalam SNI 016683-2002 adalah kompak dan padat, begitu juga naget rajungan
memiliki tekstur yang kompak dan padat. Menurut ( Ridwan, 2008), tekstur dan
konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa suatu bahan. Perubahan tekstur
dan viskositas bahan daging rajungan tersaji pada Gambar 5.
Hasil
uji statistik friedman di peroleh
p-value
> 0,05 yaitu 0,319 menunjukkan tidak ada pengaruh pada tekstur produk naget
rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan daging rajungan. Hal ini
disebabkan tekstur dari bahan baku sendiri yang bisa dikatakan memiliki tekstur
yang sama, karena merupakan sumberdaya hasil perairan. Sehingga nilai uji
kesukaan daya terima dari panelis memiliki rata-rata di atas 2,5-3 yang artinya
hampir semua panelis suka terhadap semua variasi substitusi daging ikan lele dan
daging rajungan.
KESIMPULAN
Daging
rajungan yang digunakan memiliki kadar protein sebesar 17,05% dan kadar protein ikan lele yang digunakan
untuk substitusi sebesar 15,74%.
Sehingga produk nugget yang menggunakan
daging rajungan mengandung kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan produk
yang menggunakan daging ikan lele lebih banyak. Hasil statistik menunjukan ada
pengaruh substitusi daging ikan lele dan daging rajungan terhadap kadar protein
produk naget rajungan.
Produk
nuget dengan substitusi ikan lele 0% dan rajungan 100% memiliki kandungan
protein paling tinggi sebesar 10,06%, tetapi dalam tingkat kesukaan panelis
memiliki nilai rata-rata paling rendah sebesar 2,56; sedangkan produk nuget
dengan kadar protein terendah
terdapat
pada produk dengan substitusi ikan lele 95% dan rajungan 5% yaitu sebesar 8,15%
dengan tingkat kesukaan panelis
sebesar
2,74.
Pembuatan
produk naget rajungan
tidak
sebatas pada substitusi daging ikan lele saja, tetapi produk tersebut dapat
pula diolah dengan mensubstitusi hasil sumberdaya perairan yang lain seperti
ikan mas, belut, ikan pindang, ikan jui, atau ikan lain yang memiliki kandungan
gizi yang cukup tinggi tetapi memiliki nilai jual yang ekonomis. Sehingga perlu
pengkajian lebih lanjut untuk
dapat
mengangkat hasil sumber daya perairan menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual yang baik dan diharapkan mampu
meningkatkan
kekhasanahan
pangan Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Astawan,
M. 2008. Lele bantu pertumbuhan janin.
http://wilystra2007.multiply.com/journ
al/item/62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_J anin (13 September 2008)
Badan
Standarisasi Nasional. 2002. Naget Ayam (Chicken Nugget). SNI 01-66832002.
BBPMHP.
1995. Laporan Pengembangan Pengolahan Kepiting
Bakau dan Rajungan. Direktorat
Jendral
Perikanan.
Jakarta.
Direktorat
Jenderal Perikanan, 2003. “Statistik Ekspor Hasil Perikanan” Departemen
Kelautan dan Perikanan: Jakarta.
PT.
Windika Utama. 2002. “Petunjuk Teknis
Standart
Mutu Bahan Baku Rajungan” Departemen Quality Control: Semarang
Rahayu,
WP. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi pangan IPB: Bogor.
Ridwan,
M. 2008. Sifat-sifat Organoleptik Pengolahan produk.
Universitas Negeri Bangka Blitung
( UBB ):
Bangka
Blitung.
Soekarto,
T. Soewarno. 1990. Penilaian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara: Jakarta.
Sudarmadji,S,
B. Haryono dan Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan
Pertanian.
Liberty:Yogyakarta.
Winarno,
F.G. 1997. Pangan Gizi Teknologi dan
konsumen. PT .
Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Zaki.
2009. Budi Daya Ikan Lele ( Clarias
batrachus ) .http://wilystra 2008. biologi.com/journal/item/54/Budi_Day
a_Ikan_Lele(Clariasbatrachus).( Septe mber 2008)
0 comments:
Post a Comment