Friday, December 23, 2011

Proses Pembuatan Hidrolisat Protein Ikan Rucah

December 23, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Produksi perikanan laut khususnya di Lampung merupakan perikanan yang bersifat tropis dimana jenis ikannya sangat banyak ragamnya tetapi rata-rata populasinya kecil dan umumnya termasuk ikan bertulang banyak (bony fish). Untuk jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi tidak ada permasalahan dalam pemanfaatannya, sedangkan untuk jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis rendah seperti ikan pari, ikan cucut, dan ikan rucah pemanfaatannya ternyata belum dilakukan secara optimal (Sitorus, 1997).
Sebenarnya kandungan gizi ikan rucah tidak berbeda dengan ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, bahkan Subagio et al., (2003), telah menguji nilai gizi ikan rucah jenis kuniran dan mata besar, rujukannya yaitu ikan kuniran mempunyai potensi yang baik sebagai bahan baku produk-produk restrukrisasi seperti: surimi, kamaboko, nugget, sosis, dan bakso ikan, sedangkan ikan mata besar cocok digunakan sebagai bahan baku untuk produk-produk flavor, seperti petis, kecap ikan maupun saus ikan. Sementara itu, Koesoemawardani (2006); Koesoemawardani dan Susilawati (2009), telah membuat dendeng giling ikan rucah, Koesoemawardani dan Nurainy (2008), membuat konsentrat protein ikan dari ikan rucah, Koesoemawardani dan Nurainy (2009),
Berhasil membuat hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim endogenous ikan pada pH 3-4 dan mengaplikasikannya ke biskuit. Hidrolisat protein ikan rucah yang dibuat Koesoemawardani dan Nurainy (2009) , masih mempunyai kelemahan yaitu berasa sangat asam dan mempunyai nilai protein terlarut yang rendah. Berdasarkan penelitian pendahuluan penggunaan enzim papain komersial menghasilkan nilai protein terlarut yang paling besar. Oleh karena itu, pada penelitian ini menggunakan enzim papain komersial untuk membuat hidrolisat protein ikan rucah. Adapun tujuan penelitian ini adalah melakukan optimasi pembuatan hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain dan menguji sifat fungsionalnya.
BAHAN DAN METODE
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan rucah yang diambil dari daerah pesisir yaitu desa Sukajaya Lempasing Kabupaten Pesawaran. Bahan lain yaitu enzim papain komersial dibeli dari Laboratorium Pangan IPB. Tahap pertama yaitu pembuatan hidrolisat: mula-mula ikan rucah dibersihkan dengan air mengalir lalu ditiriskan. Selanjutnya, ikan rucah dicacah kasar dan ditimbang sebesar 50 g, lalu ditambahkan 50 ml aquadest                                                                 Optimasi Proses Pembuatan Hidrolisat (perbandingan ikan dengan air 1:1). Kemudian campuran ikan dan air diaduk sampai rata dan dipanaskan pada suhu 600C selama 15 menit bertujuan menginaktifkan enzim ikan (pasteurisasi), selanjutnya melakukan optimasi pada konsentrasi enzim sebesar 3%, 5%, 7% (w/w), dan pH = 5; 5.5; 6; 6.5; 7. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan NaOH 0,5 N. Setelah itu, untuk menoptimalkan kerja enzim dilakukan inkubasi pada suhu 600C selama empat jam. Langkah selanjutnya dilakukan penyaringan dengan sentrifuge kecepatan 300 rpm selama 15 menit. Hidrolisat yang terbentuk siap dilakukan analisis pada kandungan protein terlarutnya. Hasil terbaik dari sampel pada tahap pertama dilanjutkan ke tahap kedua dengan perlakuan lama hidrolisis/inkubasi yaitu selama setengah jam dan satu jam. Langkah-langkah pembuatan hidrolisat pada tahap kedua sama dengan tahap pertama. Pengamatan yang dilakukan yaitu protein terlarut metode Lowry (Sudarmadji, et al., 1997), stabilitas emulsi (Miller & Groninger, 1976), kapasitas pengikatan lemak (Shahidi et al., 1995), daya buih (Shahidi et al., 1995). Setiap perlakuan dilakukan ulangan tiga kali, lalu data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji lanjut BNT dan uji T (Steel & Torrie, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan hidrolisat dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama melakukan optimasi pada pH aktivitas enzim dan konsentrasi enzim. Optimasi pada tahap pertama hanya dilakukan pada analisis protein terlarut. Berdasarkan uji lanjut BNT ( Tabel 1) diketahui bahwa nilai protein terlarut hidrolisat pada konsentrasi 7% dan pH=6,5 berbeda tidak nyata dengan nilai protein terlarut hidrolisat pada konsentrasi 5% dan pH=6,5, hidrolisat pada konsentrasi 7% dan pH=5, hidrolisat pada konsentrasi 7% dan pH=7, hidrolisat pada konsentrasi 5% dan pH=6. Akan tetapi, berbeda nyata dengan nilai protein terlarut hidrolisat pada konsentrasi 5% dan pH=7, hidrolisat pada konsentrasi 7% dan pH=6, hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=6,5, serta hidrolisat pada konsentrasi 7% dan pH=5,5. hidrolisat pada konsentrasi 5% dan pH=5,5, hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=6, hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=5,5, hidrolisat pada konsentrasi 5% dan pH=5, hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=5, hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=7. Berdasarkan hasil di atas disimpulkan bahwa hasil terbaik optimasi pembuatan hidrolisat yang menggunakan enzim papain terdapat pada konsentrasi 5 % dan pH = 6,5 (E2P4) dengan nilai protein terlarut sebesar 19,71%. Penggunaan enzim papain sebesar 5 % lebih efektif dan efisien daripada penggunaan enzim papain sebesar 7% pada perlakuan E3P4
(7 %, pH=6,5). Enzim yang digunakan merupakan enzim komersial, sehingga penggunaan atau aplikasinya harus memperhatikan masalah biaya. Penggunaan enzim papain sebesar 5% menghasilkan nilai protein terlarut yang berbeda tidak nyata dengan penggunaan enzim papain sebesar 7%, sehingga yang terpilih untuk diamati sifat fungsionalnya adalah pada perlakuan penggunaan enzim papain sebesar 5% dengan pengaturan pH = 6,5.
Masing-masing enzim yang digunakan mempunyai sifat spesifik tertentu, artinya akan bekerja jika kondisi proses terkontrol untuk aktivitas enzimatiknya. Enzim papain merupakan enzim protease yang berasal dari getah pepaya, mempunyai gugus aktif sulfhidril, mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi dibandingkan bromelin, beraktivitas pada pH mendekati netral antara pH = 6 sampai pH = 8 (Reed, 1975). Diketahui bahwa enzim merupakan protein jadi peka terhadap perubahan pH, dan pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim akan mengalami denaturasi. Oleh karena itu, enzim bekerja sangat spesifik, dan pH optimum untuk masing-masing enzim tidak selalu sama (Reed, 1975; Fennema, 1996; Sari, 2004). Sementara itu, kecepatan reaksi enzim berbanding lurus dengan konsentrasi enzim, semakin besar jumlah
Tabel 1. Nilai protein terlarut pada hidrolisat protein ikan rucah dengan konse ntrasi enzim papain dan  pH yang  berbeda
Perlakuan        Nilai protein terlarut    sd        Sig
(%)      0 , 05
E3P4 (7%, pH=6,5)
E2P4 (5%, pH=6,5)
E3P1 (7%, pH=5)
E3P5 (7%, pH=7)
E2P3 (5%, pH=6) E2P5 (5%, pH=7)
E3P3 (7%,pH=6)
E1P4 (3%, pH=6,5)
E3P2 (7%, pH=5,5)
E2P2 (5%, pH=5,5)
E1P3 (3%, pH=6)
E1P2 (3%, pH=5,5)
E2P1 (5%, pH=5)
E1P1 (3%, pH=5)
E1P5 (3%, pH=7)       2,236
2,094 2,071 2,069
2,052 1,998 1,996
1,964 1,959 1,865
1,810 1,769
1,765 1,758 1,719       0,102 0,168 0,084 0,041
0,145 0,147 0,104
0,149 0,133 0,173
0,031 0,258
0,280 0,113 0,026       a ab abc abc abc bcd bcd bcde bcde cdef def ef ef ef
f
Keterangan : - Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda pada uji BNT pada taraf 5% - a merupakan hasil transformasi “x sebanyak 2 kali
258 Jurnal Natur Indonesia 13(3): 256-261                                                                               Koesoemawardani, et al.
enzim maka semakin cepat rekasi enzimnya (Fennema, 1996; Reed, 1975; Sari, 2004). Dalam reaksinya enzim akan berikatan dengan substrat membentuk ikatan antara enzim-substrat (E-S). Enzim - subtrat ini akan dipecah menjadi hasil reaksi (P) dan enzim bebas. Oleh karena itu, kerja dari enzim juga tergantung pada substratnya, jadi bekerja dalam batas tertentu. Penambahan substrat sampai jumlah tertentu dengan jumlah enzim yang tetap, akan mempercepat reaksi enzimatik sampai mencapai maksimum, selanjutnya penambahan substrat tidak akan menambah kecepatan reaksi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan enzim yang berlebihan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai protein terlarutnya karena selama proses tidak ada penambahan substrat dan substrat yang tersedia sudah habis digunakan selama proses hidrolisis.
Berdasarkan optimasi pada tahap pertama diketahui bahwa hasil terbaik hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain pada konsentrasi sebesar 5% dan pH = 6,5. Selanjutnya, dilakukan optimasi pada lama inkubasi selama setengan jam dan satu jam. Berdasarkan uji T (Gambar 1) diketahui bahwa nilai protein terlarut pada hidrolisat menggunakan enzim papain 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengah jam berbeda nyata dengan nilai protein terlarut pada hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam. Hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengan jam mempunyai nilai protein terlarut yang lebih tinggi yaitu sebesar 24,97%, sedangkan nilai protein terlarut pada hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam sebesar 12,53%. Jumlah protein yang terlarut selama inkubasi bergantung pada kecepatan reaksi proses hidrolisisnya yang dipengaruhi oleh oleh suhu, pH, konsentrasi enzim Empat faktor tersebut saling berkaitan. Pada kadar substrat tertentu didapatkan kecepatan reaksi yang maksimum, sehingga jika kadar subatrat dinaikkan kecepatan tidak berubah. Sementara itu, pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim akan mengalami denaturasi. Oleh karena itu, selama hidrolisis mempunyai pH optimum yaitu pH dimana “S/t pada tiap-tiap saat selalu lebih besar dibandingkan pada pH yang lain. Reaksi kimia berjalan lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, tetapi pada suhu yang tinggi enzim mengalami denaturasi (pada suhu 700C, sebagian besar enzim menjadi inaktif). Suhu optimum selalu berubah tergantung pada waktu (Hairuddin, 2008).
Berdasarkan uji T (Gambar 2) diketahui bahwa stabilitas emulsi hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengan jam berbeda tidak nyata dengan stabilitas emulsi hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam. Hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain sebesar 5% pH 6,5 yang inkubasi selama setengah jam mempunyai stabilitas emulsi sebesar pada 51,38%, sedangkan stabilitas emulsi hidrolisat yang inkubasi selama satu jam sebesar 55,36%. Hali ini diduga, selama inkubasi setengah jam maupun satu jam menghasilkan sejumlah peptida panjang dalam jumlah yang sama, sehingga peptida panjang yang membentuk tetesan minyak yang kecil juga berbeda tidak nyata. Gbogouriet al., (2004), menyatakan bahwa kestabilan emulsi akan lebih baik pada derajat hidrolisis yang rendah. Hal ini karena peptida panjang yang terbentuk terserap dalam lapisan minyak dan memicu terbentuknya tetesan minyak yang kecil, akibatnya kestabilan emulsinya lebih tinggi (Gbogouriet al., 2004). Perbedaan stabilitas emulsi pada hidrolisat yang dihasilkan oleh masing-masing enzim yang digunakan

6,5       6 , 5
                                                                     Optimasi Proses Pembuatan Hidrolisat

Berdasarkan uji T (Gambar 3) diketahui bahwa daya buih hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengan jam berbeda nyata dengan daya buih hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam. Hidrolisat protein ikan rucah sebesar 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengah jam mempunyai nilai daya buih yang lebih tinggi yaitu sebesar 9,63%, sedangkan daya buih hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam mencapai 1,96%. Daya buih sangat dipengaruhi oleh jumlah protein yang terhidrolisis selama proses, tetapi tidak dapat untuk menentukan stabilitas buih atau sebaliknya (Liceaga-Gesualdo & Li-Chan, 1999). Buih adalah bentuk dispersi koloida gas dalam cairan (Muchtadi & Sugiono, 1992). Daya buih protein sangat dipengaruhi sifat topograpikal dan sifat kimia, dari sifat permukaan protein (surface protein). Selain itu, sifat fisikokimia terutama dari sifat molekul proteinnya juga menentukan keberhasilan terbentuknya kondisi sifat fungsional (Fennema, 1996).
Pada penelitian ini daya buih tertinggi terbentuk pada hidrolisat yang inkubasi selama setengah jam. Hal ini diduga selama inkubasi terbentuk peptida hidropobik yang dapat mengabsorbsi antara fase udaraair, sehingga dapat membentuk buih yang banyak, jika waktu hidolisis bertambah peptida hidropobiknya berkurang dan diduga terjadi pengurangan berat molekulnya yang dapat meningkatkan kestabilan buih yang dihasilkan (Hall, 1992; Liceaga-Gesualdo & LiChan, 1999). Oleh karena itu, dari sifat hidrolisat dalam 1999) . Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa hidrolisat yang mempunyai nilai protein terlarut tinggi maka daya buihnya juga tinggi. Kemampuan masing-masing enzim dalam menghidrolisis protein bergantung pada sifat spesifik dan gugus aktifnya, sehingga peptide yang dihasilkan juga berbeda (Reed, 1975) . Akibatnya daya buih yang dihasilkan oleh hidrolisat juga berbeda bergantung pada enzim yang digunakan.
Berdasarkan uji T (Gambar 4) diketahui bahwa kapasitas pengikatan lemak hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain sebesar 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengan jam berbeda nyata dengan kapasitas pengikatan lemak hidrolisat protein ikan rucah hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam. Hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain sebesar 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama satu jam mempunyai nilai kapasitas pengikatan lemak yang lebih tinggi yaitu sebesar 5,03%, sedangkan kapasitas pengikatan lemak hidrolisat protein ikan rucah yang diinkubasi selama setengah jam mencapai 1,02%.

260 Jurnal Natur Indonesia 13(3): 256-261                                                                               Koesoemawardani, et al.
Kapasitas pengikatan lemak dipengaruhi oleh derajat hidrolisis, dalam hal ini derajat hidrolisis sejalan dengan protein terlarut (Koesoemawardani & Hadiwiyoto, 2001). Hidrolisat mempunyai kemampuan mengikat senyawa yang berbeda yaitu antara air dan minyak karena mempunyai golongan peptida hidropobik dan hidropilik. Selain itu, kemampuan kapasitas pengikatan lemak sangat bergantung pada peptida hidropobik dan muatan asam aminonya (Gbogouri et al., 2004). Kristinsson dan Rasco (2000), menyatakan kapasitas emulsi hidrolisat dari muscle protein ikan salmon menurun dengan meningkatnya derajat hidrolisis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan, bahwa dengan meningkatnya protein terlarut maka kapasitas pengikatan lemak menurun.
KESIMPULAN
Perlakukan awal bahan baku yang digunakan dengan pemanasan awal pada suhu 600C selama 15 menit, konsentrasi enzim yang digunakan untuk menghasilkan hidrolisat protein ikan rucah terbaik sebesar 5%, T= 600C, pH= 6,5. Inkubasi setengah jam menghasilkan nilai protein terlarut dan daya buih yang lebih tinggi yaitu sebesar 24,97% dan 9,63%, sedangkan pada inkubasi satu jam menghasilkan kapasitas pengikatan lemak yang lebih tinggi yaitu sebesar 5,03%. Sementara itu, pada pengamatan stabilitas emulsi baik mempunyai nilai yang berbeda tidak nyata pada kedua waktu inkubasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi atas dana hibah penelitian strategis nasional batch kedua 2009 no kontrak : 321/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 tanggal 16 Juni 2009 yang dikeluarkan untuk membantu pelaksanaan penelitian ini. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Aprillia Ananta P.A., S.T.P., Moralita Tauhid, S.T.P., Made Dwitya Mulyana, S.T.P., dan Erqisti S.T.P. yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ekantari, N. 2004. Produksi Hidrolisat Protein Dari Ikan Cucut (Carcharinus sp) Secara Enzimatis. Tesis. Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Gbogouri, D.A., Linder, M., Fanniu, J. & Parmentier, M. 2004. Influence of Hydrolysis Degree on The Functional Properties
of Salmon Byproducts Hydrolysates. Journal of Food Science 69: 615-622.
Hall, G.M. & Ahmad, N.H. 1992. Functional Properties of Fish
Protein Hydrolysates. Ch. 11 In Fish Processing Technology. Hall, G.M. (Ed.), p. 249-265. Blackie Academic and Professional, N.Y., U.S.A
Hairrudin. 2008. Kinetika Enzim. Selasa, 14 Oktober 2008. klinikdokterhairrudin.blogspot.com/ .../kinetika-enzim_14.html. Kristinsson, H.G. & Rasco, B.A. 2000. Fish Protein Hydrolysates: Production, Biochemical, and Functional Properties. Crit Rev Food Sci Nutr 40(1): 43–81.
Koesoemawardani, D. & Hadiwiyoto, S. 2001. Produksi Hidrolisat Protein Ikan Kembung. Himpunan Makalah Seminar
Teknologi Pangan Buku A : Teknologi Pangan dan Rekayasa. 9-10 Oktober 2001. PATPI Cabang Semarang.
Koesoemawardani, D. 2005. Karakterisasi Hidrolisat Protein Ikan Dari Limbah Penyiangan Ikan.Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. ISSN 1410-5020, 14-20.
Koesoemawardani, D. 2006. Restrukturisasi Dendeng Ikan Rucah Menggunakan Alginat. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. September 6-7 . Lembaga Penelitian. Universitas Lampung.
Koesoemawardani, D. & Nurainy, F. 2008. Karakterisasi Konsentrat Protein Ikan Rucah. Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi- II. November 17-18. Universitas Lampung.
Koesoemawardani, D. & Nurainy, F. 2009. Kajian Hidrolisat Protein Ikan Rucah Sebagai Bahan Fortifikasi Makanan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dies Universitas Lampung 19 Oktober 2009 . Universitas Lampung.
Koesoemawardani, D. & Susilawati. 2009. Masa Simpan
Dendeng Giling Ikan Rucah Dengan Teknik Restukturisasi Pada
Suhu Kamar. Prosiding Seminar Nasional Sains MIPA dan Aplikasinya “Pemberdayaan Sains MIPA Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam”. 16-17 November 2009. Universitas Lampung.
Liceaga-Gesualdo, A.M. & Li-Chan, E.C.Y. 1999. Functional Properties of Fish Protein Hydrolysates from Herring (Clupea harengus). J. of Food Sci 64(6): 1000-1004.
Liaset B, Lied, E. & Espe, M. 2000. Enzymatic Hydrolysis of By Products from The Fish Filleting Industry: Chemical Characterization and Nutritional Evaluation. J. Sci Food Agric 80: 581-9.
Miller, R. & Groninger, H.S. 1976. Functional Properties of Enzyme-Modified Acylated Fish Protein Derivatives. Journal of Food Science 41: 268–272.
Muchtadi, T.R. & Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Nurhayati, T. 2003. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan
Suhu Fermentasi Terhadap Kualitas Keju Cottage. KAPPA. 4(1): 13-17.
Ovissipour, M., Abedian, A., Motamedzadegan, A., Rasco, B., Safari, R. & Shahir, H. 2009. The Effect of Enzymatic Hydrolysis Time and Temperature on The Properties of Protein Hydrolysates from Persian Sturgeon (Acipenser persicus) viscera. Food Chemistry 115: 238–242.
Pigot, G.M. &. Tucker, B.W. 1990. Utility Fish Flesh Effectively While Maintaining Nutritional Qualities. Seafood Effect of Technology on Nutrition. Marcel Dekker, New York.
Reed, G. 1975. Enzymes in Food Processing. Academic Press. New York.
Shahidi, F., Han, Xiao-Qing & Synowiecki, J. 1995. Production and Characteristics of Protein Hydrolysates from Capelin (Mallotus villosus). Food Chem 53: 285-293.
Sudarmadji, S., Haryono, B. & Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan  Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sitorus, R.T.Y. 1997. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Dendeng Ikan Pari (Trygon Sephen). Skripsi. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
                                                                     Optimasi Proses Pembuatan Hidrolisat
Subagio, A., Windrati, W.S., Fauzi, M. & Witono, Y. 2003. Fraksi Protein dari Ikan Kuniran (Upeneus sp) dan Mata Besar (Selar crumenophthalmus). Prosiding Hasil-Hasil Penelitian. Seminar Nasional dan Pertemuan PATPI. Yogyakarta, 2223  Juli  2003.
Steel, R.G.D. & Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sari, M.I. 2004. Enzim. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. USU Repository © 2006.

0 comments:

Post a Comment