Produksi
perikanan laut khususnya di Lampung merupakan perikanan yang bersifat tropis
dimana jenis ikannya sangat banyak ragamnya tetapi rata-rata populasinya kecil
dan umumnya termasuk ikan bertulang banyak (bony fish). Untuk jenis-jenis ikan
yang bernilai ekonomis tinggi tidak ada permasalahan dalam pemanfaatannya, sedangkan
untuk jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis rendah seperti ikan pari, ikan
cucut, dan ikan rucah pemanfaatannya ternyata belum dilakukan secara optimal
(Sitorus, 1997).
Sebenarnya
kandungan gizi ikan rucah tidak berbeda dengan ikan yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi, bahkan Subagio et al., (2003), telah menguji nilai gizi ikan
rucah jenis kuniran dan mata besar, rujukannya yaitu ikan kuniran mempunyai
potensi yang baik sebagai bahan baku produk-produk restrukrisasi seperti:
surimi, kamaboko, nugget, sosis, dan bakso ikan, sedangkan ikan mata besar
cocok digunakan sebagai bahan baku untuk produk-produk flavor, seperti petis,
kecap ikan maupun saus ikan. Sementara itu, Koesoemawardani (2006);
Koesoemawardani dan Susilawati (2009), telah membuat dendeng giling ikan rucah,
Koesoemawardani dan Nurainy (2008), membuat konsentrat protein ikan dari ikan
rucah, Koesoemawardani dan Nurainy (2009),
Berhasil
membuat hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim endogenous ikan pada pH
3-4 dan mengaplikasikannya ke biskuit. Hidrolisat protein ikan rucah yang
dibuat Koesoemawardani dan Nurainy (2009) , masih mempunyai kelemahan yaitu
berasa sangat asam dan mempunyai nilai protein terlarut yang rendah. Berdasarkan
penelitian pendahuluan penggunaan enzim papain komersial menghasilkan nilai
protein terlarut yang paling besar. Oleh karena itu, pada penelitian ini
menggunakan enzim papain komersial untuk membuat hidrolisat protein ikan rucah.
Adapun tujuan penelitian ini adalah melakukan optimasi pembuatan hidrolisat
protein ikan rucah menggunakan enzim papain dan menguji sifat fungsionalnya.
BAHAN
DAN METODE
Bahan
baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan rucah yang diambil
dari daerah pesisir yaitu desa Sukajaya Lempasing Kabupaten Pesawaran. Bahan
lain yaitu enzim papain komersial dibeli dari Laboratorium Pangan IPB. Tahap
pertama yaitu pembuatan hidrolisat: mula-mula ikan rucah dibersihkan dengan air
mengalir lalu ditiriskan. Selanjutnya, ikan rucah dicacah kasar dan ditimbang
sebesar 50 g, lalu ditambahkan 50 ml aquadest
Optimasi Proses Pembuatan Hidrolisat (perbandingan ikan dengan air 1:1).
Kemudian campuran ikan dan air diaduk sampai rata dan dipanaskan pada suhu 600C
selama 15 menit bertujuan menginaktifkan enzim ikan (pasteurisasi), selanjutnya
melakukan optimasi pada konsentrasi enzim sebesar 3%, 5%, 7% (w/w), dan pH = 5;
5.5; 6; 6.5; 7. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan NaOH 0,5 N. Setelah
itu, untuk menoptimalkan kerja enzim dilakukan inkubasi pada suhu 600C selama
empat jam. Langkah selanjutnya dilakukan penyaringan dengan sentrifuge
kecepatan 300 rpm selama 15 menit. Hidrolisat yang terbentuk siap dilakukan analisis
pada kandungan protein terlarutnya. Hasil terbaik dari sampel pada tahap
pertama dilanjutkan ke tahap kedua dengan perlakuan lama hidrolisis/inkubasi
yaitu selama setengah jam dan satu jam. Langkah-langkah pembuatan hidrolisat
pada tahap kedua sama dengan tahap pertama. Pengamatan yang dilakukan yaitu
protein terlarut metode Lowry (Sudarmadji, et al., 1997), stabilitas emulsi
(Miller & Groninger, 1976), kapasitas pengikatan lemak (Shahidi et al.,
1995), daya buih (Shahidi et al., 1995). Setiap perlakuan dilakukan ulangan
tiga kali, lalu data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji lanjut BNT dan
uji T (Steel & Torrie, 1995).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pembuatan
hidrolisat dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
melakukan optimasi pada pH aktivitas enzim dan konsentrasi enzim. Optimasi pada
tahap pertama hanya dilakukan pada analisis protein terlarut. Berdasarkan uji
lanjut BNT ( Tabel 1) diketahui bahwa nilai protein terlarut hidrolisat pada
konsentrasi 7% dan pH=6,5 berbeda tidak nyata dengan nilai protein terlarut
hidrolisat pada konsentrasi 5% dan pH=6,5, hidrolisat pada konsentrasi 7% dan
pH=5, hidrolisat pada konsentrasi 7% dan pH=7, hidrolisat pada konsentrasi 5%
dan pH=6. Akan tetapi, berbeda nyata dengan nilai protein terlarut hidrolisat
pada konsentrasi 5% dan pH=7, hidrolisat pada konsentrasi 7% dan pH=6,
hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=6,5, serta hidrolisat pada konsentrasi 7%
dan pH=5,5. hidrolisat pada konsentrasi 5% dan pH=5,5, hidrolisat pada
konsentrasi 3% dan pH=6, hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=5,5, hidrolisat
pada konsentrasi 5% dan pH=5, hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=5,
hidrolisat pada konsentrasi 3% dan pH=7. Berdasarkan hasil di atas disimpulkan
bahwa hasil terbaik optimasi pembuatan hidrolisat yang menggunakan enzim papain
terdapat pada konsentrasi 5 % dan pH = 6,5 (E2P4) dengan nilai protein terlarut
sebesar 19,71%. Penggunaan enzim papain sebesar 5 % lebih efektif dan efisien
daripada penggunaan enzim papain sebesar 7% pada perlakuan E3P4
(7
%, pH=6,5). Enzim yang digunakan merupakan enzim komersial, sehingga penggunaan
atau aplikasinya harus memperhatikan masalah biaya. Penggunaan enzim papain
sebesar 5% menghasilkan nilai protein terlarut yang berbeda tidak nyata dengan
penggunaan enzim papain sebesar 7%, sehingga yang terpilih untuk diamati sifat
fungsionalnya adalah pada perlakuan penggunaan enzim papain sebesar 5% dengan
pengaturan pH = 6,5.
Masing-masing
enzim yang digunakan mempunyai sifat spesifik tertentu, artinya akan bekerja
jika kondisi proses terkontrol untuk aktivitas enzimatiknya. Enzim papain
merupakan enzim protease yang berasal dari getah pepaya, mempunyai gugus aktif
sulfhidril, mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi dibandingkan bromelin,
beraktivitas pada pH mendekati netral antara pH = 6 sampai pH = 8 (Reed, 1975).
Diketahui bahwa enzim merupakan protein jadi peka terhadap perubahan pH, dan
pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim akan mengalami
denaturasi. Oleh karena itu, enzim bekerja sangat spesifik, dan pH optimum
untuk masing-masing enzim tidak selalu sama (Reed, 1975; Fennema, 1996; Sari,
2004). Sementara itu, kecepatan reaksi enzim berbanding lurus dengan
konsentrasi enzim, semakin besar jumlah
Tabel
1. Nilai protein terlarut pada hidrolisat protein ikan rucah dengan konse
ntrasi enzim papain dan pH yang berbeda
Perlakuan Nilai protein terlarut sd Sig
(%) 0 , 05
E3P4
(7%, pH=6,5)
E2P4
(5%, pH=6,5)
E3P1
(7%, pH=5)
E3P5
(7%, pH=7)
E2P3
(5%, pH=6) E2P5 (5%, pH=7)
E3P3
(7%,pH=6)
E1P4
(3%, pH=6,5)
E3P2
(7%, pH=5,5)
E2P2
(5%, pH=5,5)
E1P3
(3%, pH=6)
E1P2
(3%, pH=5,5)
E2P1
(5%, pH=5)
E1P1
(3%, pH=5)
E1P5
(3%, pH=7) 2,236
2,094
2,071 2,069
2,052
1,998 1,996
1,964
1,959 1,865
1,810
1,769
1,765
1,758 1,719 0,102 0,168 0,084 0,041
0,145
0,147 0,104
0,149
0,133 0,173
0,031
0,258
0,280
0,113 0,026 a ab abc abc abc bcd bcd
bcde bcde cdef def ef ef ef
f
Keterangan
: - Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda berarti berbeda pada uji
BNT pada taraf 5% - a merupakan hasil transformasi “x sebanyak 2 kali
258
Jurnal Natur Indonesia 13(3): 256-261
Koesoemawardani, et al.
enzim
maka semakin cepat rekasi enzimnya (Fennema, 1996; Reed, 1975; Sari, 2004).
Dalam reaksinya enzim akan berikatan dengan substrat membentuk ikatan antara
enzim-substrat (E-S). Enzim - subtrat ini akan dipecah menjadi hasil reaksi (P)
dan enzim bebas. Oleh karena itu, kerja dari enzim juga tergantung pada
substratnya, jadi bekerja dalam batas tertentu. Penambahan substrat sampai
jumlah tertentu dengan jumlah enzim yang tetap, akan mempercepat reaksi
enzimatik sampai mencapai maksimum, selanjutnya penambahan substrat tidak akan
menambah kecepatan reaksi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa penggunaan enzim yang berlebihan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai
protein terlarutnya karena selama proses tidak ada penambahan substrat dan substrat
yang tersedia sudah habis digunakan selama proses hidrolisis.
Berdasarkan
optimasi pada tahap pertama diketahui bahwa hasil terbaik hidrolisat protein
ikan rucah menggunakan enzim papain pada konsentrasi sebesar 5% dan pH = 6,5.
Selanjutnya, dilakukan optimasi pada lama inkubasi selama setengan jam dan satu
jam. Berdasarkan uji T (Gambar 1) diketahui bahwa nilai protein terlarut pada
hidrolisat menggunakan enzim papain 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengah
jam berbeda nyata dengan nilai protein terlarut pada hidrolisat yang diinkubasi
selama satu jam. Hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain 5% pH
6,5 yang diinkubasi selama setengan jam mempunyai nilai protein terlarut yang
lebih tinggi yaitu sebesar 24,97%, sedangkan nilai protein terlarut pada
hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam sebesar 12,53%. Jumlah protein yang
terlarut selama inkubasi bergantung pada kecepatan reaksi proses hidrolisisnya
yang dipengaruhi oleh oleh suhu, pH, konsentrasi enzim Empat faktor tersebut
saling berkaitan. Pada kadar substrat tertentu didapatkan kecepatan reaksi yang
maksimum, sehingga jika kadar subatrat dinaikkan kecepatan tidak berubah.
Sementara itu, pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim akan
mengalami denaturasi. Oleh karena itu, selama hidrolisis mempunyai pH optimum
yaitu pH dimana “S/t pada tiap-tiap saat selalu lebih besar dibandingkan pada
pH yang lain. Reaksi kimia berjalan lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi,
tetapi pada suhu yang tinggi enzim mengalami denaturasi (pada suhu 700C,
sebagian besar enzim menjadi inaktif). Suhu optimum selalu berubah tergantung
pada waktu (Hairuddin, 2008).
Berdasarkan
uji T (Gambar 2) diketahui bahwa stabilitas emulsi hidrolisat protein ikan
rucah menggunakan enzim papain 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengan jam
berbeda tidak nyata dengan stabilitas emulsi hidrolisat yang diinkubasi selama
satu jam. Hidrolisat protein ikan rucah menggunakan enzim papain sebesar 5% pH
6,5 yang inkubasi selama setengah jam mempunyai stabilitas emulsi sebesar pada
51,38%, sedangkan stabilitas emulsi hidrolisat yang inkubasi selama satu jam
sebesar 55,36%. Hali ini diduga, selama inkubasi setengah jam maupun satu jam
menghasilkan sejumlah peptida panjang dalam jumlah yang sama, sehingga peptida
panjang yang membentuk tetesan minyak yang kecil juga berbeda tidak nyata.
Gbogouriet al., (2004), menyatakan bahwa kestabilan emulsi akan lebih baik pada
derajat hidrolisis yang rendah. Hal ini karena peptida panjang yang terbentuk
terserap dalam lapisan minyak dan memicu terbentuknya tetesan minyak yang
kecil, akibatnya kestabilan emulsinya lebih tinggi (Gbogouriet al., 2004).
Perbedaan stabilitas emulsi pada hidrolisat yang dihasilkan oleh masing-masing
enzim yang digunakan
6,5 6 , 5
Optimasi
Proses Pembuatan Hidrolisat
Berdasarkan
uji T (Gambar 3) diketahui bahwa daya buih hidrolisat protein ikan rucah
menggunakan enzim papain 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengan jam berbeda
nyata dengan daya buih hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam. Hidrolisat
protein ikan rucah sebesar 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama setengah jam
mempunyai nilai daya buih yang lebih tinggi yaitu sebesar 9,63%, sedangkan daya
buih hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam mencapai 1,96%. Daya buih
sangat dipengaruhi oleh jumlah protein yang terhidrolisis selama proses, tetapi
tidak dapat untuk menentukan stabilitas buih atau sebaliknya (Liceaga-Gesualdo
& Li-Chan, 1999). Buih adalah bentuk dispersi koloida gas dalam cairan
(Muchtadi & Sugiono, 1992). Daya buih protein sangat dipengaruhi sifat
topograpikal dan sifat kimia, dari sifat permukaan protein (surface protein).
Selain itu, sifat fisikokimia terutama dari sifat molekul proteinnya juga
menentukan keberhasilan terbentuknya kondisi sifat fungsional (Fennema, 1996).
Pada
penelitian ini daya buih tertinggi terbentuk pada hidrolisat yang inkubasi
selama setengah jam. Hal ini diduga selama inkubasi terbentuk peptida
hidropobik yang dapat mengabsorbsi antara fase udaraair, sehingga dapat
membentuk buih yang banyak, jika waktu hidolisis bertambah peptida
hidropobiknya berkurang dan diduga terjadi pengurangan berat molekulnya yang
dapat meningkatkan kestabilan buih yang dihasilkan (Hall, 1992;
Liceaga-Gesualdo & LiChan, 1999). Oleh karena itu, dari sifat hidrolisat
dalam 1999) . Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa hidrolisat
yang mempunyai nilai protein terlarut tinggi maka daya buihnya juga tinggi.
Kemampuan masing-masing enzim dalam menghidrolisis protein bergantung pada
sifat spesifik dan gugus aktifnya, sehingga peptide yang dihasilkan juga
berbeda (Reed, 1975) . Akibatnya daya buih yang dihasilkan oleh hidrolisat juga
berbeda bergantung pada enzim yang digunakan.
Berdasarkan
uji T (Gambar 4) diketahui bahwa kapasitas pengikatan lemak hidrolisat protein
ikan rucah menggunakan enzim papain sebesar 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama
setengan jam berbeda nyata dengan kapasitas pengikatan lemak hidrolisat protein
ikan rucah hidrolisat yang diinkubasi selama satu jam. Hidrolisat protein ikan
rucah menggunakan enzim papain sebesar 5% pH 6,5 yang diinkubasi selama satu
jam mempunyai nilai kapasitas pengikatan lemak yang lebih tinggi yaitu sebesar
5,03%, sedangkan kapasitas pengikatan lemak hidrolisat protein ikan rucah yang
diinkubasi selama setengah jam mencapai 1,02%.
260
Jurnal Natur Indonesia 13(3): 256-261
Koesoemawardani, et al.
Kapasitas
pengikatan lemak dipengaruhi oleh derajat hidrolisis, dalam hal ini derajat
hidrolisis sejalan dengan protein terlarut (Koesoemawardani & Hadiwiyoto,
2001). Hidrolisat mempunyai kemampuan mengikat senyawa yang berbeda yaitu
antara air dan minyak karena mempunyai golongan peptida hidropobik dan
hidropilik. Selain itu, kemampuan kapasitas pengikatan lemak sangat bergantung
pada peptida hidropobik dan muatan asam aminonya (Gbogouri et al., 2004).
Kristinsson dan Rasco (2000), menyatakan kapasitas emulsi hidrolisat dari
muscle protein ikan salmon menurun dengan meningkatnya derajat hidrolisis. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan, bahwa dengan meningkatnya protein
terlarut maka kapasitas pengikatan lemak menurun.
KESIMPULAN
Perlakukan
awal bahan baku yang digunakan dengan pemanasan awal pada suhu 600C selama 15
menit, konsentrasi enzim yang digunakan untuk menghasilkan hidrolisat protein
ikan rucah terbaik sebesar 5%, T= 600C, pH= 6,5. Inkubasi setengah jam
menghasilkan nilai protein terlarut dan daya buih yang lebih tinggi yaitu sebesar
24,97% dan 9,63%, sedangkan pada inkubasi satu jam menghasilkan kapasitas
pengikatan lemak yang lebih tinggi yaitu sebesar 5,03%. Sementara itu, pada
pengamatan stabilitas emulsi baik mempunyai nilai yang berbeda tidak nyata pada
kedua waktu inkubasi.
UCAPAN
TERIMA KASIH
Ucapan
terima kasih disampaikan kepada
Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi atas dana hibah penelitian strategis nasional batch
kedua 2009 no kontrak : 321/SP2H/PP/DP2M/VI/2009 tanggal 16 Juni 2009 yang
dikeluarkan untuk membantu pelaksanaan penelitian ini. Selain itu, ucapan
terima kasih disampaikan juga kepada Aprillia Ananta P.A., S.T.P., Moralita
Tauhid, S.T.P., Made Dwitya Mulyana, S.T.P., dan Erqisti S.T.P. yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ekantari,
N. 2004. Produksi Hidrolisat Protein Dari Ikan Cucut (Carcharinus sp) Secara
Enzimatis. Tesis. Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fennema,
O.R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Gbogouri,
D.A., Linder, M., Fanniu, J. & Parmentier, M. 2004. Influence of Hydrolysis
Degree on The Functional Properties
of
Salmon Byproducts Hydrolysates. Journal of Food Science 69: 615-622.
Hall,
G.M. & Ahmad, N.H. 1992. Functional Properties of Fish
Protein
Hydrolysates. Ch. 11 In Fish Processing Technology. Hall, G.M. (Ed.), p.
249-265. Blackie Academic and Professional, N.Y., U.S.A
Hairrudin.
2008. Kinetika Enzim. Selasa, 14 Oktober 2008.
klinikdokterhairrudin.blogspot.com/ .../kinetika-enzim_14.html. Kristinsson,
H.G. & Rasco, B.A. 2000. Fish Protein Hydrolysates: Production,
Biochemical, and Functional Properties. Crit Rev Food Sci Nutr 40(1): 43–81.
Koesoemawardani,
D. & Hadiwiyoto, S. 2001. Produksi Hidrolisat Protein Ikan Kembung.
Himpunan Makalah Seminar
Teknologi
Pangan Buku A : Teknologi Pangan dan Rekayasa. 9-10 Oktober 2001. PATPI Cabang
Semarang.
Koesoemawardani,
D. 2005. Karakterisasi Hidrolisat Protein Ikan Dari Limbah Penyiangan
Ikan.Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. ISSN 1410-5020, 14-20.
Koesoemawardani,
D. 2006. Restrukturisasi Dendeng Ikan Rucah Menggunakan Alginat. Prosiding
Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. September 6-7
. Lembaga Penelitian. Universitas Lampung.
Koesoemawardani,
D. & Nurainy, F. 2008. Karakterisasi Konsentrat Protein Ikan Rucah.
Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi- II. November 17-18.
Universitas Lampung.
Koesoemawardani,
D. & Nurainy, F. 2009. Kajian Hidrolisat Protein Ikan Rucah Sebagai Bahan
Fortifikasi Makanan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Dies Universitas Lampung 19 Oktober 2009 . Universitas
Lampung.
Koesoemawardani,
D. & Susilawati. 2009. Masa Simpan
Dendeng
Giling Ikan Rucah Dengan Teknik Restukturisasi Pada
Suhu
Kamar. Prosiding Seminar Nasional Sains MIPA dan Aplikasinya “Pemberdayaan
Sains MIPA Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam”. 16-17 November 2009.
Universitas Lampung.
Liceaga-Gesualdo,
A.M. & Li-Chan, E.C.Y. 1999. Functional Properties of Fish Protein
Hydrolysates from Herring (Clupea harengus). J. of Food Sci 64(6): 1000-1004.
Liaset
B, Lied, E. & Espe, M. 2000. Enzymatic Hydrolysis of By Products from The
Fish Filleting Industry: Chemical Characterization and Nutritional Evaluation.
J. Sci Food Agric 80: 581-9.
Miller,
R. & Groninger, H.S. 1976. Functional Properties of Enzyme-Modified
Acylated Fish Protein Derivatives. Journal of Food Science 41: 268–272.
Muchtadi,
T.R. & Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Nurhayati,
T. 2003. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan
Suhu
Fermentasi Terhadap Kualitas Keju Cottage. KAPPA. 4(1): 13-17.
Ovissipour,
M., Abedian, A., Motamedzadegan, A., Rasco, B., Safari, R. & Shahir, H.
2009. The Effect of Enzymatic Hydrolysis Time and Temperature on The Properties
of Protein Hydrolysates from Persian Sturgeon (Acipenser persicus) viscera.
Food Chemistry 115: 238–242.
Pigot,
G.M. &. Tucker, B.W. 1990. Utility Fish Flesh Effectively While Maintaining
Nutritional Qualities. Seafood Effect of Technology on Nutrition. Marcel
Dekker, New York.
Reed,
G. 1975. Enzymes in Food Processing. Academic Press. New York.
Shahidi,
F., Han, Xiao-Qing & Synowiecki, J. 1995. Production and Characteristics of
Protein Hydrolysates from Capelin (Mallotus villosus). Food Chem 53: 285-293.
Sudarmadji,
S., Haryono, B. & Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sitorus,
R.T.Y. 1997. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Sifat Kimia dan
Organoleptik Dendeng Ikan Pari (Trygon Sephen). Skripsi. Universitas Lampung,
Bandar Lampung.
Optimasi Proses Pembuatan Hidrolisat
Subagio,
A., Windrati, W.S., Fauzi, M. & Witono, Y. 2003. Fraksi Protein dari Ikan
Kuniran (Upeneus sp) dan Mata Besar (Selar crumenophthalmus). Prosiding
Hasil-Hasil Penelitian. Seminar Nasional dan Pertemuan PATPI. Yogyakarta, 2223 Juli
2003.
Steel,
R.G.D. & Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Sari,
M.I. 2004. Enzim. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. USU
Repository © 2006.
0 comments:
Post a Comment