Meski diketahui oleh semua orang bahwa untuk menangkap ikan di laut memang menggunakan berbagai macam alat tangkap, sehingga hasil tangkapannya juga bervariasi. Apalagi nelayan yang pekerjaan sehari-harinya memang mencari ikan di laut, sehingga wajar jika menggunakan alat tangkap yang cepat dan banyak hasilnya. Pasalnya, nelayan sekarang sudah semakin pintar seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penangkapan ikan yang bersifat merusak (destruktif fishing) merupakan segala bentuk upaya penangkapan ikan yang membawa dampak negatif bagi populasi biota, dan ekosistem pesisir laut. Jenis penangkapannya dengan menggunakan racun sianida, potassium dan racun tumbuhan. Selain itu menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom), serta menggunakan alat jaring bermata kecil (non selektif) dan menghancurkan struktur bentuk (pukat dasar dan modifikasinya).
Olehnya itu, penangkapan ikan yang sudah berlangsung lama dan tidak sedikit dibuat menjadi orang terpandang atau orang kaya gara-gara menggeluti pekerjaan tersebut, terutama ponggawa atau juragan. Akan tetapi, nelayan tulen tetap menjadi pembicaraan miring lantaran masih banyak orang yang selalu beranggapan kalau nelayan diidentikkan sebagai orang “miskin” lantaran tidak bisa berkembang kehidupannya akibat mereka tetap tergantung pada bosnya alias ponggawa atau juragan.
Wajar saja jika banyak argument yang selalu melihat status pada nelayan, sehingga dimana-mana tetap menjadi bulan-bulanan bagi orang-orang yang sudah mapan. Apalagi prilaku mereka yang tidak mengenal adanya hari esok, sehingga berapapun hasilnya langsung dihabiskan. Hal inilah menjadi salah satu faktor sehingga nelayan tidak bisa berkembang sebagaimana para juragan. Meski penangkapan atau menggeluti pekerjaannya itu tergolong lama bahkan menjadi turun temurun, tapi kehidupannya tetap seperti itu. Namun demikian, bukan berarti bahwa penangkapan ikan yang telah berlangsung lama itu tidak menimbulkan masalah, melainkan banyak masalah yang ditimbulkan terutama dengan berkembangnya teknologi sehingga sekarang ini nelayan yang menangkap ikan sudah mampu berkreasi dengan menggunakan berbagai bahan kimia terutama sianida. Wajar saja jika hasil tangkapannya luar biasa banyaknya dan uang yang didapatkannya juga sangat besar. Tapi dibalik semua itu, lingkungan tempatnya menangkap ikan akan rusak bahkan ekosistem terumbu karang yang ada di dalamnya juga ikut rusak. Menurut Supriharyono (2007) terumbu karang Indonesia telah banyak yang rusak, dari luas terumbu karang sekitar 50.000 km2 yang ada hanya tinggal 6,48 % kondisinya masih sangat baik, 22,53 % baik, 28,39 % rusak, dan 42,59 % rusak berat.
Betapa tidak, jika kerusakan yang ditimbulkan sianida ini tidak main-main. Pasalnya, sianida itu mampu membunuh seluruh makhluk hidup yang ada didalamnya (terkena) lantaran zat kimia ini memiliki kandungan yang mematikan. Oleh karena itu, wajar saja kalau pemerintah melarang keras penggunaan bahan kimia ini lantaran bukan hanya ikan-ikan yang mati, tapi juga racun yang ditimbulkan bisa berdampak pada manusia itu sendiri. Terutama ikan tidak segar, sedangkan kebutuhan konsumen sangat mengiginkan ikan segar yang layak konsumsi, untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuhnya.
Ikan yang ditangkap dengan sianida itu biasanya cepat busuk, sehingga sagat mudah dibedakan antara ikan hasil tangkapan yang normal. Bahkan ikan tersebut tidak bisa diekspor lantaran negara-negara luar tidak bisa membelinya. Apalagi kalau sudah mengandung racun atau zat kimia.
Jika pemakaian sianida dapat mengakibatkan membunuh alga Zoxanthellae yang penting bagi pertumbuhan polip karang. Dimana Sianida terakumulasi dalam karang dan membawa dampak jangka panjang, dan penyelam dapat terbunuh akibat keracunan. Justru disinilah menjadi masalah, semakin sulitnya menghapus sianida lantaran permintaan pasar tinggi, dukungan perusahaan atau permodalan, utang nelayan kepada para pemodal, dan cara tangkap yang relatif mudah.
Pengeboman ikan pada mulanya menggunakan bahan peledak komersial berkembang dan cenderung membuat bahan peledak sendiri dengan menggunakan pupuk kimia, setiap bom beratnya kurang lebih 1 kg dan ledakannya membunuh ikan dalam radius 15 – 20 meter, terumbu seluas 500 m2 dan menciptakan lubang di terumbu dengan diameter 3-4 meter, dan pengebom mencari ikan yang hidup berkelompok (ikan bibir tebal, kerapu, ekor kuning, kakap tua dan surgeon) yang menjadi sasaran utamanya (Asbar, 2009).
Artinya bahwa ikan asal Indonesia sangat mudah ditolak oleh pasar internasional, karena dianggap tridak sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebab pangan merupakan salah satu persoalan yang sangat peka di luar negeri, karena dianggap bisa membahayakan jiwa manusia, sehingga semua hasil tangkapan yang menggunakan bahan kimia akan ditolak.
Memang diakui bahwa beberapa produk Indonesia pernah ditolak di laur negeri karena diduga mengandung antibiotic, sehingga kita mengalami kerugian yang besar. Dengan demikian, maka sesuai dengan tuntutan dunia internasional yang mulai mengecam dan mengancam akan memboikot akan ekspor ikan dari negara yang penangkapannya tergolong masih merusak lingkungan perlu diwaspadai. Pasalnya, kalau itu tetap berlangusng maka tidak menutup kemungkinan ikan-ikan hasil tangkapan dari Indonesia akan diboikot dan kita menjadi malu akibat perbuatan sendiri.
Jadi kriteria penangkapan ikan yang ramah lingkungan seharusnya selektifitas tinggi dan tidak desktruktif terhadap habitat serta tidak membahayakan nelayan (operator) dan menghasilkan ikan bermutu baik. Disamping itu, produk tidak membahayakan konsumen, hasil tangkapan yang terbuang dampaknya minimum terhadap keanekaragam sumberdaya hayati dan tidak menangkap spesies yang dilindungi dan terancam punah dan diterima secara sosial.
Kalau kita mengambil sample dimana telur ikan kakap merah yang mampu menghasilkan telur sebanyak 15 juta butir dan 30% menjadi ikan, maka yang hidup menjadi ikan kurang lebih 4 juta ekor. Akan tetapi, kalau penggunaan sianida terus berlangsung maka yakin saja bahwa ikan-ikan sebanyak itu tidak bisa hidup. Pasalnya, sianida ini bukan saja ikannya yang dimatikan, tapi juga telurnya ikut mati alias tidak bisa menetas.
Hal inilah yang menjadi sangat penting diketahui oleh masyarakat khususnya nelayan yang kesukaannya menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan. Memang diakui bahwa secara kasak mata apa yang dilakukan itu tidak tampak, tapi dibalik itu semua menghancurkan telur-telur yang akan menetas sehingga bisa dipastikan bahwa kalau penggunaan sianida terus berlangsung, maka besar kemungkinan ke depan masyarakat akan susah untuk mendapatkan ikan. Apalagi sekarang sudah ada beberapa daerah tertentu yang dianggap sudah masuk dalam kategori over fishing (kelebihan tangkap).
Jadi wajar saja jika nelayan selalu berpindah tempat untuk mencari ikan. Padahal, kalau mereka tidak menggunakan bahan kimia tersebut besar kemungkinan tempat menangkap ikan tidak terlalu jauh lantaran ikan-ikan sangat berlimpah. Tapi karena kerakusannya tinggi dan kesadarannya sangat kurang dan semata hanya memikirkan kepentingan sesaat atau yang tampak dimata saja, maka semua yang berhubungan dengan perbaikan lingkungan dibelakang hari tidaklah dihiraukannya lagi. Padahal, masyarakat tentunya peka dalam menangkap ikan dan perlu ada trik tersendiri agar bisa dipilah dalam mengambil ikan yang masuk dalam ukuran konsumsi
Jadi salah satu upaya untuk menyadarkan nelayan agar tidak menangkap ikan dengan menggunakan sianida adalah masyarakat menyatu untuk tidak membeli ikan-ikan hasil tangkapan dari sianida, sehingga penjual ikan juga ikut kapok. Bahkan kalau perlu pengusaha pun ikut memboikot apalagi kalau tidak sesuai dengan ukuran standar. Makanya perlu juga diterapkan agar pemerintah mengeluarkan aturan khusus yang melarang mengambil ikan yang tidak masuk dalam ukuran yang ditentukan, termasuk pengusaha.
Kalau ini berlaku dan dipatuhi oleh semua yang berkompoten, maka yakin saja bahwa nelayan tidak lagi melakukan hal-hal yang melanggar terutama penggunaan sianida yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Meski diakui bahwa penangkapan ikan yang merusak muncul disebabkan beberap akibat yakni permintaan konsumen tinggi dan mengendalikan harga ikan hidup, konsumen kekurangan informasi tentang bagaimana ikan ditangkap, kekuatan ekonomi lokal yang sangat sulit untuk negara miskin dan nelayannya tergoda menggunakan cara ini karena dinilai sangat produktif, kurangnya hukum yang mengatur terutama penegakan hukum, dan kurangnya kontrol lokal terhadap terumbu karang yang tidak ada pilihan penghasilan lain.
Akan tetapi kalau masyarakat tidak mau lagi membelinya, maka lambat laun nelayan juga jerah menangkap ikan dengan menggunakan bahan kimia. Olehnya itu, penegakan hukum harus dimaksimalkan dan nelayan juga harus mentaati semua ketentuan agar ikan-ikan yang ditangkap tidak mubassir karena ikan dapat dibeli oleh masyarakat. Tapi kalau sudah tidak mau ikut aturan, maka ikan-ikan tersebut akan tinggal dan tidak ada yang membelinya. Mudah-mudahan kita semua dapat megambil hikmahnya agar ke depan sumberdaya alam tetap lestari tanpa ada kesan mubassir. Semoga !
Penangkapan ikan yang bersifat merusak (destruktif fishing) merupakan segala bentuk upaya penangkapan ikan yang membawa dampak negatif bagi populasi biota, dan ekosistem pesisir laut. Jenis penangkapannya dengan menggunakan racun sianida, potassium dan racun tumbuhan. Selain itu menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom), serta menggunakan alat jaring bermata kecil (non selektif) dan menghancurkan struktur bentuk (pukat dasar dan modifikasinya).
Olehnya itu, penangkapan ikan yang sudah berlangsung lama dan tidak sedikit dibuat menjadi orang terpandang atau orang kaya gara-gara menggeluti pekerjaan tersebut, terutama ponggawa atau juragan. Akan tetapi, nelayan tulen tetap menjadi pembicaraan miring lantaran masih banyak orang yang selalu beranggapan kalau nelayan diidentikkan sebagai orang “miskin” lantaran tidak bisa berkembang kehidupannya akibat mereka tetap tergantung pada bosnya alias ponggawa atau juragan.
Wajar saja jika banyak argument yang selalu melihat status pada nelayan, sehingga dimana-mana tetap menjadi bulan-bulanan bagi orang-orang yang sudah mapan. Apalagi prilaku mereka yang tidak mengenal adanya hari esok, sehingga berapapun hasilnya langsung dihabiskan. Hal inilah menjadi salah satu faktor sehingga nelayan tidak bisa berkembang sebagaimana para juragan. Meski penangkapan atau menggeluti pekerjaannya itu tergolong lama bahkan menjadi turun temurun, tapi kehidupannya tetap seperti itu. Namun demikian, bukan berarti bahwa penangkapan ikan yang telah berlangsung lama itu tidak menimbulkan masalah, melainkan banyak masalah yang ditimbulkan terutama dengan berkembangnya teknologi sehingga sekarang ini nelayan yang menangkap ikan sudah mampu berkreasi dengan menggunakan berbagai bahan kimia terutama sianida. Wajar saja jika hasil tangkapannya luar biasa banyaknya dan uang yang didapatkannya juga sangat besar. Tapi dibalik semua itu, lingkungan tempatnya menangkap ikan akan rusak bahkan ekosistem terumbu karang yang ada di dalamnya juga ikut rusak. Menurut Supriharyono (2007) terumbu karang Indonesia telah banyak yang rusak, dari luas terumbu karang sekitar 50.000 km2 yang ada hanya tinggal 6,48 % kondisinya masih sangat baik, 22,53 % baik, 28,39 % rusak, dan 42,59 % rusak berat.
Betapa tidak, jika kerusakan yang ditimbulkan sianida ini tidak main-main. Pasalnya, sianida itu mampu membunuh seluruh makhluk hidup yang ada didalamnya (terkena) lantaran zat kimia ini memiliki kandungan yang mematikan. Oleh karena itu, wajar saja kalau pemerintah melarang keras penggunaan bahan kimia ini lantaran bukan hanya ikan-ikan yang mati, tapi juga racun yang ditimbulkan bisa berdampak pada manusia itu sendiri. Terutama ikan tidak segar, sedangkan kebutuhan konsumen sangat mengiginkan ikan segar yang layak konsumsi, untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuhnya.
Ikan yang ditangkap dengan sianida itu biasanya cepat busuk, sehingga sagat mudah dibedakan antara ikan hasil tangkapan yang normal. Bahkan ikan tersebut tidak bisa diekspor lantaran negara-negara luar tidak bisa membelinya. Apalagi kalau sudah mengandung racun atau zat kimia.
Jika pemakaian sianida dapat mengakibatkan membunuh alga Zoxanthellae yang penting bagi pertumbuhan polip karang. Dimana Sianida terakumulasi dalam karang dan membawa dampak jangka panjang, dan penyelam dapat terbunuh akibat keracunan. Justru disinilah menjadi masalah, semakin sulitnya menghapus sianida lantaran permintaan pasar tinggi, dukungan perusahaan atau permodalan, utang nelayan kepada para pemodal, dan cara tangkap yang relatif mudah.
Pengeboman ikan pada mulanya menggunakan bahan peledak komersial berkembang dan cenderung membuat bahan peledak sendiri dengan menggunakan pupuk kimia, setiap bom beratnya kurang lebih 1 kg dan ledakannya membunuh ikan dalam radius 15 – 20 meter, terumbu seluas 500 m2 dan menciptakan lubang di terumbu dengan diameter 3-4 meter, dan pengebom mencari ikan yang hidup berkelompok (ikan bibir tebal, kerapu, ekor kuning, kakap tua dan surgeon) yang menjadi sasaran utamanya (Asbar, 2009).
Artinya bahwa ikan asal Indonesia sangat mudah ditolak oleh pasar internasional, karena dianggap tridak sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebab pangan merupakan salah satu persoalan yang sangat peka di luar negeri, karena dianggap bisa membahayakan jiwa manusia, sehingga semua hasil tangkapan yang menggunakan bahan kimia akan ditolak.
Memang diakui bahwa beberapa produk Indonesia pernah ditolak di laur negeri karena diduga mengandung antibiotic, sehingga kita mengalami kerugian yang besar. Dengan demikian, maka sesuai dengan tuntutan dunia internasional yang mulai mengecam dan mengancam akan memboikot akan ekspor ikan dari negara yang penangkapannya tergolong masih merusak lingkungan perlu diwaspadai. Pasalnya, kalau itu tetap berlangusng maka tidak menutup kemungkinan ikan-ikan hasil tangkapan dari Indonesia akan diboikot dan kita menjadi malu akibat perbuatan sendiri.
Jadi kriteria penangkapan ikan yang ramah lingkungan seharusnya selektifitas tinggi dan tidak desktruktif terhadap habitat serta tidak membahayakan nelayan (operator) dan menghasilkan ikan bermutu baik. Disamping itu, produk tidak membahayakan konsumen, hasil tangkapan yang terbuang dampaknya minimum terhadap keanekaragam sumberdaya hayati dan tidak menangkap spesies yang dilindungi dan terancam punah dan diterima secara sosial.
Kalau kita mengambil sample dimana telur ikan kakap merah yang mampu menghasilkan telur sebanyak 15 juta butir dan 30% menjadi ikan, maka yang hidup menjadi ikan kurang lebih 4 juta ekor. Akan tetapi, kalau penggunaan sianida terus berlangsung maka yakin saja bahwa ikan-ikan sebanyak itu tidak bisa hidup. Pasalnya, sianida ini bukan saja ikannya yang dimatikan, tapi juga telurnya ikut mati alias tidak bisa menetas.
Hal inilah yang menjadi sangat penting diketahui oleh masyarakat khususnya nelayan yang kesukaannya menggunakan bahan kimia dalam menangkap ikan. Memang diakui bahwa secara kasak mata apa yang dilakukan itu tidak tampak, tapi dibalik itu semua menghancurkan telur-telur yang akan menetas sehingga bisa dipastikan bahwa kalau penggunaan sianida terus berlangsung, maka besar kemungkinan ke depan masyarakat akan susah untuk mendapatkan ikan. Apalagi sekarang sudah ada beberapa daerah tertentu yang dianggap sudah masuk dalam kategori over fishing (kelebihan tangkap).
Jadi wajar saja jika nelayan selalu berpindah tempat untuk mencari ikan. Padahal, kalau mereka tidak menggunakan bahan kimia tersebut besar kemungkinan tempat menangkap ikan tidak terlalu jauh lantaran ikan-ikan sangat berlimpah. Tapi karena kerakusannya tinggi dan kesadarannya sangat kurang dan semata hanya memikirkan kepentingan sesaat atau yang tampak dimata saja, maka semua yang berhubungan dengan perbaikan lingkungan dibelakang hari tidaklah dihiraukannya lagi. Padahal, masyarakat tentunya peka dalam menangkap ikan dan perlu ada trik tersendiri agar bisa dipilah dalam mengambil ikan yang masuk dalam ukuran konsumsi
Jadi salah satu upaya untuk menyadarkan nelayan agar tidak menangkap ikan dengan menggunakan sianida adalah masyarakat menyatu untuk tidak membeli ikan-ikan hasil tangkapan dari sianida, sehingga penjual ikan juga ikut kapok. Bahkan kalau perlu pengusaha pun ikut memboikot apalagi kalau tidak sesuai dengan ukuran standar. Makanya perlu juga diterapkan agar pemerintah mengeluarkan aturan khusus yang melarang mengambil ikan yang tidak masuk dalam ukuran yang ditentukan, termasuk pengusaha.
Kalau ini berlaku dan dipatuhi oleh semua yang berkompoten, maka yakin saja bahwa nelayan tidak lagi melakukan hal-hal yang melanggar terutama penggunaan sianida yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Meski diakui bahwa penangkapan ikan yang merusak muncul disebabkan beberap akibat yakni permintaan konsumen tinggi dan mengendalikan harga ikan hidup, konsumen kekurangan informasi tentang bagaimana ikan ditangkap, kekuatan ekonomi lokal yang sangat sulit untuk negara miskin dan nelayannya tergoda menggunakan cara ini karena dinilai sangat produktif, kurangnya hukum yang mengatur terutama penegakan hukum, dan kurangnya kontrol lokal terhadap terumbu karang yang tidak ada pilihan penghasilan lain.
Akan tetapi kalau masyarakat tidak mau lagi membelinya, maka lambat laun nelayan juga jerah menangkap ikan dengan menggunakan bahan kimia. Olehnya itu, penegakan hukum harus dimaksimalkan dan nelayan juga harus mentaati semua ketentuan agar ikan-ikan yang ditangkap tidak mubassir karena ikan dapat dibeli oleh masyarakat. Tapi kalau sudah tidak mau ikut aturan, maka ikan-ikan tersebut akan tinggal dan tidak ada yang membelinya. Mudah-mudahan kita semua dapat megambil hikmahnya agar ke depan sumberdaya alam tetap lestari tanpa ada kesan mubassir. Semoga !
0 comments:
Post a Comment