Monday, February 15, 2016

TENTANG GELATIN DAN MANFAATNYA

February 15, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Proses perubahan kolagen menjadi gelatin melibatkan tiga perubahan berikut (Junianto, dkk, 2006):
Pemutusan sejumlah ikatan peptida untuk memperpendek rantai
Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan camping antar rantai
Perubahan konfigurasi rantai
Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glycol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organik lainnya (Junianto, dkk, 2006).
Gelatin tulang ikan
Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit dan tulang. Kulit atau tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih selama 1-2 menit. Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut degresing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32-80C sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum (Junianto, dkk, 2006).
Pada tulang, sebelum dilakukan pengembungan terlebih dahulu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer disebut ossein. Asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam klorida dengan konsentrasi 4-7%. Proses demineralisasi ini sebaiknya dilakukan dalam wadah tahan asam selama beberpa hari sampai dua minggu (Junianto, dkk, 2006).
Selanjutnya pada kulit dan ossein dilakukan tahap pengembungan (swelling) yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat, dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan adalah sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potassium hidroksida (Junianto, dkk, 2006).
Asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen. Menurut Utama (1997), tahapan ini harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya) jika tidak tepat akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang menyebabkan penurunan rendemen gelatin yang dihasilkan (Junianto, dkk, 2006).
Tahapan selanjutnya, kulit dan ossein diekstraksi dengan air yang dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi adalah 40-50C hingga suhu 100C. Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam pada pH 4-5 karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non kolagen, sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan. Apabila pH lebih rendah perlu penanganan cepat untuk mencegah denaturasi lanjutan (Junianto, dkk, 2006).
Larutan gelatin hasil ekstraksi kemudian dipekatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengeringan. Pemekatan dilakukan untuk meningkatkan total solid larutan gelatin sehingga mempercepat proses pengeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 40-50C atau 60-70C. Pengecilan ukuran dilakukan untuk lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Dengan demikian gelatin yang dihasilkan lebih reaktif dan lebih mudah digunakan (Junianto, dkk, 2006).
Urutan pembuatan gelatin tulang ikan tuna (Junianto, dkk, 2006):
1. Tulang ikan
2. Degreasing (penghilangan lemak), direndam pada air mendidih selama 30 menit
3. Pengecilan ukuran 2-5 cm2
4. Demineralisasi (perendaman dalam HCl 5%, 48 jam)
5. Ossein
6. Pencucian demean air mengalir hingga pH netral (6-7)
7. Ekstraksi dalam waterbath pada suhu 90°C selama 7 jam
8. Ekstrak disaring
9. Dipekatkan dengan evaporator
10.Dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C selama 24 jam
11.Pengecilan ukuran/penepungan
12.Gelatin
Gelatin Kulit Ikan
Metode yang digunakan pada ekstraksi gelatin dari ikan tuna ini yaitu metode asam, sedangkan asam yang digunakan yaitu asam sitrat. Kulit ikan dibersihkan dari daging yang masih melekat, kemudian dicuci bersih, dan dibuang sisiknya dan dibersihkan dari daging yang melekat, kemudian dicuci bersih. Kulit yang sudah dicuci direndam dalam campuran larutan kapur dan Natrium sulfida dengan konsentrasi masing-masing 3% dari berat ikan selama 48 jam. Kulit ikan kemudian diangkat dari rendaman, kemudian dicuci bersih dan dibuang sisik dan daging yang masih melekat. Kulit ikan diputar di dalam molen dengan ditambahkan air sebanyak 400% (b/b), dan ammonium sulfat 1% (b/b) selama 30 menit. Kemudian kulit ikan ditambahkan enzim protease 1% (b/b) kemudian diputar kembali selama 2 jam dengan kecepatan 12 rpm. Proses ini disebut proses enzimatis (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009).
Proses selanjutnya adalah proses asam. Setelah, melalui proses enzimatis ikan dicuci bersih lalu direndam dengan larutan asam sitrat pH 3 selama 12 jam, dicuci bersih hingga mencapai pH netral atau pH 7. Setelah pH netral tercapai kulit ikan kemudian diektraksi dengan perbandingan air 1:2 pada waterbath dengan suhu 60°C selama 3 jam. Ekstrak disaring menggunakan kapas, kain blacu dan saringan. Ekstrak disimpan dalam chilling room sehingga larutan tersebut menjendal. Gelatin yang sudah menjendal kemudian dimasukkan ke dalam pemanas bersistem evaporasi, yang dapat memekatkan larutan gelatin tersebut. Hasil dari evaporai tersbut dimasukkan ke dalam ekstuder, putar ekstuder sehingga menghasilkan mie-mie gelatin. Pengeringan larutan gelatin dapat dilakukan dengan penggunaan udara kering (terhumidifikasi) dan pemanasan. Pemanasan dilakukan bertahap di bawah 40°C hingga mencapai penurunan kadar air paling tidak 70%. Setelah tercapai suhu pengeringan dinaikan menjadi 50-55°C sampai diperoleh gelatin kering (24-36 jam). Penghalusan dilakukan dengan menggunakan blender sehingga diperoleh granula sebesar gula pasir (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009).
Urutan  pembuatan gelatin kulit ikan tuna (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009):
1.    Kulit Ikan Tuna
2.    Pengapuran. Direndam dalam larutan kapur 3%, Na2S 3%, dan air 600% selama 48 jam
3.    Dibersihkan dari sisa daging
4.    Enzimatis. Kulit direndam dalam air 400%, [(NH4)2SO4] 1%, kemudian diputar selama 30 menit. Enzim protease 1% putar kembali 2 jam
5.    Dicuci sampai bersih
6.    Direndam dalam larutan asam sitrat pH 3 selama 12 jam
7.    Dicuci dengan air mengalir sampai pH netral (6-7)
8.    Kulit diekstraksi dengan perbandingan 1:3 dalam waterbath
9.    Selama 2 jam pada suhu 60° C
10.    Filtrat disaring menggunakan kapas, kain blacu dan saringan
11.    Penjendelan dalam ruang pendingin selama 24 jam
12.    Pemekatan menggunakan evaporator
13.    Pengeringan 24-36 jam suhu 45° C-50° C
14.    Pembentukan flake gelatin menggunakan blender
Pemanfaatan limbah tulang ikan sebagai sumber kalsium
Selama ini yang direkomendasikan sebagai sumber kalsium terbaik adalah susu. Tetapi harga susu bagi sebagian masyarakat masih terhitung mahal, oleh karena itu perlu dicari alternatif sumber kalsium yang lebih murah, mudah didapat dan tentu saja mudah diabsorbsi. Kalsium yang berasal dari hewan seperti limbah tulang ikan sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tulang ikan merupakan salah satu bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat. Ikan tuna merupakan komoditas perikanan Indonesia yang banyak menghasilkan devisa (terbesar kedua setelah udang) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Peningkatan nilai produksi ikan tuna dari tahun ke tahun menunjukkan nilai yang cukup tajam. Peningkatan volume produksi ini akan meningkatkan volume limbah hasil industri pengolahan tuna tersebut. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium merupakan salah satu alternatif dalam rangka menyediakan sumber pangan kaya kalsium sekaligus mengurangi dampak buruk pencemaran lingkungan akibat dari pembuangan limbah industri pengolahan tuna.
Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar kalsium, fosfor, air, abu, protein, lemak, pH, derajat putih, daya serap air, kemudahan melarut, densitas kamba dan bioavailabilitas kalsium. Tepung tulang ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini mengandung kalsium tertinggi 39,24 % dan fosfor 13,66 % yang diperoleh dari kombinasi perlakuan autoclaving 2 (dua) jam dan perebusan 3 (tiga) kali. Kadar air pada tepung tulang sebesar 5,60 %, abu 81,13 %bb, protein 0,76 %bb dan lemak 3,05 %bb. Nilai beberapa parameter fisik tepung yaitu derajat putih 64,7 %, densitas kamba 8,14 g/ml, pH 7,13, daya serap air 14,5 % dan kemudahan melarut sebesar 4,45 % pada menit ke 15, 29,20 % pada menit ke 180. Nilai bioavailabilitas kalsium tepung sebesar 0,86 %. Nilai ini diperoleh dari hasil pengukuran tepung dengan kadar kalsium tertinggi (Trilaksani, W., et al, 2006).
Tepung Hidrolisat Protein
Substitusi dan fortifikasi hidrolisat protein ke dalam olahan produk pangan bertujuan untuk (Trilaksani, W., et al, 2006):
Peningkatan konsumsi protein ikani masyarakat yang jauh dari pantai;
Menanggulangi masalah KEP/KKP maupun gizi ganda;
Meningkatkan nilai tambah komuditi, hingga dapat meningkatkan pendapatan, kesempatan berusaha, dan kesempatan kerja di pedesaan pantai; dan
Mendapatkan bahan dalam perumusan model teknologi pengolahan limbah pengalengan ikan tuna yang layak secara teknis ekonomis. Keluaran yang diharapkan adalah teknologi yang mampu menghasilakan tepung hidrolisat protein bermutu, serta tidak membayangkan kesehatan (pencernaan) apabila dikonsumsi.
Serangkaian penelitian yang dilaksanakan di Lab. Ilmu dan Teknologi Pangan, Unibraw; Lab. Faperikan Unibraw; terdiri dari 3 tahap kegiatan, yaitu: (1) pembuatan tepung THPI daging merah ikan tuna; (2) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan fortifikasi (burger dan mie kering); dan (3) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan subtitusi (bakso dan sosis) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dan berkembang. Disamping kekayaan ikan di kawasan Indonesia yang berlimpah serta usaha untuk meningkatkan hasil tangkapnya yang terus menerus dilaksanakan, ternyata baru mencapai nilai 35% saja yang dapat dicapai. Dari data yang dapat dikumpulkan, setiap musim masih terdapat antara 25-30% hasil tangkapan Ikan Laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan yang disebabkan karena berbagai hal (Trilaksani, W., et al, 2006):
Keterbatasan pengetahuan dan sarana para nelayan di dalam cara pengolahan ikan. Misalnya, hasil tangkapan tersebut masih terbatas sebagai produk untuk dipasarkan langsung (ikan segar), atau diolah menjadi ikan asin, pindang, terasi serta hasil-hasil olahannya.
Tertangkapnya jenis-jenis ikan lain yang kurang berharga ataupun sama sekali belum mempunyai nilai di pasaran, yang akibatnya ikan tersebut harus dibuang kembali.
Diantara bahan alami, ikan tercatat sebagai bahan yang sangat cepat membusuk. Karenanya begitu ikan tertangkap, maka proses pengolahan dalam bentuk pengawetan dan pengolahan harus segera dilakukan. Juga selama pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang ditermanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa dan yang terbuang tersebut secara langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan (Trilaksani, W., et al, 2006).
Pemanfaatan Limbah Ikan sebagai Pupuk Organik
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas dan hanya 1/5 saja merupakan daratan. Dengan kondisi yang lebih banyak perairannya tinggi maka akan muncul potensi yang besar dalam bidang perikanan. Banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang tidak dimanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa dan yang terbuang tersebut secara langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan (Annonymousb, 2010).
Untuk memaksimalkan potensi perikanan dan banyaknya ikan yang terbuang sia-sia tanpa ada nilai ekonomisnya maka perlu dilakukan suatu terobosan baru dalam memanfaatkan setiap bagaian dalam bidang perikanan salah satunya adalah dengan memanfaatkan limbah ikan atau mungkin ikan-ikan yang tidak ekomomis penting dan ikan yang terbuang sia-sia. Pemanfaatan ini, salah satunya adalah menjadikan pupuk organik. Bahan baku ikan untuk memproduksi pupuk organik sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya. Kemungkinan besar lama waktu proses pembuatan pupuk organik tergantung dari kandungan lemaknya. Dengan kandungan lemak yang tinggi, kemungkinan besar bahwa prosesnya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan kandungan lemak yang sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik (Annonymousb, 2010).
Pupuk organik lengkap yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih dibandingkan dengan pupuk organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau. FAO telah menetapkan kriteria dasar untuk pupuk jenis ini, yakni: kandungan unsur makro harus mempunyai nilai minimal N (12%), P (8%), dan K (6%) disamping kandungan unsur mikro seperti Ca, Fe, Mg, Cu, Zn, Mn, dan sebagainya. Kandungan protein dan lemak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan dari tanaman pangan tersebut. Perlu adanya terobosan baru untuk mengurangi kandungan lemak dan protein tersebut sebelum diterapkan menjadi pupuk organik (Annonymousb, 2010).
Limbah Pengolahan Ikan biasanya berbau, untuk menghilangkan bau busuk limbah pengolahan tepung ikan dapat digunakan bakteri asam laktat dan untuk produk pupuk yang dibuat dari limbah pengolahan ikan yang telah dihilangkan bau busuknya juga dapat ditingkatkan kandungan haranya. Keunggulan pupuk ini adalah (Annonymousb, 2010):
Pupuk yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang unsur haranya lebih lengkap dibandingkan dengan pupuk anorganik;
Membuat daun tanaman hias menjadi lebih mengkilap, bunga lebih banyak dan bertahan lebih lama;
Bahan baku melimpah dan murah, karena memanfaatkan limbah pengolahan ikan;
Harga jual kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor yang sangat mahal;
Konsep back to nature melalui pertanian organik.
Kelemahan dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan pupuk cair adalah bau busuk yang sangat menyengat dan membuat kepala pusing. Masalah bau busuk dapat diatasi antara lain dengan menurunkan pH limbah cair, memberi aerasi, menambahkan bahan penyerap bau, menggunakan mikroba yang mempercepat proses dekomposisi dan merombak senyawa yang menimbulkan bau. Proses menghilangkan bau busuk dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan bahan baku pupuk cair dilakukan dengan menurunkan pH limbah ikan dari 8,0 menjadi 6,0 dengan penambahan HCl, menambahkan molases, dan menginokulasi limbah ikan dengan kultur bakteri asam laktat. Kultur ini diinkubasi pada shaker dengan memberikan aerasi secara terputus selang dua jam dengan dikocok pada 120 rpm. Dengan cara ini bau busuk limbah ikan hilang dalam waktu inkubasi lima hari (Annonymousb, 2010).
Limbah cair pengolahan tepung ikan yang telah dihilangkan bau busuknya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pupuk. Pupuk dibuat dengan menambahkan batuan fosfat alam untuk meningkatkan kandungan unsur Phospat (P) dan kelarutan batuan fosfat ditingkatkan dengan menambahkan mikroba pelarut fosfat. Inkubasi dilanjutkan selama dua hari lagi. Kandungan hara pupuk cair tergantung pada jenis dan ukuran ikan, sehingga kandungan unsur hara limbah ikan bervariasi dari 1500-2000 ppm N, 300 ppm P dan 3000-4000 ppm K, pH sekitar 6,5 (Annonymousb, 2010).
Pemanfaatan Limbah Ikan sebagai Tepung Ikan
Dalam kegiatan industri pengalengan ikan selalu menghasilkan limbah ikan yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan untuk membuat tepung ikan. Tepung ikan dapat dimanfaatkan untuk campuran makanan ternak seperti unggas, babi dan makanan ikan. Tepung ikan mengandung protein, mineral dan vitamin B. Protein ikan terdiri dari asam amino yang tidak terdapat pada tumbuhan. Kandungan gizi yang tinggi pada tepung ikan dapat meningkatkan produksi dan nilai gizi telur, daging ternak dan ikan. Kandungan gizi tepung ikan tergantung dari jenis ikan yang digunakan sebagai bahan bakunya. Tepung ikan yang berkualitas tinggi mengandung komponen-komponen sebagai berikut (Annonymousa, 2009):
Air 6-100 %
Lemak 5-12 %
Protein 60-75 %
Abu 10-20 %
Selain itu karena dibuat dari kepala dan duri ikan maka tepung ikan juga mengandung (Annonymousa, 2009): Ca fosfat
Seng
Yodium
Besi
Timah
Mangan
Kobalt
Vitamin B 2 dan B 3
Bahan baku tepung ikan dapat berupa (Annonymousa, 2009):
    Limbah ikan dari industri pengalengan ikan
    Ikan kurus: ikan-ikan kecil misalnya teri (Solepherus sp.)
    Ikan gemuk: ikan petek (Leioguanathus sp.)
Berikut ini adalah cara pembuatan tepung ikan (Annonymousa, 2009):
    Bahan limbah dipotong kecil-kecil dalam bak pencucian dengan air yang mengalir.
    Dilakukan penggaraman selama 30 menit.
    Khusus untuk ikan gemuk tambahkan air hingga terendam dan dimasak selama 1 jam. Untuk ikan kurus dimasak dalam dandang selama 30 menit, kemudian ikan yang sudah matang dimasukkan ke dalam alat pengepres.
    Ikan yang telah di pres digiling.
    Ikan yang telah dipres dikeringkan pada suhu 60-650Celcius selama 6 jam di dalam alat pengering untuk ikan basah, dan ikan kering dikeringkan dengan sinar matahari.
    Ikan yang telah dipres dan kering digiling sampai lembut.
    Tepung ikan siap dipasarkan.
Meningkatkan mutu dengan program Vucer (Annonymousa, 2009):
    Memperkenalkan teknik desalting pada ikan asin yang akan digunakan sebagai bahan baku tepung ikan. Teknik desalting dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin di dalam larutan berkonsentrasi gararn rendah selama 12 jam. Proses ini mampu mengurangi kadar garam, meningkatkan kadar protein, dan secara otomatis akan menaikkan harga jual produk.
    Perubahan waktu perebusan ikan dari 30 menit menjadi hanya 5 menit, yang dilakukan setelah air mendidih. Hal ini ternyata mampu memelihara nilai gizi ikan, terutama protein yang tidak banyak larut atau terbuang akibat perebusan.
    Pengadaan peralatan pengepres ikan yang telah direbus. Hal ini mampu meningkatkan kapasitas produksi. menurunkan kadar air, menurunkan kadar lemak dan rneningkatkan kadar protein tepung ikan. Juga menurunkan presentase ikan yang busuk akibat lamanya proses penjemuran.
    Pengadaan lantai penjemuran dengan disain seperti penjemur padi. Hal ini mempercepat proses penjemuran menjadi hanya satu dari 2-3 hari sebelumnya.
    Pengadaan peralatan pengayak yang mampu menghasilkan ukuran tepung ikan yang lebih seragam, yaitu 60 mesh.
Dari segi mutu dan harga telah terjadi peningkatan. Kadar protein meningkat dari 47,5% menjadi 54% setelah pelaksanaan Program Vucer, dan kadar air menurun dari 13,7% menjadi 10,4% (Annonymousa, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Annonymousa. 2009. Tepung Ikan. 
http://sosekstoreperikananub.blogspot.com/2009/05.html
Annonymousb. 2009. Jaringan Ikat. http://histovet1.blogspot.com/jaringan-ikat_16.html
Annonymousa. 2010. Penanganan Limbah Hasil Perikanan Secara Biologis.   
http://eafrianto.wordpress.com/2009/12/10/
Annonymousb. 2010. Pemanfaatan Limbah Ikan Untuk Pupuk Organik.http://ppsdms.org/pemanfaatan-limbah-ikan-untuk-pupuk-organik.htm
Annonymousc. 2010. Kolagen. http://www.rumahfarmasi.com/health-a…les-p-600.html
Annonymousd. 2010. Kolagen. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi.pdF. Dewi, F.R. dan Widodo. 2009. Pembuatan Gelatin Dari Kulit Tuna.http://www.bbrp2b.dkp.go.id/publikasi/prosiding/2008/brawijaya.pdf
Eko, H.R dan Teuku Muamar. 2007. Pengalengan Ikan Tuna Komersial.http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22074350.pdf.
Fesya. 2008. SOSIS. http://masenchipz.com/category/dk
Herlandria. 2009. Kolagen Kulit Kambing.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31086368.pdf.
Jaswir, I. 2007. Gelatin.http://duniapangankita.files.wordpress.com/2007/04/gelatin.pdf
Junianto, Haetami dan Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan Dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/produksi_gelatin_dari_tulang_ikan.pdf.
Rusmana, Deny dan Abun. 2006. Evaluasi Nilai Kecernaan Limbah Ikan Tuna (Thunnusatlanticus) Produk Pengolahan Kimiawi Dan Biologi Serta Nilai Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10.pdf.
Trilaksani, W, Salamah, E., Nabil, M. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna(Thunnus sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. BuletinTeknologi Hasil Perikanan Vol IX Nomor 2 Tahun 2006
Wong, DWS. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Academic Press: NY
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

0 comments:

Post a Comment