Thursday, February 26, 2015

MANFAAT PRODUK HORMON JANTANISASI TERHADAP PRODUKSI IKAN BUDIDAYA

February 26, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
PRODUK HORMON JANTANISASI
Budi daya perikanan (akuakultur) tidak terlepas dari unsur ketersediaan air, lahan, benih, dan pakan. Bertolak dari kebutuhan tersebut salah satu kegiatan penelitian BATAN diarahkan untuk mendukung peningkatan produksi ikan dengan penyedian pakan ikan yang dapat mempercepat pertumbuhan dan bobot badan ikan.
Terdapat perbedaan dalam hal kecepatan pertumbuhan dan bobot badan ikan karena lebih dari 50% ikan jantan lebih cepat tumbuh dari ikan betina, ini disebabkan karena ikan jantan seluruh energi dari pakan digunakan untuk pertumbuhan, juga ikan jantan lebih rakus dalam hal makan, sedang pada ikan betina energi dari pakan digunakan untuk pematangan telur, pengeraman telur dan pemeliharaan larva dalam mulutnya.
Maka dalam budidaya perikanan sangat diperlukan benih ikan jantan, akan tetapi untuk mendapatkan benih ikan yang sebagian besar jantan sangatlah sulit karena kita tidak bisa mengharapkan dari anakan ikan yang menetas pada waktu tertentu.
Bertolak dari hal tersebut diupayakanlah penggunaan teknik pejantanan ikan (sex reversal) dalam penyediaan benih ikan. Jantanisasi ikan bisa dilakukan pada berbagai jenis ikan konsumsi seperti ikan nila gift, nila merah, gurame, patin, lele, kerapu, juga bermacam ikan hias seperti cupang, lohan, ranbow, guppy, tetra kongo, koi dan lain-lain. Jantanisasi merupakan teknik menstimulus benih ikan ke arah jantan, dan untuk ini diperlukan hormon Jantanisasi ikan/ hormone testosterone alami.
Langkah selanjutnya dalam mendukung percepatan produksi ikan setelah dilakukan teknik jantanisasi dengan pemberian hormon alami dari bahan dasar testis ternak, telah disiapkan produk pakan ikan untuk memacu pertumbuhan/pembesaran ikan yaitu Stimulan Pakan Ikan (SPI). Keunggulan dari SPI ini dapat disimpan lebih lama dan tidak mengandung bakteri patogen, sehingga secara tidak langsung ikan lebih aman untuk dikonsumsi dan harganya lebih murah dibandingkan dengan pakan sejenis.
Apa itu hormon jantanisasi ikan?
Hormon jantanisasi ikan adalah hormon yang dihasilkan oleh testis ternak yang menyebabkan timbulnya ciri seks sekunder jantan/maskulinisasi.
Dari manakah hormon ini berasal?
Para peternak ikan mendapatkan produk hormon ini import dari China, Thailand, dan Jepang, biasanya diberi nama hormone 17 α metiltestosteron sehingga harga hormon relatif mahal, sulit didapat dan karena terbuat dari bahan sintetis kegunaannya sering dipertanyakan. Atas dasar itu BATAN mencoba memecahkan masalah tersebut dengan melakukan litbang untuk memproduksi Hormon “Jantanisasi Ikan” yang berisfat “alami” karena terbuat dari bahan dasar testis ternak, sehingga tidak mengandung bahan residu kimia.
Penggunaan teknik nuklir pada uji radio immuno assay (RIA) dengan menggunakan isotop yodium-125 dapat mengevaluasi hormon sehingga didapat konsentrasi yang sesuai untuk persentase jantanisasi ikan yang optimal, kemudian dari ekstrak jaringan testis didapat konsentrasi testosteron yang cukup tinggi, tingginya konsentrasi testosteron menunjukkan jumlah hormon androgen penghasil sel jantan lebih banyak. Dari beberapa testis hewan yang telah diuji ternyata kandungan kadar testosteron tertinggi terdapat pada testis ternak sapi yang selama ini menjadi limbah dan banyak tersedia di Indonesia. (Sumber : Batan) Selama ini produksi ikan nila jantan menggunakan hormon 17a metiltestosteron (SPO nila nomor 05a), namun sekarang sudah dilarang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, No: KEP/20/MEN/2003 dan diperbaharui dengan KEP/52/MEN/2014 pada 19 September 2014 tentang Klasifikasi Obat Ikan. Larangan penggunaan hormon 17α metiltestosteron karena bersifat karsinogenik dan tidak ramah lingkungan. Akhir-akhir ini Aromatase Inhibitor (AI) telah digunakan sebagai bahan penghambat sintesa estrogen dari androgen dan berdampak maskulinisasi pada tahap awal perkembangan pada ikan.
Aromatase Inhibitor merupakan bahan kimia non karsinogenik dan biodegradable, sehingga ramah lingkungan. AROMATASE merupakan enzim kompleks dari hemoprotein cytochrome P450 aromatase dan NADPH-cytochrome P450 reduktase, dimana berperan sebagai Katalisator konversi Androgen (Testoteron) menjadi Estrogen (Estradiol-17β) selama proses Steroidogenesis yang dapat mempengaruhi tingkah laku seks spesifik, perubahan kelamin dan mengatur reproduksi. Sedangkan AROMATASE INHIBITOR adalah suatu bahan yang menghambat kerja aromatase dalam sintesis estrogen melalui penghambatan proses transkripsi sehingga tidak terbentuk aromatase dan melalui persaingan dengan substrat alami (testosteron) sehingga aktivitas aromatase tidak berjalan. Hal ini menyebabkan dampak akan terjadi maskulinisasi pada periode kritis.
Penelitian penggunaan Aromatase Inhibitor pernah dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar Jambi pada tahun 2009 bekerjasama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Aromatase Inhibitor yang digunakan adalah jenis Imidazole dengan dua metoda yaitu:
1) metode perendaman larva dengan dosis 25; 50 dan 75 mg/l; larva umur 1 hari setelah menetas direndam dalam larutan Aromatase Inhibitor selama 24 jam, dan
2)  pemberian Aromatase Inhibitor melalui pakan (oral feeding) dengan dosis 1.500; 1.750 dan 2.000 mg/kg pakan, benih umur 7-14 hari diberi pakan berhormon Aromatase Inhibitor selama 5 hari dengan frekuensi 3 kali/hari secara adlibitum.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan Aromatase Inhibitor melalui perendaman larva dengan dosis 75 mg/l menghhasilkan ikan nila jantan sebesar 96,88%; sedangkan penggunaan Aromatase Inhibitor melalui pakan dengan dosis 2.000 mg/kg pakan menghasilkan prosentase jantan sebesar 97%. Penggunaan Aromatase Inhibitor berkorelasi positif dengan prosentase jantan yang dihasilkan, dimana semakin tinggi dosis hormon Aromatase Inhibitor, maka prosentase nila jantan pun semakin tinggi serta tidak berdampak terhadap kelangsungan hidup larva selama pemeliharaan. Aromatase Inhibitor dapat digunakan sebagai alternatif pengganti penggunaan 17 α metiltestosteron dalam sex reversal (maskulinisasi ikan nila).
Adapun jenis Aromatase Inhibitor yakni:
1. Aromatase Inhibitor Non Steroid, contoh: Imidazole (1,3-diaza-2,4-cyclopentadiene) dan Fadrozole
2. Aromatase Inhibitor Steroid, contoh: 1,4,6-androstatrien-3,17-dione (ATD) dan 4-hidroxy–androstenedione (4-OH-A).
Perlu diketahui, Aromatase Inhibitor Non Steroid lebih efektif dalam menghambat aktivitas Aromatase dibandingkan dengan Aromatase Inhibitor Steroid.
1. Aplikasi Aromatase Inhibiting melalui Pakan (Oral feeding)
A. Membuat pakan berhormon:
a. Bahan: Aromatase Inhibitor (AI), Air tawar dan Pakan crumbel
b. Alat: Timbangan, beker gelas  dan stearer, Sprayer volume 1 liter dan nampan
c. Langkah kerja:
1. Timbang Aromatase Inhibitor sebanyak A gr,
2. Ambil air tawar sebanyak 250 ml,
3. Larutkan Aromatase Inhibitor dengan air tawar dan mixer,
4. Masukan larutan Aromatase Inhibitor kedalam sprayer,
5. Ambil pakan crumbel halus sebanyak B kg masukan kedalam nampan,
6. Semprot pakannya dengan larutan Aromatase Inhibitor lalu diaduk hingga rata,
7. Angin-anginkan hingga kering.
B. Aplikasi
1. Benih ikan nila umur 7-14 hari setelah menetas,
2. Benih dipelihara dalam happa di kolam,
3. Diberi pakan berhormon selama 5 hari, 3 kali/hari secara adlibitum,
4. Selanjutnya benih ikan diberi pakan biasa.
Aplikasi Aromatase Inhibitor melalui Perendaman Larva
A. Membuat larutan hormon:
a. Bahan: Aromatase Inhibitor (AI) dan Air tawar
b. Alat: Timbangan, Beker gelas dan stearer, dan Akuarium serta peralatan aerasi
c. Langkah kerja :
1. Timbang Aromatase Inhibitor sebanyak A mg (target dosis yang diinginkan),
2. Larutkan Aromatase Inhibitor kedalam air tawar sebanyak 0,5 liter dan mixer,
3. Masukan larutan Aromatase Inhibitor kedalam akuarium/baskom yang berisi air tawar (volume air sesuai target dosis).
B. Aplikasi:
1. Ambil larva ikan nila umur 1 hari,
2. Masukan kedalam larutan Aromatase Inhibitor dalam akuarium/baskom,
3. Rendam selama  24 Jam sambil diberi aerasi,
4. Larva dipelihara dalam aquarium selama 1 minggu,
5. Selanjutnya larva dipindahkan kedalam happa dikolam,
6. Beri pakan seperti biasa.
Sumber:
Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(1): 103 – 108 (2007)
Laporan Tahunan BBAT Jambi, 2009

1 comment: