Ikan
patin siam merupakan salah satu spesies ikan introduksi yang memiliki nilai
ekonomis untuk dibudidayakan. Hal ini disebabkan karena ikan patin siam
memiliki keunggulan antara lain laju pertumbuhannya cepat, fekunditas tinggi,
dapat diproduksi secara massal dan memiliki harga jual yang tinggi dan rasa
daging yang digemari oleh masyarakat (Susanto dan Amri, 2001).
Untuk
memenuhi permintaan ikan patin yang terus meningkat, maka dilakukan pengelolaan
induk. Salah satu tujuan dari pengelolaan induk adalah untuk mendapatkan benih
yang berkualitas dalam kuantitas yang memadai. Permasalahan dalam pengelolaan
induk ikan patin siam adalah rendahnya derajat tetas telur yang diakibatkan
karena tidak sesuainya kualitas pakan induk yang diberikan (Yulfiperius, et
al., 2003). Untuk mendapatkan benih yang cukup dan bermutu baik salah satu
caranya adalah dengan memperbaiki kualitas telur melalui perbaikan kualitas
pakan yang diberikan.
Komposisi
pakan yang baik dapat mempercepat perkembangan gonad dan fekunditas ikan
(Halver, 1976). Kandungan nutrisi yang terkandung dalam pakan mempengaruhi
proses reproduksi ikan terutama menyangkut lama waktu pemijahan dan kualitas
telur yang dihasilkan. Kendala utama dalam perbaikan kualitas pakan adalah
besarnya alokasi biaya untuk pengadaan pakan sekitar 60-70% dari komponen biaya
produksi. Hal ini disebabkan karena bahan baku pembuat pakan yakni tepung ikan
merupakan bahan baku impor. Hal ini menjadi sebuah masalah tersendiri dalam
budidaya ikan yang dapat berdampak pada menurunnya pendapatan para pembudidaya
ikan.
Upaya
yang dapat dilakukan untuk menekan biaya produksi adalah dengan cara mencari
bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai campuran pakan buatan, bahan
pakan alternatif tersebut harus mengandung kadar nutrisi yang tinggi dan mudah
didapat, yaitu dengan menambahkan bahan pakan alami dalam pakan induk. Pakan
alami sangat dibutuhkan untuk pengembangan ikan secara menyeluruh, terutama
pada saat atau menjelang pemijahan, karena kebutuhan asam amino esensial dan
asam lemak esensial dapat dipenuhi oleh pakan alami (Axelrod et al.,
1983).
Salah
satu pakan alami yang dapat digunakan sebagai pakan induk adalah tepung cacing
tanah. Cacing tanah dikenal sebagai umpan dalam kegiatan pemancingan ikan
(Chumaidi, 2005). Cacing tanah memiliki kadar protein yang tinggi yaitu 61,47%,
kadar lemak kasar 9,28%, dan karbohidrat 12%. Selain itu, cacing tanah juga
mengandung tokoferol dan vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan dan dapat
digunakan untuk memacu proses reproduksi ikan (www.o-fish.com).
Pemberian
kombinasi tepung ikan dan tepung cacing tanah untuk memacu proses reproduksi
pada ikan perlu diteliti lebih lanjut. Selain dapat memberikan informasi
tentang manfaat tepung cacing tanah terhadap proses reproduksi ikan, sekaligus
dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif induk patin siam (Pangasius
hypopthalmus).
METODE
Penelitian
dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 di Loka
Riset Perikanan Air Tawar Sukamandi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Obyek
penelitian ini adalah ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) yang diberi
pakan dari pelet dengan bahan baku campuran tepung cacing tanah.
Metode
yang digunakan adalah model eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap yang terdiri dari empat perlakuan yaitu: a) perlakuan kontrol yaitu
perlakuan tanpa penambahan tepung cacing tanah; b) penambahan tepung cacing
tanah sebanyak 10% dari total formulasi bahan pakan; c) penambahan tepung
cacing tanah sebanyak 20% dari total formulasi bahan pakan; dan d) penambahan
tepung cacing tanah sebanyak 30% dari total formulasi bahan pakan. Setiap
perlakuan masing-masing diulang sebanyak empat kali.
Parameter
Yang Diamati
Tingkat
Kematangan Gonad dan ukuran telur: Tingkat kematangan gonad dapat diketahui
dengan cara mengamati ciri-ciri dari organ seksual induk ikan patin siam betina
dengan menggunakan metode kanulasi (Effendi, 1997) dan pengukuran diameter
telur dilakukan di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Ukuran
telur ditentukan dengan mengambil contoh telur minimal sebanyak 100 butir telur
yang diletakkan di atas obyek glass dan diukur dengan menggunakan mikroskop
yang dilengkapi dengan mikrometer (Effendi, 1978).
Pemberian
Pakan Uji: Induk ikan patin siam betina diberi pakan dalam bentuk pelet
tenggelam. Pakan kontrol dan pakan uji diformulasikan berdasarkan kadar protein
yang dibutuhkan oleh ikan patin siam yaitu pelet dengan kadar protein sebesar ±
38%. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB sebanyak 1% perhari dari bobot
tubuh total induk.
Penentuan
Hewan Uji: Hewan uji yang digunakan adalah induk betina ikan patin siam yang
berumur ± 2 tahun dengan bobot ± 2 kilogram yang diperoleh dari Loka Riset
Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Sukamandi, Kabupaten
Subang Jawa Barat. Jumlah induk betina yang digunakan sebanyak 16 ekor. Jumlah
induk dalam perlakuan digunakan sebagai ulangan. Induk ikan patin siam jantan
yang digunakan berumur ± 1 tahun dengan bobot ± 2 kilogram sebanyak 16 ekor.
Seleksi
Induk: Induk yang digunakan dalam penelitian adalah induk-induk yang telah di
grading berdasarkan tingkat kematangan gonad yang sama. Dasar yang digunakan
untuk menentukan tingkat kematangan gonad adalah berdasarkan pertimbangan
morfologi yaitu warna dan perkembangan diameter telur. Induk-induk sebelum
dilakukan penelitian diletakkan di dalam jaring sesuai dengan perlakuan. Setiap
induk betina ikan patin siam diberi tagging agar mudah dalam memantau
perkembangan tingkat kematangan gonadnya. Pengamatan perkembangan tingkat matang
gonad induk betina ikan dapat dilakukan dua minggu sekali dengan cara diperiksa
secara morfologi dan dengan menggunakan metode kanulasi. Selain dengan cara
kanulasi, perkembangan tingkat kematangan gonad juga dapat dipantau dengan cara
mengukur diameter sampel telur di bawah mikroskop binokuler.
Pemijahan:
Induk disuntik pada bagian belakang sirip punggung sebelah kiri dengan
menggunakan jarum suntik steril. Dosis hormon HCG yang disuntikkan sebanyak 500 IU/kg induk
ikan patin siam betina. Setelah 24 jam, selanjutnya induk betina disuntik
dengan menggunakan ovaprim. Induk
disuntik pada bagian belakang sirip punggung sebelah kanan dengan menggunakan
jarum suntik steril. Dosis hormon ovaprim yang disuntikkan sebanyak 0,5 ml/kg
induk ikan patin siam betina. Setelah disuntik, ikan patin siam betina dicacat
nomor tagging (tanda) yang telah disuntikkan ke dalam tubuhnya. Induk patin
siam betina yang telah disuntik, dikembalikan ke dalam jaring. Kurang lebih
setelah 10 jam dari waktu penyuntikan kedua, dilakukan stripping yaitu mengurut
bagian perut dari depan ke arah lubang kelamin untuk mengeluarkan telur.
Telur
yang diperoleh ditampung ke dalam baki plastik. Sedangkan sperma yang diperoleh
ditampung di dalam mangkok. Kemudian sperma ditambahkan larutan fisiologis
(NaCl 0,9%) dengan perbandingan NaCl dan sperma sebesar 4:1. Kemudian diaduk
dengan menggunakan bulu ayam selama 1-2 menit. Langkah selanjutnya adalah
mencampurkan sperma yang sudah diencerkan ke dalam telur, Perbandingan induk
jantan dan betina adalah 1:1. Selanjutnya sperma yang telah dicampur dengan
telur, diaduk dengan menggunakan bulu ayam sampai merata selama ± 3 menit,
kemudian telur ditebar pada corong penetasan.
Pemeliharaan
Larva: Pemeliharaan larva dilakukan di toples pemeliharaan. Larva yang berumur
30 jam sampai dengan umur dua hari, larva diberi pakan nauplii artemia. Naupli
artemia diberikan setiap dua jam sekali.
Analisis
Data: Data dianalisis dengan menggunakan analisis komparatif dan analisis
asosiatif. Analisis komparatif dengan menggunakan analisis ragam (uji F) dan
apabila F hitung lebih besar daripada F tabel, maka dilanjutkan dengan uji
LSD.
HASIL
Hasil
pengamatan tingkat kematangan gonad pada awal penelitian menunjukkan bahwa
tingkat kematangan gonad induk patin siam betina berada pada tingkat kematangan
gonad (TKG) I yang bercirikan rata-rata diameter telur pada setiap perlakuan
berkisar antara 0,1 – 0,2 mm. Perkembangan diameter telur yang diambil dan
diukur sebagai indikator kematangan seksual pada ikan patin siam, yang diamati
tingkat kematangan gonad setiap dua minggu sekali sekali, menghasilkan
keragaman yang jelas.
Respons
tingkat kematangan gonad induk patin betina penambahan tepung cacing tanah
dalam pakan yang diberikan dapat dilihat dari kecepatan perkembangan tingkat
kematangan gonad pada setiap perlakuan yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar
1. Perkembangan Diameter Telur Perperiode Sampling pada Setiap Perlakuan
Hasil
pengamatan menunjukkan keragaman respons sintasan larva terhadap penambahan
tepung cacing tanah dalam pakan uji yang diberikan (Gambar 2).
Gambar
2. Nilai Rata-rata Sintasan Larva Ikan Patin Siam
Nilai
rata-rata sintasan larva ikan patin siam tertinggi terdapat pada perlakuan
pakan yang diberi penambahan cacing tanah sebesar 10% yaitu sebesar 59,57%
kemudian diikuti oleh perlakuan pakan yang diberi penambahan cacing tanah
sebesar 20%, 30% dan kontrol yang berturut-turut sebesar 59,45%, 59,4% dan
56,58%. Sintasan larva memberikan respons yang signifikan atas tingkat
penambahan tepung cacing (Tabel 1).
Tabel
1. Respons Sintasan Larva
Penambahan Tepung Cacing Tanah (%)
|
Rata-rata
|
|
Kontrol (0%)
|
56.58a
|
|
10%
|
59.57b
|
|
20%
|
59.45b
|
|
30%
|
59.4b
|
Keterangan: Notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji LSD pada taraf uji 5%.
Berdasarkan
pada Tabel 1. tampak bahwa sintasan larva dipengaruhi jumlah penambahan tepung
cacing tanah. Pakan dengan penambahan tepung cacing tanah sebesar 10%
menghasilkan sintasan larva yang tidak berbeda dengan penambahan tepung
sebanyak 20% dan 30%, begitu pula dengan pakan dengan penambahan tepung cacing
tanah sebesar 20% menghasilkan sintasan larva yang tidak berbeda dengan
penambahan tepung sebanyak 30%. Terdapat hubungan kuadratik antara jumlah
penambahan tepung cacing dengan sintasan larva yang ditunjukan dengan persamaan
Y = -0,008X2 + 0,335X + 56,814 dengan nilai R2 sebesar 0,622 (Gambar 3). Berdasarkan model di atas,
titik maksimal sintasan larva 60,32% diperoleh pada penambahan tepung cacing
optimal sebesar 21%. Nilai duga titik optimum ini tidak jauh berbeda dengan
nilai dugaan sementara pada 20%.
Gambar
3. Hubungan antara Sintasan Larva dengan
Penambahan Tepung Cacing Tanah
Pengukuran
kualitas air pada penelitian ini meliputi pengukuran suhu, pH, DO dan kadar
ammonia. Pengukuran kualitas air dilakukan pada setiap seminggu sekali selama
penelitian berlangsung. Kisaran parameter kualitas air di kolam pemeliharaan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel
2. Kisaran Parameter Kualitas Air di Kolam Pemeliharaan
Nomor
|
Keterangan
|
Parameter
Kualitas Air
|
||
Suhu ( 0C)
pH
|
DO
(mg/L)
|
Amonia ** ( mg/L)
|
||
1.
|
Kisaran yang terukur waktu
penelitian
|
6,11
28,4 – 31,3 –
7,95
|
4,1 – 7,91
|
0,05
|
2.
|
Kisaran yang disarankan*
|
25-30 6,0-8,0
|
>4
|
0,02
|
Keterangan
: **
Sunarma (2007)
** = data tidak berupa kisaran
PEMBAHASAN
Tingkat
Kematangan Gonad dan Ukuran Telur
Perlakuan
yang diberi penambahan tepung cacing menghasilkan proses pematangan gonad yang
lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak diberi penambahan tepung
cacing. Pada periode sampling yang ketiga dan keempat (Gambar 1.) jumlah sel
telur rata-rata yang ada pada diameter ukuran 0,6-0,8 (TKG III) maupun diameter
0,9-1,1 mm (TKG IV) pada perlakuan pakan yang diberi penambahan tepung cacing
tanah sebesar 10%, 20% dan 30% lebih banyak dibandingkan jumlah sel telur
rata-rata pada perlakuan kontrol.
Perbedaan
kecepatan perkembangan diameter telur ini diduga disebabkan karena adanya
perbedaan kandungan Highly Unsaturated Fatty Acid (HUFA) pada pakan uji yang
diberikan. Penambahan tepung cacing tanah meningkatkan kandungan HUFA pada
pakan uji serta menyebabkan perkembangan diameter telur pada ketiga perlakuan
ini menjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Selain itu,
kadar protein juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan diameter telur
ikan patin siam.
Izqueirdo
et al., (2001) menyatakan bahwa HUFA berperan secara langsung maupun tidak
langsung proses pematangan gonad dan proses steroidogenesis. Kadar HUFA pada
telur gilthead seabream akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar n-3
HUFA pada pakan yang diberikan, terutama peningkatan 18:3Ω-3, 18:4Ω-3 dan
20:5Ω-3 (EPA, asam eicopentaenoik) (Fernandez-Palacios et al.,1995).
Pakan
dengan kadar protein yang rendah mempengaruhi komposisi protein pada induk yang
kemudian digunakan oleh tubuh sebagai cadangan untuk pembentukan dan pematangan
gonad (Gunasekera et al., 1996; Al Hafedh, et al.,1999). Minissery et
al.,(2001) melaporkan bahwa tingkat pemberian protein akan berpengaruh terhadap
ukuran diameter telur pada common carp.
Selama
pengamatan diameter telur, masih banyak telur dengan diameter yang tidak
seragam. Hal ini yang menyebabkan minimnya jumlah induk yang dapat berovulasi.
Ketidakseragaman
diameter telur ini diduga terkait dengan perkembangan gonad yang kurang
optimal. Hal ini disebabkan karena energi dari pakan yang dikonsumsi yang
dialokasikan untuk kegiatan reproduksi tidak dapat terserap secara maksimal.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan energi dari pakan yang dikonsumsi adalah
faktor pakan dan lingkungan perairan. Penambahan tepung cacing dalam pakan uji
menyebabkan kadar abu yang terukur menjadi lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pakan kontrol. Tingginya kadar abu ini diduga akan menyebabkan
terjadinya penurunan penyerapan energi dari pakan yang diberikan (Badruzzaman,
1995).
Selain
itu, beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyerapan energi
dari pakan yang dikonsumsi oleh ikan patin siam antara lain kadar amoniak.
Kadar amoniak yang melebihi kadar yang dapat ditoleransi oleh induk ikan patin
akan menyebabkan penurunan nafsu makan induk ikan patin siam (Sari, 2009).
Selama penelitian, kadar amoniak yang terukur di lokasi penelitian menunjukkan
nilai yang melebihi ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ikan patin siam,
yaitu sebesar 0,05 mg/L sedangkan kadar amoniak di perairan yang dapat
ditoleransi oleh patin adalah sekitar 0,02 mg/L.
Menurunnya
nafsu makan pada ikan patin siam mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi.
Bila jumlah pakan yang dikonsumsi berkurang, maka alokasi energi untuk kegiatan
reproduksi ikan juga berkurang. Lebih jauh berkurangnya alokasi energi untuk
kegiatan reproduksi berdampak pada perkembangan gonad ikan patin siam.
Sintasan
Larva
Faktor
yang mempengaruhi sintasan larva adalah kualitas telur yang dihasilkan. Menurut
Laven dan Sorgeloos (1991) ada dua senyawa yang dinilai penting untuk
perkembangan larva yaitu Highly Unsaturated Fatty Acid (HUFA) dan Vitamin C.
Soliman et al. (1986) mengemukakan bahwa vitamin C dalam ransum yang diterima
oleh induk dapat ditransfer ke telur, dan disiapkan untuk perkembangan embrio.
Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperan dalam mendukung
perkembangan embrio (Sandnes, 1991). Selama perkembangan embrio, kandungan
vitamin C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto, dan Ikeda,
1987).
Selama perkembangan embrio kandungan vitamin C telur
cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto, dan Ikeda, 1987).
Ketersediaan vitamin C pada stadium awal ini sangat bergantung pada ransum yang
diterima oleh induk. Larva yang berhasil ditetaskan akan bergantung pada
cadangan yolksack yang ada sampai memasuki tahap membuka mulut ketika mulai
memakan pakan yang berasal dari luar (Watanabe dan Kiron, 1994) dan kemudian
larva akan terlepas dari beberapa komponen kimia pada telur (Watanabe et al.,
1984c; Verakunpiriya et al., 1996; Bell et al., 1997; Vassallo-Agius et
al.,1998; Almansa et al., 1999). Larva ikan patin berkembang setiap saat, mulai
dari organ hingga sifat-sifatnya termasuk sifat makannya.
Setelah
menetas, organ tubuh larva belum sempurna. Pada saat itu larva tidak makan,
tetapi akan menghabiskan kuning telur sebagai makanan cadangannya. Proses ini
berlangsung selama kurang lebih dua hari. Habisnya yolksack yang terdapat pada
embrio tergantung dari suhu pada saat pemeliharaan. Pada saat cadangan yolksack
yang menempel pada embrio habis, embrio akan berada pada fase peralihan makanan
dari yolksack ke pakan alami. Pada fase ini, merupakan fase kritis dalam
pemeliharan embrio. Embrio banyak mengalami kematian akibat perubahan pola
makan ini.
Ikan
patin siam tidak mampu mensintesis vitamin C sehingga untuk mempertahankan
metabolisme sel, vitamin C mutlak harus diperoleh dari luar tubuh (Faster dalam
Sandnes, 1991) yaitu dari penambahan vitamin C dalam pakan yang diberikan.
Ketidakmampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan karena tidak adanya enzim
L-gulunolakton oksidase yang berperanan penting dalam konversi L-gulunolakton
ke bentuk 2-keto-L-gulunolakton sebagai tahap akhir dalam sintesis vitamin C
(Chaterje dalam Soliman et al.,1986). Selain itu, vitamin C merupakan senyawa
yang labil terhadap panas dan mudah teroksidasi oleh udara (Halver, 1988).
Selama proses pembuatan pakan dan perendaman di air, kandungan vitamin C pakan
dapat berkurang, bergantung pada tipe vitamin C dan perekat makanan yang
digunakan (Sandnes, 1991).
Faktor
lain yang mempengaruhi sintasan larva adalah kondisi lingkungan. Kondisi
lingkungan merupakan salah satu faktor krusial dalam pemeliharaan larva.
Kondisi lingkungan yang memegang peranan penting adalah suhu. Pada saat
pemeliharaan larva, kisaran suhu yang terukur berkisar antara 28-300C. Kisaran
ini sesuai dengan kisaran yang dianjurkan pada saat pemeliharaan larva
(Sunarma, 2007).
Kualitas
Air
Parameter
suhu yang terukur, kisaran suhu di atas kisaran suhu yang disarankan untuk budidaya
ikan patin siam. Hal ini diduga disebabkan karena musim kemarau yang
berlangsung pada saat pelaksanaan penelitian. Kisaran pH dan DO yang terukur di
kolam penelitian masih dalam kisaran yang disarankan. Kadar amoniak yang
terukur, nilainya melebihi ambang batas yang disarankan. Hal ini diduga
disebabkan karena adanya pengaruh pemberian pakan dari penelitian-penelitian
sebelumnya yang mengendap di kolam pemeliharaan.
SIMPULAN
DAN SARAN
Simpulan
Pemberian
pakan dengan kandungan cacing tanah berbeda pada pakan uji induk ikan patin
siam menghasilkan respons reproduktif yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa
pemberian cacing tanah. Pemberian pakan dengan kandungan cacing tanah optimal
sebesar 21% menghasilkan respons sintasan larva yang maksimal sebesar 60,32%.
Saran
Penggunaan
tepung cacing tanah sebagai bahan pakan dengan penambahan sebanyak 21% dapat
dilakukan untuk meningkatkan respons reproduktif induk ikan patin siam dengan
sintasan yang maksimal. Perlu penelitian lanjutan tentang penggunaan penggunaan
tepung cacing tanah sebagai bahan pakan yang dapat merangsang proses reproduksi
ikan patin pada skala indoor.
Serta
perlu penelitian yang bertujuan untuk mengurangi kadar abu di dalam tepung
cacing tanah.
Hasil
karya ilmiah dan telah di publikasikan oleh :
ROMI
SUSANTI DAN ARIF MAYUDIN
Jurusan
Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak Jl. Ahmad Yani Pontianak 78124
DAFTAR
PUSTAKA
Alava
V.R., A. Kanazawa, S. Thesima dan S. Koshio. 1993. Effects Of Dietary Vitamin
A, E, And C On The Ovarian Development Of Penaeus Japonicus. Nippon Suisan
Gakkaishi. 59 (7): 1235-1241.
Axelrod,
H. R., C. Emmens, W. Burges, N. Pronek, G. Axelrod. 1983. Exotic Tropical
Fishes
(Expanded
Edition). T.F.H. Publications, Inc. 211 West Sylvania Aveneu, Neptune City.
1302p.
Badruzzaman,
Z. D. 1995. Pemberian Tepung Cacing Tanah sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam
Ransum terhadap Performansi Itik Tegal. Skripsi.
Effendi,
M. I. 1978. Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 112p.
Fernandez-Palacios
H., Izquierdo, M., Robaina, L., Valencia, A., Salhi, M., D. Montero. 1997. The
Effect of Dietary Protein and Lipid From Squid and Fish Meals on Eggs Quality
of Broodstock for Gilthead Seabream (Sparus aurata). Aquaculture 148, 233-246.
Ginzburg,
A. S. 1972. Fertilization in Fishes and The Problem of Polyspermy. Israel
Program for Scientific Translation, Jerusalem. 366pl.
Halver,
J. E. 1976. Fish Nutrition. London and New York: Academic Press. 713p.
Izquierdo.
M. S, Fernandez-Palacios H., Tacon, A.G.J. 2001. Effect of Broodstock Nutrition
on Reproductive Performance of Fish. Elsivier.
Sadness
K., Ulgenes, Y., Braekkan, O.R., F. Utne. 1984. The Effect of Ascorbic Acid
Supplementation in Broodstock Feed on Reproduction of Rainbow Trout (Salmo
gairdneri). Aquaculture 43, 167-177.
Sunarma,
A. 2007. Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus).
Sukabumi: BBPBAT.
Susanto
dan Amri. 2001. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Watanabe,
T. 1988. Fish Nutrition and Marine Culture. JICA Textbook The General
Aquaculture Course. Kanagawa International Fisheries Training Center, Japan
International Agency.
Watanabe
T., Fujimura, T., Lee, M.J., Fukusho, K., Satoh, S., T. Takeuchi. 1991b. Effect
of Polar and Nonpolar Lipids from Krill on Quality of Eggs of Red Seabream
Pagrus major. Nippon Suisan Gakkaishi 57 (4), 695-698.
Yulfiperius,
Ing Mokoginta, dan D. Jusadi. 2003. Pengaruh Kadar Vitamin E dalam Pakan
terhadap Kualitas Telur Ikan Patin (Pangasius hypothalmus). Jurnal Ikhtiologi
Indonesia, Volume 3 Nomor 1, Juni 2003.
0 comments:
Post a Comment