Banyak pihak menilai
kontribusi sektor perikanan Indonesia terhadap pembangunan ekonomi rakyat
maupun negara masih sangat kecil. Sepertiga dari devisa yang diperoleh dari
sektor perikanan adalah dari ekspor udang. Produksi Devisa yang diperoleh dari
sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang sebesar 125.596 ton pada tahun
2007 [1]. Banyaknya produksi udang ini akan
menghasilkan limbah yang banyak juga mengingat hasil samping produksi yang
berupa kepala, kulit, ekor dan kaki adalah sekitar 35%50% dari berat awal.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan
pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang.
Meningkatnya jumlah
limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya.
Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan
tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan,
terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang
bagus.
Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan
oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang
mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%)
(Marganof, 2003). Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan
dengan kulit atau cangkang kepiting. Hasil samping ini di Indonesia belum
banyak digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan,
terutama pengaruh pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD,
COD dan TSS perairan di sekitar pabrik cukup tinggi). Melalui pandekatan
teknologi yang tepat, potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi
senyawa polisakarida dimana di dalamnya termasuk chitin [(C8H13NO5)n]. Chitin ini dapat diolah lebih lanjut menjadi
chitosan [(C6H11NO4)n] dan glukosamin (C6H13NO5). Ketiga produk ini mempunyai
sifat mudah terurai dan tidak mempunyai sifat beracun sehingga sangat ramah
terhadap lingkungan.
Chitin dan chitosan
mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Penelitian yang sudah dilakukan
antara lain pada cumi segar, pindang dan ikan asin. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa chitosan mampu menggantikan formalin, bahkan mutu produk yang
dihasilkan lebih bagus dibandingkan dengan yang menggunakan formalin. Chitosan
merupakan zat anti bakteri, efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri, hal
ini disebabkan karena kitosan memiliki polikation alami yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan kapang. Chitosan merupakan bahan pengawet ikan selain
garam, karena itu chitosan dapat
diaplikasikan terhadap produk pindang sebagai pengganti formalin yang
marak akhir-akhir ini.
Masalah utama yang
dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di Indonesia adalah kualitas
produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan belum bisa diakses
oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum mengetahui fungsi
dari chitin-chitosan pada produk perikanan.
2. Metode Penelitian
Bahan untuk membuat
chitosan yaitu kulit ddang, NaOH 2% dan 60%, HCl 10%, sedangkan alat-alat yang
digunakan adalah panci stainless steel, pH meter, para-para, oven. Aplikasi
chitosan pada produk perikanan menggunakan chitosan, asam asetat, aqudes,
pindang ikan layang dan ikan manyung asap, sedangkan alat-alat yang digunakan
adalah gelas beker, gelas ukur, blender.
Pembuatan chitosan dari
kulit udang bersifat eksperimental laboratoris dengan menggunakan metode
Linawati Hardjito [10]. Uji laboratorium dilakukan pada chitosan yang
dihasilkan untuk memperoleh data primer mengenai kualitasnya dibandingkan
dengan chitosan standar. Selanjutnya chitosan tersebut diaplikasikan pada
produk perikanan yaitu pindang ikan layang (Decapterus sp) dengan dan tanpa
chitosan dan dilihat efektifitas daya awet penggunaan chitosan pada produk
olahan ikan.
Untuk mengetahui
kualitas produk olahan perikanan yang diberi khitosan digunakan uji
organoleptik. Uji organoleptik ini menggunakan
score sheet organoleptik berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Nilai score berkisar antara 1 dan 9, score 9 untuk hasil yang paling baik dan
score 1 untuk hasil yang paling jelek, sedangkan nilai ambang batas penerimaan
adalah pada score 5. Uji yang dilakukan meliputi spesifikasi terhadap
kenampakan secara keseluruhan (appearance), bau (odour) rasa dan aroma (taste).
Kekenyalan (teksture) dan warna (colour).
Selain itu dilakukan
uji TPC untuk mengetahui jumlah bakteri yang berkaitan dengan keefektifan
chitosan dalam menghambat kerja bakteri dilakukan uji laboratorium berdasarkan
metode SNI.
Pembuatan Chitosan dan
larutan Chitosan.
Prosedur pembuatan
chitosan berdasarkan [4] tampak pada Gambar 1, sedangkan pembuatan Larutan
Chitosan adalah sebagai berikut : Larutan kitosan dengan konsentrasi 0,25 %
dibuat dengan cara yaitu pertama-tama ditimbang kitosan yang masih dalam bentuk
serpihan sebanyak 25 g, lalu dilarutkan dengan asam asetat 1% sampai membentuk
larutan tersuspensi dan kemudian ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai
10 L. Pembuatan larutan chitosan
Prosedur pelapisan
chitosan. Selanjutnya pindang ikan layang dan ikan manyung asap dilapisi dengan
larutan chitosan yang telah dibuat. Larutan chitosan tersebut akan membentuk
“edible coating”. Prosedur pelapisannya adalah sebagai berikut:
1. Membuat larutan kitosan dengan
konsentrasi 0.25%.
2. Setelah proses pemindangan selesai,
selanjutnya ikan pindang dicelupkan ke dalam larutan kitosan (0,25%) selama 1
menit kemudian ditiriskan.
3. Dilakukan pengujian mutu yang meliputi
uji organoleptik dan TPC.
Rancangan Percobaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental laboratories.
Penelitian
eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi
terhadap objek penelitian serta adanya kontrol (Nazir, 1999). Rancangan dasar yang
digunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan
pola Petak Terbagi oleh Waktu (Split Plot in Time). Pada ikan pindang perlakuan
yang digunakan adalah pelapisan chitosan (0,25%) dan tanpa pelapisan chitosan
sebagai petak utuh (main plot) sedangkan lama waktu penyimpanan (0, 1, 2, dan 3
hari) sebagai petak bagian (sub plot), dan setiap perlakuan di ulang 3
kali.
3. Hasil dan Pembahasan
Analisis Fisika Kimia
Chitosan. Chitosan yang dihasilkan berupa serbuk terlebih dahulu dilakukan uji
chitosan yang bertujuan untuk mengetahui apakah chitosan yang digunakan masih
sesuai dengan standar atau tidak. Hasil analisis parameter standar fisika kimia
sampel chitosan dari cangkang Udang disajikan pada Tabel 1.
Parameter Hasil Penelitian yang dilakukan Standar (BRKP, 2006)
Kadar air 5,56% 10%
Kadar abu 0,8% 2%
Viskositas 120,5
cps 200 cps
Derajat
Deasetilasi 90% >70%
Rendemen 15%
Kadar air chitosan yang
dihasilkan mempunyai nilai 5,56% (Tabel 1), nilai ini sudah memenuhi standar
mutu yaitu harus dibawah 10%. Kadar air
yang tinggi juga akan menyebabkan chitosan cepat mengalami kerusakan/ terdegradasi
oleh jamur, karena kecenderungan chitosan untuk menarik uap air dari
lingkungannya/higroskopis. Kadar abu chitosan yang dihasilkan bernilai 0,8%
(Tabel 1), dan ini sudah memenuhi standar mutu yaitu harus dibawah 2%.
Viskositas chitosan yang dihasilkan mempunyai nilai 120,5 cps (Tabel 1),
menunjukkan bahwa chitosan yang dihasilkan bersifat encer dan dalam standar
umum (Tabel 1), bahwa chitosan tersebut tergolong chitosan yang mempunyai
viskositas rendah yaitu dibawah 200 cps. Proses demineralisasi sangat
berpengaruh terhadap viskositas chitosan yang dihasilkan, dimana semakin lama
proses dan semakin tinggi konsentrasi asam klorida yang digunakan akan
menurunkan viskositas dari chitosan karena terjadi depolimerisasi yang disebabkan
oleh proses demineralisasi yang menggunakan asam kuat .
Viskositas merupakan
faktor penentu dalam aplikasi komersialnya. Seperti dalam industri makanan yang
memerlukan chitosan yang berviskositas rendah, atau dalam industri lem/perekat
dan pengental yang
memerlukan chitosan
berviskositas tinggi karena mempunyai daya rekat yang tinggi (Fernandez-Kim,
2004). Kelarutan chitosan dalam asam asetat 1% bernilai 91% (Tabel 1). Nilai
ini menunjukkan bahwa chitosan yang dihasilkan mendekati larut sempurna.
Kelarutan chitosan sangat dipengaruhi oleh proses deasetilasi karena pada
proses deasetilasi terjadi perubahan gugus asetamida (NHCOCH3) pada chitin
menjadi gugus amin (NH2) pada chitosan. Gugus amin yang mempunyai ion H bebas
inilah yang berperan sebagai donor elektron dan menyebabkan chitosan mampu
larut dalam asam-asam organik. ikan layang tanpa chitosan dan dengan chitosan
Hasil penelitian
menunjukkan nilai organoleptik mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya
lama penyimpanan. Hasil organoleptik pada penyimpanan hari ke-3 telah ditolak
konsumen, menurut SNI No. 01-2717-1992 (lampiran 2) persyaratan organoleptik
pindang ikan Layang yaitu ≥7,0 dengan kriteria kenampaka utuh, bersih,
rapi,sangat menarik; bau harum, segar, spesifik jenis;
Aplikasi Chitosan pada
pindang ikan layang. rasa
sangat enak sekali, gurih, spesifik jenis;konsistensi padat, kompak, lentur,
cukup lembab; tidak berlendir; tidak tampak jamur.
Pindang ikan layang
yang telah dilapisi chitosan kemudian dilakukan pengujian organoleptik. Hasil
pengujian nilai organoleptik pindang ikan layang baik yang tidak dilapisi
chitosan maupun yang dilapisi chitosan disajikan pada Tabel 2.
Analisis mikrobiologi
yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis jumlah total bakteri (TPC)
yang meliputi TPC pada ikan Layang segar dan pindang ikan Layang yang disimpan
pada suhu kamar. Analisa
Penilaian organoleptik
yang dilakukan terhadap ikan pindang meliputi kenampakan, bau, rasa,
konsistensi, lendir, dan jamur. Hasil penelitian organoleptik ini merupakan
parameter untuk menentukan tingkat kesukaan dan penerimaan konsumen terhadap
produk pindang ikan layang tersebut, sehingga dapat ditentukan mutu serta batas
akhir penyimpanan yang ikan
Layang segar dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah koloni bakteri pada ikan
segar sehingga layak atau tidak untuk dijadikan sebagai bahan baku pindang
ikan, sedangkan analisa TPC pada pindang ikan Layang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pelapisan chitosan terhadap peningkatan jumlah koloni bakteri selama
penyimpanan. Adapun rata-rata nilai TPC ikan Layang segar adalah 1,6x104
Cfu/gr.
sejalan dengan
menurunnya penilaian organoleptik.
Perbedaan perlakuan
menghasilkan mutu secara organoleptik yang berbeda pada penyimpanan hari yang
sama, dimana pengolahan pindang air garam yang dilapisi chitosan menghasilkan
nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pengolahan pindang air garam yang tidak dilapisi chitosan. Pada
penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-1 dan ke-2 produk pindang air garam masih
layak dikonsumsi tetapi pada penyimpanan hari ke-3 produk sudah tidak layak
dikonsumsi.
Hasil analisis TPC ikan
segar menunjukkan bahwa ikan Layang segar masih dapat untuk dikonsumsi dan
diolah lebih lanjut menjadi pindang ikan karena mengingat SNI-01-2729-1992 yang
menyatakan bahwa persyaratan minimal ikan segar untuk dikonsumsi adalah
mempunyai TPC ≤ 5x105. Analisis mikrobiologi selanjutnya dilakukan pada pindang
ikan Layang sehingga dapat diketahui pengaruh pelapisan chitosan terhadap
peningkatan jumlah koloni bakteri pindang ikan. Nilai jumlah total bakteri
pindang ikan Layang tersaji.
Hasil Rata-rata uji
organoleptik pindang air garam selama penyimpanan
Spesifikasi Hari ke-0 Hari
ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
PK TPK PK TPK
PK TPK
PK TPK
Kenampakan 7.71±0.20 7.66±0.23
7.31±0.03 7.27±0.07 7.29±0.03
7.22±0.04 5.12±0.02 4.38±0.45
Bau 8.42±0.10 8.38±0.08
7.07±0.07 7.00±0.00 7.02±0.04
6.98±0.04 5.55±0.20 5.02±0.14
Rasa 7.38±0.14 7.31±0.03
7.13±0.07 7.02±0.04 7.02±0.04
6.87±0.12 4.07±0.07 3.89±0.14
Konsistensi 7.58±0.14 7.54±0.12
7.13±0.07 7.02±0.04 7.00±0.00
7.00±0.00 5.00±0.00 3.98±0.04
Lendir 7.80±0.18 7.71±0.20
7.00±0.00 7.00±0.00 6.95±0.04
6.78±0.04 4.24±0.15 3.22±0.08
Jamur 9.00±0.00 9.00±0.00
9.00±0.00 9.00±0.00 8.74±0.37
8.47±0.00 1.53±0.54 1.00±0.01
Rata-rata 7.98±0.13 7.93±0.11 7.44±0.04
7.39±0.02 7.34±0.08 7.22±0.04
4.25±0.16 3.50±0.14
Keterangan : nilai
merupakan hasil rata-rata tiga kali ulangan ± standart deviasi
PK : Pelapisan chitosan; TPK :Tanpa pelapisan
chitosan
Tabel 3. Nilai
rata-rata jumlah total bakteri (CFU/gr) pindang ikan Layang selama penyimpanan
(CFU/gr).
Lama penyimpanan
(hari) Perlakuan
PK TPK
0 2,4 X 103 4,5 X 103
1 1,2 X 104 3,8 X 104
2 6,4 X 104 7.5
X 104
3 2,8 X 105 3,7
X 105
Keterangan :
PK : Pelapisan Chitosan
TPK : Tanpa Pelapisan
Chitosan
Nilai logaritmik
rata-rata jumlah total mikroba (CFU/gr) pindang ikan Layang selama penyimpanan
suhu ruang
Perlakuan
Lama
Penyimpanan (Hari)
0 1
2 3
PK 3,37±0,16d 4,09±0,03c 4,80±0,05b 5,45±0,04a
TPK 3,65±0,08h 4,58±0,04g 4,87±0,09f 5,57±0,02e
Keterangan : -
• Nilai tersebut merupakan rata-rata tiga
ulangan±stndart deviasi
• Huruf superscript yang berbeda pada
baris yang sama memiliki pengaruh yang signifikan (p≤0,05), sedangkan huruf
superscript yang sama
memiliki pengaruh yang
tidak signifikan (p>0,05)
Data di atas telah
diuji secara statistik dan dinyatakan bahwa data TPC memiliki distribusi normal
melalui uji Kolmogorof-Smirnov Z sebesar 0,638 dengan signifikansi sebesar
0,810 dan data tersebut homogen melalui uji Test of Equality of error Variances
dengan nilai 2,366 dengan signifikansi sebesar 0,073, sehingga dapat diilanjutkan
untuk uji BNJ dengan metode Tukey.
Hasil ANOVA berdasarkan
lama penyimpanan pada suhu kamar menunjukkan Fhit : 450,461 > Ftab : 3,13
dan signifikansi 0,003 < 0,05 ada perbedaan yang nyata (p<0 13="" lampiran="" pada="" pindang.="" produk="" span="" style="mso-spacerun: yes;" tpc=""> 0>Demikian juga perlakuan
PK dan TPK menunjukkan Fhit : 32,329 > Ftab : 4,38 dan signifikansi 0,003
< 0,05 ada perbedaan yang nyata (p<0 pada="" pindang.="" produk="" span="">0>
Jumlah total bakteri
pindang ikan Layang mengalami peningkatan sejalan dengan lama penyimpanan. Pada
penyimpanan hari ke-2 semua perlakuan pindang ikan Layang masih dapat diterima
untuk dikonsumsi, tetapi setelah hari ke-3 pindang ikan telah ditolak untuk
dikonsumsi, karena jumlah total bakteri melebihi persyaratan minimal TPC yaitu
≥ 1x105 (SNI-01-27171992).
Hal ini disebabkan
karena selama penyimpanan bakteri telah mulai beradaptasi dengan lingkungannya,
kemudian melakukan aktivitas pertumbuhan sel melalui perombakan jaringan tubuh
pindang ikan dengan bantuan enzim [7][8], pada tahap lag fase, bakteri mulai
beradaptasi pada lingkungan pertumbuhannya. Pada fase ini bakteri mendapat
suplai energi untuk pertumbuhannya dari penguraian senyawa-senyawa dalam daging
pindang ikan yang dipercepat oleh enzim. Setelah lag fase kemudian bakteri
memasuki fase yang disebut dengan fase pertumbuhan logaritmik dimana sel-sel
mikroorganisme mulai memperbanyak diri yang kecepatannya dipengaruhi oleh
aktivitas air (Aw), suhu, pH, dan kandungan nutrisi.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pindang ikan Layang dengan
perlakuan pencelupan chitosan dapat menekan laju pertumbuhan bakteri
dibandingkan dengan pindang ikan Layang yang tanpa pencelupan dalam larutan
chitosan [9], diketahui bahwa jumlah koloni bakteri tanpa pelapisan chitosan
lebih pesat pertumbuhannya dibandingkan dengan pindang ikan dengan pelapaisan
chitosan. Chitosan juga dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat
yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan
sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang
minimal antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat dua
cara. Pertama, chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme
patogen dengan polication bermuatan positif.
Organisme pun tidak
bisa tumbuh atau bergerak. Kedua, chitosan akan melapisi kulit luar produk yang
diawetkan, sehingga rasa dari dalam tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar
tidak bisa masuk [10].
Kesimpulan
Chitosan udang yang
dihasilkan telah memenuhi standar Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2006).
Aplikasi chitosan terhadap hasil perikanan ikan layang pindang menunjukkan chitosan mampu menghambat laju
pertumbuhan bakteri sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengawet alami.
Pemanfaatan kulit udang
menjadi “edible coating” chitosan bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha
pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta
estetika lingkungan yang kurang bagus.
DAFTAR ACUAN
[1] Dadang WI, Enny PT, Yan Suhendar,
Syafnijal, Evi D. Hadi,
One Sucahyo. Bisnis Udang Mestinya Sudah Lepas Landas. 04 March 2008
.http://www.agrinaonline.com/show_article.php?rid=7&aid=122. Diakses
Agustus 2008
[2] Manjang, Y., Analisa Ekstrak Berbagai
Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Khitosan. Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) :
138 – 143, 1993
[3] Hirano. Production and Application of
Chitin and Chitosan in Japan. Dept of Agricultural Biochemistry.Tottori, Japan.
1990.
[4] ______., Bahan Alami Pengganti Formalin.
Antara. http://www.antara. Co.id.htm, 2006.
[5] Kurniawan, D. Pengaruh perendaman daging
kerang hijau (Perna viridis Linn.) dalam larutan karboksimetil kitosan terhadap
tingkat penurunan kandungan logam berat Hg, Cd, DAN Pb. Skripsi Sarjana
Fakultas Perikanan
0 comments:
Post a Comment