Alat Tangkap Cantrang
George et al, (1953) dalam Subani dan Barus (1989). Alat tangkap
cantrang dalam pengertian umum digolongkan pada kelompok Danish Seine yang
terdapat di Eropa dan beberapa di Amerika. Dilihat dari bentuknya alat tangkap
tersebut menyerupai payang tetapi ukurannya lebih kecil.
Cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap
ikan demersal yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang
dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri
dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp),
pelampung dam pemberat.
2. Sejarah Alat tangkap Cantrang
Danish seine merupakan salah satu jenis alat tangkap dengan metode
penangkapannya tanpa menggunakan otterboards, jaring dapat ditarik menyusuri
dasar laut dengan menggunakan satu kapal. Pada saat penarikan kapal dapat
ditambat (Anchor Seining) atau tanpa ditambat (Fly Dragging). Pada anchor
seining, para awak kapal akan merasa lebih nyaman pada waktu bekerja di dek
dibandingkan Fly dragging. Kelebihan fly dragging adalah alat ini akan
memerlukan sedikit waktu untuk pindah ke fishing ground lain dibandingkan
Anchor seining (Dickson, 1959).
Setelah perang dunia pertama, anchor seining dipakai nelayan
Inggris yang sebelumnya menggunakan alat tangkap Trawl. Dari tahun 1930 para
nelayan Skotlandia dengan kapal yang berkekuatan lebih besar dan lebih
berpengalaman menyingkat waktu dan masalah pada anchor seining pada setiap
penarikan alat dengan mengembangkan modifikasi operasi dengan istilah Fly
Dragging atau Scotish Seining. Pada Fly Dragging kapal tetap berjalan selagi
penarikan jaring dilakukan.
Dilihat dari bentuknya alat tangkap cantrang menterupai payang
tetapi ukurannya lebih kecil. Dilihat dari fungsi dan hasil tangkapannya
cantrang menyerupai trawl, yaitu untuk menangkap sumberdaya perikanan demersal
terutama ikan dan udang. Dibanding trawl, cantrang mempunyai bentuk yang lebih
sederhana dan pada waktu penankapannya hanya menggunakan perahu motor ukuran
kecil. Ditinjau dari keaktifan alat yang hampir sama dengan trawl maka cantrang
adalah alat tangkap yang lebih memungkinkan untuk menggantikan trawl sebagai
sarana untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan demersal. Di Indonesia cantrang
banyak digunakan oleh nelayan pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah terutama
bagian utara (Subani dan Barus, 1989)
3. Prospektif Alat Tangkap Cantrang
Setelah dikeluarkannya KEPRES tentang pelarangan penggunaan alat
tangkap Trawl di Indonesia tahun 1980, maka cantrang banyak dipilih nelayan
untuk menangkap ikan demersal, karena dilihat dari fungsi dan hasil
tangkapannya cantrang ini hampir memiliki kesamaan dengan jaring trawl.Indonesia sebagai
negara kepulauan memiliki
potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Indonesai
memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan 70% dari luas
Indonesia adalah lautan (5,8 juta km2) (Budiharsono, 2001). Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya
Perikanan Laut dalam
Budiharsono (2001) melaporkan
bahwa potensi lestari
sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,4 Juta ton/tahun
dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil yaitu sebesar 3,2 juta ton
pertahun (52,54 %), jenis ikan demersal 1,8 juta ton pertahun (28,96%) dan
perikanan pelagis besar 0,97 juta
ton pertahun (15,81%).
Potensi sumberdaya perikanan
yang sangat besar tersebut sesungguhnya dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi sampai saat
ini potensi tersebut
belum dioptimalkan (Efendy,2001)
Secara nasional potensi
lestari perikanan Indonesia
(6,4 juta ton/tahun baru termanfaatkan sebesar 63,5% atau sebesar 4,1
juta ton/th (63,3%). Terlihat tingkat pemanfaatan (exploitation rate) masih
jauh dari potensi lestarinya. Akan tetapi untuk wilayah tertentu terutama di
sekitar pulau-pulau yang padat penduduknya
(Pulau Jawa bagian utara, Selat
malaka, Selat Bali, dan lainya)
maka tingkat pemanfataanya sudah mendekati
bahkan melebihi ambang
kritis (overfishing) (Squires,
2003; Susilowati, 2002; Nikijuluw, 2002; Dahuri et al, 2001). Di Laut Jawa
hampir semua jenis sumber daya ikan di exploitasi secara berlebih yaitu
Ikan pelagis besar
250,85%; Ikan pelagis
kecil 149,27%; Ikan karang konsumsi 509,79%; udang peneid
463,68%; lobster 186% dan cumi-cumi sebesar 240,28. Sedangkan yang belum mencapai
exploitasi berlebih adalah jenis ikan
demersal yang baru
mencapai 89,07%. Secara
keseluruhan tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan di laut Jawa sampai dengan tahun 2001 mencapai sebesar 137,38.
(lihat Tabel .1)
Tabel 1
Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di Laut Jawa Tahun 2001
No
|
Kelompok Sumber Daya
|
Potensi
|
Produksi
|
Pemanfaatan
|
(103 ton/tahun)
|
(103 ton/tahun)
|
(%)
|
||
1
|
Ikan Pelagis besar
|
55,00
|
137,82
|
250,58
|
2
|
Ikan pelagis kecil
|
340,00
|
507,53
|
149,27
|
3
|
Ikan demersal
|
375,20
|
334,2
|
89,07
|
4
|
Ikan karang konsumsi
|
9,50
|
48,24
|
507,79
|
5
|
Udang Peneid
|
11,40
|
52,86
|
463,68
|
6
|
Lobster
|
0,50
|
0,93
|
186,00
|
7
|
Cumi-cumi
|
5,04
|
12,11
|
240,28
|
Total (Seluruhnya)
|
796,64
|
1094,41
|
137,38
|
Sumber: Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001
Dari
segi potensi wilayah, laut Jawa relatif kecil
dibandingkan wilayah lain, namun armada
penangkapan perikanan pada daerah ini sangat banyak. Hal ini disebabkan
pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan selama ini sektor perikanan
kebanyakan merupakan lahan pekerjaan yang sangat fleksibel dalam menampung pengangguran
yang semakin tinggi. Akibatnya terjadi eksploitasi sumberdaya perikanan
yang berlebihan sehingga
tangkap lebih (over
fishing) kebanyakan terjadi di
perairan yang padat
penduduknya. Hal ini
diperparah dengan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan dan fasilitas
penunjang lain yang terkonsentrasi di Pulau Jawa (Khusnul, dkk, 2003)
Kontribusi perikanan
Laut Jawa terhadap
ekonomi nasional sangat penting. Pada tahun 1997 perikanan
Laut Jawa memberikan kontribusi sekitar 31%
dari produksi perikanan laut nasional (Purwanto, 2002 dalam Khusnul dkk, 2003).
Karakteristik nelayan di Laut
Jawa umumnya merupakan
nelayan berskala kecil (small scale fishery) dengan alat tangkap
tradisional dan Perahu yang
digunakan dibawah 5
GT. Anggapan Laut
yang open acces
oleh masyarakat berakibat terjadi
kompetisi bebas antara
nelayan berskala kecil dengan
nelayan berskala besar
(large scale fishery).
Pada umumnya nelayan kecil menggunakan alat tangkap yang
kurang produktif, sehingga mereka selalu kalah.
Hal ini mengakibatkan
kemiskinan pada nelayan
kecil (Khusnul dkk, 2003). Dengan sifat
tradisional/konvensional menjadikan banyak nelayan kecil yang belum mampu
menggunakan input-input secara baik
(masih sembarangan dan belum mengetahui seberapa besar input yang
seharusnya digunakan).
Jawa
Tengah memiliki garis pantai 791,76 km terdiri atas panjang pantai utara 502,69
km dan panjang pantai selatan 289.07 km. Propinsi Jawa tengah memiliki potensi
sumberdaya perikanan laut yang sangat besar berupa berbagai jenis ikan
pelagis kecil (small
pelagic) dan ikan
damersal sebesar 796,640 ton/tahun (laut jawa) dan potensi
udang seperti tuna, Hiu, dan lain
sebagainya (samudra Indonesia sebesar 1.076.890 ton/tahun) (Renstra, 2003).
Nilai Produksi perikanan Jawa Tengah mengalami
fluktuasi dari tahun 1999-2002.
Walaupun hampir semua jenis
sumber daya ikan
di Laut Jawa
sudah tangkap lebih (overfishing) namun
produksi perikanan laut mengalami pertumbuhan
sebesar 0,36% sedangkan pertumbuhan
nilainya mencapai 6%
(table.1.2). Hal ini mengindikasikan
pemanfaatan perikanan di laut Jawa semakin besar sehingga pihak yang berwenang
harus mengontrol exploitasi
sumber daya ikan
di laut Jawa dan mengarahkan ke wilayah pengelolaan perikanan yang masih
bisa dikembangkan serta melakukan tindakan pengelolaan yang rasional
(pembatasan hasil tangkapan dan atau upaya penangkapan).
Susilowati, (2003).
Karakteristik
Menurut
George et al, (1953) dalam Subani dan Barus (1989). Dilihat dari bentuknya alat
tangkap cantrang menyerupai payang tetapi ukurannya lebih kecil. Dilihat dari
fungsi dan hasil tangkapan cantrang menyerupai trawl yaitu untuk menangkap
sumberdaya perikanan demersal terutama ikan dan udang, tetapi bentuknya lebih
sederhana dan pada waktu penangkapannya hanya menggunakan perahu layar atau
kapal motor kecil sampai sedang. Kemudian bagian bibir atas dan bibir bawah
pada Cantrang berukuran sama panjang atau kurang lebih demikian. Panjang
jarring mulai dari ujung belakang kantong sampai pada ujung kaki sekitar 8-12
m.
HASIL
TANGKAPAN
Hasil
tangkapan dengan jaring Cantrang pada dasarnya yang tertangkap adalah jenis
ikan dasar (demersal) dan udand seperti ikan petek, biji nangka, gulamah,
kerapu, sebelah, pari, cucut, gurita, bloso dan macam-macam udang (Subani dan
Barus, 1989).
DAERAH
PENANGKAPAN
Langkah
awal dalam pengperasian alat tangkap ini adalah mencari daerah penangkapan
(Fishing Ground). Menurut Damanhuri (1980), suatau perairan dikatakan sebagai
daerah penangkapan ikan yang baik apabila memenuhi persyaratan dibawah ini:
1.
Di daerah tersebut terdapat ikan yang melimpah sepanjang tahun.
2.
Alat tangkap dapat dioperasikan denagn mudah dan sempurna.
3.
Lokasi tidak jauh dari pelabuhan sehingga mudah dijangkau oleh perahu.
4.
Keadaan daerahnya aman, tidak biasa dilalui angin kencang dan bukan daerah
badai yang membahayakan.
Penentuan
daerah penangkapan dengan alat tangkap Cantrang hampir sama dengan Bottom
Trawl. Menurut Ayodhyoa (1975), syarat-syarat Fishing Ground bagi bottom trawl
antara lain adalah sebagai berikut:
Ø
Karena jaring ditarik pada dasar laut, maka perlu jika dasar laut tersebut
terdiri dari pasir ataupun Lumpur, tidak berbatu karang, tidak terdapat
benda-benda yang mungkin akan menyangkut ketika jaring ditarik, misalnya kapal
yang tengelam, bekas-bekas tiang dan sebagainya.
Ø
Dasar perairan mendatar, tidak terdapat perbedaan depth yang sangat menyolok.
Ø
Perairan mempunyai daya produktivitas yang besar serta resources yang melimpah.
0 comments:
Post a Comment