Udang
windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan salah satu komoditas asli Indonesia
(native species) yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi. Produksi udang
windu Indonesia pada perkembangannya mengalami penurunan produksi yang
diantaranya disebabkan serangan bakteri udang menyala (luminescent vibriosis)
oleh bakteri Vibrio. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif karena
bersifat resisten dan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia. Upaya
yang dapat dilakukan adalah penggunaan musuh alami hama penyakit dan patogen seperti
bakteri antagonis.
Lactobacillus spp,
dilaporkan efektif menghambat vibriosis,
Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum, Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri
Vibrio.
Pemanfaatan
bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari
segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan
penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan dan
mempersiapkan suatu sistem akuakultur organik yang akhir-akhir ini semakin kuat
sehingga penggunaan bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan
sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia.
Penyebab
penyakit udang menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan wabah
pada awal tahun 1990 hingga sekarang (Irianto, 2003). Hal ini terjadi karena
merosotnya mutu lingkungan budidaya yaitu mutu air sumber dari perairan di
sekitarnya dan mutu lingkungan tambak sendiri (Atmosumarsono et al., 1995).
Bakteri Vibrio melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan
kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran. Prayitno
(1994) menyebutkan bahwa dari segi ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit
vibriosis ini melemahkan roda industri udang nasional.
Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan
penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan
antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena
tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pada dosis tertentu justru
berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen
terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994).
Salah
satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberlanjutan daya dukung
ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi bahan kimia dan
obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan patogen. Program
eksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit
akan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian hama dan penyakit
terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik
Salah
satu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis terhadap patogen udang
yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem tambak. Lactobacillus
spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan
Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum
(Gram et al., 1999), Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari
tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005). Pemanfaatan bakteri antagonis
sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari segi ekosistem
akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik
sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem
keamanan hayati untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi
budidaya udang.
Bakteri
Vibrio sp.
Bakteri
Vibrio merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan estuaria.
Umumnya bakteri Vibrio menyebabkan penyakit pada hewan perairan laut dan payau.
Sejumlah spesies Vibrio yang dikenal sebagai patogen seperti V. alginolyticus,
V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyii, V. ordalii dan V.
vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987) Vibrio sp. menyerang lebih
dari 40 spesies ikan di 16 negara. Vibrio sp. mempunyai sifat gram negatif, sel
tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau lurus, berukuran
panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 – 1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella
polar (Gambar 1). Menurut Pitogo et al.,
(1990), karakteristik spesies Vibrio berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio
adalah oksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji
O/129 (Logan, 1994 cit. Gultom, 2003).
Bakteri
Vibrio sp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif
tinggi. Menurut Rheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri
berpendar bersifat halofil yang tumbuh optimal pada air laut bersalinitas
20-40‰. Bakteri Vibrio berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat
hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 - 9 dan
tumbuh optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et
al., 1984 cit. Herawati, 1996).
Penyakit
Vibriosis Udang Windu
Genus
Vibrio merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut
seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang berpendar umumnya
menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri
Vibrio menyerang larva udang secara sekunder yaitu pada saat dalam keadaan
stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri ini termasuk
jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada tahap postlarva dan koloni
Vibrio sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian pakan yang tidak terkontrol
mengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar tambak sehingga menyebabkan
terbentuknya lapisan anaerob yang menghasilkan H2S (Anderson et al., 1988 cit.
Muliani, 2002). Akibat akumulasi H2S tersebut maka bakteri patogen
oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah berkembang dan memungkinkan
timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al., 1993 cit. Muliani, 2002).
Ciri-ciri
udang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang
lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red
discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat
menyala (Sunaryoto et al., 1987). Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan
gejala nekrosis. Gambar 2 menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda) dan kaki
jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi. Bagian mulut yang kehitaman adalah
kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut.
Tingkat
patogenesis bakteri ditentukan oleh suatu mekanisme dalam proses pertumbuhan.
Menurut Greenberg (1999) cit. Muliani (2002) suatu mekanisme yang umum untuk
mengontrol kepadatan populasi bakteri gram negatif adalah dengan menghambat
komunikasi antar sel. Kemampuan komunikasi satu sama lain terjadi setelah
mencapai quorum sensing yang terjadi karena adanya suatu senyawa acylhomoserine
lactone. Sifat virulensi Vibrio harveyii berkaitan erat dengan fenomena
bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing.
Resistensi
Bakteri Vibrio terhadap Antibiotik
Penyakit
udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. masih menjadi fokus perhatian utama
dalam produksi budidaya udang. Penggunaan antibiotik dalam budidaya udang
adalah mahal dan merugikaqn karena dapat memunculkan strain bakteri yang tahan
terhadap antibiotik serta munculnya residu antibiotik dalam kultivan (Decamp
dan Moriarty, 2006a). Antibiotik merupakan suatu senyawa kimia yang sebagian
besar dihasilkan oleh mikroorganisme, karakteristiknya tidak seperti enzim, dan
merupakan hasil dari metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yang berlebih
pada tubuh manusia dapat menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik
yang digunakan. Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya
sel mikroba oleh antibiotik (Gan et.al., 1987 dalam Putraatmaja, 1997).
Sejumlah isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari hatcheri udang windu di
Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti
spektinomisin, amoksisilin, kloramfeni¬kol, eritromisin, kanamisin,
tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak
antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap
ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006).
Bakteri
Antagonis
Salah
satu pengendalian bakteri patogen adalah mempertemukan dengan bakteri
antagonisnya. Vershere et al. (2000) cit. Isnansetyo (2005) mengemukakan bahwa
bakteri antagonis dalam perannya sebagai agen pengendalian hayati melalui
mekanisme menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, kompetisi
pemanfaatan senyawa tertentu atau kompetisi tempat menempel, mempertinggi
respon imun inang, meningkatkan kualitas air dan adanya interaksi dengan
fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan sebagai agen pengendalian hayati
dimasukkan dalam istilah probiotik.
Menurut
Gatesoupe (1999), probiotik merupakan mikrobia yang diberikan dengan berbagai
cara sehingga masuk dalam saluran pencernaan dengan tujuan mempertinggi derajat
kesehatan inang.
Menurut
Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006),
pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alamiah untuk mengurangi
kerusakan yang ditimbulkan oleh organisme yang berbahaya atau pengaturan
populasi penyakit oleh musuh alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994) menyatakan
bahwa populasi bakteri Vibrio harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat
ditekan dengan cara mengintroduksikan bakteri tertentu yang diisolasi dari
perairan laut di sekitar tambak atau pembenihan udang.
Tetraselmis
suecica dilaporkan mampu menghambat Aeromonas hydrophila, A. salmonidica,
Serratia liquefaciens, Vibrio anguilarum, V. salmonisida, Yerisnia rockery
(Austin et al., 1992), Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat
vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens
dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp., dan
Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio
(Suprapto, 2005).
Bakteri
Vibrio sp. NM 10 yang diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat antagonis
terhadap Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan berat molekul
kuang dari 5 kDA. Protein tersebut diduga bacteriocin atau senyawa serupa
bacteriocin (bacteriocin like substance) (Sugita et al., 1997 cit. Isnansetyo,
2005). Bacteriocin adalah senyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri asam
laktat (Ringo and Gatesoupe, 1998). Kamei dan Isnansetyo (2003) menemukan
Pseudomonas sp. AMSN mampu menghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus karena
menghasilkan senyawa 2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp. NM 12 yang
diisolasi dari intestine ikan Callionymus sp. mampu menghambat Vibrio vulnificus RIMD 2219009
dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita et al., 1998). Siderofor merupakan
protein spesifik pengikat ion Fe dengan berat molekul rendah yang mampu
melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme tersebut merupakan kompetisi
pemanfaatan senyawa tertentu oleh mikroorganisme.
Manfaat
Penggunaan Bakteri Antagonis
1. Ramah
Lingkungan
Pengendalian
dan pengobatan penyakit akibat infeksi bakteri sebagian besar bertumpu pada
penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada
kenyataannya belum memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru
menimbulkan dampak negatif antara lain meningkatkan resistensi bakteri-bakteri
patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994), karena bakteri
sangat mudah mengembangkan sistem ketahanan terhadap antibiotik yang kemudian
menjadi masalah utama di dunia akuakultur. Residu antibiotik dalam jaringan
tubuh udang juga mengakibatkan penolakan udang di pasar dunia.
Bergesernya
paradigma konsumen udang menuju keamanan pangan dan kelestarian lingkungan
mengharuskan pembudidaya udang untuk merevisi visi dan misinya agar budidaya
tetap berlanjut. Salah satu alternatif sebagai upaya untuk menjamin
kelangsungan produksi, mencegah dan menanggulangi penyakit vibriosis pada
budidaya udang windu adalah melalui pendekatan
pengendalian hayati.
Pendekatan pengendalian hayati dilakukan melalui
penggunaan probiotik dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme yang dapat
menekan atau mendegradasi substrat pengganggu bagi organisme yang dibudidayakan
tanpa menimbulkan dampak buruk terhadap sistem keseimbangan ekologis mikrobia,
ramah lingkungan, serta tidak meninggalkan residu (food security dan food
safety). Pengendalian hayati dalam akuakultur dengan menggunakan probiotik
antagonis salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk
menciptakan sistem akuakultur yang ramah lingkungan. Pengendalian hayati ini
dapat diterapkan pada berbagai tahapan akuakultur dan pada berbagai komoditas
perikanan serta terhadap berbagai patogen.
2. Mengurangi
Penggunaan Antibiotik
Pengendalian
dan pengobatan penyakit akibat infeksi Vibrio harveyi sebagian besar bertumpu
pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut
pada kenyataannya belum memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru
menimbulkan dampak negatif antara lain meningkatkan resistensi bakteri-bakteri
patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Antibiotik pada budidaya udang
digunakan untuk pengobatan serta profilaksis (pencegahan). Profilaksis
dilakukan dengan pengunaan antibiotik pada dosis rendah dalam jangka panjang.
Pada kenyataannya, usaha semacam ini tidak menekan penyakit, tetapi bahkan
menjadi pemicu resistensi patogen terhadap antibiotik.
Udang
sebagai komoditas mewah perlu mendapatkan perhatian khusus dalam hal ini,
karena devisa yang didapat dari udang cukup besar yaitu diperkirakan sekitar
630 juta dolar dan tertinggi dibanding pendapatan dari spesies budidaya yang
lain (Dahuri, 2004). Alasan kedua adalah pasar ekspor udang sudah jelas.
Akhir-akhir
ini ekspor udang terhambat oleh ecolabelling, petisi anti dumping dan isu
antibiotik. Sehingga harga udang jatuh pada akhir tahun 2003 (Suryadarma,
2004). Peristiwa ini cukup beralasan karena timbulnya kesadaran dari masyarakat
terhadap kesehatan dan lingkungan. Selanjutnya muncul kampanye di negara maju
untuk tidak makan udang tropis dengan alasan lingkungan. Menurut Isnansetyo
(2005), pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting
karena dengan penggunaan bakteri antagonis dapat mengurangi dan bahkan
menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya yang
ramah lingkungan.
3. Aplikasi keamanan
hayati dalam Industri Budidaya Udang
Aplikasi
keamanan hayat dimaksudkan sebagai upaya pengaturan agar tambak tidak
terinfeksi/terkontaminasi penyakit serta mengupayakan agar tambak tidak menjadi
sumber penularan penyakit bagi tambak lainnya (Haris, 2007). Lebih lanjut Fegan
dan Clifford (2001) menambahkan bahwa aplikasi prinsip-prinsip keamanan
hayati pada tambak udang telah terbukti efektif membantu mengurangi
risiko kerugian karena penyakit dan dapat meningkatkan produksi. Haris (2007)
menambahkan bahwa salah satu penerapan
keamanan hayati pada praktik
manajemen produksi budidaya adalah dengan aplikasi teknologi probiotik yang
ramah lingkungan. Metode ini diyakini menjadi solusi terkini yang paling
efektif mencegah risiko kerugian akibat penyakit.
Konsep
aplikasi keamanan hayati dalam budidaya udang diutamakan adalah
pengendalian benih udang (karantina vertikal) dan lingkungan (karantina
horizontal) bebas dari patogen. Sistem ini dipraktikkan dengan penebaran benih
udang bebas patogen, SPF (specific pathogen free) kedalam tambak yang sumber
airnya dikontrol dengan baik (Lightner, 2003). Aplikasi bakteri antagonis dapat
digunakan sebagai alternatif profilaksis yang tepat terhadap penggunaan bahan
kimia, termasuk antibiotik dna biosida. Bakteri antagonis dapat berkompetisi
dengan bakteri patogen dalam perebutan nutrisi makanan sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
Pengembangan
Bakteri Antagonis
Tahapan
pengembangan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati dapat dilakukan
melalui:
1. Seleksi
Bakteri Antagonis
Seleksi
dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendali hayati dari populasi
alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen, atau mutan yang
tidak patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan
identitas calon agen pengendali hayati perlu dikua¬sai dengan baik agar
pengembangannya di masa datang tidak menjadi masalah. Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol telah melakukan penelitian tentang pengendalian Vibrio
Harveyii secara biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat
bakteri penghambat yaitu GSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al., 1998).
Berdasarkan uji biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolat
GSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus sedangkan isolat
GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum.
Suatu
strain dalam satu spesies dapat dijadikan sebagai agen pengendalian hayati
tetapi strain yang lain dalam spesies tersebut mungkin tidak mempunyai
kemampuan sebagai pengendali hayati terhadap patogen yang sama. Selain itu
suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifat patogen tetapi strain
lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagai pengendali hayati. Sebagai
contohnya Vibrio alginolyticus. Strain dari bakteri Vibrio tersebut dapat
digunakan sebagai agen pengendali hayati dalam budidaya salmon (S. salam),
udang windu (Penaeus monodon) dan udang vannamei (Litopneaeus vannamei),
walaupun strain lain dari Vibrio alginolyticus juga diketahui sebagai patogen.
2. Uji
Efektivitas Bakteri Antagonis
Tahap
kedua adalah menguji keefektifan agen pengendali hayati dalam kondisi terbatas
dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen target.
Apabila suatu agen pengendali hayati menunjukkan penekanan terhadap patogen
target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap
pengujian terbatas dalam kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji
sensitivitas bakteri antagonis telah dilakukan oleh Roza et al., (1999)
terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033.
Berdasarkan
hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolat bakteri
penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai aktivitas dalam menekan
perkembangan Vibrio Harveyii. Hal ini terlihat dengan adanya zona hambat di
sekeliling kertas sensitivity disk yang bebas dari Vibrio Harveyii (Tabel 1),
sedangkan dalam aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033
dalam pemeliharaan larva udang dapat menekan perkembangan Vibrio harveyii
dengan skala pemeliharaan yang lebih besar.
Hasil
aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaan larva udang dapat
dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan
GSB-95033 tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii dalam
air pemeliharaan larva udang windu sampai kepadatan yang jauh lebih rendah
yakni 5,3 x 102 cfu/ml dengan sintasan 67,8% dan 9,9 x 102 cfu/ml dengan
sintasan 63,5%, dibandingkan dengan kontrol 8,7 x 104 cfu/ml dengan sintasan
lebih rendah 18,1%.
Apabila
pada tahap ini kemampuan agen pengendali hayati masih konsisten dalam menekan
perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang
dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang, biasanya agen pengendali hayati
harus diformulasikan secara lebih baik. Dalam proses pembuatan formula, semua
bahan yang digunakan harus dipastikan tidak akan menimbulkan kerusakan pada
target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun
calon agen pengendali hayati masih menunjukkan potensi penekanan yang stabil
maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan.
3
Komersialisasi
Tahap
terakhir adalah komersialisasi agen pengendali hayati, pada tahap ini
diperlukan peran industri untuk memperbanyak agen pengendali hayati secara
massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan terstandar.
Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari suatu agen pengendali
hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya. Beberapa agens
hayati berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan atau mempunyai
hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia,
hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu
dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu
agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan 1997) tentang
agen hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan
informasi mengenai kejelasan identitas dari bahan aktif, karakteristik biologi,
data toksisitas, dan data residu serta toksisitas bagi lingkungan.
Aplikasi
Bakteri Antagonis
Aplikasi
pengendalian hayati ini dapat dicobakan mulai dari penyediaan pakan alami yaitu
fitoplankon (S. Costatum) dan zooplankon (Brachionus dan Artemia) pada
pemeliharaan larva, post larva, maupun benih. Inveksi patogen khususnya pada
stadium larva dan post larva sangat tinggi karena sejak kecil udang terpapar
dalam air yang banyak mengandung mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis
dapat diterapkan dalam pembuatan pakan obat yaitu dengan menambahkan probiotik
dari bakteri antagonis. Pakan tersebut diharapkan dapat membantu menciptakan
mekanisme pertahanan tubuh udang, sehingga udang tidak mudah terserang
vibriosis. Suprapto (2005) menggunakan formulasi pakan obat dengan metode
pembuatan.
Probiotik
antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5x103 sel/ml dicampurkan ke dalam
pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri
selama 48 jam pada TSA pada suhu 250C dengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri
kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xg selama 15 menit. Sel dimasukkan
kedalam 100 ml physiological saline (0,85% NaCl) sebanyak 2,5x105 sel/ml dan
dicampur dengan jumlah yang sama dengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam
1 kg pakan dengan cara mengaduk selama 30 menit untuk mendapatkan dosis
eqivalen 25x103 sel/g pada pakan dengan jumlah kandungan minyak ikan sebanyak
10% (w/v).
Penciptaan
lingkungan pemeliharaan larva udang windu yang betul-betul bebas bakteri Vibrio
sulit dilakukan karena bakteri tersebut dapat masuk melalui berbagai sumber,
antara lain air laut, induk udang, dan makanan alami. Bakteri Vibrio harveyii
tidak perlu dikendalikan sampai habis, tetapi hanya perlu dikendalikan
populasinya pada batas aman, yaitu kurang dari l04 sel/ml. Inokulasi secara
langsung dilakukan melalui pemberian bakteri antagonis kedalam bak pemeliharaan
dengan dosis 106 cfu/ml setelah dilakukan pergantian air (Susanto et al.,
2005). Aplikasi bakteri antagonis dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu
jangka pendek (short duration), panjang (prolonged treatment), dan tidak
terbatas (indefinite treatment).
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengendalian hayati pada budidaya udang
windu merupakan salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan
untuk menciptakan sistem akuakulur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,
serta dapat mengurangi penggunaan antibiotik
2. Pengembangan bakteri antagonis sebagai
langkah keamanan hayati dilakukan melalui tahap seleksi
bakteri antagonis nonpatogen, pengujian efektivitas dan uji lapang, serta
komersialisasi agen pengendali hayati.
3. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai
agen pengendalian hayati akan semakin
penting, yaitu guna mempersiapkan sistem akuakultur organik sehingga aplikasi
bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar
budidaya udang organik Indonesia.
Saran
1. Beberapa jenis bakteri antagonis telah
diketahui, namun bakteri antagonis tersebut bersifat spesifik di setiap daerah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi potensi agar bakteri antagonis
dapat dimanfaatkan optimal.
2. Perlunya kerjasama terpadu antara
berbagai pihak, pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha untuk memajukan
budidaya udang windu Indonesia.
0 comments:
Post a Comment