Era
kejayaan budidaya udang windu telah berlalu dan sekarang menghadapi masa sulit
yang berkepanjangan di wilayah Kabupaten Pati. Berbagai bakteri yang umum yang
sering ditemukan sebagai penyebab penyakit pada krustasea, antara lain Vibrio
spp., Aeromonas spp., Salmonella spp.
1. Vibrio spp.
Salah
satu spesies dalam kelompok ini yang paling banyak menyebabkan penyakit dan
kematian pada budidaya krustasea adalah Vibrio harveyi. Bakteri ini merupakan
penyebab penyakit kunang-kunang atau penyakit berpendar, karena krustasea yang
terinfeksi akan terlihat terang dalam keadaan gelap (malam hari). Pada dasarnya
bakteri ini bersifat oportunistik dan akan menjadi patogen jika pada media
pemeliharaannya terjadi goncangan secara drastik, seperti perubahan suhu, pH,
salinitas dan faktor lainnya. Menurut ROZA & ZAFRAN (1998) batas aman
keberadaan populasi bakteri di dalam bak pemeliharaan adalah 8,35 x 104
koloni/ml. Bakteri ini merupakan penyebab utama terhadap tingginya tingkat
kematian pada larva krustasea.
Jenis-jenis
bakteri selain Vibrio harveyi yang dapat menyebabkan penyakit pada krustasea,
adalah V. carcharial, V. alginolyticus dan V. parahaemolyticus (PANRENRENGI et
al, 1993). Patogenesitas ketiga bakteri tersebut terhadap larva krustasea pada
stadium zoea msoh lebih rendah dibandingkan V. harveyi. Selain ketiga bakteri
Vibrio di atas, Vibrio anguillarum juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit
yang menyebabkan kerusakan lapisan khitin pada kulit, sehingga terjadi
luka-luka di pinggiran kulit pada ruas perut I-III dan uropoda disertai dengan
timbulnya bercak-bercak hitam pada luka, karena terjadinya akumulasi pigmen
hitam. Kasus ini hampir selalu dijumpai pada stok induk udang yang disimpan
dalam bak.
Selain
menimbulkan penyakit pada biota budidaya, bakteri dapat pula mengkontaminasi
biota budidaya, sehingga ketika biota tersebut dikonsumsi akan menimbulkan
penyakit/ keracunan pada konsumen. MOLITORIS et al, dalam INDARYANTI (1999)
berhasil mengisolasi 2 jenis Vibrio, yaitu V alginolyticus dan V.
parahaemolyticus dari Teluk Jakarta dari berbagai makanan laut, antara lain
ikan mackerel, udang dan cumi-cumi. Selanjutnya disimpulkan bahwa kedua jenis
Vibrio ini merupakan jenis bakteri laut setempat (autochthonous). Vibrio
parahaemolyticus dikenal sebagai penyebab gastroenteritis di hampir seluruh
dunia dan dapat diisolasi dari makanan laut serta tempat-tempat perairan
estuaria, neritik dan teluk.
Vibrio
alginolyticus dan V. parahaemolyticus merupakan agen penyebab septikemia pada
udang saat periode larva dan post larva. Penyakit ini timbul sebagai akibat
penyebab lain yaitu defisiensi vitamin C, toksin, luka dan karena stres berat
(LIGHTNER dalam DARMONO, 1995). Vibrio parahaemolyticus mampu menyebabkan lisis
pada sel-sel darah tubuh inang.
Sebagai
organisme aquatik, Vibrio spp mempunyai kelimpahan yang tinggi pada lingkungan
perairan dan biasanya berhubungan erat dengan organisme laut. Umumnya bakteri
ini merupakan patogen oportunistik untuk hewan poikiloterm dan homoioterm di
perairan (PARKINS, 1990).
2. Aeromonas spp
Aeromonas
spp, terutama dari jenis Aeromonas hydrophila, merupakan bakteri yang dapat
ditemukan secara luas dalam lingkungan perairan dan telah lama diketahui sebagai
bakteri patogen bagi biota air tawar maupun air laut, karena bakteri Aeromonas
spp ini bersifat saprofitik dan parasit obligat (POST, 1983). Hal ini telah
dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu dari 10 sampel
yang berasal dari berbagai lingkungan media pemeliharaan kepiting, hanya satu
sampel yang tidak mengandung bakteri Aeromonas spp. Selain itu RUYITNO &
HATMANTI (2001) dalam penelitiannya di perairan Kuala Tungkal Jambi, telah
menemukan bakteri Aeromonas spp. dan Proteus spp. pada 12 contoh air. Bakteri
ini mampu hidup optimal pada kisaran suhu 25 30° C. Kondisi ini memungkinkan
Aeromonas spp berpotensi menyebabkan penyakit ikan di Indonesia. Menurut
RYANDINI dkk. (1998) keberadaan bakteri Aeromonas spp dan Vibrio spp merupakan
indikasi munculnya wabah penyakit biota laut khususnya pada udang.
3. Salmonella spp
Penyakit
yang disebabkan oleh bakteri ini disebut sebagai Salmonellosis. Pada krustasea
maupun biota lain yang dikonsumsi oleh manusia, tidak diperbolehkan terdapat bakteri
ini, karena dapat mengakibatkan demam enterik, septikemia dan gastroenteritis
(WORLD HEALTH ORGANIZATION, 1977). Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada
lingkungan perairan budidaya biota laut dan kehidupan biota laut harus
diupayakan bebas dari bakteri Salmonella spp. (MENKLH,
1988). Jika suatu perairan telah terkontaminasi oleh Salmonella spp.,
menunjukkan adanya penurunan kualitas air.
4.
Bakteri patogen lain.
Bakteri
patogen lain yang sering ditemukan pada lingkungan tempat hidup krustasea, terutama
rajungan/kepiting dan udang windu adalah Shigella spp., Pseudomonas spp.,
Citrobacter spp.,
Yersinia
spp. dan Proteus spp., Shigella spp. dan Pseudomonas spp. merupakan bakteri
patogen bagi biota, sedangkan Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp.
pada awalnya bukan merupakan patogen, namun pada suatu saat apabila kondisi
lingkungannya memungkinkan dapat pula menyebabkan penyakit (bersifat
oportunis).
Selain
bakteri tersebut di atas, pada budidaya udang di tambak ditemukan pula jenis
bakteri yang berbentuk benang, yaitu
Leucothrix
sp. Bakteri tersebut sering terdapat pada insang, permukaan badan dan kaki-kaki
renang udang. Sel-sel benang dari bakteri Leucotrix sp. tersebut membentuk
anyaman, menempel pada permukaan insang dan bagianbagian badan lain. Bakteri
tersebut tidak merusak jaringan tubuh, tetapi merupakan tempat menempelnya
lumut-lumut di air. Insang yang ditumbuhi bakteri Leucothrix sp. warnanya
menjadi coklat pucat atau kehijauan, dan semakin penuh dengan kotoran dan jasad
penempel, sehingga mengganggu proses pernafasan. Bakteri ini sering tumbuh dari
sisasisa makanan, membentuk lapisan putih di atas endapan partikel organik di
dasar bak hatchery. Pada infeksi berat mengakibatkan kematian udang terutama
terjadi saat berganti kulit atau segera setelah berganti kulit (BALAI PERTANIAN
CIAWI, 1990),
CARA
PENANGGULANGAN PENYAKTT
BAKTERIAL
PADA BUDIDAYA KRUSTASEA
Beberapa
cara penanggulangan penyakit bakterial pada budidaya krustasea antara lain
adalah secara kimia, fisika, dan biologis, yang akan digambarkan pada tulisan
di bawah ini:
1. Penanggulangan Penyakit Bakterial secara
Kimia
Bahan-bahan
kimia yang sering digunakan untuk penanggulangan penyakit bakterial adalah
antibiotik, yaitu melalui pengrusakan membran sel, sehingga sel menjadi lisis.
Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan pada stadium larva maupun dewasa.
Namun hasil yang diperoleh kurang memuaskan dan menimbulkan efek samping yang
merugikan lingkungan, diantaranya terjadinya keracunan bahkan dapat menimbulkan
kematian terhadap biota lain yang menguntungkan (RUKYANI & TAUHID, 1984).
Sedangkan biota target dapat mengalami resistensi terhadap bahan kimia
tersebut.
Penggunaan
antibiotik secara rutin yang banyak diterapkan oleh panti benih komersial di
Indonesia, dapat menyebabkan munculnya strain Vibrio yang resisten terhadap
antibiotik. Hal ini dibuktikan oleh ZAFRAN dkk. (1997b), pada penelitian
tentang resistensi isolat Vibrio dari beberapa panti benih Udang Windu (Peneaus
monodon) terhadap antibiotik. Uji antibiotik yang digunakan adalah
Kloramfenikol (CP), Oksitetracyclin (OTC), dan Furazolidon (FZ) terhadap 7
jenis bakteri Vibrio yang diperoleh dari panti benih penelitian dan panti benih
komersial di Bali dan Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat bakteri
Vibrio yang disolasi dari panti benih komersial ternyata lebih resisten
terhadap 3 jenis antibiotik daripada Vibrio yang diisolasi dari panti benih
penelitian, yaitu masing-masing 1,9 ppm; 9,8 ppm dan 15 ppm. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara terus menerus akan
menimbulkan resistensi bakteri patogen.
Penggunaan
antibiotik ini dapat dilakukan pada larva maupun pada induk krustasea.
Pengendalian V. harveyi pada larva kepiting bakau (Scylla serrata, Forskal)
melalui desinfeksi induk selama pengeraman telur telah dilakukan oleh ROZA
& JOHNNY (1999).
CORLIS
dalam BALAI PERTANIAN CIAWI (1990) berhasil menekan pertumbuhan V.
alginolyticus dengan menggunakan antibiotik yang langsung dilarutkan dalam air
atau dicampur dalam makanan. Dosis efektif yang digunakan adalah Terramycin
360-387 mg/kg berat badan per hari selama 14 hari. Selain itu, untuk menekan
pertumbuhan V. anguillarum digunakan campuran Malachit Green dan Formalin
dengan dosis 0,05 - 0,1 mg/
Selain
menggunakan antibiotik, terdapat pula cara lain yang lebih efektif, yaitu
menggunakan bahan-bahan kimia yang merupakan ekstrak aktif biota alami laut.
Dewasa ini mulai dikembangkan penelitian mengenai kemungkinan penggunaan
bioaktif untuk menekan perkembangan bakteri patogen. Penelitian mengenai
penggunaan ekstrak spons Auletta sp. untuk menanggulangi pertumbuhan Vibrio
spp. pada udang windu (Peneaus monodon) telah dilakukan oleh MULIANI dkk.
(1998a). Ekstrak spons tersebut digunakan untuk merendam larva yang telah
terinfeksi oleh Vibrio spp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga jenis
spons tersebut mampu menekan perkembangan populasi dan menekan patogenitas
Vibrio spp sehingga meningkatkan sintasan udang windu (Peneaus monodon). Dosis
yang efektif untuk digunakan berkisar antara 200 dan 300 ppm.
EFFENDI
& SUHARDI (1998) juga telah meneliti kemungkinan tumbuhan mangrove
digunakan sebagai antibakteri pada penyakit udang yaitu Vibrio parahaemolyticus
dan V. harveyi. Pada penelitian ini telah digunakan empat jenis tumbuhan yaitu
Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia alba dan Nypa fruticans.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus dapat dihambat oleh
keempat jenis tumbuhan uji, sedangkan Vibrio harveyi dapat ditekan oleh R.
apiculata, B. gymnorrhiza dan N. fruticans. Berdasarkan tingkat daya hambat zat
antibakteri yang ditunjukkan oleh terbentuknya zona hambat (inhibition zone)
dari keempat jenis tumbuhan uji, diperoleh bahwa N. fruticans (nipah) membentuk
zona hambat yang paling luas yang berarti mempunyai daya hambat yang paling baik.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa zat antibakteri yang
dikandung mangrove cukup tinggi, sehingga mempunyai potensi untuk dikembangkan
dalam penanganan penyakit udang di tambak.
2. Penanggulangan Penyakit Bakteri secara
Fisika
Teknik
secara fisika merupakan cara lain di samping penggunaan teknik secara kimia.
Secara garis besar, teknik ini ialah dengan pengaturan kondisi lingkungan
pemeliharaan krustasea, di antaranya meliputi pengaturan suhu, salinitas, pH,
maupun teknis pemberian pakan. Menurut JUWANA (1997) keberadaan bakteri patogen
Aeromonas spp. dan Pseudomonas spp. dapat ditanggulangi dengan mengatur
salinitas air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan pada kisaran 28 ‰,
suhu 30°C dan penggunaan diet semi murni AMZV1L1T, selain nauplii Artemia untuk
pemeliharaan larva rajungan. Sebagai antisipasi terdapatnya bakteri patogen
pada air pemeliharaan, dilakukan pola penyaringan secara terus menerus atau
resirkulasi (HEASMAN & FIELDER, 1983).
3. Penanggulangan Penyakit Bakteri secara
Biologis
Alternatif
teknik yang paling efektif untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya
kontaminasi pada budidaya krustasea adalah secara biologis. Cara ini dilakukan
dengan pemberian vaksinasi, baik melalui oral maupun penyuntikan, penggunaan
musuh alami atau kompetitor bagi bakteri patogen.
Penggunaan
cara vaksinasi untuk menekan pertumbuhan V. harveyi pada budidaya krustasea
telah dilakukan oleh ZAFRAN dkk. (1997a), yaitu dengan menggunakan penambahan
bakteri ke dalam pakan mikro. Bakteri yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah bakteri V. harveyi yang dimatikan (vaksin). Bakteri tersebut kemudian
dimasukkan dalam pakan mikro larva udang windu (Peneaus monodon). Pakan mikro
diberikan terlebih dahulu selama satu hari kemudian dilakukan uji tantang
terhadap V. harveyi hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian V.
harveyi mati sebagai vaksin ke dalam pakan mikro, dapat meningkatkan ketahanan
larva udang windu (Peneaus monodon) terhadap infeksi V. harveyi, sehingga
sintasannya dapat lebih tinggi.
Teknik
lain secara biologis adalah menggunakan musuh alami atau kompetitor bakteri
patogen. Teknik ini menggunakan bakteri maupun organisme lain yang dapat
berperan sebagai musuh alami maupun kompetitor bagi bakteri patogen. Penggunaan
berbagai jenis bakteri untuk menghambat perkembangan V. harveyi pada
pemeliharaan kepiting bakau, telah dilakukan oleh TAUFIQ & ZAFRAN (1997).
Penelitian ini dimulai dengan mencari isolat bakteri yang mempunyai daya hambat
yang baik terhadap bakteri patogen dimaksud. Pada penelitian TAUFIQ &
ZAFRAN (1997) diperoleh 3 jenis bakteri yang merupakan bakteri dari genus
Vibrio. Ketiga bakteri tersebut setelah ditambahkan pada air pemeliharaan
selama 24 jam dan diujikan, ternyata mempunyai kemampuan menekan perkembangan
V. harveyi dan menurunkan patogenitasnya terhadap larva kepiting bakau. Selain
menggunakan bakteri lain, musuh alami atau kompetitor dapat berupa
fitoplankton. Pemanfaatan fitoplankton untuk menekan perkembangan V. harveyi
pada budidaya udang windu telah dilakukan oleh TAUFIQ dkk (1996). Penelitian
ini berupa penambahan 3 jenis fitoplankton yaitu Chaetoceros ceratospora,
Tetraselmis tetrathele dan Thalassiosira spp. pada media pemeliharaan
udang windu yang diinfeksi dengan kultur murni V. harveyi. Hasil menunjukkan
bahwa setelah inkubasi selama 24 jam pemanfaatan fitoplankton ini dapat
meningkatkan perkembangan larva. Chaetoceros ceratospora memperlihatkan
kemampuan yang lebih unggul dibandingkan 2 jenis fitoplankton lainnya.
YUNUS
dkk. (1998) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian jenis
fitoplankton yang berbeda terhadap sintasan larva kepiting bakau (Scylla
serata). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis fitoplankton yang
sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada masa stadia awal. Jenis
fitoplankton yang digunakan adalah Nannochloropsis spp., Tetraselmis spp. dan
Chaetoceros spp. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Chaetoceros spp. dan
Nannochloropsis spp. mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan
Tetraselmis spp., yaitu masing-masing 17,67 %, 16,00 % dan 4,00 %. Oleh karena
itu Chaetoceros spp. dan Nannochloropsis spp. merupakan jenis fitoplankton yang
sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada stadia awal.
Selain
itu, penggunaan kerangkerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan
komposisi jenis bakteri pada budidaya udang windu (Peneaus monodon) dengan
sistem resirkulasi air telah dilakukan oleh MULIANI dkk. (1998b). Penelitian
tersebut dimaksudkan untuk melihat pengaruh penggunaan kerang-kerangan terhadap
komposisi jenis dan kelimpahan bakteri pada pemeliharaan udang windu (Peneaus
monodon) dengan sistem resirkulasi air. Udang windu yang digunakan adalah
ukuran pascalarva sebanyak 100 individu / bak, sebagai hewan uji. Kerang yang digunakan
adalah kerang hijau (Perna viridis), tiram (Crassostrea iredalei) dan kerang
bakau (Geloina coaxan), masing-masing sebanyak 250 gram bobot daging sebagai
biofilter. Dari hasil penelitian yang dilakukan memberi gambaran bahwa
kandungan jumlah bakteri dalam wadah pemeliharaan terendah adalah pada
perlakuan yang menggunakan tiram sebagai biofilter, kemudian kerang bakau, dan
yang terakhir adalah kerang hijau dan kontrol (U2 < U3 < U1 < Uk).
Kualitas mikrobiologis air laut yang diresirkulasi sama dengan air laut baru
yang tidak diresirkulasi. Hasil identifikasi terhadap komposisi jenis bakteri
pada semua
perlakuan relatif sama yaitu Acinetobacter spp., Aeromonas spp., Bacillus spp.,
Enterobacteriaceae, Flavobacterium spp., Micrococcus spp., Pseudomonas spp.,
Staphylococcus spp. dan Vibrio spp.
KESIMPULAN
1. Bakteri
yang dapat menyebabkan penyakit pada budidaya krustasea terdiri dari Vibrio
spp., Aeromonas spp., Salmonella spp., dan bakteri lainnya, seperti Shigella
spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp.,
termasuk Leucothrix sp.
2. Penyakit
bakterial pada budidaya krustasea dapat dikendalikan/ditanggulangi menggunakan
cara kimia, fisika dan biologis.
3. Pemilihan
teknik penanggulangan penyakit tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan,
teknik pemeliharaan dan kemampuan finansial yang ada.
0 comments:
Post a Comment