I. PENDAHULUAN
Ikan kakap merah
merupakan salah satu komoditas perikanan laut yang bernilai ekonomis tinggi.
Pada ukuran konsumsi, harga ikan kakap merah di pasar internasional 5,50-18,10
US$ (Sugama dan Priono, 2003). Di pasar lokal harganya cukup bervariasi antar
daerah. Di Jawa barat, misalnya, harga ikan kakap merah mencapai Rp 35.000/kg
(Yasad, 2011) sedangkan di Lampung dapat mencapai Rp 40.000-50.000/kg
(berita.manadotoday.com,
2011). Ikan ini dapat dipasarkan dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk fillet
(Sarwono et al., 1999). Tingginya permintaan pasar berimbas terhadap
peningkatan penangkapan ikan kakap merah dari tahun ke tahun (Marzuki dan
Djamal, 1992). Jenis ikan kakap merah yang umum tertangkap adalah Lutjanus
malabaricus, L.johni, L. sanguineus, dan L.sebae (Badrudin dan Barus, 1989).
Lutjanus sebae
merupakan ikan kakap merah yang memiliki habitat luas. Ikan ini dapat hidup di
perairan tropis dan subtropis, pada kedalaman sekitar 100 meter dengan habitat
terumbu karang dan juga dasar perairan berpasir (fishindex.blogspot.com ,
2011). Juvenilnya dapat ditemui pada perairan teluk yang dangkal, laguna atau
terumbu karang dan kadang-kadang dapat pula ditemui pada perairan payau. Ikan
yang sudah dewasa, yang sudah lebih dari 18 inchi (45,72 cm), akan beruaya ke
perairan yang lebih dalam selama musim panas dan beruaya kembali ke perairan
yang lebih dangkal pada musim dingin. Ikan dewasa tersebut dapat bersifat
soliter maupun berkelompok dengan yang seukuran (Scott, 2007).
L. sebae yang
dewasa berwarna merah gelap sedangkan juvenilnya berwarna merah muda dengan
band berwarna merah gelap. Bagian sirip punggung, sirip, dubur, dan bagian atas
sirip ekor berwarna gelap. Ikan kakap merah L.sebae yang masih kecil atau pada
ukuran juvenil memiliki bentuk yang indah sehingga juga laku sebagai ikan hias
dan harganya dapat mencapai 2,25 dollar per ekor (Sukarno et al., 1981).
Ikan ini
termasuk jenis karnivor dan makanan utamanya meliputi jenis ikan kecil, udang dan cumi-cumi
(marinedepotlive.com,
2006). Di alam ikan ini dapat tumbuh hingga mencapai ukuran maksimum panjang 116
cm, berat 32,7 kg dan berumur maksimal 35 tahun (www.fishbase.org, 2011; Scott,
2007). Pemijahannya dapat berlangsung sepanjang tahun (hobiikan.blogspot.com,
2011).
Untuk mereduksi
kegiatan penangkapan ikan kakap merah di alam namun tetap dapat memenuhi
permintaan pasar maka usaha budidaya perlu dikembangkan. Ikan kakap merah
sebenarnya memiliki beberapa sifat yang menguntungkan untuk usaha budidaya,
diantaranya adalah memiliki pertumbuhan yang relatif cepat, toleran terhadap
kekeruhan dan salinitas, sifat kanibalismenya rendah, relatif tahan terhadap
penyakit, dapat dipelihara dalam kepadatan yang tinggi serta memiliki respon
baik terhadap pakan buatan (empangku.blogspot.com. , 2011). Namun hingga saat
ini belum banyak informasi teknis untuk mendukung usaha budidayanya. Jenis ikan
kakap merah yang telah berhasil dibudidayakan secara luas adalah
L.argentimaculatus, yang di beberapa tempat disebut sebagai kakap tambak dan
L.johni, yang sering disebut kakap jenaha (Sunyoto dan Mustahal, 1997).
Ikan kakap merah
L.sebae juga sudah mulai dirintis usaha budidayanya sejak tahun 2001 di Gondol
Bali. (Imanto et al., 2001; Suastika et al., 20011,2; Suastika et al., 2002).
Kegiatan budidaya sendiri meliputi pemeliharaan induk, larva dan benih. Telur
yang dihasilkan oleh induk yang sudah terdomestikasi dalam bak pemeliharaan
merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan budidaya. Larva yang baru
menetas memiliki pakan endogen berupa kuning telur dan butir minyak. Pakan
endogen tersebut merupakan sumber energi larva sebelum larva mengkonsumsi pakan
yang berasal dari luar tubuhnya (Slamet et al., 1996). Ketepatan waktu
pemberian pakan dengan jenis pakan yang sesuai bagi larva, juga merupakan kunci
keberhasilan dalam budidaya. Pakan awal yang umum digunakan bagi larva ikan
laut adalah pakan alami berupa zooplankton rotifer Brachionus rotundiformis
antara lain karena ukurannya relatif kecil, gerakan renangnya relatif lambat
sehingga mudah dimangsa larva, mudah dicerna, mudah dikembangbiakkan dan
mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi
(Lubzens et al.,
1989). Pemeliharaan larva berlangsung hingga larva telah mengalami
metamorphosis menjadi juvenil atau bentuk ikan muda.
Penelitian ini
bertujuan untuk memaparkan teknologi budidaya ikan kakap merah L.sebae yang
dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Bali. Dengan
mengetahui teknologi budidaya yang telah ada maka diharapkan adanya
pengembangan budidaya tersebut secara lebih luas.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Telur
Telur yang
digunakan berasal dari hasil pemijahan secara alami induk ikan kakap merah
L.sebae yang dipelihara dalam tangki beton bervolume 100 m3 dengan sistem
sirkulasi. Telur yang sudah terkumpul dalam kantong telur (egg collector)
diambil secara hati-hati menggunakan serok telur kemudian dimasukkan dalam bak
fiberglass volume 200 L untuk dilakukan seleksi antara telur yang fertil dan
infertil. Telur yang fertil kemudian ditetaskan dalam tangki inkubator dan suhu
penetasan diatur pada kisaran 28-29oC. Larva yang menetas selanjutnya
dipindahkan ke dalam tangki pemeliharaan larva yang terbuat dari polyethylene
bervolume 500 liter.
2.2.
Tangki Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan
larva dilakukan di dalam hatchery yang tertutup (indoor hatchery). Bak
pemeliharaan larva bervolume 500 liter, terbuat dari bahan polietylene,
berwarna hitam, berbentuk bulat dan mengerucut pada bagian dasarnya.
Pencahayaan untuk setiap bak pemeliharaan larva berasal dari dua buah lampu TL
40 watt dan satu buah lampu halogen 100 watt. Pencahayaan buatan tersebut
dipertahankan pada intensitas 400 lux selama 24 jam. Media pemeliharaan
dilengkapi pula dengan aerasi kecepatan lemah.
2.3.
Pakan dan Pergantian Air
Selama
pemeliharaan larva, digunakan fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton
Nannochloropsis ocullata mulai ditambahkan ke dalam media pemeliharaan pada
saat larva berumur 2 hari. Pada umur 2 hari sore hari larva mulai diberi pakan
alami berupa rotifer Brachionus rotundiformis dengan kepadatan 10-15
individu/ml dan copepod Tisbe holuthuriae stadia naupli dan copepodit dengan
kepadatan 1-2 individu/ml. Pemberian rotifer ini kemudian meningkat setelah
larva mencapai umur 10 hari keatas. Pemberian kedua jenis pakan tersebut
dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul 08:00, 13:00 dan 19:00. Naupli artemia dengan
kepadatan 2 individu/ml mulai diberikan pada saat larva telah berumur 16-18
hari. Pemberian naupli artemia ini dilakukan dua kali dalam sehari. Disamping
pakan alami, larva juga diberi pakan buatan berupa mikro pellet komersial mulai
umur 12-15 hari. Waktu pemberian artemia
dan pakan buatan disesuaikan dengan kondisi dan pertumbuhan larva.
Pergantian air
dilakukan mulai hari ketujuh dan diatur sebanyak 20% per hari. Persentase
pergantian air semakin ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya umur larva.
Pada saat dilakukan pemberian pakan, pergantian air dihentikan sementara selama
kurang lebih satu jam dan setelah itu dilakukan pergantian air kembali dengan
pengaturan debit yang sama seperti sebelumnya.
2.4. Parameter
Beberapa
parameter yang diamati meliputi penyerapan pakan endogen, pemilihan jenis pakan
alami, pertumbuhan larva serta sintasan larva dan benih. Penyerapan pakan
endogen diamati dengan cara mengambil 5 ekor ikan kakap merah sebagai sampel,
kemudian dilakukan pengukuran terhadap panjang dan lebar kuning telur serta
diameter butir minyak yang ada pada larva tersebut. Pertumbuhan larva diamati
dengan cara mengambil 5 ekor ikan kakap merah sebagai sampel, kemudian
dilakukan pengukuran terhadap panjang totalnya. Setelah diukur, kemudian
dilakukan pembedahan pada saluran pencernaan larva untuk mengamati jenis pakan
alami yang dipilih oleh larva. Semua pengamatan tersebut dilakukan dengan
stereoskopis mikroskop Olympus yang telah dilengkapi dengan micrometer sebagai
alat ukur. Volume kuning telur dan volume butir minyak dihitung berdasarkan
rumus yang diuraikan oleh Blaxter dan Hempel (1963) dalam Kohno et al. (1986).
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Penyerapan Pakan Endogen
Larva kakap
merah, L. sebae yang baru menetas memiliki pakan endogen berupa kuning telur
sebesar 179x10-3- 183 x10-3 mm3 dan
butir minyak 0,66x10-3- 0,67x10-3 mm3.
Pakan endogen tersebut merupakan satu-satunya sumber energi bagi larva sebelum
larva mampu mengkonsumsi pakan yang berasal dari luar tubuhnya. Volume kuning
telur larva kakap merah tersebut relatif lebih besar dibandingkan volume kuning
telur larva kakap merah, L.argentimaculatus yang berkisar 0,149-0,182 x 10-4
mm3, (Doi dan Singhagraiawan, 1993).
Volume kuning
telur larva berkurang cepat selama 20 jam setelah penetasan karena pada saat
itu terjadi penyerapan sebesar 90,2% terhadap kuning telur. Setelah waktu
tersebut, penyerapan kuning telur berlangsung lambat. Kuning telur habis dalam
waktu 60 jam setelah penetasan. Penyerapan butir minyak berlangsung lebih
lambat daripada penyerapan kuning telur. Pada 20 jam setelah penetasan
penyerapan butir minyak sebesar 36,2%. Penyerapan baru berlangsung cepat antara
20-30 jam setelah menetas yaitu sebesar 30,1%. Butir minyak hampir habis dalam
waktu 80 jam setelah penetasan (Gambar 1). Pola penyerapan pakan endogen pada
larva kakap merah L.sebae ini hampir sama dengan pola yang terjadi pada larva
kakap merah L.argentimaculatus. Pada larva L. argentimaculatus, penyerapan kuning
telur juga terjadi lebih cepat dibandingkan penyerapan butir minyaknya dan
kuning telur habis terserap pada 72,5 jam setelah penetasan (Imanto et al.,
2001).
Apabila pakan
endogen telah habis terserap, menandakan bahwa pada saat itu larva telah
memerlukan pakan eksogen. Ketersediaan jenis pakan alami yang sesuai dengan
ukuran lebar mulut larva dalam jumlah yang memadai pada periode waktu tersebut
merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi untuk menjamin kelangsungan hidup
larva selanjutnya. Dalam pemeliharaan ini, larva diberi pakan eksogen berupa
pakan alami yang terdiri dari zooplankton rotifer dan copepod stadia naupli dan
copepodit. Berdasarkan hasil observasi yang mengkaitkan antara penyerapan pakan
endogen dan kelengkapan morfologis larva seperti telah sempurnanya pigmentasi
mata dan bukaan mulut larva, maka pemberian pakan awal untuk larva kakap merah
L.sebae sebaiknya dilakukan mulai 35 jam setelah larva menetas karena pada saat
tersebut pakan endogen larva sudah sangat terbatas jumlahnya dan larva sudah
mampu untuk mencari pakan dari luar tubuhnya (Imanto dan Melianawati,
2003).
3.2.
Pemilihan Jenis Pakan Alami
Larva kakap
merah L.sebae nampak memiliki sifat memilih terhadap jenis zooplankton yang
diberikan sebagai pakan alaminya (Gambar 2). Larva cenderung memilih naupli
copepod dan rotifer sebagai pakannya hingga larva berumur 8 hari. Pemilihan
terhadap kedua jenis pakan alami tersebut antara lain disebabkan karena
ukurannya yang relatif lebih kecil. Rotifer yang digunakan pada pengamatan ini
berukuran 70-120 µm dan Komposisi pakan alami yang cenderung dipilih larva
adalah 89-93% rotifer dan 11-7% naupli copepod. Hal ini diduga dipengaruhi oleh
ketersediaan masing-masing jenis pakan alami itu sendiri dalam media
pemeliharaan. Dalam pemeliharaan ini ketersediaan rotifer dalam media
pemeliharaan larva lebih banyak dibandingkan copepod. Akibatnya persentase
pemilihan terhadap rotifer juga lebih tinggi dibandingkan terhadap
copepod.
sebae.
Disamping itu, pola gerakan dan sebaran pakan
alami diduga juga mempengaruhi larva dalam memilihnya. Rotifer cenderung
berenang lambat dengan gerakan spiral dan menyebar ke seluruh bagian media
pemeliharaan, sebaliknya naupli copepod cenderung berenang lebih aktif namun
lebih banyak terdistribusi di lapisan permukaan saja. Kemampuan renang larva
hingga berumur 8 hari masih cenderung pasif karena masih terbatasnya
kelengkapan morfologis larva itu sendiri dan hal ini mengakibatkan kemampuan
daya jelajah larva untuk mencari pakan juga masih terbatas.
Akibatnya
kecenderungan larva untuk memilih rotifer sebagai pakannya lebih besar
dibandingkan memilih copepod karena distribusi rotifer lebih merata di semua
bagian media pemeliharaan larva dan lebih mudah dimangsa oleh larva karena
gerakan renangnya yang lebih lambat.
Setelah larva
berumur 12 hari, disamping rotifer dan naupli copepod, larva juga mulai memilih
copepodit copepod sebagai pakannya. Copepodit berukuran lebih besar daripada
naupli copepod dan bersifat benthic dengan menempel pada dinding tangki pemeliharaan.
Larva yang berumur 16 hari sudah tidak memilih rotifer lagi namun cenderung
memilih naupli artemia sebagai pakannya, disamping naupli dan copepodit
copepod. Naupli artemia yang baru menetas panjang dan lebarnya masing-masing
630 dan 186 µm (Moretti et al., 1999). Naupli ini aktif berenang. Meskipun
berukuran lebih kecil dari rotifer namun naupli copepod masih tetap dipilih
larva sebagai pakannya. Pada larva umur 20 hari terlihat hanya copepodit dan
naupli artemia saja yang dipilih dikonsumsi oleh larva. Naupli artemia
cenderung lebih banyak dipilih oleh larva.
3.3. Pertumbuhan Larva
Larva ikan kakap
merah, L.sebae yang baru menetas memiliki ukuran panjang total 2,44-2,64
mm.
Dibandingkan
dengan larva kakap merah L.argentimaculatus, ukuran larva L.sebae tersebut
relatif lebih besar karena larva L.argentimaculatus yang baru menetas berukuran
panjang total 2,17-2,44 mm (Imanto et al., 2001), di Lampung 1,15 mm
(Hartanti, 2000), sedangkan di Thailand 1,56 - 1,87 mm (Doi dan
Singhagraiwan, 1993).
Selama masa
pemeliharaan larva kakap merah menunjukkan pola pertumbuhan exponensial mulai
dari menetas hingga menjadi juvenil. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan
ukuran panjang total larva sejalan dengan pertambahan umurnya dan lama waktu
pemeliharaan (Gambar 3).
Pemeliharaan
larva umumnya berlangsung selama 25-30 hari.
Periode larva akan berakhir apabila larva telah mengalami metamorfosis
menjadi bentuk juvenil. Lama waktu pemeliharaan larva antara lain dipengaruhi
oleh kondisi biologis larva itu sendiri dan kondisi lingkungan.
3.4.
Sintasan Larva dan Benih
Larva kakap
merah L.sebae memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses
pemeliharaannya. Belum diketahui pasti faktor penyebabnya namun larva ini
nampak lebih sensitif dibandingkan dengan larva kakap merah L.argentimaculatus. Oleh karenanya, sintasan
benih yang dihasilkan masih relatif rendah dan berfluktuasi. Dalam beberapa
kali pemeliharaan diperoleh sintasan 0,41-2,10% (Imanto et al., 2002);
0,39-1,56% (Melianawati et al., 2006) dan
0,42-2,00%
(Asliantia, 2008). Peningkatan sintasan pernah dilakukan dengan penambahan
bahan pengkaya seperti emulsi kuning telur dan gonad kerang melalui proses
bioenkapsulasi kepada zooplankton rotifer. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan
penambahan emulsi kuning telur dan gonad tiram, sintasan larva mencapai 1,61%
dan 1,92%. Sedangkan sintasan larva yang tidak diberi penambahan bahan pengkaya
tersebut hanya 0,51% (Asliantib, 2008).
Sintasan kakap
merah L. sebae pada stadia benih sudah cukup tinggi. Pada beberapa kali
pemeliharaan, diperoleh sintasan 84-96% (Melianawati et al., 2005), 84,5-94%
(Aslianti et al., 2009) dan 94-100% (Aslianti et al., 2011).
IV. KESIMPULAN
Penyerapan pakan endogen larva kakap merah
Lutjanus sebae yang berupa kuning telur dan butir minyak, masingmasing berlangsung
selama 60 dan 80 jam setelah penetasan.Jenis pakan alami yang cenderung dipilih
oleh larva mulai umur 4 hingga 20 hari berturut-turut adalah rotifer, copepod
dan naupli artemia.
Pola pertumbuhan larva hingga menjadi
benih adalah eksponensial.
Sintasan larva yang dihasilkan
berkisar 0,39-2,10%, sedangkan sintasan benih 84-100%.
DAFTAR PUSTAKA
Aslianti, T. 2008a. Produksi benih ikan kakap
merah Lutjanus sebae secara terkontrol. Prosiding Seminar Nasional Perikanan
dan Kelautan, Universitas Brawijaya. I:249-253.
Aslianti, T.
2008b. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan kakap merah, Lutjanus
sebae berdasarkan jenis pakan yang diberikan pada stadia awal. Prosiding
Seminar Nasional
Biodiversitas
II, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Hlm.:187-192.
Aslianti, T.,
Afifah, dan M. Suastika. 2009. Pemanfaatan minyak buah merah, Pandanus
cocoideus Lam dan carophyll pink dalam ransum pakan yuwana ikan kakap merah,
Lutjanus sebae. J. Riset Akuakultur, 4(2):191-200.
Aslianti, T.,
Afifah, dan A. Priyono. 2011. Ekspresi beberapa jenis bahan karotenoid dalam
pakan pada performansi warna benih ikan kakap merah (Lutjanus sebae). Berkala
Penelitian Hayati (Edisi Khusus), 4B:51-57.
Badrudin, M. dan
H.R. Barus. 1989. Stok ikan bambangan (Lutjanidae) di perairan Pantai Utara
Rembang, Jawa Timur. J. Penelitian Perikanan Laut, 53:61-68.
Berita.manadotoday.com.
Cuaca buruk, tangkapan kakap merah nelayan Lampung minim. Diakses 06-092011.
Doi, M. and
Singhagraiwan. 1993. Biology and culture of the red snapper, Lutjanus
argentimaculatus. The research project of fishery resource development in the
kingdom of Thailand. The Eastern marine fisheries development center (EMDEC),
Department of fisheries, ministry of agriculture and cooperatives, Thailand.
51p.
Empangku.blogspot.com.
Budidaya kakap merah. Penebar swadaya dalam empangku.blogspot.com. Diakses
21-09-2011.
Fishindex.blogspot.com.
Emperor red snapper (Lutjanus sebae). Diakses
23-08-2011.
Hartanti, D.F.
2000. Teknik pembenihan dan cara pemeliharaan larva kakap merah (Lutjanus
argentimaculatus) sampai umur 9 hari di Balai Budidaya Laut Lampung. Laporan
praktek kerja lapangan. Universitas Diponegoro. Semarang. 52hlm.
Hobiikan.blogspot.com.
Kakap merah. Diakses 23-08-2011.
Imanto, P.T., R.
Melianawati, M. Suastika, dan J.H. Hutapea. 2001. Pola pemangsaan larva ikan
kakap merah (Lutjanus sp.) menunjang managemen pemeliharaan larva. Laporan
teknis proyek inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya kelautan.
Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2001. Hlm.:9-26. Tidak dipublikasi.
Imanto, P.T., R.
Melianawati, M. Suastika, D.F. Hartanti, dan R.W. Aryati. 2002. Produksi massal
larva ikan kakap merah. Laporan teknis proyek inventarisasi dan evaluasi
potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2002. Hlm.:340-345.
Tidak dipublikasi.
Imanto, P.T. dan
R. Melianawati. 2003. Perkembangan awal larva kakap merah Lutjanus sebae. J. Penelitian Perikanan
Indonesia, 9(1):11-20.
Kohno, H., S.
Hara, and Y. Taki. 1986. Early larval development of the seabass Lates
calcarifer with emphasis on the transition of energy sources. Bulletin of the
Japanese Society of Scientific Fisheries, 52(10):1719-1725.
Lubzen, E., A.
Tandler, and G. Minkoff.
1989. Rotifer as
food in aquaculture. Hydrobiologia, 186/187:399-400.
Marinedepotlive.com.
Emperor red
snapper. Diakses 15-05-2006.
Marzuki, S. dan
R. Djamal, 1992. Penelitian penyebaran, kepadatan stok dan beberapa parameter
biologi induk kakap merah dan kerapu di perairan Laut Jawa dan Kepulauan Riau.
J. Penelitian Perikanan Laut, 68:49-65.
Melianawati, R.,
R. Andamari, P.T. Imanto, dan M. Suastika. 2005. Pertumbuhan benih kakap merah
Lutjanus sebae dalam skala budidaya. Prosiding pertemuan ilmiah tahunan ISOI,
Surabaya. Hlm.:101-105.
Melianawati, R.,
P.T. Imanto, R.W. Aryati, dan M. Suastika. 2006.
Pemeliharaan
larva kakap merah
Lutjanus sebae
dan L. argentimaculatus pada hatchery tertutup sebagai upaya konservasi
sumberdaya hayati laut. Prosiding pertemuan ilmiah tahunan III Ikatan Sarjana
Oseanologi Indonesia. Hlm.:141-148.
Moretti, A.,
M.P. Fernandez-Criado, G. Cittolin, and R. Guidastri. 1999. Manual on hatchery
production of seabass and gilthead seabream. Volume I. Rome. FAO. 194p.
Sarwono, H.A.,
H. Minjoyo, dan Sudjiharno. 1999. Penerapan rekayasa teknologi pemeliharaan
larva ikan kakap merah, Lutjanus johni secara massal di bak terkendali.
Bulletin budidaya laut 12, Lampung. Hlm.:9-14.
Scott, B.M.
2007. Keeping the Emperor
Snapper Lutjanus sebae.
www.tfhmagazine.com.
Diakses 2308-2011.
Slamet, B.,
Tridjoko, A. Prijono, T. Setiadharma, dan K. Sugama. 1996. Penyerapan nutrisi
endogen, tabiat makan dan perkembangan morfologi larva kerapu bebek
(Cromileptes altivelis). J. Penelitian Perikanan Indonesia, 2(2):13-21.
Suastika, M.,
P.T. Imanto, R. Melianawati, dan Yunus. 2001a. Pemijahan induk kakap merah
melalui stimulasi acute hormon gonadotropin. Laporan teknis proyek inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya
kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran
2001. Hlm.:2-8.
Tidak dipublikasi.
Suastika, M.,
Yunus, R. Melianawati, dan P.T. Imanto. 2001b. Pertumbuhan larva ikan kakap
merah dengan pengaturan pakan,
intensitas dan waktu pencahayaan. Laporan teknis proyek inventarisasi dan
evaluasi potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2001.
Hlm.:27-32. Tidak dipublikasi.
Suastika, M.,
Yunus, dan P.T. Imanto. 2002. Pengamatan pada parameter lingkungan dalam kaitannya dengan suksesi pemijahan dan
produksi telur ikan kakap merah. Laporan teknis proyek inventarisasi dan
evaluasi potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2002. Hlm.:320-325.
Tidak
dipublikasi.
Sugama, K. dan
B. Priono. 2003. Pengembangan budidaya ikan kerapu di Indonesia. Warta
Penelitian Perikanan Indonesia edisi akuakultur, 9(3):20-22.
Sukarno, M.
Hutomo, M.K. Moosa, dan P. Darsono. 1981. Terumbu karang di Indonesia,
sumberdaya, permasalahan dan pengelolaannya. LON-LIPI. Jakarta. 112hlm.
Sunyoto, P. dan
Mustahal. 1997. Pembenihan ikan laut ekonomis: kerapu, kakap, beronang. Penebar
Swadaya. Jakarta. 84hlm.
www.fishbase.org.
Lutjanus sebae
(Cuvier, 1816).
Diakses 23-08-2011.
Yasad, A. 2011.
Harga ikan basah di Indramayu naik. www.antarajawabarat. com. Diakses
06-092011.
JANGAN LEWATKAN PROMO MENARIK DARI KAMI
ReplyDeleteHUBUNGI KONTAK Kami
BBM : D8E23B5C
WHAT APPS : +85581569708
LINE : togelpelangi
WE CHAT : togelpelangi
LIVE CHAT 24 JAM : WWW-ANGKAPELANGI-NET
Ayo coba keberuntungan anda
jutaan rupiah menunggu anda
شركة تنظيف فلل دبى
ReplyDeleteشركة تنظيف خزانات في دبي
شركة تنظيف بالبخار بدبى
شركة تنظيف بدبي
شركة مكافحة حشرات في دبي
افضل شركة تنظيف الكنب في دبي
افضل شركة تلميع وجلي الرخام في دبي
شركة تنظيف كنب بالبخار عجمان
شركة تنظيف الفلل والشقق بعجمان
شركة تنظيف كنب بالبخار عجمان