Oseanografi adalah ilmu
yang mempelajari lautan, air serta gerakannya, pasang, arus, kedalaman,
temperature, kadar garam, dan nilai ekonomisnya. Selain itu, mempelajari
tentang geologi dasar laut, batas-batas laut, tumbuhan dan binatang laut, serta
hubungan antara laut dan atmosfer. ; Adalah ilmu yang mempelajari tentang laut
berupa sifat air, gerakan, unsur yang dikandung, kedalaman, dan sebagainya ;
Oseanografi (berasal dari bahasa Yunani oceanos yang berarti laut dan γράφειν
atau graphos yang berarti gambaran atau deskripsi juga disebut oseanologi atau
ilmu kelautan) adalah cabang dari ilmu bumi yang mempelajari segala aspek dari
samudera dan lautan. Secara sederhana oseanografi dapat diartikan sebagai
gambaran atau deskripsi tentang laut. Dalam bahasa lain yang lebih lengkap,
oseanografi dapat diartikan sebagai studi dan penjelajahan (eksplorasi) ilmiah
mengenai laut dan segala fenomenanya. Laut sendiri adalah bagian dari
hidrosfer. Seperti diketahui bahwa bumi terdiri dari bagian padat yang disebut
litosfer, bagian cair yang disebut hidrosfer dan bagian gas yang disebut
atmosfer. Sementara itu bagian yang berkaitan dengan sistem ekologi seluruh
makhluk hidup penghuni planet Bumi dikelompokkan ke dalam biosfer.
Kondisi oseanografi
perairan Utara Irian Jaya pada musim timur dilihat dari beberapa parameter
fisika (suhu, salinitas, dan densitas) menunjukkan adanya pengaruh aliran massa
air yang dominan dari Samudra Pasifik bagian Selatan. Hal itu ditandai dari karakter massa air yang
relatif lebih hangat, lebih asin dan densitas yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perairan lain di Indonesia. Suhu permukaan berkisar antara 28.42–29.96 oC
dengan rata-rata 29.02 oC. Suhu maksimum
permukaan mencapai 29.96 oC sedangkan suhu minimum pada kedalaman 1000 meter
mencapai 4.31 oC. Rata-rata suhu,
salinitas dan densitas pada beberapa kedalaman standar.
Umumnya sebaran
konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya
suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan
sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat masih
ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya
proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari
tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling.
Sejauh ini telah
diketahui eratnya kaitan antara konsentrasi klorofil-a dan produktivitas primer
dengan kondisi oseanografi. Di antara beberapa parameter fisika-kimia tersebut
ada yang belum diketahui secara pasti parameter oseanografi mana yang memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap distribusi klorofil-a dan ikan pelagis.
Khususnya pada lokasi dan waktu tertentu, kajian yang melihat secara simultan
beberapa parameter oseanografi dan kaitannya dengan klorofil-a dan ikan pelagis
masih sangat terbatas.
Kenyataan bahwa
perairan yang memiliki karakteristik massa air (kondisi oseanografis) yang
berbeda cenderung memiliki parameter biologi yang berbeda pula, menguatkan
dugaan bahwa klorofil-a dan ikan pelagis (parameter biologi) terkait dengan
parameter fisika-kimia perairan. Masalah
uatama yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana menjelaskan
saling keterkaitan parameter-parameter oseanografi dan parameter mana yang
memiliki pengaruh yang kuat terhadap sebaran klorofil-a dan ikan pelagis.
Bertolak dari masalah tersebut maka diduga sementara (hipotesis) bahwa : (1)
Sebaran klorofil-a dan ikan pelagis sangat erat kaitannya dengan kedalaman
lapisan tercampur dan termoklin dan pengaruh parameter oseanografi terhadap
klorofil-a berbeda berdasarkan kedalaman: (2) Parameter kimia (nutrien)
pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan parameter lainnya terhadap
kelimpahan fitoplankaton dan klorofil-a.
Untuk menguji hipotesis
tersebut maka akan digunakan data yang meliputi parameter fisika, kimia dan
biologi hasil survey yang dilakukan oleh KAL Baruna Jaya I. Lokasi survey dan
letak stasiun ditunjukkan dalam Gambar .
Data tersebut selanjutnya diolah dengan menggunakan sejumlah perangkat
lunak (MS Exel, Surfer 6.0, SPSS Release 10.0.5, dan Stat Itcf) untuk
mengetahui karakter massa air, gambaran sebaran dan hubungan antar parameter.
Untuk mengetahui keterkaitan antar beberapa parameter dan mengidentifikasi
parameter yang signifikan mempengaruhi sebaran klorofil-a dan ikan pelagis,
maka dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis multivariet
“Diskriminan Analisis” (Legendre dan
Legendre, 1983; Johnson dan
Wichern, 1988; dan Bengen, 1999) Untuk
melihat hubungan linier antar dua parameter dilakukan regresi linier sederhana
(Kleinbaum et al., 1988; dan Zar, 1984).
Di permukaan terdapat
lapisan tipis dengan suhu relatif homogen yang disebut dengan lapisan
tercampur. Di bawah lapisan tercampur
merupakan lapisan termoklin dimana terjadi penurunan suhu yang sangat tajam
dengan meningkatnya kedalaman. Ketebalan lapisan ini relatif lebih tinggi di
sebelah barat dibandingkan dengan di sebelah timur. Tebal lapisan tercampur
yang juga nerupakan kedalaman batas atas lapisan termoklin. Kedalaman lapisan
ini berkisar antara 210-370 meter dengan rata -rata ketebalan mencapai 253
meter.
Salinitas perairan yang
terukur dari permukaan hingga kedalaman 1000 meter berkisar antara
33.030–35.958 ‰ dengan rata-rata 34.633 ‰. Lapisan salinitas maksimum berada
pada kedalaman antara 100 sampai 200 meter. Densitas (sigma-t) air laut
tercatat berkisar antara 20.62 – 27.43 dengan rata-rata 26.17. Sebagai fungsi
dari suhu dan salinitas, maka nilai sigma-t ini sangat ditentukan oleh kedua
parameter tersebut yaitu suhu dan salinitas.
Pola sebaran mendata
suhu dan salinitas yang cenderung semakin menurun ke arah barat terjadi akibat
adanya percampuran massa air Samudra Pasifik Selatan yang lebih salin dan lebih
hangat dengan massa air perairan Indonesia yang relatif lebih dingin dan lebih
tawar. Percampuran ini terutama
disebabkan oleh adanya arus permukaan karena penguruh musson. Pada musim timur arus dari Samudra Pasifik
relatif kuat mengalir masuk ke perairan Indonesia. Akibatnya adalah terbentuknya gradasi
penurunan suhu dan salinitas yang sangat menyolok dari timur ke barat dengan
karakter yang lebih asin dan hangat dibandingkan dengan massa air lainnya yang
mendapat suplai massa air dari Samudra Pasifik Utara seperti di Halmahera dan
Selat Makassar.
Perubahan Iklim dan
Pengaruhnya terhadap Penangkapan Ikan
Minimnya perusahaan
perikanan yang mampu melengkapi armada penangkapannya dengan peralatan
berteknologi maju, membuat nelayan pada umumnya hanya mengandalkan intuisi dan
pengalaman dalam mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikannya. Berbeda
dengan negara Thailand, Filipina dan Malaysia yang memiliki perangkat acoustic (echosounder) terpasang
pada armada penangkapannya, didukung informasi citra remote sensing
(penginderaan jauh satelit), sehingga dapat mengetahui dengan jelas dan pasti
posisi (koordinat) lintang-bujur kawanan ikan secara up to date.
Padahal, untuk
mengatasi masalah tersebut peneliti dan ahli teknologi bidang kelautan dan
perikanan dengan dukungan pemerintah hanya perlu membangun satu instalasi bank
data yang bekerja men-download citra darat satelit yang berisi: data klorofil
dan data parameter oseanografi (suhu, salinitas, arus, gelombang dan lain-Iain)
di perairan Indonesia, kemudian diolah menjadi peta estimasi (pendugaan)
fishing ground (daerah penangkapan ikan) yang up to date. Selanjutnya peta
estimasi tersebut langsung di-relay ke armada penangkapan.
Perubahan Iklim dan
Pengaruhnya terhadap Penangkapan IkanUntuk keakuratan estimasi fishing ground,
yang perlu dilakukan mengkolaborasikan data acoustic, citra satelit remote
sensing dan data oseanograifi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Langkah dasarnya
dengan metode remote sensing satelit, secara ex situ kita harus menemukan perairan yang memiliki
klorofil (plankton).
2. Kemudian,
menganalisis hubungannya dengan data oseanografi (suhu, salinitas dan arus)
yang juga didapatkan dari satelit dan instrumen oseanografi yaitu argo float.
3. Kemudian hasil
analisis data dari dua instrumen tersebut (satelit dan argo float) dibuat peta
estimasi fishing ground yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut
direlay ke armada penangkapan. Berbekal peta estimasi tersebut armada segera
menuju lokasi yang telah diestimasi, lalu mengkolaborasikan peta tersebut
dengan data acoustic yang didapatkan dengan echosounder secara in situ
(langsung) pada perairan, kemudian dilakukan pemanfaatan (penangkapan) ikan.
Parameter oseanografi
sangat penting dianalisis untuk penentuan fishing ground. Nontji (1987)
menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat
dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada
umumnya. Sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh
dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken,
1988). Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum
untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies
ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat
digunakan untuk tujuan perikanan (Hela dan Laevastu, 1970).
Salinitas adalah kadar
garam seluruh zat yang larut dalam 1.000 gram air laut, dengan asumsi bahwa
seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, semua brom dan lod diganti dengan
khlor yang setara dan semua zat organik menga1ami oksidasi sempuma (Forch et
al,1902 dalam Sverdrup et al, 1942). Salinitas mempunyai peran penting dan
memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana
secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik
ikan tersebut.
Arus sangat
mempengaruhi penyebaran ikan, Lavastu dan Hayes (1981) menyatakan hubungan arus
terhadap penyebaran ikan adalah arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan
petagis dan spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah
pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan). Migrasi ikan-ikan
dewasa disebabkan arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute
alami; tingkah laku ikan dapat
disebabkan arus, khususnya arus pasut, arus secara langsung dapat mempengaruhi
distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi
pengelompokan makanan, atau faktor lain yang membatasinya (suhu); arus
mempengaruhi lingkungan alami ikan, maka secara tidak langsung mempengaruhi
kelimpahan ikan tertentu dan sebagai pembatas distribusi geografisnya. Jadi,
dengan mengetahui nilai suhu, salinitas dan arus pada perairan, akan dapat
dianalisis fenomena yang merupakan daerah potensi ikan. Hydro Acoustic
merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan suara atau bunyi
untuk melakukan pendeteksian. Sebagaimana diketahui bahwa kecepatan suara di
air adalah 1.500 m/detik, sedangkan kecepatan suara di udara hanya 340 m/detik,
sehingga teknologi ini sangat efektif untuk deteksi di bawah air.
Teknologi
hydro-acoustic dengan perangkat echosounder paling tepat digunakan untuk
pendugaan stok ikan pada suatu perairan, karena dapat memberikan informasi yang
detail mengenai: kelimpahan ikan (fish abundance), kepadatan (fish density), sebaran (fish
distribution), posisi kedalaman renang, (swimming layers), ukuran dan panjang
(size and length), orientasi dan kecepatan renang, serta variasi migrasi
diumal-noktural ikan (Kompas, 1/11/2004).
Remote Sensing biasa
juga disebut Sistem Penginderaan Jauh merupakan suatu teknologi yang memanfaatkan
gelombang elektromagnetik untuk mendeteksi dan mengetahui karakteristik objek
di permukaan bumi, baik daratan maupun permukaan laut dan perairan tanpa
melakukan kontak langsung dengan objek yang diteliti tersebut (lillesand dan
Kiefer, 1979). Ada dua tipe remote sensing yaitu pasif dan aktif, dengan metode
ini dihasilkan citra satelit yang merupakan data dari klorofil, arus, suhu dan
posisi koordinat pada permukaan perairan yang dideteksi. Data citra dari
satelit tersebut diproses dan dianalisis, kemudian dikolaborasikan dengan data
acoustic dan data dari instrumen argo float untuk estimasi fishing ground.
Secara umum prinsip
kerja satelit-satelit ini adalah dengan memancarkan pulsa gelombang
elektromagnetlk ke arah permukaan laut di bawahnya lalu menerima kembali
pantulannya (remote sensing aktif). Waktu perjalanan gelombang elektromagnetik
tersebut, dikonversi untuk mendapatkan jarak antara satelit dan muka laut.
Sejumlah koreksi harus diterapkan terhadap data mentah, sebelum dapat
diterapkan dalam bidang oseanografi.
Kondisi sumberdaya ikan
Indonesia pada masa yang lalu tidak kita bicarakan dalam tulisan ini, yang
pasti masa-masa kejayaan melimpahnya sumberdaya ikan di daerah/negara kita
telah lewat. Lalu bagaimana keadaan sumberdaya itu sekarang ini. Dari data
statistik pemanfaatan sumberdaya ikan nampak jelas terlihat dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama di daerah yang padat
nelayannya dan memiliki intensitas penangkapan yang tinggi seperti pantai utara
jawa, selat malaka dan selatan sulawesi (termasuk disebagian sebesar wilayah
perairan sultra) tetapi anehya income yang dihasilkan dari sektor ini
(Perikanan Tangkap ) relatift kecil dan menjadi paradoks perikanan tangkap
kita.
Produksi perikanan laut
dalam dasawarsa terakhir mengalami peningkatan rata-rata 4,95 persen per tahun
namun ini masih rendah dari yang diharapkan yaitu sekitar 6 persen per tahun.
Salah satu faktor penyebabnya disinyalir adalah banyaknya kapal-kapal asing
yang berseliweran(beroperasi) di perairan kita, kapal asing ini beroperasi
tidak hanya di perairan ZEE tetapi juga di perairan nusantara menurut data ada
sekitar 5000 kapal asing milik Thailand, Filipina, Taiwan, Korea dan RRC
beroperasi diperairan kita, Berdasarkan asumsi yang dilansir FAO, kerugian
negara akibat illegal fishing mencapai 30 trilyun rupiah pertahun. Dengan
tingkat kerugian mencapai 25% dari total potensi perikanan yang kita miliki.
Potensi lestari
(MSY/maximum suistanable yield) perairan kita ±6,4 juta ton per tahun sedangkan
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/Total Allowable Catch/TAC) adalah
sebesar 5,12 juta ton per tahun atau ±80% dari MSY . Menurut data tahun 2003
total hasil tangkapan ikan adalah 4,4 juta ton per tahun sehingga produksi
masih terdapat peluang pengembangan ± 720.000 ribu ton per tahun ini terutama
pada perairan-perairan seperti Laut Banda, Laut Arafuru (kecuali udang), Laut
Maluku dan Laut Sulawesi. Apabila kita menganalisis data perikanan tangkap
Indonesia ini maka kedepan kita tidak bisa lagi berharap hasil devisa sektor
kelautan dan perikanan berasal dari perikanan tangkap hendaknya mulai sekarang
harus ada usaha-usaha subtitusi kearah lain seperti misalnya budidaya laut
(Marine Culture) dan lain sebagainya.
Daerah Pelabuhan Ratu
dikenal sebagai basis utama perikanan tangkap di pantai Selatan Propinsi Jawa
Barat. Keberadaan Pelabuhan Ratu yang terletak dan langsung berhadapan dengan
Samudera Hindia sangat strategis bagi perkembangan perikanan dan kelautan. Hal
ini mengingat potensi perikanan yang besar, khususnya perikanan pelagis baik
yang merupakan sumberdaya alami perairan teluk pelabuhan ratu maupun sumberdaya
ikan yang bermigrasi (ruaya diurnal dan nocturnal) dari dan ke perairan teluk
pelabuhan ratu.
Pengembangan perikanan
dan kelautan yang diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan,
dilaksanakan dengan langkah meningkatkan produksi dan produktifivas nelayan.
Meningkatnya hasil tangkapan nelayan sangat ditentukan dengan karakteristik
alat dan metode penangkapan, dalam hal ini dimensi, desain, sifat pengoperasian
dan keahlian nelayan dalam mengoperasikan alat tangkat tersebut.
Unit penangkapan ikan
yang dioperasikan oleh nelayan di Pelabuhan Ratu sangat beragam. Keberagaman
alat tangkap tersebut sesuai dengan jenis ikan yang menjadi target penangkapan,
daerah penangkapan dan teknologi penangkapan ikan. Alat tangkap ikan yang
terdapat di Pelabuhan Ratu secara umum masih bersifat tradisional. Hal ini
terlihat dari teknologi dalam metode penangkapannya dan karakteristik (dimensi
dan disain) alat tangkap tersebut. Alat tangkat tersebut antara lain jaring
insang (gill net), jaring angkat (lit net), pukat kantong (seine net) dan
pancing (hand line). Unit penangkapan ikan utama di pelabuhan ratu adalah pukat
payang, jaring insang, bagan (bagan apung/raft lift net, bagan perahu/boat lift
net dan bagan tetap/stationery lift net), pancing rawai, jaring rampus dan
pukat dogol. Selain itu terdapat juga unit penangkapan jaring kopet, pukat
pantai dan pukat cincin.
Perkembangan unit
penangkapan di atas, yang mengalami peningkatan sangat pesat adalah alat
tangkap bagan dan jenis pancing. Unit penangkapan ikan jaring angkat merupakan
jenis alat tangkap yang secara komersial penting dan sangat umum di Indonesia.
Salah satu jenis alat tangkap dalam jaring angkat yang penting adalah bagan
(Kawamura, 1981 dalam Ta`alidin 2000). Bagan apung yang terdapat di Pelabuhan
Ratu termasuk dalam klasifikasi portable lift nets (jaring angkat yang dapat
dipindah–pindahkan).
Secara sederhana dalam
metode pengoperasian alat tangkap bagan termasuk tradisional, dengan penggunaan
lampu petromaks sebagai alat bantu yang bertujuan mengumpulkan ikan atau biota
laut lainnya yang bersifat fototaxis positif dan karena faktor food and feeding
habits dari biota tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Flores dan Shibata (1988), unit penangkapan ikan yang digolongan jenis
jaring angkat (lift net) ini di Indonesia masih bersifat tradisional dan
merupakan kegiatan perikanan skala kecil (Small Scale Fisheries).
Teknologi yang
digunakan dalam pemanfaatan sumber daya tuna disesuaikan dengan sifat dan
tingkah laku ikan sasaran. Tuna merupakan ikan perenang cepat yang bergerombol.
Oleh karena itu, alat penangkap ikan yang digunakan haruslah yang sesuai dengan
perilaku ikan tersebut. Ada lima macam alat penangkap tuna, yaitu osena,
huhate, handline. pukat cincin, dan jaring insang.
Rawai tuna (tuna
longline)
Rawai tuna (tuna
longline)
Rawai tuna atau tuna
longline adalah alat penangkap tuna yang paling efektif. Rawai tuna merupakan
rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu tuna longliner
biasanya mengoperasikan 1.000 - 2.000 mata pancing untuk sekali turun.
Rawai tuna umumnya
dioperasikan di laut lepas atau mencapai perairan samudera. Alat tangkap ini
bersifat pasif, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing
diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan. sehingga kapal dan alat
tangkap akan hanyut mengikuti arah arus atau sering disebut drifting. Drifting
berlangsung selama kurang lebih empat jam. Selanjutnya mata pancing diangkat
kembali ke atas kapal.
Umpan longline harus
bersifat atraktif. misalnya sisik ikan mengkilat, tahan di dalam air, dan
tulang punggung kuat. Umpan dalam pengoperasian alat tangkap ini berfungsi
sebagai alat pemikat ikan. Jenis umpan yang digunakan umumnya ikan pelagis
kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), layang (Decopterus sp.), kembung
(Rastrelliger sp.), dan bandeng (Chanos chanos).
Huhate (pole and
line)Huhate (pole and line)
Huhate atau pole and
line khusus dipakai untuk menangkap cakalang. Tak heran jika alat ini sering
disebut "pancing cakalang". Huhate dioperasikan sepanjang siang hari
pada saat terdapat gerombolan ikan di sekitar kapal. Alat tangkap ini bersifat
aktif. Kapal akan mengejar gerombolan ikan. Setelah gerombolan ikan berada di
sekitar kapal, lalu diadakan pemancingan.Terdapat beberapa keunikan dari alat
tangkap huhate.
Bentuk mata pancing huhate tidak berkait
seperti lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu ayam atau
potongan rafia yang halus agar tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan kapal
huhate mempunyai konstruksi khusus, dimodifikasi menjadi lebih panjang,
sehingga dapat dijadikan tempat duduk oleh pemancing. Kapal huhate umumnya berukuran
kecil. Di dinding bagian lambung kapal, beberapa cm di bawah dek, terdapat
sprayer dan di dek terdapat beberapa tempat ikan umpan hidup. Sprayer adalah
alat penyemprot air.
Pemancingan dilakukan
serempak oleh seluruh pemancing. Pemancing duduk di sekeliling kapal dengan
pembagian kelompok berdasarkan keterampilan memancing. Pemancing I adalah
pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat mata pancing berikan
sebesar 50-60 ekor per menit. Pemaneing I diberi posisi di bagian haluan kapal,
dimaksudkan agar lebih banyak ikan tertangkap. Pemancing II diberi posisi di
bagian lambung kiri dan kanan kapal. Sedangkan pemancing III berposisi di
bagian buritan, umumnya adalah orang-orang yang baru belajar memancing dan
pemancing berusia tua yang tenaganya sudah mulai berkurang atau sudah lamban.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pemancingan dilakukan jangan ada
ikan yang lolos atau jatuh kembali ke perairan, karena dapat menyebabkan
gerombolan ikan menjauh dari sekitar kapal.
Umpan yang digunakan adalah
umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan dilempar ke perairan akan
berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan mengundang cakalang untuk
mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya dilakukan penyemprotan air
melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan ikan,
sehingga tidak dapat membedakan antara ikan umpan sebagai makanan atau mata
pancing yang sedang dioperasikan. Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah
teri (Stolephorus spp).
Pancing ulur (handline)
Pancing ulur (handline)
Handline atau pancing
ulur dioperasikan pada siang hari. Konstruksi pancing ulur sangat sederhana.
Pada satu tali pancing utama dirangkaikan 2-10 mata pancing secara vertikal.
Pengoperasian alat ini dibantu menggunakan rumpon sebagai alat pengumpul ikan.
Pada saat pemancingan, satu rumpon dikelilingi oleh lima unit kapal,
masing-masing kapal berisi 3-5 orang pemancing. Umpan yang digunakan adalah
ikan segar yang dipotong-potong. Hasil tangkapan utama pancing ulur adalah tuna
(Thunnus spp.).
Pukat cincin (purse
seine)Pukat cincin (purse seine)
Pukat cincin atau purse
seine adalah sejenis jaring yang di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin
atau gelang besi. Dewasa ini tidak terlalu banyak dilakukan penangkapan tuna
menggunakan pukat cincin, kalau pun ada hanya berskala kecil.
Pukat cincin
dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan.
Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di
antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk.
Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan
berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan
menggunakan serok atau penciduk.
Pukat cincin dapat
dioperasikan siang atau malam hari. Pengoperasian pada siang hari sering
menggunakan rumpon atau payaos sebagai alat bantu pengumpul ikan. Sedangkan
alat bantu pengumpul yang sering digunakan di malam hari adalah lampu, umumnya
menggunakan lampu petromaks. Gafa et al. (1987) mengemukakan bahwa payaos
selain berfungsi sebagai alat pengumpul ikan juga berfungsi sebagai penghambat
pergerakan atau ruaya ikan, sehingga ikan akan berada lebih lama di sekitar
payaos. Uktolseja (1987) menyatakan bahwa payaos dapat menjaga atau membantu
cakalang tetap berada d lokasi pemasangannya selama 340 hari.
Jaring insang (gillnet)
Jaring insang merupakan
jaring berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata yang sama di
sepanjang jaring. Dinamakan jaring insang karena berdasarkar cara tertangkapnya,
ikan terjerat di bagian insangnya pada mata jaring. Ukuran ikan yang tertangkap
relatif seragam.
Pengoperasian jaring
insang dilakukan secara pasif. Setelah diturunkan ke perairan, kapal dan alat
dibiarkan drifting, umumnya berlangsung selama 2-3 jam. Selanjutnya dilakukan
pengangkat jaring sambil melepaskan ikan hasil tangkapan ke palka.
0 comments:
Post a Comment