Kepulauan Indonesia
merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam
jumlah besar. Menurut hasil penelitian terhadap fosil, cikal bakal penyu telah
menghuni bumi sejak 200 juta tahun yang lalu. Sedangkan sejarah kehidupan penyu
modern baru dimulai jaman Moosen sekitar 60 juta tahun lalu, setelah jaman
Karbon.
Keluarga penyu dan
buaya merupakan reptilia yang mampu meloloskan diri dari jaman tersebut dan
hidup hingga kini, sementara mahluk lainnya punah.
Keanekaragaman habitat
perairan taut Indonesia (yang memiliki pesisir sepanjang 81.000 km, terdiri
dari 17.508 pulau) telah menjadi tempat hidup 6 dari 7 spesies penyu yang ada
di dunia. Dari ke enam species tersebut, 5 di antaranya adalah penghuni tetap,
membentuk kelompok populasi tersendiri di perairan kita yaitu penyu hijau/
green turtle, Chelonia mydas, penyu sisik/hawksbill turtle, Eretmochelys
imbricata, penyu belimbing/leatherback turtle, Dermochelys cariacea, penyu
lekang/olive ridley turtle, Lepidochelys olivacea, dan penyu
tempayan/loggerhead turtle, Caretta caretta. Sedangkan penyu pipih/flatback
turtle, Natator depressa diduga berada di perairan Indonesia, terutama sekitar
perairan Timor dan Laut Arafuru. Penyu Pipih melakukan aktivitas bertelur di
pantai-pantai eksklusif di Australia Barat.
Aktivitas pemanfaatan
penyu laut di Indonesia merupakan sejarah yang cukup panjang. Sejak jaman dulu
penyu telah diburu oleh masyarakat nelayan untuk dimanfaatkan daging dan
telurnya. Aktivitas tersebut dikatakan subsistem dalam upaya mendapat sumber
protein altematif oleh masyarakat pesisir.
Peningkatan intensitas
aktifitas perburuan, pembantaian dan pemanfaatan penyu berlangsung sejalan
dengan pengaruh teknologi baru. Aktivitas tersebut mulai bersifat komersial
setelah Perang Dunia II berakhir, bersamaan dengan pengenalan masyarakat
nelayan pada perahu motor dan teknik-teknik baru dalam penangkapan ikan. Dampak
aktivitas tersebut semakin meningkat bersamaan dengan kemajuan teknologi,
peningkatan jumlah penduduk, serta peningkatan ragam dan mutu kebutuhan. Hal
ini terjadi karena terdorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
kemudian berkembang menjadi suatu kegiatan usaha yang bersifat komersial.
Pemanfaatan penyu
secara komersial dapat dikatakan bersifat menular di kalangan nelayan di
penjuru kepulauan Indonesia. Penting untuk ditekankan bahwa semua spesies penyu
di Indonesia berada dalam kondisi tereksploitasi berat, dengan derajat
berbeda-beda pada siklus hidup tiap-tiap spesies. Meskipun telah berstatus dilindungi,
pemanfaatan daging penyu hijau untuk konsumsi restoran maupun penduduk masih
terus berlangsung.
Karapas penyu dan
sisiknya atau untuk diawetkan (stuffed) serta pengambilan telur masih umum
terjadi. Sementara itu karapase dan sisiknya diambil untuk offsetan (stuffed).
Biologi dan Penyebaran
Penyu
Penyu adalah makhluk
yang berumur panjang, sebagian ilmuwan meyakini bahwa penyu bisa hidup seumur manusia
atau bahkan lebih. Mereka mempunyai tingkat kedewasaan/kematangan yang sangat
jauh selama siklus hidupnya. Penyu adalah navigator yang sangat baik.
Seringkali bermigrasi dalam jarak beratus-ratus atau bahkan ribuan kilometer
antara daerah tempat makan dan tempat bertelur. Penyu menghabiskan waktunya di
laut tapi induknya sewaktu-waktu kembali ke darat untuk bertelur. Induk penyu
bertelur dalam siklus 2-4 tahun sekali, datang ke pantai 4-7 kali untuk
meletakkan ratusan butir telurnya dalam satu kali musim bertelur. Setelah 45 –
60 hari masa inkubasi, tukik (anakan penyu) muncul dari dalam sarangnya dan
langsung berlari ke laut untuk memulai kehidupan sebagai binatang pelagik dan
bergerak mengikuti arus. Ketika masa dewasa tiba setelah beberapa dekade,
mereka bergerak masuk dan keluar dari berbagai lautan dan perairan pantai.
Keberadaannya di lautan terbuka masih merupakan misteri yang belum terungkap
sampai saat ini. Tingkat keberhasilan hidup sampai usia dewasa sangat rendah,
sementara para ahli mengatakan bahwa hanya sekitar 1-2 % saja dari jumlah telur
yang dihasilkan. Penyu di Indonesia menyebar hampir di seluruh pelosok
pulau-pulau, sekitar 143 lokasi telah berhasil diidentifikasi.
KONDISI SAAT INI
Keberadaan penyu
akhir-akhir ini makin terdesak oleh maraknya perdagangan penyu ilegal,
pengambilan telur habis-habisan dan masalah-masalah lain dari kegiatan manusia.
PEMANFAATAN SUMBER DAYA
PENYU
Dalam pemanfaatan
sumber daya penyu terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan dengan tidak
memperhatikan asas pelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan sumber daya
tersebut. Hingga saat ini pemanfaatan sumber daya penyu masih belum mengikuti
cara-cara yang baik dan benar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
tingkat pemanfaatan dengan tingkat pertambahan populasi. Eksploitasi yang
berlebihan tanpa menghiraukan pelestariannya, akan menyebabkan status populasi
di alam yang sudah langka itu semakin terancam punah.
Sebagai contoh kasus
pembantaian penyu di BALI. Sejak jaman dahulu masyarakat Bali telah lazim
mengkonsumsi daging penyu untuk keperluan adat, khususnya penyu hijau.
Masyarakat Bali memandang penyu sebagai hewan suci (ulam suci) yang dapat digunakan
sebagai komponen hewan sesaji. Sejak tahun 1970an, Bali merupakan pusat
konsumsi penyu terbesar di dunia. Dalam upacara-upacara adat dan keagamaan di
Bali, daging penyu dijadikan hidangan khas sate, dan kebutuhan daging penyu di
Bali tidak cukup dipasok dari wilayah Bali saja, namun seringkali didatangkan
dari luar antara lain daerah Kepala Burung Irian (sekitar Sorong), Sulawesi
Selatan (daerah Takabone Rate), Maluku dan Nusa Tenggara. Selain di Bali,
khususnya Kabupaten Badung (Denpasar), pembantaian penyu juga terjadi di
kota-kota lain, seperti Manado, Ambon dan Ujung Pandang (Makasar). Ironisnya,
hidangan sate penyu sekarang ini tidak hanya untuk upacara adat acara ritual,
tetapi sudah menjadi kebiasaan untuk jamuan para tamu. Tingginya permintaan
penyu menyebabkan populasi penyu merosot drastis. Kenyataan menunjukkan, jumlah
penyu yang naik ke darat untuk bertelur di beberapa pantai di Indonesia semakin
berkurang setiap tahun. Hal ini juga disebabkan karena penyu mempunyai daerah
ruaya yang luas untuk mencari makan dan bertelur di pantai-pantai berpasir.
PENANGKAPAN DAN
PERDAGANGAN PENYU SECARA TIDAK SAH (ILEGAL)
Adanya kegiatan
penangkapan penyu di alam sulit dilakukan pengontrolan. Hal ini karena pada
umumnya daerah penangkapannya terletak di kawasan perairan yang terpencil
sehingga sulit untuk dijangkau, serta kurangnya sarana dan prasarana pengawasan
yang memadai. Di samping itu tingginya harga jual penyu mendorong berbagai
pihak untuk menangkap dan memperdagangkan penyu di berbagai daerah. Hal yang
sangat memprihatinkan adalah penangkapan terhadap penyu betina maupun jantan
yang dilakukan di perairan sekitar pantai peneluran, mengakibatkan penyu
semakin cepat akan menuju kepunahan, karena penyu-penyu tersebut adalah
penyu-penyu yang produktif. Tujuan yang ada di balik perdagangan penyu, antara
lain dimanfaatkan dagingnya untuk santapan lezat, ataupun diambil karapasnya
untuk dijadikan berbagai jenis suvenir dan lemaknya untuk bahan kosmetik.
Apabila kegiatan penangkapan penyu yang tidak mengindahkan kelestarian masih
berlangsung terus menerus, dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan jenis yang
pada gilirannya nanti akan menyebabkan punahnya jenis-jenis penyu tersebut.
PEMANFAATAN TELUR PENYU
Beberapa daerah
peneluran penyu yang potensial, telah banyak yang dikontrakkan oleh Pemerintah
Daerah kepada pihak swasta, seperti Pantai Pengumbahan, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat; Kabupaten Berau, Kalimatan Timur, dan Kepulauan Riau. Walaupun
dalam Peraturan Daerah sudah dicantumkan ketentuan ketentuan untuk menetaskan
telur sebagai upaya pelestarian (restocking), dan penutupan masa pengambilan
telur pada waktu-waktu tertentu atau sasi (cose season), namun dalam
kenyataannya para pengontrak masih banyak pengumpulan telur penyu secara tidak
sah, yang dapat mengakibatkan terancamnya populasi penyu di alam.
GANGGUAN HABITAT PENYU
Habitat pakan merupakan
lingkungan di mana dapat di temukan penyu dari berbagai kelompok usia dan jenis
kelamin. Habitat pakan bersifat khas untuk tiap-tiap spesies, tergantung jenis
makanan spesies penyu tersebut. Penyu hijau yang bersifat herbivor mempunyai
habitat pakan berupa perairan dangkal yang kaya lamun dari jenis tertentu dan
juga algae (rumput laut). Sementara penyu sisik yang carnivor umumnya berupa
lingkungan perairan karang yang kaya akan sponge, sedangkan penyu belimbing
makanannya adalah ubur-ubur/jelly fish
Menurunnya populasi
penyu di alam selain diakibatkan oleh terjadinya tingkat pemanfaatan yang
karang terkendali dan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya
alam hayati yang terperbaharukan. Pertentangan ini antara lain: penangkapan dan
pembantaian secara berlebihan dengan menggunakan alat-alat tombak, panah, dan
faring. Di samping itu adanya gangguan terhadap terumbu karang dan padang lamun
sebagai habitat penyu, wilayah pesisir dengan hutan pantainya sebagai tempat
bertelur, dan adanya berbagai kegiatan pembangunan yang dapat menurunkan daya
dukung lingkungan, misalnya: pembangunan hotel-hotel, tambak, pelabuhan,
pengerukan, pabrik-pabrik dan penambangan serta pengeboran minyak di daerah
lepas pantai.
Sifat khas wilayah
pesisir yang mempunyai banyak kegunaan (multiple use) masih menimbulkan
pertentangan kepentingan antar berbagai instansi, khususnya dalam pengembangan
wilayah pesisir dan pantai seperti kegiatan reklamasi, diperlukan adanya
koordinasi antar instansi terkait.
MATA PENCAHARIAN
MASYARAKAT DAN PENDAPATAN DAERAH
Sampai saat ini sumber
daya penyu masih merupakan salah satu sumber mata pencaharian bagi beberapa
kelompok masyarakat adat tertentu. Kegiatan perburuan jarang dilakukan secara
langsung di habitat pakan namun lebih intensif dilakukan di habitat peneluran,
dengan sasaran penyu betina dewasa ataupun telurnya, karena induk penyu tidak
berdaya ketika sedang bertelur sehingga sangat mudah ditangkap. Di daerah
tertentu terutama di lokasi-lokasi peneluran penyu yang sudah dikontrakkan
kepada pihak swasta merupakan salah satu pemasukan bagi pendapatan daerah
setempat. Namun pengaturan mengenai upaya pelestariannya tidak jelas.
KESADARAN MASYARAKAT
Disadari bahwa di
kalangan masyarakat, khususnya masyarakat nelayan (konsumen primer) dan aparat
terkait masih perlu ditanamkan kesadaran yang mendalam akan pentingnya
kaidahkaidah pelestarian dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya penyu
secara rasional. Kegiatan penyuluhan tentang status populasi dan biologi penyu
maupun hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan perlu melibatkan pemerintah
daerah, pemuka adat dan agama, generasi muda, masyarakat ilmiah serta pencinta
alam.
PENGAWASAN
Dalam hal pengawasan
dan pengendalian terhadap sumber daya penyu untuk menjamin terselenggaranya
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya tersebut secara berdaya guna dan
berhasil guna, perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan
ketentuan di bidang pengelolaan sumberd aya penyu penangkapan dan pengambilan
telur masih belum memadai. Hal ini disebabkan antara lain oleh jauhnya lokasi,
kurangnya aparat, kurangnya sarana prasarana pengawasan, akibat kurang
efektifnya pengawasan dan pengendalian menyebabkan masih terjadi pemanfaatan
sumber daya penyu tanpa diikuti dengan upaya pelestariannya. Selama itu masih
banyak pantai peneluran penyu yang belum ditunjuk sebagai kawasan konservasi
alam.
PENEGAKAN HUKUM ATAS
PERUSAKAN SUMBER DAYA PENYU
Adanya kecenderungan
pemanfaatan sumberdaya hayati laut sebagian besar diambil dari alam, hanya
sebagian kecil saja dari hasil budidaya. Di samping itu pemanfaatan yang kurang
bijaksana dan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber daya alam misalnya
pemanfaatan melebihi potensi sumber daya yang tersedia atau dengan menggunakan
alat-alat serta bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat merusak sumber daya
hayati laut dan lingkungannya. Hal ini dapat membahayakan lingkungan hidup dan
menghambat upaya pelestarian sumber daya hayati laut termasuk sumber daya
penyu.
KOORDINASI
Masalah pengelolaan
penyu menyangkut berbagai macam kepentingan yang melibatkan berbagai instansi
dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Oleh karena itu
dalam melaksanakan pengelolaan penyu laut perlu adanya koordinasi antara
instansi terkait sehingga tidak terjadi pengelolaan yang tumpang tindih dan
terhindarnya produk hukum yang berbeda tentang pengelolaan sumber daya penyu.
Sampai saat ini kita
belum memiliki data yang memadai mengenai populasi, habitat dan penyebaran
penyu di perairan Indonesia. Selain itu data yang ada cenderung tersebar di
masing-masing instansi terkait dengan perkataan lain tidak terkompilasi dengan
baik. Sebagai satwa liar yang selalu berimigrasi dengan jangkauan yang cukup
jauh, siklus biologis dan aspek kehidupan penyu masih belum banyak diketahui.
PENELITIAN, PENDIDIKAN
DAN PENGELOLAAN PENYU
Di Indonesia,
upaya-upaya penelitian, pengembangan, pendidikan, dan latihan yang berkaitan
dengan pengelolaan konservasi sumber daya penyu dirasakan masih sangat kurang,
sehingga belum menunjukkan hasil yang memadai.
Menurut pandangan
Internasional, semua jenis penyu sudah langka dan terancam punah. Dalam Red
Data Book – IUCN (Intemational Union For Conservation of Nature and Natural
Resources), telah tercatat dalam kategori jenis yang terancam kepunahan
(threatened species). Dalam rangka pengawasan lalu lintas dan perdagangan satwa
secara Internasional, semua jenis penyu telah dicantumkan dalam appendix
I-CITES (Convention on Intemational Trade of Endangered Species of Wild Fauna
and Flora), yang artinya merupakan jenis yang terancam kepunahan dan tidak
boleh diperdagangkan secara internasional.
Di Indonesia terdapat 6
jenis penyu, yaitu penyu hijau/green turtle (Chelonia mydas), penyu
sisik/hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing/leatherback
turtle Dennochelys coricea penyu lekang, penyu/oliveridley turtle (kepidchelys
olivacea), penyu tempayani loggerhead turtle (Caretta caretta) dan penyu
pipih/flatback turtle (Natator depressa). Keenam jenis penyu yang ada di
Indonesia telah dilindungi Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
SDA Hayati dan Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah
No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pemanfaatan sumber daya
penyu sebagian besar diambil dari populasi di alam dan belum ada usaha
pemanfaatan dari hasil penangkaran. Keadaan seperti ini apabila berlangsung
terus menerus dikhawatirkan akan mengakibatkan populasi penyu di alam terus
menurun, yang pada akhirnya akan membawa dampak negatif berupa ancaman
kepunahan.
0 comments:
Post a Comment