Wednesday, July 18, 2012

PENGELOLAAN PENYU DI INDONESIA

July 18, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Kepulauan Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Menurut hasil penelitian terhadap fosil, cikal bakal penyu telah menghuni bumi sejak 200 juta tahun yang lalu. Sedangkan sejarah kehidupan penyu modern baru dimulai jaman Moosen sekitar 60 juta tahun lalu, setelah jaman Karbon.
Keluarga penyu dan buaya merupakan reptilia yang mampu meloloskan diri dari jaman tersebut dan hidup hingga kini, sementara mahluk lainnya punah.
Keanekaragaman habitat perairan taut Indonesia (yang memiliki pesisir sepanjang 81.000 km, terdiri dari 17.508 pulau) telah menjadi tempat hidup 6 dari 7 spesies penyu yang ada di dunia. Dari ke enam species tersebut, 5 di antaranya adalah penghuni tetap, membentuk kelompok populasi tersendiri di perairan kita yaitu penyu hijau/ green turtle, Chelonia mydas, penyu sisik/hawksbill turtle, Eretmochelys imbricata, penyu belimbing/leatherback turtle, Dermochelys cariacea, penyu lekang/olive ridley turtle, Lepidochelys olivacea, dan penyu tempayan/loggerhead turtle, Caretta caretta. Sedangkan penyu pipih/flatback turtle, Natator depressa diduga berada di perairan Indonesia, terutama sekitar perairan Timor dan Laut Arafuru. Penyu Pipih melakukan aktivitas bertelur di pantai-pantai eksklusif di Australia Barat.
Aktivitas pemanfaatan penyu laut di Indonesia merupakan sejarah yang cukup panjang. Sejak jaman dulu penyu telah diburu oleh masyarakat nelayan untuk dimanfaatkan daging dan telurnya. Aktivitas tersebut dikatakan subsistem dalam upaya mendapat sumber protein altematif oleh masyarakat pesisir.
Peningkatan intensitas aktifitas perburuan, pembantaian dan pemanfaatan penyu berlangsung sejalan dengan pengaruh teknologi baru. Aktivitas tersebut mulai bersifat komersial setelah Perang Dunia II berakhir, bersamaan dengan pengenalan masyarakat nelayan pada perahu motor dan teknik-teknik baru dalam penangkapan ikan. Dampak aktivitas tersebut semakin meningkat bersamaan dengan kemajuan teknologi, peningkatan jumlah penduduk, serta peningkatan ragam dan mutu kebutuhan. Hal ini terjadi karena terdorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kemudian berkembang menjadi suatu kegiatan usaha yang bersifat komersial.
Pemanfaatan penyu secara komersial dapat dikatakan bersifat menular di kalangan nelayan di penjuru kepulauan Indonesia. Penting untuk ditekankan bahwa semua spesies penyu di Indonesia berada dalam kondisi tereksploitasi berat, dengan derajat berbeda-beda pada siklus hidup tiap-tiap spesies. Meskipun telah berstatus dilindungi, pemanfaatan daging penyu hijau untuk konsumsi restoran maupun penduduk masih terus berlangsung.
Karapas penyu dan sisiknya atau untuk diawetkan (stuffed) serta pengambilan telur masih umum terjadi. Sementara itu karapase dan sisiknya diambil untuk offsetan (stuffed).
Biologi dan Penyebaran Penyu
Penyu adalah makhluk yang berumur panjang, sebagian ilmuwan meyakini bahwa penyu bisa hidup seumur manusia atau bahkan lebih. Mereka mempunyai tingkat kedewasaan/kematangan yang sangat jauh selama siklus hidupnya. Penyu adalah navigator yang sangat baik. Seringkali bermigrasi dalam jarak beratus-ratus atau bahkan ribuan kilometer antara daerah tempat makan dan tempat bertelur. Penyu menghabiskan waktunya di laut tapi induknya sewaktu-waktu kembali ke darat untuk bertelur. Induk penyu bertelur dalam siklus 2-4 tahun sekali, datang ke pantai 4-7 kali untuk meletakkan ratusan butir telurnya dalam satu kali musim bertelur. Setelah 45 – 60 hari masa inkubasi, tukik (anakan penyu) muncul dari dalam sarangnya dan langsung berlari ke laut untuk memulai kehidupan sebagai binatang pelagik dan bergerak mengikuti arus. Ketika masa dewasa tiba setelah beberapa dekade, mereka bergerak masuk dan keluar dari berbagai lautan dan perairan pantai. Keberadaannya di lautan terbuka masih merupakan misteri yang belum terungkap sampai saat ini. Tingkat keberhasilan hidup sampai usia dewasa sangat rendah, sementara para ahli mengatakan bahwa hanya sekitar 1-2 % saja dari jumlah telur yang dihasilkan. Penyu di Indonesia menyebar hampir di seluruh pelosok pulau-pulau, sekitar 143 lokasi telah berhasil diidentifikasi.
KONDISI SAAT INI
Keberadaan penyu akhir-akhir ini makin terdesak oleh maraknya perdagangan penyu ilegal, pengambilan telur habis-habisan dan masalah-masalah lain dari kegiatan manusia.
PEMANFAATAN SUMBER DAYA PENYU
Dalam pemanfaatan sumber daya penyu terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan asas pelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan sumber daya tersebut. Hingga saat ini pemanfaatan sumber daya penyu masih belum mengikuti cara-cara yang baik dan benar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara tingkat pemanfaatan dengan tingkat pertambahan populasi. Eksploitasi yang berlebihan tanpa menghiraukan pelestariannya, akan menyebabkan status populasi di alam yang sudah langka itu semakin terancam punah.
Sebagai contoh kasus pembantaian penyu di BALI. Sejak jaman dahulu masyarakat Bali telah lazim mengkonsumsi daging penyu untuk keperluan adat, khususnya penyu hijau. Masyarakat Bali memandang penyu sebagai hewan suci (ulam suci) yang dapat digunakan sebagai komponen hewan sesaji. Sejak tahun 1970an, Bali merupakan pusat konsumsi penyu terbesar di dunia. Dalam upacara-upacara adat dan keagamaan di Bali, daging penyu dijadikan hidangan khas sate, dan kebutuhan daging penyu di Bali tidak cukup dipasok dari wilayah Bali saja, namun seringkali didatangkan dari luar antara lain daerah Kepala Burung Irian (sekitar Sorong), Sulawesi Selatan (daerah Takabone Rate), Maluku dan Nusa Tenggara. Selain di Bali, khususnya Kabupaten Badung (Denpasar), pembantaian penyu juga terjadi di kota-kota lain, seperti Manado, Ambon dan Ujung Pandang (Makasar). Ironisnya, hidangan sate penyu sekarang ini tidak hanya untuk upacara adat acara ritual, tetapi sudah menjadi kebiasaan untuk jamuan para tamu. Tingginya permintaan penyu menyebabkan populasi penyu merosot drastis. Kenyataan menunjukkan, jumlah penyu yang naik ke darat untuk bertelur di beberapa pantai di Indonesia semakin berkurang setiap tahun. Hal ini juga disebabkan karena penyu mempunyai daerah ruaya yang luas untuk mencari makan dan bertelur di pantai-pantai berpasir.
PENANGKAPAN DAN PERDAGANGAN PENYU SECARA TIDAK SAH (ILEGAL)
Adanya kegiatan penangkapan penyu di alam sulit dilakukan pengontrolan. Hal ini karena pada umumnya daerah penangkapannya terletak di kawasan perairan yang terpencil sehingga sulit untuk dijangkau, serta kurangnya sarana dan prasarana pengawasan yang memadai. Di samping itu tingginya harga jual penyu mendorong berbagai pihak untuk menangkap dan memperdagangkan penyu di berbagai daerah. Hal yang sangat memprihatinkan adalah penangkapan terhadap penyu betina maupun jantan yang dilakukan di perairan sekitar pantai peneluran, mengakibatkan penyu semakin cepat akan menuju kepunahan, karena penyu-penyu tersebut adalah penyu-penyu yang produktif. Tujuan yang ada di balik perdagangan penyu, antara lain dimanfaatkan dagingnya untuk santapan lezat, ataupun diambil karapasnya untuk dijadikan berbagai jenis suvenir dan lemaknya untuk bahan kosmetik. Apabila kegiatan penangkapan penyu yang tidak mengindahkan kelestarian masih berlangsung terus menerus, dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan jenis yang pada gilirannya nanti akan menyebabkan punahnya jenis-jenis penyu tersebut.
PEMANFAATAN TELUR PENYU
Beberapa daerah peneluran penyu yang potensial, telah banyak yang dikontrakkan oleh Pemerintah Daerah kepada pihak swasta, seperti Pantai Pengumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat; Kabupaten Berau, Kalimatan Timur, dan Kepulauan Riau. Walaupun dalam Peraturan Daerah sudah dicantumkan ketentuan ketentuan untuk menetaskan telur sebagai upaya pelestarian (restocking), dan penutupan masa pengambilan telur pada waktu-waktu tertentu atau sasi (cose season), namun dalam kenyataannya para pengontrak masih banyak pengumpulan telur penyu secara tidak sah, yang dapat mengakibatkan terancamnya populasi penyu di alam.
GANGGUAN HABITAT PENYU
Habitat pakan merupakan lingkungan di mana dapat di temukan penyu dari berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Habitat pakan bersifat khas untuk tiap-tiap spesies, tergantung jenis makanan spesies penyu tersebut. Penyu hijau yang bersifat herbivor mempunyai habitat pakan berupa perairan dangkal yang kaya lamun dari jenis tertentu dan juga algae (rumput laut). Sementara penyu sisik yang carnivor umumnya berupa lingkungan perairan karang yang kaya akan sponge, sedangkan penyu belimbing makanannya adalah ubur-ubur/jelly fish
Menurunnya populasi penyu di alam selain diakibatkan oleh terjadinya tingkat pemanfaatan yang karang terkendali dan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang terperbaharukan. Pertentangan ini antara lain: penangkapan dan pembantaian secara berlebihan dengan menggunakan alat-alat tombak, panah, dan faring. Di samping itu adanya gangguan terhadap terumbu karang dan padang lamun sebagai habitat penyu, wilayah pesisir dengan hutan pantainya sebagai tempat bertelur, dan adanya berbagai kegiatan pembangunan yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan, misalnya: pembangunan hotel-hotel, tambak, pelabuhan, pengerukan, pabrik-pabrik dan penambangan serta pengeboran minyak di daerah lepas pantai.
Sifat khas wilayah pesisir yang mempunyai banyak kegunaan (multiple use) masih menimbulkan pertentangan kepentingan antar berbagai instansi, khususnya dalam pengembangan wilayah pesisir dan pantai seperti kegiatan reklamasi, diperlukan adanya koordinasi antar instansi terkait.
MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT DAN PENDAPATAN DAERAH
Sampai saat ini sumber daya penyu masih merupakan salah satu sumber mata pencaharian bagi beberapa kelompok masyarakat adat tertentu. Kegiatan perburuan jarang dilakukan secara langsung di habitat pakan namun lebih intensif dilakukan di habitat peneluran, dengan sasaran penyu betina dewasa ataupun telurnya, karena induk penyu tidak berdaya ketika sedang bertelur sehingga sangat mudah ditangkap. Di daerah tertentu terutama di lokasi-lokasi peneluran penyu yang sudah dikontrakkan kepada pihak swasta merupakan salah satu pemasukan bagi pendapatan daerah setempat. Namun pengaturan mengenai upaya pelestariannya tidak jelas.
KESADARAN MASYARAKAT
Disadari bahwa di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat nelayan (konsumen primer) dan aparat terkait masih perlu ditanamkan kesadaran yang mendalam akan pentingnya kaidahkaidah pelestarian dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya penyu secara rasional. Kegiatan penyuluhan tentang status populasi dan biologi penyu maupun hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan perlu melibatkan pemerintah daerah, pemuka adat dan agama, generasi muda, masyarakat ilmiah serta pencinta alam.
PENGAWASAN
Dalam hal pengawasan dan pengendalian terhadap sumber daya penyu untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya tersebut secara berdaya guna dan berhasil guna, perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang pengelolaan sumberd aya penyu penangkapan dan pengambilan telur masih belum memadai. Hal ini disebabkan antara lain oleh jauhnya lokasi, kurangnya aparat, kurangnya sarana prasarana pengawasan, akibat kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian menyebabkan masih terjadi pemanfaatan sumber daya penyu tanpa diikuti dengan upaya pelestariannya. Selama itu masih banyak pantai peneluran penyu yang belum ditunjuk sebagai kawasan konservasi alam.
PENEGAKAN HUKUM ATAS PERUSAKAN SUMBER DAYA PENYU
Adanya kecenderungan pemanfaatan sumberdaya hayati laut sebagian besar diambil dari alam, hanya sebagian kecil saja dari hasil budidaya. Di samping itu pemanfaatan yang kurang bijaksana dan bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber daya alam misalnya pemanfaatan melebihi potensi sumber daya yang tersedia atau dengan menggunakan alat-alat serta bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat merusak sumber daya hayati laut dan lingkungannya. Hal ini dapat membahayakan lingkungan hidup dan menghambat upaya pelestarian sumber daya hayati laut termasuk sumber daya penyu.
KOORDINASI
Masalah pengelolaan penyu menyangkut berbagai macam kepentingan yang melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pengelolaan penyu laut perlu adanya koordinasi antara instansi terkait sehingga tidak terjadi pengelolaan yang tumpang tindih dan terhindarnya produk hukum yang berbeda tentang pengelolaan sumber daya penyu.
Sampai saat ini kita belum memiliki data yang memadai mengenai populasi, habitat dan penyebaran penyu di perairan Indonesia. Selain itu data yang ada cenderung tersebar di masing-masing instansi terkait dengan perkataan lain tidak terkompilasi dengan baik. Sebagai satwa liar yang selalu berimigrasi dengan jangkauan yang cukup jauh, siklus biologis dan aspek kehidupan penyu masih belum banyak diketahui.
PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PENGELOLAAN PENYU
Di Indonesia, upaya-upaya penelitian, pengembangan, pendidikan, dan latihan yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi sumber daya penyu dirasakan masih sangat kurang, sehingga belum menunjukkan hasil yang memadai.
Menurut pandangan Internasional, semua jenis penyu sudah langka dan terancam punah. Dalam Red Data Book – IUCN (Intemational Union For Conservation of Nature and Natural Resources), telah tercatat dalam kategori jenis yang terancam kepunahan (threatened species). Dalam rangka pengawasan lalu lintas dan perdagangan satwa secara Internasional, semua jenis penyu telah dicantumkan dalam appendix I-CITES (Convention on Intemational Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang artinya merupakan jenis yang terancam kepunahan dan tidak boleh diperdagangkan secara internasional.
Di Indonesia terdapat 6 jenis penyu, yaitu penyu hijau/green turtle (Chelonia mydas), penyu sisik/hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing/leatherback turtle Dennochelys coricea penyu lekang, penyu/oliveridley turtle (kepidchelys olivacea), penyu tempayani loggerhead turtle (Caretta caretta) dan penyu pipih/flatback turtle (Natator depressa). Keenam jenis penyu yang ada di Indonesia telah dilindungi Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pemanfaatan sumber daya penyu sebagian besar diambil dari populasi di alam dan belum ada usaha pemanfaatan dari hasil penangkaran. Keadaan seperti ini apabila berlangsung terus menerus dikhawatirkan akan mengakibatkan populasi penyu di alam terus menurun, yang pada akhirnya akan membawa dampak negatif berupa ancaman kepunahan.

 

0 comments:

Post a Comment