Masalah
pada tambak udang windu yang sampai saat ini belum teratasi di daerah kabupaten
Pati, ada berbagai teknologi yang diterapkan sebagai upaya solusi pemecahan
masalah di tambak udang windu. Sampai upaya memproduksi udang Vanamei (Litopenaeus vannamei Boone.) agar tidak samapai mengalami stagnasi udang.
Teknik
bioflok adalah sebuah teknologi alternatif untuk budidaya udang yang sedang
popular saat ini. Teknik ini mencoba untuk mentreatment limbah budidaya secara
langsung di dalam petak budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen,
mikroorganisme, dan rasio C/N dalam tingkat tertentu. Keberhasilan teknik
bioflok telah diklaim di beberapa tempat, seperti Israel (dengan komoditas
Tilapia), Indonesia (vannamei), Belize, Amerika Tengah (vanname), dan Australia
(Windu). Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei mampu
menurunkan FCR sebesar 20%, dan menghasilkan 50 ton udang/ha dengan panen
bertahap.
Teori
Bioflokulasi
Bioflok
adalah bahasa slang pada teknik pengolahan limbah cair untuk makroagregat yang
dihasilkan dalam sistem lumpur aktif. Lumpur aktif dapat pula diibaratkan
sebagai ‘sup mikroba’ yang terbentuk dari pemberian aerasi terus-menerus pada
biomassa tersuspensi dan mikroorganisme pengurai dalam limbah cair. Jadi,
bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa,
fitoplankton) dan limbah. Namun ada beberapa mikroorganisme yang telah
diidentifikasi berfungsi sebagai bioflocculant. Salah satu visualisasi kondisi
flok Zooglea ramigera
1. Escherichia intermedia
2. Paracolobacterium aerogenoids
3. Bacillus subtilis
4. Bacillus cereus
5. Flavobacterium
6. Pseudomonas alcaligenes
7. Sphaerotillus natans
8. Tetrad dan Tricoda
9. Escherichia intermedia
Terbentuknya
bioflok secara ilmiah belum disepakati para ilmuwan. Akan tetapi hasil kajian
terkini menunjukkan arah sebagai berikut. Mikroorganisme seperti bakteri dengan
kemampuan lisis bahan organic memanfaatkan detritus sebagai makanan. Sel
bakteri mensekresikan lendir metabolit, biopolymer (polisakarida, peptide dan
lipid) atau senyawa kombinasi dan terakumulasi disekitar dinding sel serta
detritus. Kesalingtertarikan antara dinding sel bakteri menyebabkan munculnya
flok bacterial. Polimer ekstraseluler yang dibentuk sendiri oleh bakteri
berfungsi sebagai jembatan penghubung (mampu mencapai panjang 50 um). Dua
senyawa biopolymer dengan gugus karboksil (COOH) pada bakteri berbeda membentuk
ester dengan ion divalent (Ca, Mg). Ikatan-ikatan ini meningkatkan massa
kumpulan partikel, menjadikan inti kumpulan bersifat hidrofobik (takut air) dan
tepinya bersifat hidrofilik (suka air) sehingga terjadi dewaterisasi (lebih
sedikit air di dalam partikel). Kemudian karena ukuran diameter yang semakin
besar menjadikan flok mudah terendap. Proses bakterial di tambak dapat dibaca.
Selain
hal-hal diatas, kandungan bahan organik, oksigen dan pH juga berpengaruh
terhadap terbentuknya flok. Pembentukan bioflok berkualitas memerlukan
perbandingan C/N/P sekitar 100:5:1. Oksigen terlarut di seluruh bagian air
(vertical-horizontal) sebaiknya >4 ppm, Kandungan karbon yang terlalu banyak
dan kadar oksigen terlarut rendah menyebabkan berkembangnya bakteri filamen
sehingga flok menjadi berkualitas buruk.
Flok yang baik memiliki proporsi yang seimbang antara bakteri filamen
(berfungsi sebagai rangka flok) dan non-filamen. Berhubungan dengan pH, air
yang berpH asam akan menghambat terbentuknya bioflok karena akan mengurangi
kandungan kation divalent dalam air untuk ikatan esterasi.
Salah
satu cara untuk meningkatkan kualitas bioflok.
Penggunaan
Bioflokulasi dalam Akuakultur
Teknik
pengolahan limbah dengan bioflok diadopsi oleh akuakultur untuk mereduksi
bahan-bahan organik dan senyawa beracun yang terakumulasi dalam air pemeliharaan
ikan/udang sehingga produktifitas kolam semakin lama semakin menurun (relevansi
tentang penuaan kolam bisa. Pada dasarnya sistem ini mereproduksi efek
self-purifikasi yang terjadi di sungai dan estuarin. Hasil akhir aplikasi
teknik bioflok adalah meningkatnya efisiensi pemanfaatan pakan dan peningkatan
kualitas air.
Telah
diketahui secara luas bahwa berdasarkan hukum kekekalan massa banyak materi
pakan tidak terserap menjadi biomass udang/ikan. Flok mikroba ini diharapkan
mampu memanfaatkan materi tersebut dan akhirnya dapat menjadi bahan makanan
tambahan bagi udang. Beberapa hal penting yang menentukan kualitas bioflok
adalah nilai nutrisi, aman dan palatable untuk dikonsumsi dan berukuran cukup
besar sehingga layak dimakan oleh udang/ikan.
Aplikasi
teknik bioflok secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awal
pemeliharaan kondisi kualitas air masih dalam keadaan baik. Kemudian dimasukkan
input hewan pemeliharaan lalu pakan diberikan secara teratur. Pakan tak
termakan, kotoran ikan/udang padat terakumulasi di dasar kolam. Amonia beracun
semakin bertambah di media namun masih dapat diserap oleh fitoplankton. Akan
tetapi, fitoplankton tidak mampu menggunakan massa lumpur padat di dasar kolam.
Seiring waktu, ketika mendung atau fitoplankton terlalu padat terjadi kematian
massal fitoplankton sehingga tidak mampu mengurangi limbah beracun bahkan
fitoplankton menambah konsentrasi limbah. Hubungan antara bakteri dan
fitoplankton dalam kolam dapat dipahami lebih detail.
Rendahnya
pemanfaatan nitrogen pakan menyebabkan kandungan ammonia-nitrogen di air
menjadi berbahaya. Sedangkan bakteri dapat memanfaatkan ammonia-nitrogen dengan
efisien jika perbandingan C/N sekitar 15-25:1. Sehingga kekurangan karbon dapat
digunakan sumber karbohidrat tertentu seperti gula, molase, tepung terigu dan
dedak. Perkiraan kasar untuk menghitung banyaknya nitrogen dalam air tambak 1
ha kedalaman 1 m (10.000 m3) dapat dihitung sebagai berikut:
Asumsi-asumsi:
Ekskresi
nitrogen = 70%
Kadar
protein = 40%
Nitrogen
protein = 16%
Jumlah
pakan = 1 kg
Jumlah
nitrogen dalam air = 1000 gr x 40% x 16% x 70% : 10.000 m3 air
=
0,00448 ppm TAN
Dibutuhkan
416,7 hari untuk mencapai 2 ppm TAN !
Namun
jika pakan diberikan 100 kg/hari maka hanya perlu waktu 4,2 hari untuk mencapai
level TAN berbahaya ! Dengan pakan sebanyak ini maka TAN akan dicapai 0,448 ppm
per hari.
Jika
C/N yang diinginkan 15, dan digunakan gula dengan berat kering 90%, sakarida
95%, dan karena kandungan C dalam karbohidrat sekitar 40% maka dibutuhkan:
=
0,448 x 15
=
6,72 ppm C, atau
=
6,72 : (90% x 95%x40%)
=
19,65 ppm gula, atau
=
196,5 kg gula per 1 ha tambak
Karena
amonium dan nitrat dapat diserap fitoplankton maka pemberian gula bisa
dikurangi menjadi 5-10% saja. Pengalaman di lapangan akan membantu menentukan
keputusan yang akan diambil.
Perkembangan
pesat dari bakteri flok akan memungkinkan terjadinya gumpalan-gumpalan yang
dapat dimanfaatkan kembali oleh biota. Namun demikian dibutuhkan kandungan
oksigen yang cukup (>4 ppm), pH 7,3-8,3 untuk mempertahankan flok karena
susunan flok akan berubah kembali setelah 8 jam. Kebutuhan aerasi besar ini
menyebabkan teknik bioflok hanya layak secara ekonomis untuk padat tebar
tinggi. Flok yang terlalu padat (>200 ml/l dengan imhoff cone) perlu
dilakukan pembuangan sebagian.
Berikut
ini fakta-fakta penting pada aplikasi bioflok yang telah berhasil dilakukan
untuk udang.
1.
Padat tebar tinggi 130 –150 PL10/m2
2.
Aerasi 28-32 HP/ha
3.
Perlu diperhatikan posisi kincir tambak
4.
Kolam berlapis HDPE
5.Molasse
6.
Production 20–25 MT/ha/panen
Tidak
semua bahan organic dikonversi sempurna menjadi tubuh mikroba. Berikut ini
kemampuan mikroba untuk mengkonversi berbagai senyawa organic.
Senyawa
organik Konversi menjadi bioflok (%)
Karbohidrat
65‐85
Alkohol
52‐66
Protein
32‐68
Lemak
10‐60
Kasein
50‐53
Glukosa
49‐59
Sukrosa
58‐68
Pemecahan
Masalah
Walaupun
teknik bioflok begitu menjanjikan, namun ada beberapa kelemahan atau
permasalahan yang harus diketahui.
1.
Kebutuhan aerasi 24 jam non-stop. Oleh karena itu untuk mencapai kelayakan
ekonomis perlu padat tebar tinggi. Kematian aerasi lebih dari 1 jam akan
berakibat fatal khususnya ketika flok berumur tua.
2.
Posisi kincir tambak harus sedemikian rupa sehingga partikel flok tetap
tersuspensi.
3.
Flok terlalu padat akan menurunkan kualitasnya. Konsentrasi bioflok tidak boleh
lebih dari 200 ml/l dengan pengukuran corong imhoff. Pengurangan kepadatan
dapat dilakukan dengan siphonasi.
4.
Keasamaan air dapat dipertahankan dengan pemberian dolomite 5 ppm juga
berfungsi sebagai sumber kation divalent.
0 comments:
Post a Comment