Tuesday, June 5, 2012

BIOFLOK PADA UDANG WINDU

June 05, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Masalah pada tambak udang windu yang sampai saat ini belum teratasi di daerah kabupaten Pati, ada berbagai teknologi yang diterapkan sebagai upaya solusi pemecahan masalah di tambak udang windu. Sampai upaya memproduksi udang Vanamei (Litopenaeus vannamei Boone.) agar tidak samapai mengalami stagnasi udang.

Teknik bioflok adalah sebuah teknologi alternatif untuk budidaya udang yang sedang popular saat ini. Teknik ini mencoba untuk mentreatment limbah budidaya secara langsung di dalam petak budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio C/N dalam tingkat tertentu. Keberhasilan teknik bioflok telah diklaim di beberapa tempat, seperti Israel (dengan komoditas Tilapia), Indonesia (vannamei), Belize, Amerika Tengah (vanname), dan Australia (Windu). Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei mampu menurunkan FCR sebesar 20%, dan menghasilkan 50 ton udang/ha dengan panen bertahap.
Teori Bioflokulasi
Bioflok adalah bahasa slang pada teknik pengolahan limbah cair untuk makroagregat yang dihasilkan dalam sistem lumpur aktif. Lumpur aktif dapat pula diibaratkan sebagai ‘sup mikroba’ yang terbentuk dari pemberian aerasi terus-menerus pada biomassa tersuspensi dan mikroorganisme pengurai dalam limbah cair. Jadi, bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa, fitoplankton) dan limbah. Namun ada beberapa mikroorganisme yang telah diidentifikasi berfungsi sebagai bioflocculant. Salah satu visualisasi kondisi flok Zooglea ramigera
1.         Escherichia intermedia
2.         Paracolobacterium aerogenoids
3.         Bacillus subtilis
4.         Bacillus cereus
5.         Flavobacterium
6.         Pseudomonas alcaligenes
7.         Sphaerotillus natans
8.         Tetrad dan Tricoda
9.         Escherichia intermedia
Terbentuknya bioflok secara ilmiah belum disepakati para ilmuwan. Akan tetapi hasil kajian terkini menunjukkan arah sebagai berikut. Mikroorganisme seperti bakteri dengan kemampuan lisis bahan organic memanfaatkan detritus sebagai makanan. Sel bakteri mensekresikan lendir metabolit, biopolymer (polisakarida, peptide dan lipid) atau senyawa kombinasi dan terakumulasi disekitar dinding sel serta detritus. Kesalingtertarikan antara dinding sel bakteri menyebabkan munculnya flok bacterial. Polimer ekstraseluler yang dibentuk sendiri oleh bakteri berfungsi sebagai jembatan penghubung (mampu mencapai panjang 50 um). Dua senyawa biopolymer dengan gugus karboksil (COOH) pada bakteri berbeda membentuk ester dengan ion divalent (Ca, Mg). Ikatan-ikatan ini meningkatkan massa kumpulan partikel, menjadikan inti kumpulan bersifat hidrofobik (takut air) dan tepinya bersifat hidrofilik (suka air) sehingga terjadi dewaterisasi (lebih sedikit air di dalam partikel). Kemudian karena ukuran diameter yang semakin besar menjadikan flok mudah terendap. Proses bakterial di tambak dapat dibaca.
Selain hal-hal diatas, kandungan bahan organik, oksigen dan pH juga berpengaruh terhadap terbentuknya flok. Pembentukan bioflok berkualitas memerlukan perbandingan C/N/P sekitar 100:5:1. Oksigen terlarut di seluruh bagian air (vertical-horizontal) sebaiknya >4 ppm, Kandungan karbon yang terlalu banyak dan kadar oksigen terlarut rendah menyebabkan berkembangnya bakteri filamen sehingga flok menjadi berkualitas buruk.  Flok yang baik memiliki proporsi yang seimbang antara bakteri filamen (berfungsi sebagai rangka flok) dan non-filamen. Berhubungan dengan pH, air yang berpH asam akan menghambat terbentuknya bioflok karena akan mengurangi kandungan kation divalent dalam air untuk ikatan esterasi.
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas bioflok.
Penggunaan Bioflokulasi dalam Akuakultur
Teknik pengolahan limbah dengan bioflok diadopsi oleh akuakultur untuk mereduksi bahan-bahan organik dan senyawa beracun yang terakumulasi dalam air pemeliharaan ikan/udang sehingga produktifitas kolam semakin lama semakin menurun (relevansi tentang penuaan kolam bisa. Pada dasarnya sistem ini mereproduksi efek self-purifikasi yang terjadi di sungai dan estuarin. Hasil akhir aplikasi teknik bioflok adalah meningkatnya efisiensi pemanfaatan pakan dan peningkatan kualitas air.
Telah diketahui secara luas bahwa berdasarkan hukum kekekalan massa banyak materi pakan tidak terserap menjadi biomass udang/ikan. Flok mikroba ini diharapkan mampu memanfaatkan materi tersebut dan akhirnya dapat menjadi bahan makanan tambahan bagi udang. Beberapa hal penting yang menentukan kualitas bioflok adalah nilai nutrisi, aman dan palatable untuk dikonsumsi dan berukuran cukup besar sehingga layak dimakan oleh udang/ikan.
Aplikasi teknik bioflok secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada awal pemeliharaan kondisi kualitas air masih dalam keadaan baik. Kemudian dimasukkan input hewan pemeliharaan lalu pakan diberikan secara teratur. Pakan tak termakan, kotoran ikan/udang padat terakumulasi di dasar kolam. Amonia beracun semakin bertambah di media namun masih dapat diserap oleh fitoplankton. Akan tetapi, fitoplankton tidak mampu menggunakan massa lumpur padat di dasar kolam. Seiring waktu, ketika mendung atau fitoplankton terlalu padat terjadi kematian massal fitoplankton sehingga tidak mampu mengurangi limbah beracun bahkan fitoplankton menambah konsentrasi limbah. Hubungan antara bakteri dan fitoplankton dalam kolam dapat dipahami lebih detail.
Rendahnya pemanfaatan nitrogen pakan menyebabkan kandungan ammonia-nitrogen di air menjadi berbahaya. Sedangkan bakteri dapat memanfaatkan ammonia-nitrogen dengan efisien jika perbandingan C/N sekitar 15-25:1. Sehingga kekurangan karbon dapat digunakan sumber karbohidrat tertentu seperti gula, molase, tepung terigu dan dedak. Perkiraan kasar untuk menghitung banyaknya nitrogen dalam air tambak 1 ha kedalaman 1 m (10.000 m3) dapat dihitung sebagai berikut:
Asumsi-asumsi:
Ekskresi nitrogen = 70%
Kadar protein = 40%
Nitrogen protein = 16%
Jumlah pakan = 1 kg
Jumlah nitrogen dalam air = 1000 gr x 40% x 16% x 70% : 10.000 m3 air
= 0,00448 ppm TAN
Dibutuhkan 416,7 hari untuk mencapai 2 ppm TAN !
Namun jika pakan diberikan 100 kg/hari maka hanya perlu waktu 4,2 hari untuk mencapai level TAN berbahaya ! Dengan pakan sebanyak ini maka TAN akan dicapai 0,448 ppm per hari.
Jika C/N yang diinginkan 15, dan digunakan gula dengan berat kering 90%, sakarida 95%, dan karena kandungan C dalam karbohidrat sekitar 40% maka dibutuhkan:
= 0,448 x 15
= 6,72 ppm C, atau
= 6,72 : (90% x 95%x40%)
= 19,65 ppm gula, atau
= 196,5 kg gula per 1 ha tambak
Karena amonium dan nitrat dapat diserap fitoplankton maka pemberian gula bisa dikurangi menjadi 5-10% saja. Pengalaman di lapangan akan membantu menentukan keputusan yang akan diambil.
Perkembangan pesat dari bakteri flok akan memungkinkan terjadinya gumpalan-gumpalan yang dapat dimanfaatkan kembali oleh biota. Namun demikian dibutuhkan kandungan oksigen yang cukup (>4 ppm), pH 7,3-8,3 untuk mempertahankan flok karena susunan flok akan berubah kembali setelah 8 jam. Kebutuhan aerasi besar ini menyebabkan teknik bioflok hanya layak secara ekonomis untuk padat tebar tinggi. Flok yang terlalu padat (>200 ml/l dengan imhoff cone) perlu dilakukan pembuangan sebagian.
Berikut ini fakta-fakta penting pada aplikasi bioflok yang telah berhasil dilakukan untuk udang.
1. Padat tebar tinggi 130 –150 PL10/m2
2. Aerasi 28-32 HP/ha
3. Perlu diperhatikan posisi kincir tambak
4. Kolam berlapis HDPE
5.Molasse
6. Production 20–25 MT/ha/panen
Tidak semua bahan organic dikonversi sempurna menjadi tubuh mikroba. Berikut ini kemampuan mikroba untuk mengkonversi berbagai senyawa organic.
Senyawa organik Konversi menjadi bioflok (%)
Karbohidrat 6585
Alkohol 5266
Protein 3268
Lemak 1060
Kasein 5053
Glukosa 4959
Sukrosa 5868
Pemecahan Masalah
Walaupun teknik bioflok begitu menjanjikan, namun ada beberapa kelemahan atau permasalahan yang harus diketahui.
1. Kebutuhan aerasi 24 jam non-stop. Oleh karena itu untuk mencapai kelayakan ekonomis perlu padat tebar tinggi. Kematian aerasi lebih dari 1 jam akan berakibat fatal khususnya ketika flok berumur tua.
2. Posisi kincir tambak harus sedemikian rupa sehingga partikel flok tetap tersuspensi.
3. Flok terlalu padat akan menurunkan kualitasnya. Konsentrasi bioflok tidak boleh lebih dari 200 ml/l dengan pengukuran corong imhoff. Pengurangan kepadatan dapat dilakukan dengan siphonasi.
4. Keasamaan air dapat dipertahankan dengan pemberian dolomite 5 ppm juga berfungsi sebagai sumber kation divalent.

0 comments:

Post a Comment