Dalam rangka
pelaksanaan Standar Nasional (SNI) sebagai standar produk di Indonesia maka
diadakan sertifikasi pada perikanan untuk CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik)
dan CBIB (Cara Pembesaran Ikan yang Baik). Persyaratan konsumen produk
perikanan semakin beragam dan ketat, meliputi berbagai aspek yang berkaitan
langsung dengan budidaya, seperti keamanan pangan, kualitas produk, lingkungan
hidup, dan aspek sosial.
Konsep traceability
dalam unit usaha budidaya perikanan, menjadi salah satu persyaratan ekspor
produk perikanan ke negara konsumen, terutama hal-hal yang berkaitan dengan
penerapan dan pengawasan aspek-aspek keamanan pangan. Dokumen traceability yang lengkap dan berisi
data mutahir akan memberikan jaminan keamanan pangan dan kualitas produk
perikanan.
Produksi perikanan
budidaya (akuakultur) mengalami peningkatan yang spektakuler dalam kurun waktu
30 tahun terakhir. FAO (2010) mencatat adanya pertumbuhan yang luar biasa pada
produksi akuakultur dunia sejak tahun 1990 hingga 2008. Pada tahun 1980
produksi akuakultur dunia adalah 4.705.841 ton, meningkat menjadi 13.074.100
ton pada tahun 1990, dan pada tahun 2000 produksi akuakultur dunia melompat
menjadi 32.416.110 ton.
Pada tahun 2008 produksi akuakultur naik lagi menjadi
52.546.205 ton. Perkembangan ini berkontribusi pada meningkatkan konsumsi
protein hewani masyarakat dunia, dimana rerata konsumsi produk akuakultur per
kapita meningkat dari 0,7 kg di tahun 1970 menjadi 7,8 kg di tahun 2008.
Indonesia tergolong dalam kelompok negara produsen utama ikan dunia. Pada tahun
1997 Indonesia berada pada posisi ke tujuh, dengan udang sebagai primadona
ekspor. Komoditas perikanan lainnya adalah
ikan tuna, kepiting, ikan hias, dan kelompok cumi-cumi.
Peningkatan produksi
akuakultur ternyata juga diiringi dengan semakin ketat dan beragamnya peraturan
dan persyaratan konsumen di negara tujuan ekspor, seperti pelarangan penggunaan
antibiotika golongan nitrofuran sejak tahun 1995, pelarangan penggunaan
chloramphenicol oleh lembaga Food and Drug Administration (FDA, 1997 dalam
National Toxycology Program, 2011), penentuan
Minimum Required Performance Limit (MRPL) melalui Commission Decision
(2003), maupun penentuan batas maksimum keberadaan kontaminan pada makanan
(Commision Regulation, 2006).
Manfaat traceability
adalah menjamin keamanan pangan, dapat mengidentifikasikan karakteristik fisik,
spesifikasi, dan kualitas, serta membangun dan menjaga image produk. Perwakilan
EU memperkenalkan traceability untuk produk akuakultur ke Indonesia pada tahun
2003.
Traceability merupakan
bagian dari sistem mutu yang bertujuan
utama menjamin kualitas dan keamanan produk, melalui kemudahan akses informasi
pada setiap tahapan proses produksi. Informasi yang dapat diakses tersebut
mencakup segala tindakan atau kondisi serta bahan yang digunakan (untuk
mencapai kondisi optimal) pada setiap tahapan budidaya. Termasuk di dalamnya
juga tentang asal usul dan kualitas benur dan pakan yang digunakan.
Aplikasi
traceability, pada awalnya hanya dikenal
dalam proses pengolahan ikan, namun dengan semakin pesatnya perkembangan
budidaya, dimana penggunaan bahan kimia pada proses budidaya sulit dihindari,
maka konsumen mulai menuntut informasi terkait
keamanan produk mulai dari tahapan budidaya hingga ke proses
pengolahannya. Bahkan semua bahan pendukung lainnya seperti pakan, pupuk,
probiotik, dan kondisi lingkungan tidak lepas dari persyaratan yang mereka
ajukan.
Traceability untuk
keberhasilan budidaya
Untuk tujuan
keberhasilan/keberlanjutan budidaya, semua kondisi/perlakuan yang berpotensi
berpengaruh pada produksi harus dicatat, dan itu tentu berbeda beda untuk satu
farm dengan farm lainnya tergantung system budidaya yang diterapkan. Ketrampilan/skill pelaku dilapangan juga
berpengaruh tentang apa yang perlu dicatat dan
apa yang tidak. Misalnya salinitas air di tambak pada saat tebar, bagi
satu teknisi merasa perlu dicatat, karena berpendapat bahwa perbedaan salinitas
air tambak dengan air dari hatchery dapat membuat benur menjadi stress,
dan secara signifikan berpengaruh pada
SR benur segera setelah di tebar. Tapi bagi teknisi lain hal ini tidak perlu
karena udang merupakan hewan euryhalin misalnya. Untuk hal seperti ini tidak
bisa dikatakan teknisi mana yang lebih benar, semua benar.
Namun yang jelas, setiap teknisi pelaksana harus mengetahui parameter parameter yang berpotensi mempengaruhi keberhasilan produksi. Dan ini harus dapat diidentifikasi pada setiap tahapan budidaya, mulai dari persiapan lahan (tambak), persiapan air, penebaran benih, dan pemeliharaan (budidaya).
Semua kondisi yang
dicapai selama masa persiapan tambak dan persiapan air, harus dicatat dan dibandingkan dengan
kondisi standar yang disyaratkan, bisa menurut literatur atau menurut ketentuan
umum seperti misalnya dalam Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak (Direktorat
Pembudidayaan, 2004). Dalam hal ini dapat mencakup tingkat kekeringan dasar
tambak, kebersihan, ketebalan lumpur, nilai pH dan redox tanah dan
sebagainya. Hal yang sama dapat
dilakukan untuk parameter-parameter penentu keberhasilan pada saat penebaran
benur, dan selama pemeliharaan. Khusus informasi tantang benur, yang paling
penting adalah kualitas dan kesehatan/fitalitas benur. Masing masing teknisi
akan memiliki standar yang diinginkan, misalnya pada PL berapa dia merasa
nyaman/yakin untuk menebarnya, satu teknisi bisa merasa nyaman pada PL-10 namun
yang lain bisa sampai PL 13 – 15.
Namun yang jelas semua
teknisi sepakat bahwa benur yang ditebar harus yang sehat. Untuk kesehatan
benur seyogyanya berlaku umum dimana benur harus SPF terutama terhadap penyakit
yang sedang mengganas seperti IMNV, WSSV, dan sebagainya. Supaya yakin bahwa benur sehat, maka harus
dibeli dari hatchery yang reputasinya baik dan mau memberikan jaminan. Untuk
tambak-tambak bersertifikat biasanya diwajibkan membeli benur dari hatchery
yang juga bersertifikat (ACC, 2002; GlobalG.A.P., 2007). Harga per satuan benur akan lebih mahal,
namun karena akan menghasilkan SR di tambak yang lebih tinggi, maka harga benur
per satuan produk tambak tentu akan lebih murah.
Parameter yang paling
banyak adalah pada tahapan budidaya, maka tulisan ini akan membahas sedikit
mendalam pada tahapan ini. Selama masa budidaya, ada tiga kegiatan utama yaitu
pengelolaan kualitas air (termasuk pengelolaan dasar tambak), pengelolaan
(pemberian) pakan, dan pengelolaan kesehatan.
Sekali lagi, berapa banyak
parameter yang perlu dicatat dan berapa frekuensinya tergantung dari
skill teknisi pengelola. Namun parameter yang umum perlu diketahui adalah nilai
pH, DO, dan suhu air pada pagi dan sore di hari yang sama.
Beberapa mengatakan
parameter yang terkait dengan kesuburan air seperti kepadatan plankton, PO4,
NO3, rasio C-N perlu diukur
dan dicatat. Beberapa parameter terkait dengan polusi/beracun, antara lain NH3-N,
H2S, NO2 dan CO2, perlu juga dicatat untuk
mengetahui sejauh mana konsentrasi stressor
di dalam tambak akan mulai mengganggu udang, kemudian segera melakukan
tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan dari kaedah (standar) umum. Sekali
lagi, jenis parameter tersebut juga tidak harus berlaku umum, tergantung
kondisi tambak, dan skill dari teknisi. Bisa saja misalnya seorang teknisi
tidak merasa perlu menganalisis H2S dan NH3 karena dia
sudah mengetahui jika air tambak dapat ditambah secara rutin sesuai protokol
yang ditetapkan (misalnya 5-10%/hari) dan dapat mempertahankan pH 7.5-8.5, maka
gas-gas beracun tersebut tidak akan pernah mencapai konsentrasi yang
membahayakan udang. Terkait dengan bahan yang digunakan, pencatatan harus
dilakukan terhadap semua bahan baku budidaya yang digunakan mulai dari pupuk,
desinfektan, obat-obatan (termasuk antibiotika) atau bahan kimia lainnya
(seperti feed additive), probiotik, maupun pakan. Informasi yang dicatat menyangkut dosis dan frekuensi aplikasinya.
Traceability untuk
Kemanan Produk (Food Safety)
Informasi yang
diperlukan oleh konsumen terkait dengan food safety adalah terkait penggunaan
bahan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen, seperti apakah udang
yang digunakan itu GMO (genetic modified oganism), menggunakan antibiotika
terlarang terutama Chloraphenicol dan Nitrofuran, bahan pencemar seperti logam
berat (Cd, Hg dan Cu) dan bahan bahan lain yang kadang-kadang diminta khusus oleh
pembeli. Informasi apakah udang yang digunakan itu GMO apa bukan, dapat dimintakan kepada
hatchery pemasok benur, dan hatchery dapat minta jaminan dari pemasok induk
udang. Penggunaan antibiotika, dapat dilihat pada traceability (untuk keperluan
budidaya) tersebut di atas, apakah bahan yang digunakan ada yang kemungkinan
mengandung antibiotika tertentu. Sementara untuk logam berat dapat saja
petambak melakukan analisis logam berat yang dimaksud (dengan mengirim
contoh air/lumpur/udang), setiap batch sekali pada saat udang bumur 60–90 hari misalnya, atau sesuai dengan
perminataan pembeli, kapan harus dianalisis.
Monitoring kualitas lingkungan perairan setiap 3-4 bulan sekali juga
baik dilakukan untuk membuktikan apakah lingkungan sekitar area budidaya
mengandung logam berat/pestisida yang akan mencemari udang.
Penyusunan Data
Data-data yang tercatat
hendaknya disusun secara sistematis sehingga
memudahkan untuk diakses setiap saat diperlukan. Tidak ada standar baku
bagaimana cara membuat tabulasi dan sistem penyimpanan data. Hal ini tergantung
pada masing masing teknisi dalam menyusun data manual ataupun elektriknya. Parameter yang umum diminta pembeli antara
lain:
1. Asal usul benur (nama hatchery)
2. Status kesehatan benur
3. Tanggal tebar dan kepadatan,
4. Tanggal panen
5. Jenis pakan dan jumlah yang diberikan selama
budidaya
6. Biomass saat panen,
7. SR saat panen
Jenis dan jumlah bahan
kimia yang digunakan selama budidaya
0 comments:
Post a Comment