Kehadiran plankton di
suatu ekosistem perairan sangatlah penting, karena fungsinya sebagai produsen
primer atau karena kemampuannya dalam mensintesa senyawa organik dari senyawa
anorganik melalui proses fotosintesis (Heddy & Kurniati, 1996, hlm: 18).
Dalam ekosistem air hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton
bersama dengan tumbuhan
air lainnya disebut
sebagai produktivitas primer. Fitoplankton terutama pada lapisan
perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses
fotosintesis (Barus, 2004, hlm: 40-43).
Fitoplankton ada
yang dapat tertangkap dengan jaring
plankton tetapi lebih banyak lagi yang sangat halus, lolos tidak tertangkap.
Fitoplankton yang sangat halus ini disebut nanoplankton, ukurannya kurang dari
20 µm,dan sangat rapuh hingga sulit diawetkan. Di perairan Indonesia diatom
paling sering ditemukan, baru kemudian
dinoflagellata. Alga biru jarang dijumpai, tetapi sekali muncul sering
populasinya sangat besar ( Nontji, 1993, hlm: 129).
Peran utama
fitoplankton dalam ekosistem air tawar adalah sebagai produsen primer. Sebagai produsen, fitoplankton merupakan makanan
bagi komponen ekosistem lainnya khususnya ikan. Posisinya di dasar piramida makanan
mempertahankan kesehatan lingkungan air. Bila ada gangguan terhadap
fitoplankton, maka seketika komunitas lain akan terpengaruh. Komposisi
fitoplankton bergantung pada kualitas air, karena itu jenis alga tertentu dapat digunakan sebagai
indikator eutrifikasi air. Keasaman air juga mempengaruhi kelimpahan fitoplankton
(Monk, et al, 2000, hlm: 174).
Kualitas suatu perairan
terutama perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan fluktuasi populasi
plankton yang akan mempengaruhi tingkatan trofik perairan tersebut. Fluktuasi
dari populasi plankton sendiri dipengaruhi terutama oleh perubahan berbagai
faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi populasi plankton adalah
ketersedian nutrisi di suatu perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor
yang terakumulasi dalam
suatu perairan akan
menyebabkan terjadinya ledakan populasi fitoplankton dan proses ini
akan menyebabkan terjadinya eutrifikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan
(Barus. 2004, hlm: 31).
Zooplankton yang
merupakan plankton yang bersifat hewani sangat beraneka ragam dan bentuk dewasa
yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Namun dari sudut ekologi, hanya satu
golongan zooplankton yang sangat penting yaitu subklas kopepoda. Kopepoda ialah Crustaceae holoplanktonik
berukuran kecil yang mendominasi zooplankton, merupakan herbivora primer
(Nybakken, 1992, hlm: 41).
Faktor Fisik Kimia yang
Mempengaruhi Keanekaragaman Plankton
Menurut Nybakken (1992,
hlm: 40-42), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh
karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor
abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisma
dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kualitas suatu
perairan (Barus, 2004, hlm: 24).
Faktor abiotik
(fisika kimia) perairan
yang mempengaruhi kehidupan plankton antara lain:
a. Suhu
Cahaya matahari
merembes sampai pada kedalaman tertentu pada semua danau, sehingga permukaan
air hangat (agak panas). Air yang hangat kurang padat dibanding air yang
dingin, sehingga lapisan air yang dingin disebut epilimnion dan lapisan air
yang dingin disebut
hipolimnion. Pemisah dari
kedua lapisan tersebut dinamakan metalimnion dan diantara kedua lapisan
tersebut terjadi peningkatan suhu yang tajam yang disebut termoklin (Whitten,
1987, hlm: 204).
Dalam setiap penelitian
dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak
dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta
semua akt ivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat
dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu
sebesar 10oC (hanya pada kisaran
suhu yang masih ditolerir) akan
meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme
sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan
udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm
& Maijer 1990 dalam Barus, 2004, hlm: 44)
b. Penetrasi Cahaya
Menurut Haerlina (1987,
hlm: 5-6), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme
fotosintetik (fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal
harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. Kondisi
optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga
dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air,
misalnya oleh plankton dan humin yang terdapat di dalam air (Barus, 2004, hlm:
43).
Penetrasi cahaya
merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari
dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting
kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat
diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses
fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu
perairan (Suin, 2002, hlm: 42).
c. DO (Disolved Oxygen)
Disolved Oxygen (DO)
merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut
merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama
sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-
organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh
faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air
terdapat pada suhu 0 oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2 . Dengan terjadinya
peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan
sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004, hlm : 56).
Stratifikasi suhu
mempunyai pengaruh yang menarik terhadap air di bagian dasar danau.
Organisma-organisma yang berfotosintesis
tumbuh subur pada air di bagian permukaan yang dirembes oleh banyak
cahaya, dan hal ini yang menyebabkan epilimnion mendapatkan persediaan oksigen
yang cukup. Tetapi dalam air keruh di lapisan hipolimnion mungkin hampir tidak
ada fotosintesis, dan hampir tidak ada
produksi oksigen di sana. Namun hewan-hewan juga hidup di dasar danau, dan
membutuhkan oksigen untuk pernapasannya. Kekurangan oksigen ini menjadi lebih
parah karena aktivitas pengurai yang terus-menerus berlangsung. Hal ini disebabkan
karena biota di permukaan yang
bercahaya akan mengeluarkan
kotoran, bangkai- bangkai dan sisa-sisa ke dalam hipolimnion dan
bakteri memakannya selama jatuh ke dasar. Bakteri-bakteri pengurai itu dapat
dengan cepat mengurangi oksigen terlarut pada hipolimnion sampai hampir habis, dan tidak ada jalan bagi ekosistem
untuk mencapai lapisan-lapisan ini kecuali jika lapisan-lapisan tersebut
bercampur aduk (Whitten, 1987, hlm: 207).
d. BOD (Biochemical
Oxygen Demand)
Nilai BOD (Biochemical
Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur
200 C. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa
organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme
membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari
dianggap terlalu lama dalam proses
pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah
pengukuran dilakukan selama
5 hari, jumlah senyawa
organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang
umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang disebut BOD5 (Barus,
2004, hlm: 65-66).
B0D (Biochemical Oxygen
Demand) adalah kebutuhan oksigen yang
dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air. Proses penguraian bahan buangan
organik melalui proses oksdasi oleh mikroorganisma memerlukan waktu yang cukup
lama, hal ini
sangat tergantung pada
kerja dari bakteri
yang menguraikannya (Wardana,
1995, hlm: 77).
e. pH
Organisma akuatik dapat
hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran
toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan
organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang
bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup
organisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan
respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas
berbagai senyawa logam berat yang
bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya
akan mengancam kelangsungan
organisma akuatik. Sementara
pH yang tinggi akan menyebabkan
antara keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan
terganggu, di mana
kenaikan pH di atas netral
akan meningkatkan konsentrasi amoniak
yang juga bersifat sangat toksik bagi organisma
(Barus, 2004, hlm: 61).
Pengukuran pH air dapat
dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH atau dengan pH meter.
Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Yang perlu
diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus
benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002, hlm: 54). Nilai pH air yang
normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar
misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan
pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto, 2002, hlm: 73).
f. Kandungan Nitrat dan
Fospat
Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks
jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fospat
(Nybakken, 1992, hlm: 41). Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam
perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil.
Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa
mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk
pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na
berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk
pembentukan dinding sel dan cangkang (Isnansetyo & Kurniastuti, 1995, hlm:
16).
Keberadaan nitrat di
perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri, bahan
peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah
namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang
diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts & Sri 1987, hlm: 161).
Fosfat merupakan unsur
yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai organisma akuatik. Fosfat
merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi dari organisma
yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat berperan sebagai faktor
pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan konsentrasi fospat dalam suatu
ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air lainnya
secara cepat. Peningkatan fospat
akan menyebabkan timbulnya proses
eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan
kadar oksigen terlarut, diikuti
dengan timbulnya kondisi
anaerob yang menghasil berbagai senyawa toksik misalnya
methan, nitrit dan belerang (Barus, 2004, hlm: 4)
b. Penetrasi Cahaya
Menurut Haerlina (1987,
hlm: 5-6), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme
fotosintetik (fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal
harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. Kondisi
optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga
dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air,
misalnya oleh plankton dan humin yang terdapat di dalam air (Barus, 2004, hlm:
43).
Penetrasi cahaya
merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari
dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting
kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat
diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses
fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu
perairan (Suin, 2002, hlm: 42).
c. DO (Disolved Oxygen)
Disolved Oxygen (DO)
merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut
merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama
sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-
organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh
faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air
terdapat pada suhu 0 oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2 . Dengan terjadinya
peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan
sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004, hlm : 56).
Stratifikasi suhu
mempunyai pengaruh yang menarik terhadap air di bagian dasar danau.
Organisma-organisma yang berfotosintesis
tumbuh subur pada air di bagian permukaan yang dirembes oleh banyak
cahaya, dan hal ini yang menyebabkan epilimnion mendapatkan persediaan oksigen
yang cukup. Tetapi dalam air keruh di lapisan hipolimnion mungkin hampir tidak
ada fotosintesis, dan hampir tidak ada
produksi oksigen di sana. Namun hewan-hewan juga hidup di dasar danau, dan
membutuhkan oksigen untuk pernapasannya. Kekurangan oksigen ini menjadi lebih
parah karena aktivitas pengurai yang terus-menerus berlangsung. Hal ini disebabkan
karena biota di permukaan yang
bercahaya akan mengeluarkan
kotoran, bangkai- bangkai dan sisa-sisa ke dalam hipolimnion dan
bakteri memakannya selama jatuh ke dasar. Bakteri-bakteri pengurai itu dapat
dengan cepat mengurangi oksigen terlarut pada hipolimnion sampai hampir habis, dan tidak ada jalan bagi ekosistem
untuk mencapai lapisan-lapisan ini kecuali jika lapisan-lapisan tersebut
bercampur aduk (Whitten, 1987, hlm: 207).
d. BOD (Biochemical
Oxygen Demand)
Nilai BOD (Biochemical
Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur
200 C. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa
organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme
membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari
dianggap terlalu lama dalam proses
pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah
pengukuran dilakukan selama
5 hari, jumlah senyawa
organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang
umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang disebut BOD5 (Barus,
2004, hlm: 65-66).
B0D (Biochemical Oxygen
Demand) adalah kebutuhan oksigen yang
dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air. Proses penguraian bahan buangan
organik melalui proses oksdasi oleh mikroorganisma memerlukan waktu yang cukup
lama, hal ini
sangat tergantung pada
kerja dari bakteri
yang menguraikannya (Wardana,
1995, hlm: 77).
e. pH
Organisma akuatik dapat
hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran
toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan
organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang
bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup
organisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan
respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas
berbagai senyawa logam berat yang
bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya
akan mengancam kelangsungan
organisma akuatik. Sementara
pH yang tinggi akan menyebabkan
antara keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan
terganggu, di mana
kenaikan pH di atas netral
akan meningkatkan konsentrasi amoniak
yang juga bersifat sangat toksik bagi organisma
(Barus, 2004, hlm: 61).
Pengukuran pH air dapat
dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH atau dengan pH meter.
Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Yang perlu
diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus
benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002, hlm: 54). Nilai pH air yang
normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar
misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan
pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto, 2002, hlm: 73).
f. Kandungan Nitrat dan
Fospat
Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks
jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fospat
(Nybakken, 1992, hlm: 41). Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam
perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil.
Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa
mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk
pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na
berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk
pembentukan dinding sel dan cangkang (Isnansetyo & Kurniastuti, 1995, hlm:
16).
Keberadaan nitrat di
perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri, bahan
peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah
namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang
diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts & Sri 1987, hlm: 161).
Fosfat merupakan unsur
yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai organisma akuatik. Fosfat
merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi dari organisma
yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat berperan sebagai faktor
pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan konsentrasi fospat dalam suatu
ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air lainnya
secara cepat. Peningkatan fospat
akan menyebabkan timbulnya proses
eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan
kadar oksigen terlarut, diikuti
dengan timbulnya kondisi
anaerob yang menghasil berbagai senyawa toksik misalnya
methan, nitrit da riteria warna air tambak yang dapat
dijadikan acuan standar dalam pengelolaan kualitas air adalah seperti di bawah
ini:
1. Warna air tambak hijau
tua yang berarti menunjukkan adanya dominansi chlorophyceae dengan sifat lebih
stabil terhadap perubahan lingkungan dan cuaca karena mempunyai waktu
mortalitas yang relatif panjang. Tingkat pertumbuhan dan perkembangannya yang
relatif cepat sangat berpotensi terjadinya booming plankton di perairan
tersebut.
2. Warna air tambak
kecoklatan yang berarti menunjukkan adanya dominansi diatomae. Jenis plankton
ini merupakan salah satu penyuplai pakan alami bagi udang, sehingga tingkat
pertumbuhan dan perkembangan udang relatif lebih cepat. Tingkat kestabilan
plankton ini relatif kurang terutama pada kondisi musim dengan tingkat curah
hujan yang tinggi, sehingga berpotensi terjadinya plankton collaps dan jika
pengelolaannya tidak cermat kestabilan kualitas perairan akan bersifat
fluktuatif dan akan mengganggu tingkat kenyamanan udang di dalam tambak.
3. Warna air tambak
hijau kecoklatan yang berarti menunjukkan dominansi yang terjadi merupakan
perpaduan antara chlorophyceae dan diatomae yang bersifat stabil yang didukung
dengan ketersediaan pakan alami bagi udang.
Standar warna air
tambak seperti tersebut di atas merupakan acuan praktis dalam mengidentifikasi
jenis plankton sebagai upaya pendeteksian masalah kualitas perairan secara
dini. Selain warna standar tersebut ada beberapa warna air tambak yang biasa
dijumpai dalam kegiatan usaha budidaya udang, yaitu antara lain:
1. Warna air tambak
kekuningan yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis
cyanophyceae. Pada kondisi perairan tambak seperti ini biasanya udang berwarna
lebih pucat dari biasanya disertai dengan penurunan nafsu makan udang dan jika
tidak segera diantisipasi dapat menimbulkan kerusakan pada hepatopanchreas
udang.
2. Warna air tambak
hijau pupus yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis
dynophyceae dampak yang ditimbulkan relatif sama dengan point (1).
3. Warna air tambak
biru kehijauan yang berarti menunjukkan adanya dominansi blue green algae
dampak yang ditimbulkan relatif sama dengan point (1).
4. Kamuflase green
color, pada kondisi ini tambak seolah-olah berwarna kehijauan tapi pada
dasarnya tidak/kurang mengandung plankton. Hal ini terjadi biasanya pada tambak
yang kandungan bibit planktonya sangat kurang tetapi kegiatan pemupukan
berjalan terus, sehingga warna yang ditimbulkan adalah warna karena pengaruh
cuaca. Kejadian ini dapat diketahui dengan mengukur kecerahan perairan tambak
yang biasanya sangat tinggi, atau dengan melihat warna air yang ada pada kincir
air yang sedang dioperasikan.
Identifikasi jenis
plankton di perairan tambak secara praktis dengan melihat warna perairan
seperti telah diuraikan di atas perlu ditunjang dengan pengamatan dan analisis
laboratorium secara berkala untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Kegiatan
ini dilakukan dengan cara pengambilan sampel perairan dan sampel udang dari
petakan-petakan tambak baik yang bermasalah maupun yang tidak terkena masalah,
sehingga dapat diambil perbandingannya.n belerang (Barus, 2004, hlm: 4)
0 comments:
Post a Comment