Friday, March 9, 2012

EKOLOGI PLANKTON

March 09, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Kehadiran plankton di suatu ekosistem perairan sangatlah penting, karena fungsinya sebagai produsen primer atau karena kemampuannya dalam mensintesa senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis (Heddy & Kurniati, 1996, hlm: 18). Dalam ekosistem air hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton bersama   dengan   tumbuhan   air      lainnya   disebut   sebagai   produktivitas   primer. Fitoplankton terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Barus, 2004, hlm: 40-43).
Fitoplankton ada yang   dapat tertangkap dengan jaring plankton tetapi lebih banyak lagi yang sangat halus, lolos tidak tertangkap. Fitoplankton yang sangat halus ini disebut nanoplankton, ukurannya kurang dari 20 µm,dan sangat rapuh hingga sulit diawetkan. Di perairan Indonesia diatom paling  sering ditemukan, baru kemudian dinoflagellata. Alga  biru  jarang dijumpai, tetapi sekali muncul sering populasinya sangat besar ( Nontji, 1993, hlm: 129).
Peran utama fitoplankton dalam ekosistem air tawar adalah sebagai produsen primer. Sebagai   produsen, fitoplankton merupakan makanan bagi komponen ekosistem lainnya khususnya ikan. Posisinya di dasar piramida makanan mempertahankan kesehatan lingkungan air. Bila ada gangguan terhadap fitoplankton, maka seketika komunitas lain akan terpengaruh. Komposisi fitoplankton bergantung pada kualitas air, karena itu  jenis alga tertentu dapat digunakan sebagai indikator eutrifikasi air. Keasaman air juga mempengaruhi kelimpahan fitoplankton (Monk, et al, 2000, hlm: 174).
Kualitas suatu perairan terutama perairan menggenang dapat ditentukan berdasarkan fluktuasi populasi plankton yang akan mempengaruhi tingkatan trofik perairan tersebut. Fluktuasi dari populasi plankton sendiri dipengaruhi terutama oleh perubahan berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi populasi plankton adalah ketersedian nutrisi di suatu perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang  terakumulasi  dalam  suatu  perairan  akan  menyebabkan  terjadinya  ledakan populasi fitoplankton dan proses ini akan menyebabkan terjadinya eutrifikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan (Barus. 2004, hlm: 31).
Zooplankton yang merupakan plankton yang bersifat hewani sangat beraneka ragam dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Namun dari sudut ekologi, hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting yaitu subklas kopepoda.         Kopepoda ialah Crustaceae holoplanktonik berukuran kecil yang mendominasi zooplankton, merupakan herbivora primer (Nybakken, 1992, hlm: 41).
Faktor Fisik Kimia yang Mempengaruhi Keanekaragaman Plankton
Menurut Nybakken (1992, hlm: 40-42), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik  seperti plankton, perlu  juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisma dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus, 2004, hlm: 24).

Faktor  abiotik   (fisika   kimia)   perairan   yang   mempengaruhi  kehidupan plankton antara lain:
a. Suhu
Cahaya matahari merembes sampai pada kedalaman tertentu pada semua danau, sehingga permukaan air hangat (agak panas). Air yang hangat kurang padat dibanding air yang dingin, sehingga lapisan air yang dingin disebut epilimnion dan lapisan air yang  dingin  disebut  hipolimnion.  Pemisah dari kedua  lapisan tersebut  dinamakan metalimnion dan diantara kedua lapisan tersebut terjadi peningkatan suhu yang tajam yang disebut termoklin (Whitten, 1987, hlm: 204).
Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua akt ivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar  10oC (hanya pada  kisaran  suhu  yang  masih ditolerir)  akan  meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi)          dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm & Maijer 1990 dalam Barus, 2004, hlm: 44)
b. Penetrasi Cahaya
Menurut Haerlina (1987, hlm: 5-6), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terdapat di dalam air (Barus, 2004, hlm: 43).
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari,     kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu perairan (Suin, 2002, hlm: 42).
c. DO (Disolved Oxygen)
Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme- organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0 oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2 . Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah      akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004, hlm : 56).
Stratifikasi suhu mempunyai pengaruh yang menarik terhadap air di bagian dasar danau. Organisma-organisma yang  berfotosintesis tumbuh subur  pada air  di bagian permukaan yang dirembes oleh banyak cahaya, dan hal ini yang menyebabkan epilimnion mendapatkan persediaan oksigen yang cukup. Tetapi dalam air keruh di lapisan hipolimnion mungkin hampir tidak ada  fotosintesis, dan hampir tidak ada produksi oksigen di sana. Namun hewan-hewan juga hidup di dasar danau, dan membutuhkan oksigen untuk pernapasannya. Kekurangan oksigen ini menjadi lebih parah karena aktivitas pengurai yang terus-menerus berlangsung. Hal ini disebabkan karena  biota di permukaan  yang  bercahaya akan  mengeluarkan kotoran,  bangkai- bangkai  dan sisa-sisa ke dalam hipolimnion dan bakteri memakannya selama jatuh ke dasar. Bakteri-bakteri pengurai itu dapat dengan cepat mengurangi oksigen terlarut pada hipolimnion sampai hampir  habis, dan tidak ada jalan bagi ekosistem untuk mencapai lapisan-lapisan ini kecuali jika lapisan-lapisan tersebut bercampur aduk (Whitten, 1987, hlm: 207).
d. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 200 C. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu  lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama
5 hari, jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang disebut BOD5 (Barus, 2004, hlm: 65-66).
B0D (Biochemical Oxygen Demand) adalah  kebutuhan  oksigen yang dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air. Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksdasi oleh mikroorganisma memerlukan waktu yang cukup lama,  hal  ini  sangat  tergantung  pada  kerja  dari  bakteri  yang  menguraikannya (Wardana, 1995, hlm: 77).
e. pH
Organisma akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat  yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya  akan  mengancam  kelangsungan  organisma  akuatik.  Sementara  pH  yang tinggi akan menyebabkan antara keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air  akan  terganggu,  di  mana  kenaikan pH  di  atas  netral  akan  meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat  sangat toksik bagi organisma (Barus, 2004, hlm: 61).
Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002, hlm: 54). Nilai pH air yang normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto, 2002, hlm: 73).
f. Kandungan Nitrat dan Fospat
Fitoplankton dapat  menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fospat (Nybakken, 1992, hlm: 41). Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil. Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel dan cangkang (Isnansetyo & Kurniastuti, 1995, hlm: 16).
Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri, bahan peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts & Sri 1987, hlm: 161).
Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai organisma akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi dari organisma yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan konsentrasi fospat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air  lainnya  secara cepat.  Peningkatan  fospat  akan  menyebabkan timbulnya proses eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen  terlarut,  diikuti  dengan  timbulnya  kondisi  anaerob  yang  menghasil berbagai senyawa toksik misalnya methan, nitrit dan belerang (Barus, 2004, hlm: 4)

b. Penetrasi Cahaya
Menurut Haerlina (1987, hlm: 5-6), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terdapat di dalam air (Barus, 2004, hlm: 43).
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari,     kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu perairan (Suin, 2002, hlm: 42).
c. DO (Disolved Oxygen)
Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme- organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0 oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2 . Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah      akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004, hlm : 56).
Stratifikasi suhu mempunyai pengaruh yang menarik terhadap air di bagian dasar danau. Organisma-organisma yang  berfotosintesis tumbuh subur  pada air  di bagian permukaan yang dirembes oleh banyak cahaya, dan hal ini yang menyebabkan epilimnion mendapatkan persediaan oksigen yang cukup. Tetapi dalam air keruh di lapisan hipolimnion mungkin hampir tidak ada  fotosintesis, dan hampir tidak ada produksi oksigen di sana. Namun hewan-hewan juga hidup di dasar danau, dan membutuhkan oksigen untuk pernapasannya. Kekurangan oksigen ini menjadi lebih parah karena aktivitas pengurai yang terus-menerus berlangsung. Hal ini disebabkan karena  biota di permukaan  yang  bercahaya akan  mengeluarkan kotoran,  bangkai- bangkai  dan sisa-sisa ke dalam hipolimnion dan bakteri memakannya selama jatuh ke dasar. Bakteri-bakteri pengurai itu dapat dengan cepat mengurangi oksigen terlarut pada hipolimnion sampai hampir  habis, dan tidak ada jalan bagi ekosistem untuk mencapai lapisan-lapisan ini kecuali jika lapisan-lapisan tersebut bercampur aduk (Whitten, 1987, hlm: 207).
d. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 200 C. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu  lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama
5 hari, jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang disebut BOD5 (Barus, 2004, hlm: 65-66).
B0D (Biochemical Oxygen Demand) adalah  kebutuhan  oksigen yang dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air. Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksdasi oleh mikroorganisma memerlukan waktu yang cukup lama,  hal  ini  sangat  tergantung  pada  kerja  dari  bakteri  yang  menguraikannya (Wardana, 1995, hlm: 77).
e. pH
Organisma akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat  yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya  akan  mengancam  kelangsungan  organisma  akuatik.  Sementara  pH  yang tinggi akan menyebabkan antara keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air  akan  terganggu,  di  mana  kenaikan pH  di  atas  netral  akan  meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat  sangat toksik bagi organisma (Barus, 2004, hlm: 61).
Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002, hlm: 54). Nilai pH air yang normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto, 2002, hlm: 73).
f. Kandungan Nitrat dan Fospat
Fitoplankton dapat  menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fospat (Nybakken, 1992, hlm: 41). Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil. Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel dan cangkang (Isnansetyo & Kurniastuti, 1995, hlm: 16).
Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri, bahan peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts & Sri 1987, hlm: 161).
Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai organisma akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi dari organisma yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan konsentrasi fospat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air  lainnya  secara cepat.  Peningkatan  fospat  akan  menyebabkan timbulnya proses eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen  terlarut,  diikuti  dengan  timbulnya  kondisi  anaerob  yang  menghasil berbagai senyawa toksik misalnya methan, nitrit da riteria warna air tambak yang dapat dijadikan acuan standar dalam pengelolaan kualitas air adalah seperti di bawah ini:
1. Warna air tambak hijau tua yang berarti menunjukkan adanya dominansi chlorophyceae dengan sifat lebih stabil terhadap perubahan lingkungan dan cuaca karena mempunyai waktu mortalitas yang relatif panjang. Tingkat pertumbuhan dan perkembangannya yang relatif cepat sangat berpotensi terjadinya booming plankton di perairan tersebut.
2. Warna air tambak kecoklatan yang berarti menunjukkan adanya dominansi diatomae. Jenis plankton ini merupakan salah satu penyuplai pakan alami bagi udang, sehingga tingkat pertumbuhan dan perkembangan udang relatif lebih cepat. Tingkat kestabilan plankton ini relatif kurang terutama pada kondisi musim dengan tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga berpotensi terjadinya plankton collaps dan jika pengelolaannya tidak cermat kestabilan kualitas perairan akan bersifat fluktuatif dan akan mengganggu tingkat kenyamanan udang di dalam tambak.
3. Warna air tambak hijau kecoklatan yang berarti menunjukkan dominansi yang terjadi merupakan perpaduan antara chlorophyceae dan diatomae yang bersifat stabil yang didukung dengan ketersediaan pakan alami bagi udang.
Standar warna air tambak seperti tersebut di atas merupakan acuan praktis dalam mengidentifikasi jenis plankton sebagai upaya pendeteksian masalah kualitas perairan secara dini. Selain warna standar tersebut ada beberapa warna air tambak yang biasa dijumpai dalam kegiatan usaha budidaya udang, yaitu antara lain:
1. Warna air tambak kekuningan yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis cyanophyceae. Pada kondisi perairan tambak seperti ini biasanya udang berwarna lebih pucat dari biasanya disertai dengan penurunan nafsu makan udang dan jika tidak segera diantisipasi dapat menimbulkan kerusakan pada hepatopanchreas udang.
2. Warna air tambak hijau pupus yang berarti menunjukkan adanya dominansi phytoplankton jenis dynophyceae dampak yang ditimbulkan relatif sama dengan point (1).
3. Warna air tambak biru kehijauan yang berarti menunjukkan adanya dominansi blue green algae dampak yang ditimbulkan relatif sama dengan point (1).
4. Kamuflase green color, pada kondisi ini tambak seolah-olah berwarna kehijauan tapi pada dasarnya tidak/kurang mengandung plankton. Hal ini terjadi biasanya pada tambak yang kandungan bibit planktonya sangat kurang tetapi kegiatan pemupukan berjalan terus, sehingga warna yang ditimbulkan adalah warna karena pengaruh cuaca. Kejadian ini dapat diketahui dengan mengukur kecerahan perairan tambak yang biasanya sangat tinggi, atau dengan melihat warna air yang ada pada kincir air yang sedang dioperasikan.
Identifikasi jenis plankton di perairan tambak secara praktis dengan melihat warna perairan seperti telah diuraikan di atas perlu ditunjang dengan pengamatan dan analisis laboratorium secara berkala untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Kegiatan ini dilakukan dengan cara pengambilan sampel perairan dan sampel udang dari petakan-petakan tambak baik yang bermasalah maupun yang tidak terkena masalah, sehingga dapat diambil perbandingannya.n belerang (Barus, 2004, hlm: 4)
 

0 comments:

Post a Comment