Ikan pindang merupakan salah satu produk tradisional yang sangat populer
di beberapa negara Asean termasuk Indonesia. Produk ini dikenal dengan nama
‘sinaeng’ di Philippina dan
‘pla-tu-nung’ di Thailand yang
menyerupai ikan segar (Gopakumar,1997).
Berdasarkan
urutan disposisi dalam pengolahan
tradisional di Indonesia, produk pindang menduduki posisi ke-2 setelah
produk ikan asin (Anon., 2006). Beberapa
jenis pindang yang tersedia di pasar adalah pindang presto, pindang
’badeng’ atau ’paso’
dan pindang ’naya’ atau ’cue’. Pindang presto merupakan jenis pindang
yang pada umumnya dibuat dari ikan bandeng, berduri lunak dan paling awet
karena dalam pembuatannya menggunakan pemanas bertekanan (autoclave) dan
dikemas dalam kantung plastik hampa udara/vakum. Pindang jenis ini biasa
dijajakan di pasar swalayan. Produk pindang
’badeng’ atau pindang ’paso’ yang pada umumnya dibuat dari
ikan tongkol, dan pindang naya yang pada umumnya diolah dari ikan layang
atau lemuru biasanya dijajakan di pasar tradisional dengan ditempatkan dalam
paso atau naya dalam keadaan terbuka, sehingga memungkinkan terj adinya kontam inasi
m ikroba selam a proses
penjualan. Daya tahan pindang badeng yang disimpan dalam paso pada suhu kamar
dapat mencapai 1 bulan, sedangkan daya tahan pindang ’’naya’’ sangat
pendek yaitu berkisar 1-3 hari (Nasran, 1980)
atau 2-7 hari (Gopakumar, 1997) tergantung pada jenis ikan, karena
kadar garamnya yang relatif kecil dan
kadar airnya yang masih cukup tinggi.
Beberapa
penelitian telah dilakukan sebagai upaya untuk
memperpanjang daya awet ikan pindang, di antaranya penambahan
rempah-rempah (Retnowati et al.,
1984), arang (Subaryono et al., 2004),
asam (Dwiyitno et al.,
2005), kitosan (Ariyani
& Yennie,
2008), dan
daun teh hijau (Heruwati et al.,
2009) selama proses pemindangan. Kajian perubahan mutu i kan pi ndang
pada kondisi penyi m panan yang berbeda
juga telah dilakukan (Ariyani et al.,
2004; Irianto et al.,
2009). Namun demikian, pencarian/ eksplorasi bahan alami
sebagai bahan pengawet yang cocok untuk
produk pindang masih perlu dilakukan mengingat
bahwa bahan alami diketahui menghasilkan
produk olahan yang lebih aman baik bagi konsumen maupun
lingkungan.
Menurut
hasil penelitian, daun jambu biji (Psidium guajava) m engandung senyawa tanni n, f enol , flavonoid, kuinon, triterpenoids, dan steroid yang mempunyai daya hambat terhadap
bakteri maupun oksidasi lipid (Arima & Danno, 2002; Begum
et al.,
2004;
Astawan, 2008). Selama ini pemanfaatan
daun maupun buah jambu biji lebih banyak
sebagai obat tradisional dan penggunaannya dalam pengawetan pangan masih sangat
terbatas. Untuk melihat tingkat efektifitas bahan alami tersebut sebagai bahan
pengawet pangan, perlu dilakukan kajian aplikasi ekstrak daun jambu biji untuk
pengawetan ikan olahan, khususnya ikan pindang.
Bahan
baku yang digunakan adalah ikan tongkol lisong (Scomber australasicus CV)
dengan kisaran berat 209–236 g/ekor dan kisaran panjang total 20–25 cm/ekor
yang diperoleh dari TPI Muara Angke yang telah dibekukan di kapal. Ikan tongkol beku tersebut d i b awa k e l a
b or at o ri um BB RP 2 B da l a m
p et i beri nsul asi dan sesam
pai nya di BBRP2B i kan disimpan di cold storage sebelum digunakan.
Pada saat ikan akan digunakan untuk percobaan, ikan beku di-thawing dengan
cara memindahkan ikan beku ke dalam
chilling room 14 jam
sebelum percobaan dimulai. Bahan
lain yang digunakan dalam penelitian ini antara lain garam rakyat yang dibeli dari penjual garam yang berlokasi
di pasar Palmerah Jakarta, serta daun jambu biji (Psidium guajava) merah yang
sudah tua dan segar dan merupakan
daun ke 4-5 dihitung dari pucuk daun,
diperoleh dari Balai Tanaman Rempah dan Obat di Bogor.
Preparasi
ekstrak daun jambu biji
Untuk mendapatkan ekstrak daun jambu biji, dilakukan seleksi daun
jambu terlebih dahulu untuk
membuang daun yang telah kering dan
tidak segar. Pada pembuatan ekstrak
kasar air, sebanyak 1 bagian daun jambu dididihkan dalam 4 bagian air selama 4 jam (Arambewela et al., 2006). Setelah mencapai 4 jam, campuran daun jambu disaring menggunakan penyari ng santan
dan ekstrak yan g di perol eh
merupakan ekstrak induk dengan konsentrasi 25%. Ekstrak kemudian ditempatkan dalam jerigen plastik dan disimpan di chilling room
(5-10oC) sampai waktu digunakan.
Aplikasi
ekstrak daun jambu pada proses pemindangan ikan
tongkol
Sebelum
percobaan dimulai, ikan dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran
dan sisa darah yang masih menempel pada ikan.
Ikan tongkol yang telah bersih disusun dalam ‘naya’. Konsentrasi larutan
ekstrak daun jambu yang digunakan untuk merebus adalah 0, 3, 6, dan 9%
yang didasarkan pada hasil penelitian
pendahuluan. Larutan ekstrak daun jambu dengan berbagai konsentrasi tersebut
dipersiapkan dengan mengencerkan ekstrak induk menjadi 3, 6, dan 9%.
Selanjutnya ‘naya’ yang berisi ikan direbus dalam campuran larutan ekstrak
daun jambu pada konsentrasi 0, 3, 6, dan
9% (b/v) dan garam 15% (b/ v) selama 30 menit. Selesai perebusan, ‘naya’ berisi
ikan diangkat, ditiriskan dan selanjutnya
disimpan
Berdasarkan
hasil analisis organoleptik terhadap aroma pindang tongkol, diketahui bahwa
perlakuan ekstrak daun jambu maupun penyimpanan mempengaruhi nilai penerimaan
terhadap aroma produk pindang tongkol
(Gambar 3). Pada pindang tongkol dengan perlakuan ekstrak daun jambu, aroma
daun j am bu sedi ki t terdeteksi
khususnya pada pindang tongkol dengan perlakuan ekstrak daun jambu 9% pada awal penyimpanan,
namun berkurang dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Aroma agak basi dan
tengik terdeteksi pada pindang tongkol kontrol pada akhir penyimpanan dan penambahan ekstrak daun jambu 9%
pada proses pengolahan pindang tongkol dapat mengurangi bau tengik yang
ditimbulkan akibat proses oksidasi tersebut.
Penilaian
terhadap atribut tekstur pindang tongkol menunjukkan bahwa pindang tongkol dengan perlakuan penambahan ekstrak daun jambu
mempunyai tekstur yang kompak dan
hampir tidak berubah selama 2 hari
masa penyimpanan . Pada akhir penyimpanan, pindang tongkol dengan perlakuan ekstrak
daun jambu 9% mempunyai nilai
atribut tekstur yang
lebih tinggi dibanding
perlakuan lain. Penambahan ekstrak daun jambu pada pengolahan pindang tongkol
juga terlihat dapat mengurangi terbentuknya lendir pada akhir masa penyimpanan,
khususnya penambahan ekstrak daun jambu pada konsentrasi 9%. Lendir yang
terbentuk pada pi ndang tongkol dengan perlakuan ekstrak daun j am bu 9%
pada waktu tersebut masih tipis,
tidak terlalu jelas dan
tidak berbau, sedangkan lendir pada pindang dengan perlakuan lain agak
kental dan berbau agak basi.
Hasil
penilaian atribut rasa pindang tongkol dengan perlakuan ekstrak daun jambu dan kontrol disajikan pada Gambar 6.
Berdasarkan data tersebut, nilai rasa pindang
tongkol dengan perlakuan ekstrak daun jambu sedikit lebih tinggi
dibanding pindang tongkol kontrol, dan pada akhir penyimpanan pindang tongkol
dengan perlakuan ekstrak daun jambu 9% mempunyai nilai yang lebih tinggi secara
nyata dibanding kontrol maupun perlakuan
lain. Rasa pindang tongkol kontrol agak gatal
dan sedikit asam, sedangkan
pindang tongkol dengan perl akuan
ekstrak daun j am bu mempunyai rasa lebih gurih, sementara rasa sepet dan pahit
dari daun jambu terdeteksi lemah pada awal penyimpanan dan semakin berkurang dan tidak terdeteksi pada
akhir masa penyimpanan. Hal ini
memberikan nilai positif karena pada kebanyakan bahan alami yang berasal dari
tanaman, penambahan bahan alami tersebut akan mengubah rasa produk ke arah
yang tidak dikehendaki seperti pada ekstrak daun sirih yang meninggalkan rasa
getir yang cukup kuat (Ariyani et al., 2008) dan ekstrak bunga kecombrang yang
meninggalkan bau dan rasa wangi (Heruwati et al., 2008).
Kemungkinannya
adalah ekstrak daun jambu tidak
mempunyai daya hambat terhadap bakteri
pembusuk yang pada umumnya
merupakan jenis bakteri Gram negatif.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sanches et al. (2005) yang menunjukkan bahwa ekstrak air daun jambu efektif dalam menghambat aktivitas bakteri
Gram positif (Staphylococcus
aureus dan Bacillus subtilis) tetapi
tidak efektif dalam menghambat aktivitas bakteri Gram negatif ( Escherichiacoli
dan Pseudomonas aeruginosa). Struktur dinding sel bakteri Gram negatif lebih
komplek dibandingkan dengan dinding sel bakteri Gram positif. Lapisan dinding
sel bakteri Gram positif hanya terdiri dari 2 lapisan dengan lapisan
peptidoglikan yang tebal, sedangkan dinding sel pada bakteri Gram negatif
terdiri atas 3 lapisan (lipoprotein, l ipopol i sakari da dan peptidogl i kan)
yang pada membran bagian luarnya
terdapat barrier/penahan bagi masuknya beberapa jenis antibiotik, sedangkan
pada rongga periplasma terdapat enzim yang dapat memecah molekul asing
yang datang dari luar(Beveridge, 1999). Sifat ini yang
kemudian menjadikan dinding sel bakteri Gram negatif lebih selektif terhadap
masuknya senyawa aktif dibandingkan dengan dinding sel bakteri Gram positif.
Apabila dilihat dari
waktu penyimpanannya, semakin lama waktu penyimpanan, jumlah bakteri
total semakin tinggi dengan kecepatan pertumbuhan yang relatif konstan, sedangkan jumlah kapang meningkat sedikit lambat sampai hari k
e - 2 penyimpanan dan meningkat tajam di akhir penyimpanan. Peningkatan jumlah
mikroba selama penyimpanan berkaitan erat dengan tingkat kelembaban pindang
tongkol yang merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Menurut
Winarno (2002), jumlah kandungan air pada bahan pangan akan mempengaruhi daya
tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Pada penelitian ini, pindang
tongkol dengan perlakuan ekstrak daun
jambu dan kontrol mempunyai kisaran
kad ar ai r 62 ,34 –66 ,93 %.
Meskipun kadar air pindang tongkol tidak sebesar kadar air ikan tongkol segar,
kadar air pada pindang ini cukup tinggi dan
masih memungkinkan mikroorganisme untuk tumbuh dengan baik. Dengan demikian pindang tongkol ini tidak dapat disimpan terlalu lama,
terutama pada suhu ruang.
Berdasarkan
hasil penelitian penggunaan ekstrak daun
jambu untuk mengawetkan pindang
tongkol, dapat disimpulkan bahwa :
1. Ekstrak
daun jambu sebagai larutan perebus pada pemindangan ikan tongkol mempunyai kecenderungan
mampu menghambat peningkatan kadar TBA
dan menekan oksidasi asam lemak
tidak jenuh, tetapi tidak mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme
dan peningkatan kadar TVB selama penyimpanan.
2. Berdasarkan
hasil uji sensori, pindang
tongkol y an g di re bu s d en ga
n ek st r ak d au n
j a m b u memberikan bau dan rasa yang cenderung tidak tengik terutama
pada hari terakhir penyimpanan (hari ke-3),
bahkan dapat memperbaiki tekstur. Meskipun demikian, penggunaan ekstrak daun jambu
menyebabkan warna pindang cenderung menjadi lebih gelap (kecoklatan).
3. Perlakuan
ekstrak daun jambu yang paling efektif sebagai pengawet pindang tongkol dengan
nilai sensori terbaik adalah perlakuan
ekstrak daun jambu pada konsentrasi 9%.
0 comments:
Post a Comment