Rajungan (Portunidae) merupakan salah satu famili seksi kepiting (Brachyura) yang banyak diperjualbelikan. Suku Portunidae memiliki enam subfamilia yaitu Portuninae, Podophthalminae, Carcinina, Polybiinae, Caphyrinae dan Catoptrinae. Kecuali Carcininae, kelima sub famili ini terdapat di perairan Indonesia (Moosa dan Juwana, 1996).
Sistematika rajungan menurut Stephenson dan Chambel (1959) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucoelomata
Section : Protostomia
Filum : Antrhopoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Reptantia
Seksi : Branchyrhyncha
Famili : Portunidae
Sub Famili : Portunninae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
Moosa et al. (1980) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat, jenis kepiting dan rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Empat jenis diantaranya dapat dimakan (edible crab) selain tubuhnya berukuran besar juga tidak menimbulkan keracunan, yaitu rajungan (Portunus pelagicus), kepiting bakau (Scylla serrata), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), dan rajungan angin (Podopthalamus vigil).
2.1.1 Morfologi
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah sejenis kepiting renang atau swimming crab; disebut demikian karena memiliki sepasang kaki belakang yang berfungsi sebagai kaki renang, berbentuk seperti dayung. Karapasnya memiliki tekstur yang kasar, karapas melebar dan datar; sembilan gerigi disetiap sisinya; dan gigi terakhir dinyatakan sebagai tanduk. Karapasnya tersebut umumnya berbintik biru pada jantan dan berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan corak dari pewarnaan karapas berubah-ubah pada tiap individu (Kailola et al. (1993) diacu dalam Kangas (2000)).
Karapas pada Portunus pelagicus merupakan lapisan keras (skeleton) yang menutupi organ internal yang terdiri dari kepala, thorax dan insang. Pada bagian belakang terdapat bagian mulut dan abdomen. Insang merupakan struktur lunak yang terdapat di dalam karapas. Matanya yang menonjol di depan karapas berbentuk tangkai yang pendek (Museum Victoria, 2000).
Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan bahwa rajungan (Portunus pelagicus) memiliki sapit yang memanjang, kokoh, berduri-duri dan berusuk- rusuk, permukaan sebelah bawah licin. Tepi posterior dari merus berduri, tepi anterior berduri tajam tiga atau empat buah. Karpus mempunyai duri di bagian dalam dan di bagian luar permukaan sebelah atas dari propundus dihiasi dengan tiga buah garis biasanya bergranula, garis sebelah luar dan tengah berakhir masing- masing dengan sebuah duri.
Hewan ini mencapai panjang 18 cm, sapitnya memanjang, kokoh, dan berduri-duri. Warna karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada betina memiliki warna karapas kehijau-hijauan dengan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Nontji, 1993). Rajungan mempunyai duri yang panjang yang keluar dari tiap sisi karapas, dan tentu saja Portunus pelagicus biasanya berwarna biru. Meskipun warnanya dapat berkisar dari coklat hingga biru atau bahkan ungu, jantan mempunyai capit yang lebih panjang daripada betina dan biasanya warnanya lebih biru. Rajungan ini tidak takut untuk menggunakan capitnya untuk mempertahankan diri (Abyss, 2001).
Beberapa ciri untuk membedakan jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) adalah warna bintik, ukuran dan warna capit dan apron atau bentuk abdomen. Karapas betina berbintik warna abu-abu atau cokelat. Capitnya berwarna abu-abu atau cokelat dan lebih pendek dari jantan. Karapas jantan berwarna biru terang, dengan capit berwarna biru. Apron jantan berbentuk T. Pada betina muda yang belum dewasa, apron berbentuk segitiga atau triangular dan melapisi badan, sedangkan pada betina dewasa, apron ini membundar secara melebar atau hampir semi-circular dan bebas dari ventral cangkang (FishSA, 2000).
Kajian mengenai bubu lipat (wadong) ini masih belum banyak dilakukan. Hal ini menjadi salah satu alasan dilakukannya penelitian ini. Penelitian yang ada hanya melihat tingkat keramahan lingkungan alat tangkap bubu lipat yang dilakukan oleh Agatri (2005). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai teknologi pilihan perikanan rajungan yaitu antara bubu lip at (wadong) dan jaring kejer dilihat secara aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi dengan contoh kasus di Gebang Mekar Kabupaten Cirebon, sehingga dalam penerapannya dapat mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan yang ada dengan memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya rajungan. Menurut Thomson (1974), rajungan berwarna biru dan sangat indah. Rajungan memiliki sepasang capit panjang yang ramping dimana dapat menggigit hingga berdarah. Rajungan sedikitnya memiliki lima pasang kaki yang rata agar mereka dapat melintasi air dengan efisien.
Portunus pelagicus adalah kepiting yang berenang dan mempunyai sepasang kaki renang yang dimodifikasi untuk mendayung. Karapasnya bertekstur kasar, karapasnya sangat lebar mempunyai proyeksi tertinggi di setiap sudutnya. Capit rajungan panjang dan ramping. Portunus pelagicus berubah warna dari coklat, biru sampai lembayung dengan batasan moulting (Abyss, 2001; Moosa dan Juwana, 1996; Sea-ex, 2001).
Jenis rajungan yang umum dimakan (edible crab) ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portuninae dan Podopthalminae. Jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan, tetapi berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Jenis-jenis rajungan yang terdapat di pasar-pasar Indonesia adalah rajungan (Portunus pelagicus). Jenis yang kurang umum tetapi masih sering dijumpai di pasar adalah rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalamus vigil ), rajungan karang (Charybdis feriatus) (Moosa et al., 1980; Nontji, 1993). Jenis-jenis lainnya yang berukuran cukup besar dan biasa dimakan, tetapi jarang dijumpai dipasar-pasar adalah Charybdis callanassa, Charybdis lucifera, Charybdis natatas, Charybdis tunicata, Thalamita crenata, Thalamita danae, Thalamita puguna, dan Thalamita spimmata (Moosa et al., 1980).
Rajungan jantan memiliki abdomen yang sempit, berbentuk T pada sisi abdomen dan capit berwarna biru. Sedangkan rajungan betina yang belum matang memiliki bentuk abdomen “V” atau rajungan dewasa memiliki bentuk abdomen “U” (Blue Crab Identification, 2001). Pada hewan ini terlihat adanya perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dan capit yang lebih panjang dibandingkan dengan rajungan betina (Nontji, 1993). Gambar 3 menunjukan perbedaan antara abdomen rajungan jantan, betina dan saat betina bertelur (Mexfish, 1999).
Habitat dan Penyebaran
Moosa et al. (1980) menyebutkan bahwa Marga Portunus hidup pada beranekaragam habitat yaitu : dasar berpasir, pasir- lumpuran, lumpur-pasiran, pasir kasar dengan pecahan karang mati.
Rajungan hidup di wilayah yang luas di pinggir pantai dan wilayah continental shelf, termasuk pasir, berlumpur atau berhabitat algae dan padang lamun dari zona intertidal (wilayah pasang surut) sampai perairan dengan kedalaman 50 m (Sea-ex, 2001 dan CIESM, 2000).
Penyebaran rajungan (Portunus pelagicus) sangat luas. Hewan ini dapat hidup di berbagai ragam habitat mulai dari tambak, perairan pantai hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman mencapai 60 m. Substrat dasar perairan berlumpur, berpasir, campuran lumpur dan pasir, beralga hingga padang lamun. Biasanya rajungan hidup di dasar perairan, tetapi sesekali dapat juga terlihat berada dekat permukaan atau kolom perairan pada malam hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus (Nontji (1986); Moosa dan Juwana (1996); Williams (1982) dan Edgar (1990) diacu dalam Kangas (2000)).
Rajungan banyak terdapat di perairan Indonesia sampai perairan kepulaun Pasifik serta terdapat di sepanjang negara- negara Indo Pasifik Barat, Samudera Hindia, Asia Timur dan Tenggara (Singapura, Fhilipina, Jepang, Korea, China, Teluk Benggala), Turki, Lebanon, Sicilia, Syiria, Cyprus, dan sekitar Australia (CIESM, 2000; Delsman dan de man, 1925).
Rajungan jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga penyebarannya di sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan rajungan betina menyenangi perairan dengan salinitas lebih tinggi terutama untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam dibanding jantan (Wharton, (1975), Rudiana (1989) diacu dalam Saedi (1997)). Hal ini diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah. Perubahan salinitas dan suhu di suatu perairan mempengaruhi aktivitas dan keberadaan suatu biota (Gunarso, 1985).
Tahap
Perkembangan
Lokasi
Ukuran
Keterangan
Dewasa
Estuaria, teluk yang terlindungi dan perairan pantai sampai kedalaman 65 m (CEISM, 2000)
7=CW=9 cm, (Kumar et al., 2000 diacu dalam Suadela, 2004) 3,7 cm CL (Rousenfell, 1975 diacu dalam Solihin, 1993)
Usia sekitar satu tahun
Bertelur
Daerah pesisir pantai dekat teluk (Thomson, 1974)
Memijah
Daerah pesisir pantai dekat teluk (Thomson, 1974)
Larva
Perairan terbuka (West
Australian Government,
1997)
CW = 0.48 mm
Sifat planktonik
Juvenil
Teluk terbuka lalu menuju muara dan berakhir disekitar perairan estuaria (West Australian Government,
1997)
CW antara 0.4 cm = CW =
1.0 cm
Transisi dari plantonik menuju Benthik
Muda
Estuaria (West Australian
Government, 1997)
Benthik
Tingkah laku Rajungan (Portunus pelagicus)
Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa faktor alami dan buatan. Beberapa faktor alami diantaranya adalah perkembangan hidup, feeding habit, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan yang mempengaruhi tingkah laku rajungan salah satunya adalah pengunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab pots.
Salah satu tingkah laku (behaviour) penting dari rajungan dalah perkembangan siklus hidupnya yang terjadi di beberapa tempat. Pada fase larva dan fase pemijahan, rajungan berada di laut terbuka (off-shore) dan fase juvenil sampai dewasa berada di perairan pantai (in-shore) yaitu muara dan estuaria (Kangas, 2000).
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah aktif tetapi saat tidak aktif, mereka mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (FishSA, 2000; Sea-ex, 2001). Rajungan akan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur, rajungan tersebut menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan (Nontji, 1993; Sea-ex, 2001). Anonim (1973) diacu dalam Muslim (2000) mengungkapkan bahwa pada umumnya udang dan kepiting berkeliaran pada waktu malam untuk mencari makan. Susilo (1993) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Pada fase bulan gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam air relatif tidak ada, sehingga perairan menjadi gelap. Hal ini mengakibatkan rajungan tidak melakukan aktifitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dengan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang, sedangkan pada fase bulan gelap rajungan lebih sedikit tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap binatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang.
Menurut Thomson (1974), dari hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa larva rajungan betina menghabiskan waktu sepanjang malam terkubur didalam pasir. Sedangkan larva jantan aktif berenang pada malam hari. Larva rajungan sama seperti udang bersifat planktonik dan berenang bebas mengikuti arus.
Kepiting dalam pertumbuhannya perlu meluruhkan cangkang luar yang keras; proses ini disebut moulting. Sesaat sebelum moulting atau pergantian cangkang, kulit di bawah cangkang keras atau eksoskeleton mengeluarkan substansi yang memisahkan hubungan antara kepiting dan cangkangnya. Lapisan tipis dari cangkang baru dikeluarkan di bawah cangkang lama. Kepiting memasukkan air agar terjadi pembelahan dalam cangkang lama pada bagian ujung dimana karapas menyatu dengan lapisan. Kepiting tersebut lalu memanjat ke belakang keluar dari cangkang lama. Kepiting harus berkembang dengan cepat untuk merenggangkan skleton baru yang mengkerut menjadi ukuran penuh sebelum mengeras. Setelah cangkang menyesuaikan terhadap ukuran barunya, kulit mengeluarkan substansi yang mengoksidasi dan mengeraskan cangkang baru, kepiting sangat rentan terhadap predasi dan akan lebih sering sembunyi (FishSA, 2000).
Waktu untuk siklus reproduksi yang sempurna atau lengkap bermacam- macam berdasarkan perubahan atau variasi temperatur tahunan. Pemijahan rajungan berlangsung sepanjang tahun di perairan tropik dan subtropik (Campbell & Fielder (1986) dan Potter et al. (1998) diacu dalam Kangas (2000)).
Ukuran Kedewasaan Rajungan (Portunus pelagicus)
Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Ukuran saat kematangan terjadi dapat berubah terhadap derajat garis lintang atau lokasi dan antar individu di lokasi manapun. Betina terkecil Portunus pelagicus yang telah diobservasi memiliki moult/pergantian kulit yang cukup umur di Peel-Harvey Estuary adalah 89 mm CW, sedangkan di Leschenault Estuary ukuran terkecil adalah 94 mm CW Smith (1982), Campbell & Fielder (1986), Sukumaran & Neelakantan (1996) dan Potter et al. (1998) diacu dalam Kangas (2000)). Karapas rajungan yang dapat berkembang hingga 21 cm dan mereka dapat berukuran hingga seberat 1 kg (Abyss, 2001).
Rajungan di perairan Australia Selatan dikatakan legal jika panjangnya lebih dari 11 cm yang diukur dari sisi ke sisi pada dasar tulang punggung atau dasar duri. Batas ukuran sekarang digunakan di semua perairan. Selama pemijahan kemungkinan terdapat massa telur di bawah lapisan pada betina. Untuk memelihara spesies ini, rajungan yang masih ada telurnya dilindungi sepenuhnya di perairan Australia Selatan. Umumnya ukuran tersebut berumur 14 hingga 18 bulan. Rajungan pada ukuran tersebut telah matang secara seksual dan telah memproduksi setidaknya 2 kelompok telur untuk satu musim (Kangas, 2000).
Rajungan mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37 mm. Dengan demikian rajungan-rajungan tersebut telah mampu bereproduksi. Adapun yang mempunyai nilai ekonomi setelah mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm (Rounsenfell (1975) diacu dalam Solihin (1993)). Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan di Queensland berdasarkan penelitian Williams dan Lee (1980), rajungan yang ditangkap dari perairan tersebut telah ditentukan memiliki ukuran tubuh minimum yaitu panjang karapas (CL) 3,7 cm. Batasan ukuran rajungan yang dianggap telah mencapai dewasa mempunyai beberapa pendapat, diantaranya adalah 9 cm CW dan 3,7 cm CL (Kumar et al. (2000) diacu dalam Suadela (2004) dan Rousenfell (1975) diacu dalam Solihin (1993)).
Sistematika rajungan menurut Stephenson dan Chambel (1959) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucoelomata
Section : Protostomia
Filum : Antrhopoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Reptantia
Seksi : Branchyrhyncha
Famili : Portunidae
Sub Famili : Portunninae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
Moosa et al. (1980) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat, jenis kepiting dan rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Empat jenis diantaranya dapat dimakan (edible crab) selain tubuhnya berukuran besar juga tidak menimbulkan keracunan, yaitu rajungan (Portunus pelagicus), kepiting bakau (Scylla serrata), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), dan rajungan angin (Podopthalamus vigil).
2.1.1 Morfologi
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah sejenis kepiting renang atau swimming crab; disebut demikian karena memiliki sepasang kaki belakang yang berfungsi sebagai kaki renang, berbentuk seperti dayung. Karapasnya memiliki tekstur yang kasar, karapas melebar dan datar; sembilan gerigi disetiap sisinya; dan gigi terakhir dinyatakan sebagai tanduk. Karapasnya tersebut umumnya berbintik biru pada jantan dan berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan corak dari pewarnaan karapas berubah-ubah pada tiap individu (Kailola et al. (1993) diacu dalam Kangas (2000)).
Karapas pada Portunus pelagicus merupakan lapisan keras (skeleton) yang menutupi organ internal yang terdiri dari kepala, thorax dan insang. Pada bagian belakang terdapat bagian mulut dan abdomen. Insang merupakan struktur lunak yang terdapat di dalam karapas. Matanya yang menonjol di depan karapas berbentuk tangkai yang pendek (Museum Victoria, 2000).
Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan bahwa rajungan (Portunus pelagicus) memiliki sapit yang memanjang, kokoh, berduri-duri dan berusuk- rusuk, permukaan sebelah bawah licin. Tepi posterior dari merus berduri, tepi anterior berduri tajam tiga atau empat buah. Karpus mempunyai duri di bagian dalam dan di bagian luar permukaan sebelah atas dari propundus dihiasi dengan tiga buah garis biasanya bergranula, garis sebelah luar dan tengah berakhir masing- masing dengan sebuah duri.
Hewan ini mencapai panjang 18 cm, sapitnya memanjang, kokoh, dan berduri-duri. Warna karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada betina memiliki warna karapas kehijau-hijauan dengan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Nontji, 1993). Rajungan mempunyai duri yang panjang yang keluar dari tiap sisi karapas, dan tentu saja Portunus pelagicus biasanya berwarna biru. Meskipun warnanya dapat berkisar dari coklat hingga biru atau bahkan ungu, jantan mempunyai capit yang lebih panjang daripada betina dan biasanya warnanya lebih biru. Rajungan ini tidak takut untuk menggunakan capitnya untuk mempertahankan diri (Abyss, 2001).
Beberapa ciri untuk membedakan jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) adalah warna bintik, ukuran dan warna capit dan apron atau bentuk abdomen. Karapas betina berbintik warna abu-abu atau cokelat. Capitnya berwarna abu-abu atau cokelat dan lebih pendek dari jantan. Karapas jantan berwarna biru terang, dengan capit berwarna biru. Apron jantan berbentuk T. Pada betina muda yang belum dewasa, apron berbentuk segitiga atau triangular dan melapisi badan, sedangkan pada betina dewasa, apron ini membundar secara melebar atau hampir semi-circular dan bebas dari ventral cangkang (FishSA, 2000).
Kajian mengenai bubu lipat (wadong) ini masih belum banyak dilakukan. Hal ini menjadi salah satu alasan dilakukannya penelitian ini. Penelitian yang ada hanya melihat tingkat keramahan lingkungan alat tangkap bubu lipat yang dilakukan oleh Agatri (2005). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai teknologi pilihan perikanan rajungan yaitu antara bubu lip at (wadong) dan jaring kejer dilihat secara aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi dengan contoh kasus di Gebang Mekar Kabupaten Cirebon, sehingga dalam penerapannya dapat mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan yang ada dengan memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya rajungan. Menurut Thomson (1974), rajungan berwarna biru dan sangat indah. Rajungan memiliki sepasang capit panjang yang ramping dimana dapat menggigit hingga berdarah. Rajungan sedikitnya memiliki lima pasang kaki yang rata agar mereka dapat melintasi air dengan efisien.
Portunus pelagicus adalah kepiting yang berenang dan mempunyai sepasang kaki renang yang dimodifikasi untuk mendayung. Karapasnya bertekstur kasar, karapasnya sangat lebar mempunyai proyeksi tertinggi di setiap sudutnya. Capit rajungan panjang dan ramping. Portunus pelagicus berubah warna dari coklat, biru sampai lembayung dengan batasan moulting (Abyss, 2001; Moosa dan Juwana, 1996; Sea-ex, 2001).
Jenis rajungan yang umum dimakan (edible crab) ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portuninae dan Podopthalminae. Jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan, tetapi berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Jenis-jenis rajungan yang terdapat di pasar-pasar Indonesia adalah rajungan (Portunus pelagicus). Jenis yang kurang umum tetapi masih sering dijumpai di pasar adalah rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalamus vigil ), rajungan karang (Charybdis feriatus) (Moosa et al., 1980; Nontji, 1993). Jenis-jenis lainnya yang berukuran cukup besar dan biasa dimakan, tetapi jarang dijumpai dipasar-pasar adalah Charybdis callanassa, Charybdis lucifera, Charybdis natatas, Charybdis tunicata, Thalamita crenata, Thalamita danae, Thalamita puguna, dan Thalamita spimmata (Moosa et al., 1980).
Rajungan jantan memiliki abdomen yang sempit, berbentuk T pada sisi abdomen dan capit berwarna biru. Sedangkan rajungan betina yang belum matang memiliki bentuk abdomen “V” atau rajungan dewasa memiliki bentuk abdomen “U” (Blue Crab Identification, 2001). Pada hewan ini terlihat adanya perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dan capit yang lebih panjang dibandingkan dengan rajungan betina (Nontji, 1993). Gambar 3 menunjukan perbedaan antara abdomen rajungan jantan, betina dan saat betina bertelur (Mexfish, 1999).
Habitat dan Penyebaran
Moosa et al. (1980) menyebutkan bahwa Marga Portunus hidup pada beranekaragam habitat yaitu : dasar berpasir, pasir- lumpuran, lumpur-pasiran, pasir kasar dengan pecahan karang mati.
Rajungan hidup di wilayah yang luas di pinggir pantai dan wilayah continental shelf, termasuk pasir, berlumpur atau berhabitat algae dan padang lamun dari zona intertidal (wilayah pasang surut) sampai perairan dengan kedalaman 50 m (Sea-ex, 2001 dan CIESM, 2000).
Penyebaran rajungan (Portunus pelagicus) sangat luas. Hewan ini dapat hidup di berbagai ragam habitat mulai dari tambak, perairan pantai hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman mencapai 60 m. Substrat dasar perairan berlumpur, berpasir, campuran lumpur dan pasir, beralga hingga padang lamun. Biasanya rajungan hidup di dasar perairan, tetapi sesekali dapat juga terlihat berada dekat permukaan atau kolom perairan pada malam hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus (Nontji (1986); Moosa dan Juwana (1996); Williams (1982) dan Edgar (1990) diacu dalam Kangas (2000)).
Rajungan banyak terdapat di perairan Indonesia sampai perairan kepulaun Pasifik serta terdapat di sepanjang negara- negara Indo Pasifik Barat, Samudera Hindia, Asia Timur dan Tenggara (Singapura, Fhilipina, Jepang, Korea, China, Teluk Benggala), Turki, Lebanon, Sicilia, Syiria, Cyprus, dan sekitar Australia (CIESM, 2000; Delsman dan de man, 1925).
Rajungan jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga penyebarannya di sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan rajungan betina menyenangi perairan dengan salinitas lebih tinggi terutama untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam dibanding jantan (Wharton, (1975), Rudiana (1989) diacu dalam Saedi (1997)). Hal ini diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah. Perubahan salinitas dan suhu di suatu perairan mempengaruhi aktivitas dan keberadaan suatu biota (Gunarso, 1985).
Tahap
Perkembangan
Lokasi
Ukuran
Keterangan
Dewasa
Estuaria, teluk yang terlindungi dan perairan pantai sampai kedalaman 65 m (CEISM, 2000)
7=CW=9 cm, (Kumar et al., 2000 diacu dalam Suadela, 2004) 3,7 cm CL (Rousenfell, 1975 diacu dalam Solihin, 1993)
Usia sekitar satu tahun
Bertelur
Daerah pesisir pantai dekat teluk (Thomson, 1974)
Memijah
Daerah pesisir pantai dekat teluk (Thomson, 1974)
Larva
Perairan terbuka (West
Australian Government,
1997)
CW = 0.48 mm
Sifat planktonik
Juvenil
Teluk terbuka lalu menuju muara dan berakhir disekitar perairan estuaria (West Australian Government,
1997)
CW antara 0.4 cm = CW =
1.0 cm
Transisi dari plantonik menuju Benthik
Muda
Estuaria (West Australian
Government, 1997)
Benthik
Tingkah laku Rajungan (Portunus pelagicus)
Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa faktor alami dan buatan. Beberapa faktor alami diantaranya adalah perkembangan hidup, feeding habit, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan yang mempengaruhi tingkah laku rajungan salah satunya adalah pengunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab pots.
Salah satu tingkah laku (behaviour) penting dari rajungan dalah perkembangan siklus hidupnya yang terjadi di beberapa tempat. Pada fase larva dan fase pemijahan, rajungan berada di laut terbuka (off-shore) dan fase juvenil sampai dewasa berada di perairan pantai (in-shore) yaitu muara dan estuaria (Kangas, 2000).
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah aktif tetapi saat tidak aktif, mereka mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (FishSA, 2000; Sea-ex, 2001). Rajungan akan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur, rajungan tersebut menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan (Nontji, 1993; Sea-ex, 2001). Anonim (1973) diacu dalam Muslim (2000) mengungkapkan bahwa pada umumnya udang dan kepiting berkeliaran pada waktu malam untuk mencari makan. Susilo (1993) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Pada fase bulan gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam air relatif tidak ada, sehingga perairan menjadi gelap. Hal ini mengakibatkan rajungan tidak melakukan aktifitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dengan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang, sedangkan pada fase bulan gelap rajungan lebih sedikit tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap binatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang.
Menurut Thomson (1974), dari hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa larva rajungan betina menghabiskan waktu sepanjang malam terkubur didalam pasir. Sedangkan larva jantan aktif berenang pada malam hari. Larva rajungan sama seperti udang bersifat planktonik dan berenang bebas mengikuti arus.
Kepiting dalam pertumbuhannya perlu meluruhkan cangkang luar yang keras; proses ini disebut moulting. Sesaat sebelum moulting atau pergantian cangkang, kulit di bawah cangkang keras atau eksoskeleton mengeluarkan substansi yang memisahkan hubungan antara kepiting dan cangkangnya. Lapisan tipis dari cangkang baru dikeluarkan di bawah cangkang lama. Kepiting memasukkan air agar terjadi pembelahan dalam cangkang lama pada bagian ujung dimana karapas menyatu dengan lapisan. Kepiting tersebut lalu memanjat ke belakang keluar dari cangkang lama. Kepiting harus berkembang dengan cepat untuk merenggangkan skleton baru yang mengkerut menjadi ukuran penuh sebelum mengeras. Setelah cangkang menyesuaikan terhadap ukuran barunya, kulit mengeluarkan substansi yang mengoksidasi dan mengeraskan cangkang baru, kepiting sangat rentan terhadap predasi dan akan lebih sering sembunyi (FishSA, 2000).
Waktu untuk siklus reproduksi yang sempurna atau lengkap bermacam- macam berdasarkan perubahan atau variasi temperatur tahunan. Pemijahan rajungan berlangsung sepanjang tahun di perairan tropik dan subtropik (Campbell & Fielder (1986) dan Potter et al. (1998) diacu dalam Kangas (2000)).
Ukuran Kedewasaan Rajungan (Portunus pelagicus)
Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Ukuran saat kematangan terjadi dapat berubah terhadap derajat garis lintang atau lokasi dan antar individu di lokasi manapun. Betina terkecil Portunus pelagicus yang telah diobservasi memiliki moult/pergantian kulit yang cukup umur di Peel-Harvey Estuary adalah 89 mm CW, sedangkan di Leschenault Estuary ukuran terkecil adalah 94 mm CW Smith (1982), Campbell & Fielder (1986), Sukumaran & Neelakantan (1996) dan Potter et al. (1998) diacu dalam Kangas (2000)). Karapas rajungan yang dapat berkembang hingga 21 cm dan mereka dapat berukuran hingga seberat 1 kg (Abyss, 2001).
Rajungan di perairan Australia Selatan dikatakan legal jika panjangnya lebih dari 11 cm yang diukur dari sisi ke sisi pada dasar tulang punggung atau dasar duri. Batas ukuran sekarang digunakan di semua perairan. Selama pemijahan kemungkinan terdapat massa telur di bawah lapisan pada betina. Untuk memelihara spesies ini, rajungan yang masih ada telurnya dilindungi sepenuhnya di perairan Australia Selatan. Umumnya ukuran tersebut berumur 14 hingga 18 bulan. Rajungan pada ukuran tersebut telah matang secara seksual dan telah memproduksi setidaknya 2 kelompok telur untuk satu musim (Kangas, 2000).
Rajungan mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37 mm. Dengan demikian rajungan-rajungan tersebut telah mampu bereproduksi. Adapun yang mempunyai nilai ekonomi setelah mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm (Rounsenfell (1975) diacu dalam Solihin (1993)). Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan di Queensland berdasarkan penelitian Williams dan Lee (1980), rajungan yang ditangkap dari perairan tersebut telah ditentukan memiliki ukuran tubuh minimum yaitu panjang karapas (CL) 3,7 cm. Batasan ukuran rajungan yang dianggap telah mencapai dewasa mempunyai beberapa pendapat, diantaranya adalah 9 cm CW dan 3,7 cm CL (Kumar et al. (2000) diacu dalam Suadela (2004) dan Rousenfell (1975) diacu dalam Solihin (1993)).
0 comments:
Post a Comment