Pada awal perkembangan perikanan dunia, beberapa ahli beranggapan bahwa stok ikan laut sangat besar dan memiliki daya pulih (recovery) yang cepat sehingga bisa dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif yang lama. Namun kenyataannya, hanya dalam jangka waktu sekitar 20 tahun, stok ikan laut dunia sudah berkurang sekitar 80% [1] dan saat ini kondisinya sudah mengkhawatirkan.
1. Overfishing
Pada awal tahun 1950-an, FAO mencatat adanya pertumbuhan sektor perikanan yang sangat cepat, baik di belahan bumi bagian utara maupun di sepanjang pantai negara-negara yang saat ini dikenal sebagai negara berkembang. Dimana-mana penangkapan berskala industri yang umumnya menggunakan trawl (ada juga dengan purse seining dan long-lining) berkembang dan berkompetisi dengan perikanan skala kecil atau tradisional (artisanal fisheries) yang berperalatan sederhana.
Persaingan yang tidak seimbang ini sangat jelas terlihat di perairan dangkal (kedalaman 10-100 m) di daerah tropis. Perikanan tradisional menjadikan ikan tangkapan mereka untuk konsumsi penduduk lokal, sedangkan perikanan skala besar menggunaan trawl dengan udang sebagai target utama untuk ekspor dan membuang hasil tangkapan yang tidak memiliki nilai ekonomis (by-catch). Dalam periode tahun 1950-an hingga 1960-an, peningkatan usaha penangkapan telah meningkatkan jumlah hasil tangkapan yang sangat besar dan melebihi laju petumbuhan umat manusia [2]. Hal ini telah membuat para penyusun kebijakan dan politisi menjadi percaya bahwa penambahan jumlah kapal yang cepat dan tak terkendali telah melipat-gandakan jumlah tangkapan dalam waktu singkat serta menurunkan hasil tangkapan dalam jangka panjang. Kegagalan perikanan tangkap pertama kali dilaporkan untuk kasus anchovy di Peru pada tahun 1971-1972. Pada awalnya, hancurnya perikanan anchovy ini sering dikaitkan dengan kejadian alam El NiƱo. Namun demikian, data yang terkumpul menunjukkan bahwa jumlah tangkapan aktual (sekitar 18 juta ton), yang telah melebihi dari apa yang dilaporkan yaitu 12 juta ton menunjukkan bukti lain. Terbukti, runtuhnya perikanan anchovy tersebut adalah lebih banyak karena pengaruh overfishing.
Pada pertengahan tahun 1970-an, total tangkapan ikan di Atlantik utara juga telah menurun. Trend penurunan yang cepat lebih jelas terlihat pada akhir tahun 1980-an dan diawal tahun 1990-an sebagian besar stok ikan cod menjadi habis di New England dan Canada bagian timur.
Kondisi stok ikan laut di kawasan Asia-Pasifik juga tidak jauh berbeda. Kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi penyumbang terbesar produksi ikan dunia juga sudah mulai overfishing. Dalam 25 tahun terakhir, penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% [3].
Lebih lanjut, diperkirakan bahwa stok ikan laut dunia saat ini yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tinggal hanya 24%. Sekitar 52% stok sudah termanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lebih lanjut, dan sisanya adalah sudah overeksploitasi atau stoknya sudah menurun [4].
Salah satu jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk membantu pemulihanan stok ikan laut akibat overfishing adalah dengan cara menurunkan kapasitas penangkapan. Disadari betul bahwa penambahan kapasitas armada penangkapan merupakan salah satu ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya laut, dan juga penangkapan itu sendiri.
Perubahan perahu skala kecil berteknologi rendah menjadi kapal besar berteknologi tinggi, subsidi pemerintah, kebijakan open-access pada beberapa wilayah perairan dunia, dan beberapa aspek ekonomi lainnya telah disadari meningkatkan kapasitas penangkapan ikan. Peningkatan kapasitas penangkapan ikan yang tak terdeteksi seperti perubahan alat bantu penangkapan seperti echosounder, GPS, dsb. juga diyakini telah mendorong tingkat overcapacity dibeberapa wilayah perairan.
2. Faktor Iklim
Selain karena overcapacity, perubahan lingkungan diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan drastis stok ikan di Laut Atlantik Utara atau di dunia seperti yang dilaporkan dalam pertemuan ahli biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London [5]. Perubahan lingkungan yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu permukaan laut. Ekosistem laut, khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh dampak fluktuasi kondisi alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek penelitian Global Ocean Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil mengidentifikasi mekanisme alam yang mengatur dinamika populasi dan produktivitas laut. Mereka menduga bahwa penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai akibat dari kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade terakhir.
Para ahli eko-biologi GLOBEC telah menemukan respon biologi terhadap perubahan lingkungan dalam ekosistem laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa perubahan biologis dalam 10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap kelimpahan sumberdaya alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan kekuatan angin terhadap rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan dan kegagalan dalam memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok ikan cod di Newfoundland, Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan) menunjukkan bahwa faktor lain selain penangkapan telah berperan besar dalam menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Okrh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan berkelanjutan, penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa yang diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab, bila kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan iklim dan faktor lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing, juga diyakini sebagai penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu bahwa variasi iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya ikan-ikan yang hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan burayak telah diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan. Informasi ini telah terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan untuk menentukan kuota penangkapan yang optimal.
3. Pengaruh Akuakultur
Penggunaan ikan hasil tangkapan dari alam sebagai bahan pakan ikan budidaya menjadi tekanan langsung terhadap stok ikan di alam [6]. Budidaya ikan laut yang umumnya bersifat karnivora membutuhkan suplemen minyak ikan yang diekstraksi dari ikan laut sebagai sumber asam lemak esensial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Akuakultur juga mungkin bisa menyebabkan hilangnya stok ikan di alam secara tidak langsung melalui perubahan kondisi lingkungan, pengumpulan benih alam, interaksi rantai makanan, introduksi jenis ikan asing dan penyakit yang menyerang populasi ikan alami, dan polusi nutrient [2].
Naylor dan kolega memberikan alternatif yang sangat bagus untuk menanggulangi tantangan serius yang dihadapi akuakultur. Menurut mereka, usaha akuakultur selayaknya dilakukan dengan membudidayakan ikan dengan tingkat tropik rendah (rendah pada rantai makanan); mengurangi input tepung ikan dan minyak ikan dalam pakan; pengembangan sistem budidaya terintegrasi; dan praktek budidaya ramah lingkungan. International Centre for Living Aquatic Resources Management (ICLARM) mendukung penuh pendekaran tersebut dan menambahkan poin kelima: memberikan akses untuk konsumen miskin dan produsen skala kecil. Pengembangan pulau-pulau kecil mungkin juga bisa dijadikan sebagai penyangga rusaknya stok ikan laut yang juga bisa dijadikan tumpuan mata pencaharian masyarakat. Akuakultur dapat juga me-restocking populasi ikan terumbu karang yang nilainya mahal yang telah berkurang karena overfishing [7].
Pelepasan burayak hasil budidaya juga dapat membantu pemecahan masalah sedikitnya ikan kecil yang berhasil bertahan di area penangkapan. Cara seperti itu telah dilakukan untuk 90 jenis ikan di Jepang dalam 30 tahun terakhir ini, khususnya untuk kasus kerang-kerangan (scallop) dan bulu babi (sea urchin). Akuakultur dan pemulihan stok perlu terus dilakukan, dan melanjutkan restoking dengan pengawasan yang ketat.
4. Alternatif Penanggulangan
Berdasarkan ulasan di atas, diperlukan usaha untuk membangun kembali ekosistem laut, dan kemungkinan pemulihan ekologi secara praktis untuk laut yang dapat berdampingan dengan usaha pemanfaatan sumber daya laut untuk konsumsi umat manusia. Satu hal yang perlu dicatat disini bahwa tidak ada yang bisa meyakinkan bahwa sumberdaya laut mampu memenuhi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah. Pola konvensional yang digunakan untuk menganalisa sumberdaya perikanan, dan untuk mengatur jumlah tangkapan, diyakini tidak mampu untuk menghambat laju kerusakan sumberda ikan.
Kapitalisasi penangkapan secara global telah berdampak pada penurunan stok secara gradual, ikan yang berumur panjang dari ekosistem laut, telah tergantikan oleh ikan dengan siklus pendek dan invertebrate, dan merubah rantai makanan menjadi lebih sederhana dan penurunan kapasitas daya dukung seperti bentuk sebelumnya.
Bila trend ini ingin dihentikan, maka dibutuhkan pengurangan penangkapan secara besar-besaran, dengan dukungan peraturan penangkapan yang efektif. Dibutuhkan suatu kemauan politik yang kuat untuk hal ini, namun dalam kenyataannya masih minim kemauan ke arah ini, sebagai akibatnya jumlah wilayah penangkap yang kolaps semakin banyak, dan ikan tangkapan terus mengalami penurunan.
Tingginya ketidakpastian pengelolaan penangkapan telah menjadi salah satu penyebab hilangnya beberapa stok ikan. Karena itu disarankan untuk melakukan penutupan fishing grounds guna mencegah overeksploitasi dengan cara membuat batas maksimum volume tangkapan (upper limit on fishing mortality). Marine protected areas (MPAs), dengan kombinasi usaha kuat untuk menjaga area yang bisa dieksploitasi, telah menunjukkan hasil positif untuk mengembalikan penurunan stok (2). Pada beberapa kasus, MPAs telah berhasil digunakan untuk memproteksi spesies lokal, memulihkan biomassa, dan sedikit menjaga populasi ikan di luarnya dengan melepas ikan burayak (juvenile) atau ikan dewasa. Meskipun migrasi ikan menjadi titik kelemahan dari MPA, namun tetap akan membantu memulihkan spesies ikan dengan menghindarkan kerusakan akibat trawl, dan menurunkan kematian ikan burayak. Penggunaan zona larangan-tangkap dalam MPAs akan menjadi lebih efektif bila didukung dengan teknologi tinggi seperti monitoring dengan satelit, yang saat ini digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Lebih lanjut, MPAs yang mencakup suatu habitat laut mungkin juga akan mampu mencegah kepunahan stok ikan tertentu, mirip dengan kehutanan dan habitat darat lainnya yang telah bisa menjaga spesies liar. Hal ini akan menuntun kepada identifikasi pola reservasi yang akan menjadi contoh di daerah perikanan terdekat, dan selanjutnya mempengaruhi komunitas pantai dan masyarakat sekitarnya yang tertarik dalam reservasi sumber daya ini.
Sekali lagi, bahwa ikan hasil tangkapan dan populasi alami untuk menyuplai kebutuhan penduduk dunia adalah tidak tak terbatas. Dengan demikian, sudah seharusnya usaha lain difokuskan untuk mengembalikan populasi ikan alami yang turun drastis dengan melakukan restoking besar-besaran dan mengurangi total kapasitas penangkapan. Pengelolaan yang tepat terhadap ikan laut di alam akan menghasilkan kemajuan yang berarti, tetapi sayangnya, hal ini membutuhkan pre-kondisi seperti keinginan politik untuk meng- implementasikan perubahan-perubahan dan membuat persetujuan antar negara untuk penggunaan laut secara bersama.
5. Penutup
Dari uraian singkat di atas, jelas bahwa stok ikan dipengaruhi oleh berbagai factor baik yang berasal dari dalam maupun luar sistem perikanan. Perikanan budidaya yang diharapkan sebagai alternatif sumber produksi ikan, ternyata belum mampu memenuhi harapan. Mengingat masih besarnya ketergantungan sumber ikan dari laut, maka langkah pengelolaan perikanan ke depan harus mempertimbangkan semua aspek yang terlibat dalam sistem perikanan tersebut. Suatu metode pendekatan yang mendekati dengan tujuan tersebut adalah Marine Protected Areas (MPAs). MPAs yangb dilengkapi dengan indikator-indikator yang lebih mudah dipahami dan bernilai secara ekologi diharapkan akan mampu mengembalikan kerusakan ekosistem perikanan yang mengalami kerusakan selama ini.
Daftar Pustaka
Myers, R.A. and B. Worm, 2003, Rapid world depletion of predatory fish communities, Nature, 423, 280-283.
Pauly, D., V. Christensen, S. Guenette, T.J. Pitcher, U.R. Sumaila, C.J. Walters, R. Watson, and D. Zeller. 2002, Towards sustainability in world fisheries, Nature, 418, 689-695.
FAO, 2004. Ovefishing on the increase in Asia-Pacific seas. http://www.fao.org/newsroom/en/news/2004/49367/index.html
FAO, 2005. Depleted fish stocks require recovery efforts. http://www.fao.org/newsroom/en/news/2005/100095/
Schiermeier, Q., 2004, Climate findings let fishermen off the hook. Nature, 428, 4.
Naylor, R.L., R.J. Goldburg, J.H. Primavera, N. Kautsky, M.C.M. Beveridge, J. Clay, C. Folke, J. Lubchenco, H. Mooney, and M. Troell, 2000, Effect of aquaculture on world fish supplies, Nature, 405, 1017-1024.
Alimuddin dan E.S. Wiyono. 2005. Domestikasi laut atau restocking? INOVASI Vol. 5/XVII/November 2005.
1. Overfishing
Pada awal tahun 1950-an, FAO mencatat adanya pertumbuhan sektor perikanan yang sangat cepat, baik di belahan bumi bagian utara maupun di sepanjang pantai negara-negara yang saat ini dikenal sebagai negara berkembang. Dimana-mana penangkapan berskala industri yang umumnya menggunakan trawl (ada juga dengan purse seining dan long-lining) berkembang dan berkompetisi dengan perikanan skala kecil atau tradisional (artisanal fisheries) yang berperalatan sederhana.
Persaingan yang tidak seimbang ini sangat jelas terlihat di perairan dangkal (kedalaman 10-100 m) di daerah tropis. Perikanan tradisional menjadikan ikan tangkapan mereka untuk konsumsi penduduk lokal, sedangkan perikanan skala besar menggunaan trawl dengan udang sebagai target utama untuk ekspor dan membuang hasil tangkapan yang tidak memiliki nilai ekonomis (by-catch). Dalam periode tahun 1950-an hingga 1960-an, peningkatan usaha penangkapan telah meningkatkan jumlah hasil tangkapan yang sangat besar dan melebihi laju petumbuhan umat manusia [2]. Hal ini telah membuat para penyusun kebijakan dan politisi menjadi percaya bahwa penambahan jumlah kapal yang cepat dan tak terkendali telah melipat-gandakan jumlah tangkapan dalam waktu singkat serta menurunkan hasil tangkapan dalam jangka panjang. Kegagalan perikanan tangkap pertama kali dilaporkan untuk kasus anchovy di Peru pada tahun 1971-1972. Pada awalnya, hancurnya perikanan anchovy ini sering dikaitkan dengan kejadian alam El NiƱo. Namun demikian, data yang terkumpul menunjukkan bahwa jumlah tangkapan aktual (sekitar 18 juta ton), yang telah melebihi dari apa yang dilaporkan yaitu 12 juta ton menunjukkan bukti lain. Terbukti, runtuhnya perikanan anchovy tersebut adalah lebih banyak karena pengaruh overfishing.
Pada pertengahan tahun 1970-an, total tangkapan ikan di Atlantik utara juga telah menurun. Trend penurunan yang cepat lebih jelas terlihat pada akhir tahun 1980-an dan diawal tahun 1990-an sebagian besar stok ikan cod menjadi habis di New England dan Canada bagian timur.
Kondisi stok ikan laut di kawasan Asia-Pasifik juga tidak jauh berbeda. Kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi penyumbang terbesar produksi ikan dunia juga sudah mulai overfishing. Dalam 25 tahun terakhir, penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% [3].
Lebih lanjut, diperkirakan bahwa stok ikan laut dunia saat ini yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tinggal hanya 24%. Sekitar 52% stok sudah termanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lebih lanjut, dan sisanya adalah sudah overeksploitasi atau stoknya sudah menurun [4].
Salah satu jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk membantu pemulihanan stok ikan laut akibat overfishing adalah dengan cara menurunkan kapasitas penangkapan. Disadari betul bahwa penambahan kapasitas armada penangkapan merupakan salah satu ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya laut, dan juga penangkapan itu sendiri.
Perubahan perahu skala kecil berteknologi rendah menjadi kapal besar berteknologi tinggi, subsidi pemerintah, kebijakan open-access pada beberapa wilayah perairan dunia, dan beberapa aspek ekonomi lainnya telah disadari meningkatkan kapasitas penangkapan ikan. Peningkatan kapasitas penangkapan ikan yang tak terdeteksi seperti perubahan alat bantu penangkapan seperti echosounder, GPS, dsb. juga diyakini telah mendorong tingkat overcapacity dibeberapa wilayah perairan.
2. Faktor Iklim
Selain karena overcapacity, perubahan lingkungan diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan drastis stok ikan di Laut Atlantik Utara atau di dunia seperti yang dilaporkan dalam pertemuan ahli biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London [5]. Perubahan lingkungan yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu permukaan laut. Ekosistem laut, khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh dampak fluktuasi kondisi alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek penelitian Global Ocean Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil mengidentifikasi mekanisme alam yang mengatur dinamika populasi dan produktivitas laut. Mereka menduga bahwa penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai akibat dari kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade terakhir.
Para ahli eko-biologi GLOBEC telah menemukan respon biologi terhadap perubahan lingkungan dalam ekosistem laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa perubahan biologis dalam 10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap kelimpahan sumberdaya alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan kekuatan angin terhadap rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan dan kegagalan dalam memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok ikan cod di Newfoundland, Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan) menunjukkan bahwa faktor lain selain penangkapan telah berperan besar dalam menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Okrh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan berkelanjutan, penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa yang diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab, bila kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan iklim dan faktor lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing, juga diyakini sebagai penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu bahwa variasi iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya ikan-ikan yang hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan burayak telah diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan. Informasi ini telah terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan untuk menentukan kuota penangkapan yang optimal.
3. Pengaruh Akuakultur
Penggunaan ikan hasil tangkapan dari alam sebagai bahan pakan ikan budidaya menjadi tekanan langsung terhadap stok ikan di alam [6]. Budidaya ikan laut yang umumnya bersifat karnivora membutuhkan suplemen minyak ikan yang diekstraksi dari ikan laut sebagai sumber asam lemak esensial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Akuakultur juga mungkin bisa menyebabkan hilangnya stok ikan di alam secara tidak langsung melalui perubahan kondisi lingkungan, pengumpulan benih alam, interaksi rantai makanan, introduksi jenis ikan asing dan penyakit yang menyerang populasi ikan alami, dan polusi nutrient [2].
Naylor dan kolega memberikan alternatif yang sangat bagus untuk menanggulangi tantangan serius yang dihadapi akuakultur. Menurut mereka, usaha akuakultur selayaknya dilakukan dengan membudidayakan ikan dengan tingkat tropik rendah (rendah pada rantai makanan); mengurangi input tepung ikan dan minyak ikan dalam pakan; pengembangan sistem budidaya terintegrasi; dan praktek budidaya ramah lingkungan. International Centre for Living Aquatic Resources Management (ICLARM) mendukung penuh pendekaran tersebut dan menambahkan poin kelima: memberikan akses untuk konsumen miskin dan produsen skala kecil. Pengembangan pulau-pulau kecil mungkin juga bisa dijadikan sebagai penyangga rusaknya stok ikan laut yang juga bisa dijadikan tumpuan mata pencaharian masyarakat. Akuakultur dapat juga me-restocking populasi ikan terumbu karang yang nilainya mahal yang telah berkurang karena overfishing [7].
Pelepasan burayak hasil budidaya juga dapat membantu pemecahan masalah sedikitnya ikan kecil yang berhasil bertahan di area penangkapan. Cara seperti itu telah dilakukan untuk 90 jenis ikan di Jepang dalam 30 tahun terakhir ini, khususnya untuk kasus kerang-kerangan (scallop) dan bulu babi (sea urchin). Akuakultur dan pemulihan stok perlu terus dilakukan, dan melanjutkan restoking dengan pengawasan yang ketat.
4. Alternatif Penanggulangan
Berdasarkan ulasan di atas, diperlukan usaha untuk membangun kembali ekosistem laut, dan kemungkinan pemulihan ekologi secara praktis untuk laut yang dapat berdampingan dengan usaha pemanfaatan sumber daya laut untuk konsumsi umat manusia. Satu hal yang perlu dicatat disini bahwa tidak ada yang bisa meyakinkan bahwa sumberdaya laut mampu memenuhi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah. Pola konvensional yang digunakan untuk menganalisa sumberdaya perikanan, dan untuk mengatur jumlah tangkapan, diyakini tidak mampu untuk menghambat laju kerusakan sumberda ikan.
Kapitalisasi penangkapan secara global telah berdampak pada penurunan stok secara gradual, ikan yang berumur panjang dari ekosistem laut, telah tergantikan oleh ikan dengan siklus pendek dan invertebrate, dan merubah rantai makanan menjadi lebih sederhana dan penurunan kapasitas daya dukung seperti bentuk sebelumnya.
Bila trend ini ingin dihentikan, maka dibutuhkan pengurangan penangkapan secara besar-besaran, dengan dukungan peraturan penangkapan yang efektif. Dibutuhkan suatu kemauan politik yang kuat untuk hal ini, namun dalam kenyataannya masih minim kemauan ke arah ini, sebagai akibatnya jumlah wilayah penangkap yang kolaps semakin banyak, dan ikan tangkapan terus mengalami penurunan.
Tingginya ketidakpastian pengelolaan penangkapan telah menjadi salah satu penyebab hilangnya beberapa stok ikan. Karena itu disarankan untuk melakukan penutupan fishing grounds guna mencegah overeksploitasi dengan cara membuat batas maksimum volume tangkapan (upper limit on fishing mortality). Marine protected areas (MPAs), dengan kombinasi usaha kuat untuk menjaga area yang bisa dieksploitasi, telah menunjukkan hasil positif untuk mengembalikan penurunan stok (2). Pada beberapa kasus, MPAs telah berhasil digunakan untuk memproteksi spesies lokal, memulihkan biomassa, dan sedikit menjaga populasi ikan di luarnya dengan melepas ikan burayak (juvenile) atau ikan dewasa. Meskipun migrasi ikan menjadi titik kelemahan dari MPA, namun tetap akan membantu memulihkan spesies ikan dengan menghindarkan kerusakan akibat trawl, dan menurunkan kematian ikan burayak. Penggunaan zona larangan-tangkap dalam MPAs akan menjadi lebih efektif bila didukung dengan teknologi tinggi seperti monitoring dengan satelit, yang saat ini digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Lebih lanjut, MPAs yang mencakup suatu habitat laut mungkin juga akan mampu mencegah kepunahan stok ikan tertentu, mirip dengan kehutanan dan habitat darat lainnya yang telah bisa menjaga spesies liar. Hal ini akan menuntun kepada identifikasi pola reservasi yang akan menjadi contoh di daerah perikanan terdekat, dan selanjutnya mempengaruhi komunitas pantai dan masyarakat sekitarnya yang tertarik dalam reservasi sumber daya ini.
Sekali lagi, bahwa ikan hasil tangkapan dan populasi alami untuk menyuplai kebutuhan penduduk dunia adalah tidak tak terbatas. Dengan demikian, sudah seharusnya usaha lain difokuskan untuk mengembalikan populasi ikan alami yang turun drastis dengan melakukan restoking besar-besaran dan mengurangi total kapasitas penangkapan. Pengelolaan yang tepat terhadap ikan laut di alam akan menghasilkan kemajuan yang berarti, tetapi sayangnya, hal ini membutuhkan pre-kondisi seperti keinginan politik untuk meng- implementasikan perubahan-perubahan dan membuat persetujuan antar negara untuk penggunaan laut secara bersama.
5. Penutup
Dari uraian singkat di atas, jelas bahwa stok ikan dipengaruhi oleh berbagai factor baik yang berasal dari dalam maupun luar sistem perikanan. Perikanan budidaya yang diharapkan sebagai alternatif sumber produksi ikan, ternyata belum mampu memenuhi harapan. Mengingat masih besarnya ketergantungan sumber ikan dari laut, maka langkah pengelolaan perikanan ke depan harus mempertimbangkan semua aspek yang terlibat dalam sistem perikanan tersebut. Suatu metode pendekatan yang mendekati dengan tujuan tersebut adalah Marine Protected Areas (MPAs). MPAs yangb dilengkapi dengan indikator-indikator yang lebih mudah dipahami dan bernilai secara ekologi diharapkan akan mampu mengembalikan kerusakan ekosistem perikanan yang mengalami kerusakan selama ini.
Daftar Pustaka
Myers, R.A. and B. Worm, 2003, Rapid world depletion of predatory fish communities, Nature, 423, 280-283.
Pauly, D., V. Christensen, S. Guenette, T.J. Pitcher, U.R. Sumaila, C.J. Walters, R. Watson, and D. Zeller. 2002, Towards sustainability in world fisheries, Nature, 418, 689-695.
FAO, 2004. Ovefishing on the increase in Asia-Pacific seas. http://www.fao.org/newsroom/en/news/2004/49367/index.html
FAO, 2005. Depleted fish stocks require recovery efforts. http://www.fao.org/newsroom/en/news/2005/100095/
Schiermeier, Q., 2004, Climate findings let fishermen off the hook. Nature, 428, 4.
Naylor, R.L., R.J. Goldburg, J.H. Primavera, N. Kautsky, M.C.M. Beveridge, J. Clay, C. Folke, J. Lubchenco, H. Mooney, and M. Troell, 2000, Effect of aquaculture on world fish supplies, Nature, 405, 1017-1024.
Alimuddin dan E.S. Wiyono. 2005. Domestikasi laut atau restocking? INOVASI Vol. 5/XVII/November 2005.
0 comments:
Post a Comment