Artemia salina merupakan salah satu jenis udang crustacea yang memiliki ukuran tubuh sangat kecil. Artemia salina merupakan termasuk dalam family artemide dan berordo anostraca. Ukuran udang artemia ini sangat mini, pada usia dewasanya saja hanya berukuran 10 hingga 12 mm. sedangkan larva dari artemia salina ini yang baru menetas sebesar 0,35 hingg 0,45 mm saja. artemia salina banyak ditemukan di dalam danau-danau air tawar di amerika serikat dan argentina.
Artemia ini merupakan salah satu pakan alami yang biasanya digunakan dalam usaha budidaya ikan dan udang sebagai pakan utama dan sehat karena mengandung banyak nutrisi dan gizi sehingga ikan dan udang yang dibudidayakan dapat tumbuh lebih sehat dan tidak mudah sakit.
Permintaan akan artemia ini mengalami perkembangan yang sangat pesat di Indonesia yang kaya akan budidaya ikan dan udang. Namun karena pasokan artemia ini sangat terbatas, untuk memenuhi kebutuhannya masih harus diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu saat ini sedang banyak orang yang berusaha melakukan budidaya artemia sebagai pemasok dari dalam negeri yang tentu saja bisa bersaing lebih ketat dengan artemia impor.Artemia (Artemia salina) merupakan pakan bagi larva udang dan ikan yang banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan pembenihan udang dan ikan (hatchery). Artemia merupakan jenis crustaceae tingkat rendah dari phylum arthropoda yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam-asam amino. Benih ikan dan udang pada stadium awal mempunyai saluran pencernaan yang masih sangat sederhana sehingga memerlukan nutrisi pakan jasad renik yang mengandung nilai gizi tinggi. Nauplius artemia mempunyai kandungan protein hingga 63 % dari berat keringnya. Selain itu artemia sangat baik untuk pakan ikan hias karena banyak mengandung pigmen warna yang diperlukan untuk variasi dan kecerahan warna pada ikan hias agar lebih menarik.
Artemia dapat hidup di perairan yang bersalinitas tinggi antara 60 - 300 ppt dan mempunyai toleransi tinggi terhadap oksigen dalam air. Oleh karena itu artemia ini sangat potensial untuk dibudidayakan di tambak- tambak tambak yang bersalinitas tinggi di Indonesia. Budidaya artemia mempunyai prospek yang sangat cerah untuk dikembangkan. Baik kista maupun biomasanya dapat diolah menjadi produk kering yang memiliki ekonomis tinggi guna mendukung usaha budidaya udang dan ikan. Budidaya artemia relatif sederhana serta murah, sehingga tidak menuntut ketrampilan khusus dan modal besar bagi pembudidayanya.
Potensi lahan untuk usaha budidaya udang renik air asin (brine shrimp) ini di Indonesia mencapai kurang lebih 32.000 ha. Saat ini beberapa daerah telah mengembangkan budidaya artemia seperti di daerah pantai Madura, Jawa Timur, terutama di Kabupaten Sumenep, Sampang dan Pemekasan. Daerah lain yang tak mau ketinggalan adalah Jepara, Jawa Tengah dan Gondol, Bali.
Pembudidayaan artemia di areal tambak cukup dengan memodifikasi tambak garam yang sudah ada sedemikian rupa menjadi usaha tumpang sari garam dan budidaya artemia.
Budidaya artemia secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi tanah. Tanah yang tidak sesuai untuk budidaya artemia ditandai dengan adanya bahan organik didasar tambak. Bahan organik tersebut akan meningkatkan proses aksidasi dan menghasilkan zat-zat beracun atau senyawa-senyawa yang meningkatkan keasaman air. Guna mengatasinya cukup dengan cara menguras tambak setiap 2 - 4 bulan sekali. Setelah dikuras, tambak diberakan (dibiarkan) antara 2-4 minggu. Selama pemberaan dilakukan pengapuran pada tambak sebagai upaya meningkatkan pH air hingga mencapai kisaran 7,5 - 8,5. Air dengan pH yang cukup tinggi ini sangat cocok untuk pertumbuhan artemia.
Cara Budidaya Artemia
Secara teknis budidaya artemia relatif mudah. Kemudahan ini lantaran didukung oleh sifat artemia yang sangat toleran pada berbagai kondisi fisik dan kimia media, kecuali zat-zat beracun. Namun untuk mendapatkan hasil yang optimal dibutuhkan pengetahun dan keterampilan yang handal dalam budidaya Artemia.
Benih berkualiatas adalah salah satu yang harus diperhatikan dalam budidaya artemia. Benih artemia banyak dijumpai di pasaran bebas dalam bentuk kista. Strain yang mudah ditemukan di pasar dalam negeri adalah San Fransisco Bay dan Great Salt Lake berasal dari Amerika Serikat. Didalam negeri benih artemia berasal dari Gondol, Bali yang dikemas dalam kaleng dengan berat 250 g.
Budidaya artemia dapat dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sistem tumpang sari, monokultur dan dalam bak. Sistem tumpang sari dilakukan dengan cara modifikasi tambak yang dapat berfungsi ganda. Pertama, untuk memproduksi garam dengan kualitas yang lebih baik. Kedua memproduksi artemia, baik dalam bentuk kista maupun biomassa. Dengan demikian sistem ini akan memberikan keuntungan usaha tani yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani garam.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tambak adalah tanggul atau pematang tambak harus bebas dari kebocoran. Hal ini dapat diatasi dengan cara menutup tanggul dengan menggunakan plastik hitam atau menggunakan dinding beton. Sebelum benih artemia ditebar, pada tambak terlebih dahulu diadakan perlakuan menumbuhkan makanan alami yang berupa fitoplanton. Dengan cara memupuk tambak menggunakan pupuk organik seperti kotoran ayam dan pupuk buatan berupa TSP dan Urea atau ammonium. Dosis pupuk kandang, TSP, dan urea yang diperlukan berturut-turut 3.000 kg/ha/tanam, 150 kg/ha/tanam dan 150 kg/ha/tanam.
Setelah lahan siap untuk digunakan, pertama-tama air laut dialirkan ke petakan reservoir dengan kedalaman 60 -100 cm yang menggunakan pompa air berdiameter sekitar 10 inci pada saat air pasang. Salinitas airnya kira-kira 30 - 35 ppt atau sama dengan salinitas air laut. Selanjutnya dari petakan reservoir II dialirkan ke petakan pemeliharaan dengan menggunakan pompa yang berdiameter 2 inci dan kedalamannya sekitar 60 cm.
Untuk menangani predator yang kerap mengganggu, dapat diatasi dengan tetap menjadi salinitas air media pada kisaran 150 ppt yang memungkinkan jenis predator tidak mampu bertahan hidup. Atau dengan cara menggunakan saponin pada dosis 10 -12 ppm. Ada beberapa macam predator yang sering menyerang artemia diantaranya zooplankton yakni orgnisme pesaing pemakan fitoplankton, dan benih ikan atau ikan dewasa yang masuk tambak secara tidak sengaja sehingga memakan artemia.
Sebelum artemia ditebar ke tambak, ada satu lagi kegiatan penting yang harus dilakukan yaitu penetasan kista. Kista merupakan telur yang terbungkus korion akibat ketidaksesuaian lingkungan telur menetas menjadi larva. Kondisi demikian memang sengaja direkayasa. Untuk menetaskan kista yang diperlukan adalah wadah dan perangkat suplai oksigen. Bentuk wadahnya kerucut dengan ukuran sesuai kebutuhan. Supaya suplai oksigen tetap ada, maka dibuatlah sistem aerasi dalam wadah. Sedangkan kepadatan kista sekitar 5 -10 g per liter air.
Penebaran benih artemia dapat segera dilakukan setelah kondisi pertumbuhan makanan alami di tambak terlihat normal. Hal ini ditandai dengan air tambak yang berwarna hijau keruh dan tingkat kecerahannya tidak lebih dari 20 cm. Nauplii artemia yang ditebarkan pada petakan pemeliharaan berasal dari kista yang telah ditetaskan melalui dekapsulasi. Dalam menebarkan artemia sebaiknya digunakan nauplii instar I karena instar yang lebih tinggi relatif peka terhadap perubahan salinitas. Untuk keperluan produksi biomassa, nauplii ditebarkan pada petakan reservoir dengan tingkat kepadatan sesuai dengan daya lahan yang tersedia. Tingkat kepadatannya 200 nauplii per liter air. Sebelumnya nauplius dikeringkan yang dimasuk ke dalam alat pengering pada temperature 60 C° selama 24 jam, kemudian didinginkan selama 30 menit dan kemudian ditimbang.
Selama pemeliharaan, artemia harus mendapat pengawasan yang intensif agar hasilnya optimal. Adapun hal perlu diamati adalah salinitas, tingkat kecerahan air, pemberian makan tambahan, ketinggian air, kebersihan air, dan keasaman media. Waktu pemeliharaan artemia sebaiknya dilakukan pada musim kemarau untuk memperoleh media dengan salinitas tinggi. Daerah Madura musim kemarau pada bulan Juli - November. Persiapannya dimulai pada bulan Mei. Sehingga beberapa tahapan budidaya artemia diantaranya bulan Mei persiapan non-teknis, Juni adalah persiapan tambak, dan Juli penebaran benih. Adapun masa panen dan pengolahannya jatuh pada bulan Agustus, September, Oktober dan November.
Pada umur 10 - 14 hari artemia mulai melakukan perkawinan. Pada artemia betina dewasa mempunyai kantung telur yang terletak di bawah tubuhnya yang berisi 20 - 30 butir telur. Dalam satu hektar tambak mampu menghasilkan kista sebanyak 260 kg. Apabila dalam setahun dapat dilakukan dua kali pemanenan maka produksi kista yang dapat dihasilkan mencapai 520 kg.
Penanganan Saat Panen
Pemanenan kista dan biomassa dilakukan dengan cara yang berbeda, baik teknik, waktu maupun penanganannya.Untuk kista dipanen setiap hari selama kurun waktu 2 bulan, sedangkan biomassa dipanen sekali selama satu periode budidaya. Pemanenan dapat dimulai pada akhir minggu ketiga terhitung sejak artemia ditebarkan ke dalam tambak. Tanda-tanda kista yang siap dipanen adalah terdapat butiran-buturian halus berwarna coklat tua yang mengapung di tambak. Waktu yang tepat memanen kista antara pukul 08.00-11.00, dimana hari cukup terang dan anginnya sepoi-sepoi sehingga kista mudah ditangkap dengan seser halus yang terbuat dari bahan nilon.
Biomassa artemia dewasa siap dipanen setelah 14 hari dalam pemeliharaan. Saat itu artemia telah mencapai ukuran 10 mm. Pada sistem budidaya tambak, biomassa artemia dipanen setelah masa pemanenan kista yang terakhir yang ditandai dengan mortalitas induk sudah mulai meningkat, sementara produksi kista mencapai jumlah terendah. Cara pemanennya dilakukan dengan membuat lubang pembuangan air keluar dari tambak dengan memasang jaring berbentuk V dengan ukuran 1 - 1,5 cm. Kemudian artemia yang sudah terkumpul disudut tambak diangkat dengan menggunakan seser halus dan langsung dimasukan ke dalam wasah berisi air laut yang bersih.
Sumber : Berbagai sumber
Artemia ini merupakan salah satu pakan alami yang biasanya digunakan dalam usaha budidaya ikan dan udang sebagai pakan utama dan sehat karena mengandung banyak nutrisi dan gizi sehingga ikan dan udang yang dibudidayakan dapat tumbuh lebih sehat dan tidak mudah sakit.
Permintaan akan artemia ini mengalami perkembangan yang sangat pesat di Indonesia yang kaya akan budidaya ikan dan udang. Namun karena pasokan artemia ini sangat terbatas, untuk memenuhi kebutuhannya masih harus diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu saat ini sedang banyak orang yang berusaha melakukan budidaya artemia sebagai pemasok dari dalam negeri yang tentu saja bisa bersaing lebih ketat dengan artemia impor.Artemia (Artemia salina) merupakan pakan bagi larva udang dan ikan yang banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan pembenihan udang dan ikan (hatchery). Artemia merupakan jenis crustaceae tingkat rendah dari phylum arthropoda yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam-asam amino. Benih ikan dan udang pada stadium awal mempunyai saluran pencernaan yang masih sangat sederhana sehingga memerlukan nutrisi pakan jasad renik yang mengandung nilai gizi tinggi. Nauplius artemia mempunyai kandungan protein hingga 63 % dari berat keringnya. Selain itu artemia sangat baik untuk pakan ikan hias karena banyak mengandung pigmen warna yang diperlukan untuk variasi dan kecerahan warna pada ikan hias agar lebih menarik.
Artemia dapat hidup di perairan yang bersalinitas tinggi antara 60 - 300 ppt dan mempunyai toleransi tinggi terhadap oksigen dalam air. Oleh karena itu artemia ini sangat potensial untuk dibudidayakan di tambak- tambak tambak yang bersalinitas tinggi di Indonesia. Budidaya artemia mempunyai prospek yang sangat cerah untuk dikembangkan. Baik kista maupun biomasanya dapat diolah menjadi produk kering yang memiliki ekonomis tinggi guna mendukung usaha budidaya udang dan ikan. Budidaya artemia relatif sederhana serta murah, sehingga tidak menuntut ketrampilan khusus dan modal besar bagi pembudidayanya.
Potensi lahan untuk usaha budidaya udang renik air asin (brine shrimp) ini di Indonesia mencapai kurang lebih 32.000 ha. Saat ini beberapa daerah telah mengembangkan budidaya artemia seperti di daerah pantai Madura, Jawa Timur, terutama di Kabupaten Sumenep, Sampang dan Pemekasan. Daerah lain yang tak mau ketinggalan adalah Jepara, Jawa Tengah dan Gondol, Bali.
Pembudidayaan artemia di areal tambak cukup dengan memodifikasi tambak garam yang sudah ada sedemikian rupa menjadi usaha tumpang sari garam dan budidaya artemia.
Budidaya artemia secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi tanah. Tanah yang tidak sesuai untuk budidaya artemia ditandai dengan adanya bahan organik didasar tambak. Bahan organik tersebut akan meningkatkan proses aksidasi dan menghasilkan zat-zat beracun atau senyawa-senyawa yang meningkatkan keasaman air. Guna mengatasinya cukup dengan cara menguras tambak setiap 2 - 4 bulan sekali. Setelah dikuras, tambak diberakan (dibiarkan) antara 2-4 minggu. Selama pemberaan dilakukan pengapuran pada tambak sebagai upaya meningkatkan pH air hingga mencapai kisaran 7,5 - 8,5. Air dengan pH yang cukup tinggi ini sangat cocok untuk pertumbuhan artemia.
Cara Budidaya Artemia
Secara teknis budidaya artemia relatif mudah. Kemudahan ini lantaran didukung oleh sifat artemia yang sangat toleran pada berbagai kondisi fisik dan kimia media, kecuali zat-zat beracun. Namun untuk mendapatkan hasil yang optimal dibutuhkan pengetahun dan keterampilan yang handal dalam budidaya Artemia.
Benih berkualiatas adalah salah satu yang harus diperhatikan dalam budidaya artemia. Benih artemia banyak dijumpai di pasaran bebas dalam bentuk kista. Strain yang mudah ditemukan di pasar dalam negeri adalah San Fransisco Bay dan Great Salt Lake berasal dari Amerika Serikat. Didalam negeri benih artemia berasal dari Gondol, Bali yang dikemas dalam kaleng dengan berat 250 g.
Budidaya artemia dapat dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sistem tumpang sari, monokultur dan dalam bak. Sistem tumpang sari dilakukan dengan cara modifikasi tambak yang dapat berfungsi ganda. Pertama, untuk memproduksi garam dengan kualitas yang lebih baik. Kedua memproduksi artemia, baik dalam bentuk kista maupun biomassa. Dengan demikian sistem ini akan memberikan keuntungan usaha tani yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani garam.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tambak adalah tanggul atau pematang tambak harus bebas dari kebocoran. Hal ini dapat diatasi dengan cara menutup tanggul dengan menggunakan plastik hitam atau menggunakan dinding beton. Sebelum benih artemia ditebar, pada tambak terlebih dahulu diadakan perlakuan menumbuhkan makanan alami yang berupa fitoplanton. Dengan cara memupuk tambak menggunakan pupuk organik seperti kotoran ayam dan pupuk buatan berupa TSP dan Urea atau ammonium. Dosis pupuk kandang, TSP, dan urea yang diperlukan berturut-turut 3.000 kg/ha/tanam, 150 kg/ha/tanam dan 150 kg/ha/tanam.
Setelah lahan siap untuk digunakan, pertama-tama air laut dialirkan ke petakan reservoir dengan kedalaman 60 -100 cm yang menggunakan pompa air berdiameter sekitar 10 inci pada saat air pasang. Salinitas airnya kira-kira 30 - 35 ppt atau sama dengan salinitas air laut. Selanjutnya dari petakan reservoir II dialirkan ke petakan pemeliharaan dengan menggunakan pompa yang berdiameter 2 inci dan kedalamannya sekitar 60 cm.
Untuk menangani predator yang kerap mengganggu, dapat diatasi dengan tetap menjadi salinitas air media pada kisaran 150 ppt yang memungkinkan jenis predator tidak mampu bertahan hidup. Atau dengan cara menggunakan saponin pada dosis 10 -12 ppm. Ada beberapa macam predator yang sering menyerang artemia diantaranya zooplankton yakni orgnisme pesaing pemakan fitoplankton, dan benih ikan atau ikan dewasa yang masuk tambak secara tidak sengaja sehingga memakan artemia.
Sebelum artemia ditebar ke tambak, ada satu lagi kegiatan penting yang harus dilakukan yaitu penetasan kista. Kista merupakan telur yang terbungkus korion akibat ketidaksesuaian lingkungan telur menetas menjadi larva. Kondisi demikian memang sengaja direkayasa. Untuk menetaskan kista yang diperlukan adalah wadah dan perangkat suplai oksigen. Bentuk wadahnya kerucut dengan ukuran sesuai kebutuhan. Supaya suplai oksigen tetap ada, maka dibuatlah sistem aerasi dalam wadah. Sedangkan kepadatan kista sekitar 5 -10 g per liter air.
Penebaran benih artemia dapat segera dilakukan setelah kondisi pertumbuhan makanan alami di tambak terlihat normal. Hal ini ditandai dengan air tambak yang berwarna hijau keruh dan tingkat kecerahannya tidak lebih dari 20 cm. Nauplii artemia yang ditebarkan pada petakan pemeliharaan berasal dari kista yang telah ditetaskan melalui dekapsulasi. Dalam menebarkan artemia sebaiknya digunakan nauplii instar I karena instar yang lebih tinggi relatif peka terhadap perubahan salinitas. Untuk keperluan produksi biomassa, nauplii ditebarkan pada petakan reservoir dengan tingkat kepadatan sesuai dengan daya lahan yang tersedia. Tingkat kepadatannya 200 nauplii per liter air. Sebelumnya nauplius dikeringkan yang dimasuk ke dalam alat pengering pada temperature 60 C° selama 24 jam, kemudian didinginkan selama 30 menit dan kemudian ditimbang.
Selama pemeliharaan, artemia harus mendapat pengawasan yang intensif agar hasilnya optimal. Adapun hal perlu diamati adalah salinitas, tingkat kecerahan air, pemberian makan tambahan, ketinggian air, kebersihan air, dan keasaman media. Waktu pemeliharaan artemia sebaiknya dilakukan pada musim kemarau untuk memperoleh media dengan salinitas tinggi. Daerah Madura musim kemarau pada bulan Juli - November. Persiapannya dimulai pada bulan Mei. Sehingga beberapa tahapan budidaya artemia diantaranya bulan Mei persiapan non-teknis, Juni adalah persiapan tambak, dan Juli penebaran benih. Adapun masa panen dan pengolahannya jatuh pada bulan Agustus, September, Oktober dan November.
Pada umur 10 - 14 hari artemia mulai melakukan perkawinan. Pada artemia betina dewasa mempunyai kantung telur yang terletak di bawah tubuhnya yang berisi 20 - 30 butir telur. Dalam satu hektar tambak mampu menghasilkan kista sebanyak 260 kg. Apabila dalam setahun dapat dilakukan dua kali pemanenan maka produksi kista yang dapat dihasilkan mencapai 520 kg.
Penanganan Saat Panen
Pemanenan kista dan biomassa dilakukan dengan cara yang berbeda, baik teknik, waktu maupun penanganannya.Untuk kista dipanen setiap hari selama kurun waktu 2 bulan, sedangkan biomassa dipanen sekali selama satu periode budidaya. Pemanenan dapat dimulai pada akhir minggu ketiga terhitung sejak artemia ditebarkan ke dalam tambak. Tanda-tanda kista yang siap dipanen adalah terdapat butiran-buturian halus berwarna coklat tua yang mengapung di tambak. Waktu yang tepat memanen kista antara pukul 08.00-11.00, dimana hari cukup terang dan anginnya sepoi-sepoi sehingga kista mudah ditangkap dengan seser halus yang terbuat dari bahan nilon.
Biomassa artemia dewasa siap dipanen setelah 14 hari dalam pemeliharaan. Saat itu artemia telah mencapai ukuran 10 mm. Pada sistem budidaya tambak, biomassa artemia dipanen setelah masa pemanenan kista yang terakhir yang ditandai dengan mortalitas induk sudah mulai meningkat, sementara produksi kista mencapai jumlah terendah. Cara pemanennya dilakukan dengan membuat lubang pembuangan air keluar dari tambak dengan memasang jaring berbentuk V dengan ukuran 1 - 1,5 cm. Kemudian artemia yang sudah terkumpul disudut tambak diangkat dengan menggunakan seser halus dan langsung dimasukan ke dalam wasah berisi air laut yang bersih.
Sumber : Berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment