Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau maximum sustainable yield (MSY) di perairan laut Indonesia sebesar 6,5 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,2 juta ton/tahun (80% dari MSY). Kemudian, untuk besarnya potensi perikanan tangkap di perairan umum yang memiliki total luas sekitar 54 juta Ha, yang meliputi danau, waduk, sungai, rawa, dan genangan air lainnya, diperkirakan mencapai 0,9 juta ton ikan/tahun. Sementara, untuk perikanan budidaya, potensi yang dimilikinya adalah a) perikanan budidaya air laut seluas 8,3 juta Ha (yang terdiri dari 20% untuk budidaya ikan, 10% untuk budidaya kekerangan, 60% untuk budidaya rumput laut, dan 10% untuk lainnya), b) perikanan budidaya air payau atau tambak seluas 1,3 juta Ha, dan c) perikanan budidaya air tawar seluas 2,2 juta Ha (yang terdiri dari kolam seluas 526,40 ribu Ha, perairan umum (danau, waduk, sungai dan rawa) seluas 158,2 ribu Ha, dan sawah untuk mina padi seluas 1,55 juta Ha).2 Berdasarkan data FAO (2014) pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke-2 untuk produksi perikanan tangkap dan peringkat ke-4 untuk produksi perikanan budidaya di dunia. Fakta ini dapat memberikan gambaran bahwa potensi perikanan Indonesia sangat besar, sehingga bila dikelola dengan baik dan bertanggungjawab agar kegiatannya dapat berkelanjutan, maka dapat menjadi sebagai salah satu sumber modal utama pembangunan di masa kini dan masa yang akan datang.
Potensi perikanan yang sangat besar tersebut dapat memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara dan masyarakat Indonesia, bila dikelola dengan baik dan bertanggungjawab. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Namun sayangnya, hingga kini sebagian besar aktivitas perikanan nasional faktanya belum memperlihatkan kinerja yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan seperti yang diamanatkan dalam UU RI No.45/1945 tersebut. Sebagai gambaran pada perikanan tangkap, beberapa contohnya adalah: 1) masih maraknya aktivitas IUU fishing; 2) gejala lebih tangkap atau overfishing di beberapa perairan pantai Indonesia, akibat pemanfaatan sumber daya ikan yang umumnya masih bersifat open acces dan belum melaksanakan limited entry secara penuh; 3) masih terdapat penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif; dan 4) sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih lemah dan belum efektif. Sementara pada perikanan budidaya, diantaranya adalah: 1) kebutuhan pakan yang masih tergantung dengan impor dari negara lain; 2) sebagian besar usaha perikanan budidaya di Indonesia belum menerapkan good aquaculture practices, sehingga aktivitasnya berdampak pada degradasi lingkungan yang cukup signifikan, yang akhirnya menimbulkan masalah penyakit, kematian massal, dan juga terjadinya pencemaran, baik dari limbah sisa pakan maupun dari limbah penggunaan obat-obatan yang tidak tepat jenis dan dosis; 3) masih sering terjadinya konversi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga sering menjadi ancaman langsung mapun tidak langsung bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya; dan 4) ketersediaan induk ikan dan udang unggulan masih sangat terbatas.
Tambahan pula, pembangunan perikanan di Indonesia hingga kini masih fokus pada pengembangan aspek ekonomi semata. Hal ini tercermin dengan penggunaan indikator kinerja utama (IKU) untuk pembangunan perikanannya seperti tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2010-20142, yakni: 1) meningkatnya persentase pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan; 2) meningkatnya jumlah produksi perikanan; 3) meningkatnya nilai tukar nelayan (NTN) dan pembudidaya ikan (NTPi); 4) meningkatnya jumlah konsumsi ikan dalam negeri per kapita; 5) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan; 6) menurunnya jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra; 7) bertambahnya luas Kawasan Korservasi Perairan yang dikelola secara berkelanjutan; 8) bertambahnya jumlah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil terluar, yang dikelola; dan 9) meningkatnya persentase wilayah perairan bebas illegal fishing dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Padahal, dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, tidak hanya aspek ekonomi semata yang perlu dikembangkan, namun juga aspek sosial dan ekologinya , agar aktivitasnya dapat berkelanjutan. Dari 9 IKU yang ditetapkan tersebut, terdapat 5 IKU (IKU 1, 2, 3, 5, dan 6) yang fokus pada aspek ekonomi, sedangkan untuk aspek sosial hanya 2 IKU (IKU 4 dan 8), dan aspek ekologi juga 2 IKU (IKU 7 dan 9). Seharusnya dibuat IKU yang berimbang atau lebih baik lagi bila menggunakan IKU yg dapat mencerminkan 3 aspek utama keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagai salah satu contohnya adalah seperti IKU meningkatnya produksi perikanan, yang hanya mencerminkan aspek ekonomi semata, dapat diganti menjadi IKU maksimalnya produktivitas perikanan sesuai daya dukung lingkungan, yang akan mencerminkan aspek ekonomi melalui pencapaian usaha yang menguntungkan, aspek sosial melalui penjaminan lokasi daerah usaha perikanan, dan aspek ekologi melalui pengaturan jumlah input produksi yang sesuai daya dukung.
Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan, dan lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara. Berdasarkan hal ini, guna memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara Indonesia serta menjamin keberlangsungan usaha perikanan itu sendiri, maka sudah seharusnya pembangunan dan aktivitas perikanan nasional secepatnya diarahkan untuk menerapkan kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, mencakup tiga aspek utama, yaitu: ekologi, ekonomi, dan sosial.3 Tanpa keberlanjutan ekologi, misalnya penggunaan teknologi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, akan menyebabkan menurunnya sumber daya ikan bahkan juga bisa punah, sehingga akibatnya kegiatan ekonomi perikanan akan terhenti dan tentu akan berdampak pula pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat yang terlibat kegiatan perikanan. Kemudian, tanpa keberlanjutan ekonomi, misalnya rendahnya harga ikan yang tidak sesuai dengan biaya operasional, maka akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran untuk dapat menutup biaya produksi yang dapat merusak kehidupan ekologi perikanan. Begitu pula tanpa keberlanjutan kehidupan sosial para stakeholder perikanan maka proses pemanfaatan perikanan dan kegiatan ekonominya akan menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat penggunanya. Dengan demikian, agar perikanan yang berkelanjutan tersebut dapat segera terwujud, maka tentunya harus diimbangi dengan regulasi dan kebijakan yang tepat dan efektif. Oleh karena itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Direktorat Kelautan dan Perikanan memandang perlu untuk melakukan “Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan”.
Potensi perikanan yang sangat besar tersebut dapat memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara dan masyarakat Indonesia, bila dikelola dengan baik dan bertanggungjawab. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Namun sayangnya, hingga kini sebagian besar aktivitas perikanan nasional faktanya belum memperlihatkan kinerja yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan seperti yang diamanatkan dalam UU RI No.45/1945 tersebut. Sebagai gambaran pada perikanan tangkap, beberapa contohnya adalah: 1) masih maraknya aktivitas IUU fishing; 2) gejala lebih tangkap atau overfishing di beberapa perairan pantai Indonesia, akibat pemanfaatan sumber daya ikan yang umumnya masih bersifat open acces dan belum melaksanakan limited entry secara penuh; 3) masih terdapat penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif; dan 4) sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih lemah dan belum efektif. Sementara pada perikanan budidaya, diantaranya adalah: 1) kebutuhan pakan yang masih tergantung dengan impor dari negara lain; 2) sebagian besar usaha perikanan budidaya di Indonesia belum menerapkan good aquaculture practices, sehingga aktivitasnya berdampak pada degradasi lingkungan yang cukup signifikan, yang akhirnya menimbulkan masalah penyakit, kematian massal, dan juga terjadinya pencemaran, baik dari limbah sisa pakan maupun dari limbah penggunaan obat-obatan yang tidak tepat jenis dan dosis; 3) masih sering terjadinya konversi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga sering menjadi ancaman langsung mapun tidak langsung bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya; dan 4) ketersediaan induk ikan dan udang unggulan masih sangat terbatas.
Tambahan pula, pembangunan perikanan di Indonesia hingga kini masih fokus pada pengembangan aspek ekonomi semata. Hal ini tercermin dengan penggunaan indikator kinerja utama (IKU) untuk pembangunan perikanannya seperti tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2010-20142, yakni: 1) meningkatnya persentase pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan; 2) meningkatnya jumlah produksi perikanan; 3) meningkatnya nilai tukar nelayan (NTN) dan pembudidaya ikan (NTPi); 4) meningkatnya jumlah konsumsi ikan dalam negeri per kapita; 5) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan; 6) menurunnya jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra; 7) bertambahnya luas Kawasan Korservasi Perairan yang dikelola secara berkelanjutan; 8) bertambahnya jumlah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil terluar, yang dikelola; dan 9) meningkatnya persentase wilayah perairan bebas illegal fishing dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Padahal, dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, tidak hanya aspek ekonomi semata yang perlu dikembangkan, namun juga aspek sosial dan ekologinya , agar aktivitasnya dapat berkelanjutan. Dari 9 IKU yang ditetapkan tersebut, terdapat 5 IKU (IKU 1, 2, 3, 5, dan 6) yang fokus pada aspek ekonomi, sedangkan untuk aspek sosial hanya 2 IKU (IKU 4 dan 8), dan aspek ekologi juga 2 IKU (IKU 7 dan 9). Seharusnya dibuat IKU yang berimbang atau lebih baik lagi bila menggunakan IKU yg dapat mencerminkan 3 aspek utama keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagai salah satu contohnya adalah seperti IKU meningkatnya produksi perikanan, yang hanya mencerminkan aspek ekonomi semata, dapat diganti menjadi IKU maksimalnya produktivitas perikanan sesuai daya dukung lingkungan, yang akan mencerminkan aspek ekonomi melalui pencapaian usaha yang menguntungkan, aspek sosial melalui penjaminan lokasi daerah usaha perikanan, dan aspek ekologi melalui pengaturan jumlah input produksi yang sesuai daya dukung.
Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan, dan lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara. Berdasarkan hal ini, guna memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara Indonesia serta menjamin keberlangsungan usaha perikanan itu sendiri, maka sudah seharusnya pembangunan dan aktivitas perikanan nasional secepatnya diarahkan untuk menerapkan kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, mencakup tiga aspek utama, yaitu: ekologi, ekonomi, dan sosial.3 Tanpa keberlanjutan ekologi, misalnya penggunaan teknologi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, akan menyebabkan menurunnya sumber daya ikan bahkan juga bisa punah, sehingga akibatnya kegiatan ekonomi perikanan akan terhenti dan tentu akan berdampak pula pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat yang terlibat kegiatan perikanan. Kemudian, tanpa keberlanjutan ekonomi, misalnya rendahnya harga ikan yang tidak sesuai dengan biaya operasional, maka akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran untuk dapat menutup biaya produksi yang dapat merusak kehidupan ekologi perikanan. Begitu pula tanpa keberlanjutan kehidupan sosial para stakeholder perikanan maka proses pemanfaatan perikanan dan kegiatan ekonominya akan menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat penggunanya. Dengan demikian, agar perikanan yang berkelanjutan tersebut dapat segera terwujud, maka tentunya harus diimbangi dengan regulasi dan kebijakan yang tepat dan efektif. Oleh karena itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Direktorat Kelautan dan Perikanan memandang perlu untuk melakukan “Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan”.
0 comments:
Post a Comment