TINJAUAN PUSTAKA
1. Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Teri ( Stolephorus sp. )
Menurut Saanin (1984), Ikan teri mempunyai morfologi tubuh berbentuk memanjang (fusiform) atau agak pipih (compressed). Ikan teri berukuran kecil, panjang tubuh sekitar 145 mm bahkan mencapai 5 cm seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pada bagian linea latelaris berwarna putih perak yang memanjang dari ekor sampai kepala. Adapun sistematika dan klasifikasi ikan teri menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Teri ( Stolephorus sp. )
Menurut Saanin (1984), Ikan teri mempunyai morfologi tubuh berbentuk memanjang (fusiform) atau agak pipih (compressed). Ikan teri berukuran kecil, panjang tubuh sekitar 145 mm bahkan mencapai 5 cm seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pada bagian linea latelaris berwarna putih perak yang memanjang dari ekor sampai kepala. Adapun sistematika dan klasifikasi ikan teri menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Phylum
|
: Chordata
|
Subphylum
|
: Vertebrata
|
Kelas
|
: Pisces
|
Subkelas
|
: Teleostei
|
Ordo
|
: Malacopterygii
|
Famili
|
: Clupeidae
|
Genus
|
: Stolephorus
|
Spesies
|
: Stolephorus sp.
|
Penyebaran ikan teri di Indonesia merata di seluruh wilayah perairan. Ikan teri ditemukan di beberapa wilayah perairan seperti di Sulawesi Tenggara, Sumatra Barat, Selat Madura dan termasuk di wilayah teluk Tomini. Teri merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor, dan termasuk jenis ikan musiman. Musim tangkapnya antara bulan Februari sampai
Agustus. Jumlah tangkapan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Juli dan Agustus
(Fauzia dkk 2012).
2. Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Ikan Teri
Ikan teri mengandung protein, mineral, vitamin, dan zat gizi lainnya yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan kecerdasan. Protein teri tersusun atas beberapa macam asam amino esensial. Komposisi kimia ikan teri dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik antara lain jenis ikan, umur dan jenis kelamin. Faktor ekstrinsik terdiri atas daerah kehidupannya (habitat), musim dan jenis makanan yang tersedia (Fauzi dkk ).
Bahan baku ikan teri yang diolah wajib memenuhi syarat kesegaran ikan segar (SNI 01-2346-2006), seperti bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, rupa dan warna utuh putih cemerlang, bau yang spesifik jenis, serta tekstur daging kenyal. Menurut BKKP (2012), komposisi kimia ikan teri kering terdiri atas protein (68,7 %), lemak (4,2 %), Air (16,7%), Fosfor (225 mg), kalsium (1,20 mg), dan zat besi (23,4 mg).
3. Prinsip Dasar Pengolahan Ikan
Proses pengolahan dilakukan sebagai suatu usaha untuk memanfaatkan ikan sebagai bahan pangan untuk manusia. Sebagai bahan pangan, ikan hasil tangkapan dapat dipertahankan kesegaran untuk dikonsumsi secara segar atau dapat diolah dengan berbagai metode pengawetan. Pada proses dasarnya, pengawetan ikan dilakukan sederhana dengan memanfaatkan proses-proses alami misalnya memanfaatkan sinar matahari, tetapi karena perkembangan ilmu dan teknologi maka metode pengawetan ikanpun berkembang dengan pembuatan alat-alat mekanis yang dapat menunjang dan mempercepat proses, memperbanyak produk akhir, sekaligus memperbaiki mutu produk.
Menurut Hadiwiyoto (1993), prinsip pengolahan dan pengawetan ikan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Pengolahan dan pengawetan ikan dengan memanfaatkan faktor-faktor fisikawi. Pada metode ini banyak dikerjakan adalah pemanfaatan suhu tinggi ataupun suhu rendah, misalnya proses-proses pengeringan, pengasapan, sterilisasi (pengalengan), pendinginan, pembekuan, termasuk pula proses radiasi dan pengeringan beku.
2. Pengolahan dan pengawetan ikan dengan menggunakan bahan-bahan pengawet. Tujuan penggunaan bahan pengawet antar lain menghambat pertumbuhan mikroba, menghambat proses enzimatik dan memberikan sifat fisikawi dan organoleptik (sensorik) yang khas dan dapat memberikan nilai estetika yang tinggi. Adapun yang tergolong pada metode pengolahan dan pengawetan ini misalnya proses-prooses penggaraman, pengasaman dan penggunaan bahan-bahan pengawet atau tambahan.
3. Pengolahan yang bersifat merubah sifat bahan menjadi produk semi akhir (setengah jadi) atau produk akhir. Metode ini banyak dikerjakan misalnya pada pembuatan tepung ikan (penggilingan), pengolahan minyak ikan, pengolahan kecap ikan, pengolahan terasi dan sosis ikan.
4. Pengeringan Ikan
Menurut Pinem (2004), pengeringan merupakan proses penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologi dan kimia. Iwansyah (2012) , menyatakan bahwa proses pengeringan memanfaatkan energi panas untuk mengeluarkan air dari bahan pangan dengan cara penguapan air.
Adawyah (2007), menyatakan bahwa pada proses pengeringan ikan terjadi penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara bahan (ikan) dan lingkungan sehingga terjadi penguapan. Pengeringan bertujuan untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, seperti aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya. Standar mutu ikan teri asin kering berdasarkan SNI 01-2708-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar mutu ikan teri asin
Organoleptik
- Nilai minimum
- Kapang
Mikrobiologis
- TPC
- Escherichia coli (APM/gr)
- Salmonella
- Staphylococcus aureus
- Vibrio cholera
Kimia
- Air
- Garam
- Abu tak larut asam 7 , 0 negatif
1 x 105koloni/gr
3
negatif negatif negatif
maks 40% maks 15% maks 0,3%
Sumber : BSN (1992)
Pengurangan kadar air pada bahan pangan menyebabkan perubahan kimia ikan seperti protein, karbohidrat, dan mineral. Pengurangan kadar air tergantung pada suhu pemanasan, namun suhu terlalu tinggi dapat menyebabkan case hardening yaitu keadaan dimana bagian permukaan ikan telah kering sedangkan pada bagian dalam masih basah. Suhu pengeringan yang terlalu tinggi mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras, sehingga akan menghambat proses penguapan air dari dalam tubuh ikan (Suparno 2007).
Kuntjoko (1995) dalam Setyoko (2008), menyatakan bahwa operasional pengeringan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat merusak bahan. Pengaturan suhu dan lamanya waktu pengeringan dilakukan dengan memperhatikan kontak antara alat pengering dengan alat pemanas (baik itu berupa udara panas yang dialirkan maupun alat pemanas lainnya). Namun demi pertimbangan
pertimbangan standar gizi maka pemanasan dianjurkan tidak lebih dari 85 C.
Menurut Yani dkk (2009) , proses pengeringan terbagi menjadi 3 tahap yaitu :
1. Pada tahap awal terjadi kenaikan laju pengeringan, karena tekanan uap air di atas permukaan bahan semakin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu permukaan. Proses pengeringan pada tahap ini hanya terjadi di sekitar permukaan bahan.
2. Pada tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan.
3. Pada tahap ketiga, pengeringan (penguapan air) tidak hanya berlangsung melalui permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air kesetimbangan.
Penggunaan metode pengeringan saat ini sudah sangat beragam jenis dan bentuknya. Menurut Adawyah (2007), secara umum pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada bahan pangan, hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
1. Pengeringan dengan sinar matahari
Cara ini sangat sederhana dan tidak harus menggunakan alat modern sekalipun. Metode pengeringan ini hanya memanfaatkan sinar matahari dan angin. Ikan yang akan dikeringkan dijemur di atas rak-rak yang dibuat dengan kemiringan ± 15ยบ kearah datangnya angin. Angin berfungsi memindahkan uap air yang terlepas dari ikan ketempat lain, sehingga penguapan berlangsung lebih cepat. Intensitas sinar matahari mempengaruhi kecepatan penguapan.
Kelemahan metode pengeringan ini adalah :
a. Suhu dan kecepatan aliran udara tidak dapat diatur, karena hanya bergantung dari kondisi cuaca.
b. Ikan asin yang dihasilkan tidak terlalu higienis, karena ketika dikeringkan ikan tidak terlindungi dari lalat dan kotoran yang terbawa angin.
2. Pengeringan dengan alat pengering
Untuk memaksimalkan kualitas dan mutu dari ikan yang dikeringkan maka dibuat alat pengering ikan. Beberapa jenis alat pengering ikan yang sering digunakan seperti, pengering efek rumah kaca (ERK), pengering mekanis, pengering tipe bak, pengering tipe rak, pengering beku, pengering hampa udara, pengering terowongan dan pengering dengan sinar infra merah. Kelebihan dari alat-alat pengering ini yaitu mampu menghasilkan produk olahan yang higienis dengan mutu yang lebih baik.
Salah satu alat pengering buatan yang sederhana adalah pengering rumah kaca (ERK). Adawyah (2007), menyatakan bahwa pada prinsipnya pengering rumah kaca merupakan ruang yang tertutup oleh dinding atau atap transparan (bening) sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalamnya. Udara panas tertampung didalam alat tersebut sehingga suhunya makin tinggi dari suhu udara di luar. Suhu tinggi itulah yang dimanfaatkan untuk mempercepat poses penguapan air dari ikan. Suhu pada alat pengering dapat ditingkatkan dengan pengguanaan dinding berwarna hitam, karena bidang hitam bersifat menyerap panas sinar matahari. Sisi yang hitam diletakkan dibagian barat pada pagi hari dan dibagian timur pada sore hari. Bentuk pengering rumah kaca dapat berupa kotak, persegi, piramid dan segitiga.
Pada proses pengeringan ikan teri dapat mengalami reaksi pencoklatan non-enzymatis yang dapat menurunkan gizi. Di dalam reaksi maillard (pencoklatan non-enzymatis) terbentuk pigmen coklat (melanoidin) dan umumnya terjadi pada bahan makanan yang mengalami pemanasan (pengeringan). Reaksi ini tergantung pada air yang merupakan akibat dari dua peranan air, yaitu sebagai pelarut dan sebagai suatu produk dari reaksi (Sutardi dan Tranggono 1990 dalam
Setyoko 2008).
5. Pengaruh Pengeringan Terhadap Produk
Proses pengolahan umumnya dapat merubah sifat dari bahan pangan. Menurut Aidia (2011), proses pengeringan menyebabkan perubahan terhadap
sifat-sifat pada ikan, diantaranya adalah :
1. Perubahan suhu bahan
Bila suhu pengeringan rendah maka perubahan suhu bahan kecil, tetapi bila di gunakan suhu yang tinggi, maka perubahan suhu yang terjadi cukup untuk mengubah sifat-sifat bahan yang dikeringkan seperti pematangan, warna,
denaturasi, protin, dan lain-lain.
2. Pengkerutan
Ikan dengan kandungan air yang tinggi akan mengkerut bila dikeringkan pada tekanan atmosfir karena keluarnya air dari dalam jaringan. Oleh karena itu bila pengkerutan tidak diinginkan, pengeringan dapat dilakukan pada tekanan rendah misalnya pada metode freeze dryng.
3. Kerusakan Gizi
Kerusakan gizi terjadi akibat pemanasan sehingga memicu reaksi perubahan yang melibatkan komponen penyusun daging ikan seperti reaksi antara komponen protein, glikogen dan lemak. Menurut Heruwati (2002), reaksi maillard terjadi antara senyawa amino dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna cokelat yang menurunkan nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antar protein, peptida dan asam amino dengan hasil dekomoposisi lemak. Reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan dengan menurunkan asam amino, terutama lisin, sehingga untuk mempertahankan mutu dan nilai gizi produk, hal-hal diatas dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan pengolahan.
Aidia (2011), mengemukakan bahwa produk yang dikeringkan dengan metode yang baik akan menghasilkan produk kering yang memiliki cita rasa, aroma khas, dan kenampakan yang seragam. Pemilihan metode pengeringan bergantung pada pemilihan alat pengering yang digunakan. Pengeringan mencakup pemanasan secara simultan dan pengurangan kandungan air dari bahan. Reaksi yang terjadi selama pengeringan adalah pindah panas dan pindah massa, dan faktor yang turut mempengaruhi laju keduanya dalam pengeringan. Metode pengeringan dengan udara panas merupakan ciri khas dari pengeringan.
0 comments:
Post a Comment