Udang windu (Penaeus monodon) sejak dahulu hingga saat ini merupakan salah satu komoditas unggulan sektor Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang. Produksi udang windu yang dihasilkan oleh pembudidaya di daerah ini sangat diminati oleh pasar manca negara khususnya di Jepang. Tak berlebihan apabila kabupaten Pinrang berobsesi ingin mengembalikan kejayaan udang windu seperti di era tahun 1980-an.
Ketika itu, terjadi booming udang windu di enam kecamatan wilayah pesisir di kabupaten Pinrang. Pada masa itu, budidaya udang windu diandalkan sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat pesisir. Booming udang windu yang terjadi sepanjang tahun 1980-an hingga awal 1990 berimplikasi pada semakin bertambahnya luas lahan tambak yang mencapai lebih dari 15.000 ha. Mengingat, pada saat itu banyak lahan sawah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dipaksakan untuk dialihfungsikan menjadi lahan budidaya udang. Akibatnya, bermunculan berbagai masalah yang menyebabkan gagal panen terjadi dimana-mana.
Budidaya tambak yang tidak memenuhi syarat telah menyebabkan kerusakan pada lingkungan, penurunan produksi tambak dan kualitas produksi udang, berjangkitnya wabah penyakit oleh virus dan bakteri. Akibat serangan patogen khususnya virus White Spote Syndrome Virus (WSSV) dan Vibrio Harvey berdampak terhadap sekitar 39.022 ha areal tambak di Sulawesi selatan tidak lagi berproduksi (iddle) pada periode 1988 sampai dengan 2007. Gagal panen di Sulawesi selatan diprediksi menimbulkan kegugian bagi pembudidaya sekitar 33,4 juta USD per tahun. Kerugian akibat serangan penyakit udang di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta USD atau lebih dari 3 triliun rupiah per tahun (Wahyono, 1999 diacu dalam Rukyani, 2000).
Pemicu serangan disebabkan degradasi lingkungan sebagai akibat dari pengelolaan lahan yang tidak memenuhi standar serta penggunaan input produksi terutama antibiotik, pestisida, bahan dan zat kimia lainnya secara tidak terkendali yang semula dimaksudkan untuk penanggulangan penyakit dan pembasmian hama. Selain itu, pemberian pakan, penggunaan pupuk maupun pengolahan tanah dasar tambak yang tidak tepat telah menyebabkan peningkatan cemaran organik. Pemberian pakan dengan jumlah dua kali lipat dari produk biomassa. Sisanya 88 – 90 persen terbuang ke lingkungan (Nurdjana, 2005). Pakan yang sebagian besar bahan organik tersebut (terutama organik-C dan organik –N) mengalir dalam siklus aliran nutrient di dalam air (Boyd dan Clay, 1989).
Permintaan akan komoditas udang windu yang terus meningkat dengan tingkat harga yang relative tinggi terutama pada era booming udang windu mendorong pembudidaya memacu tingkat produksi tambak dengan menggunakan antibiotik, pestisida serta bahan dan zat kimia secara berlebihan telah menyebabkan berkembangnya organism patogen yang resisten terhadap obat-obatan dan bahan kimia tertentu serta rusaknya keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari matinya jasad renik yang berperan penting dalam siklus hara dan rantai makananan ( food chain) di dalam tambak. Pemberian antibiotik, obatobatan serta bahan dan zat kimia lainnya secara serampangan menyebabkan matinya berbagai jenis bakteri seperti Nitrosomonas dan Nitrobacter yang sangat berperan dalam proses nitrifikasi (Nurdjana, 2005). Ketidakseimbangan lingkungan internal dan eksternal tersebut menyebabkan daya dukung tambak sangat rendah atau menyebabkan tambak menjadi kehilangan potensi produktivitas atau dikenal dengan tambak marjinal. Reklamasi tambak secara epektif, perbaikan lingkungan, dan penataan system budidaya udang windu secara holistik berhasil menormalisasi tambak marjinal (Fattah et al., 2009) .
Manajemen budidaya yang buruk berpotensi memicu eksplosifnya kembali serangan patogen terutama WSSV dan V.harvey yang saat ini dalam proses pemulihan atau membuka peluang infeksi patogen baru yakni Early Mortality Syndrome (EMS) atau Acute Hepatopancretic Nectrotic Disease (AHPND) yang dipicu oleh V. parahaemolyticus. Saat ini undustri udang nasional sedang bersiaga hadapi ancaman baru yang berasal dari EMS atau AHPND setelah industry udang global dan negara tetangga seperti China (2009), Vietnam (2010), Thailand (2011) dan Malaysia (2012) mengalami kegagalan produski (clopse).. Hal tersebut menyebabkan kelangkaan stok udang dunia diperkirakan mencapai 300 ton per tahun.
Sejak tahun 2005 ditemukan populasi phronima suppa (Phronima sp) jenis mikro crustacea yang hidup secara alami pada perairan tambak tertentu di desa Wiringtassi dan desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang. Phronima sp tidak ditemukan pada tambak di luar kedua desa tersebut (Fattah dan Saenong, 2008). Pada awal ditemukannya organisme tersebut, masyarakat lokal menyebutnya sebagai were. Were berasal dari kosa kata bahasa Bugis yang bermakna anugerah, berkah atau rahmat. Phronima Suppa menjadi anugerah, berkah dan rahmat bagi pembudidaya pada saat kondisi pertambakan udang nasioanl mengalami keterpurukan karena degradasi mutu lingkungan, infeksi patogen dan buruknya manajemen budidaya.
Keberadaan Phronima Suppa menjadi indikator bangkitnya udang windu pada kawasan yang sedang terserang virus WSSV dan V.harvey. Kawasan tambak yang ditemukan Phronima sp serta kawasan tambak yang sedang terjangkit WSSV berhasil memproduksi udang windu dengan sintasan sekitar 70 persen. Sebaliknya, tambak udang windu tanpa Phronima sp hanya mampu memproduksi udang windu dengan sintasan 10 persen (Fattah dan Saenong, 2008). Phronima Suppa diduga kaya nutrien dan berperan penting dalam membangun sistem immunitas internal pada udang serta memperbaiki struktur tanah dan lingkungan perairan.
Berkembangnya pakan alami Phronima Suppa menjadikan kabupaten Pinrang sebagai daerah pemasok udang windu tersebesar di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 2013 produksi udang windu terbesar di Sulawesi Selatan, yaitu 2.973,2 ton, meningkat dari produksi tahun 2012 sebesar 2.931 ton. Di Pinrang, luas lahan potensi perikanan tambak mencapai 15.675 ha dengan pola budidaya tradisional, semi intensif, polikultur udang dan bandeng serta sedikit budidaya pola intensif. Kawasan tambak terbagi di enam lkecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.5675 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cemapa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha).
Tabel 1. Produksi udang windu dari tahun 2006 – 2013 di Kab. Pinrang.
Tahun Luas (HA) Produksi (TON) Nilai Produksi (Rp)
Windu Vannamei Windu Vannamei
2013 15.026,20 2.973,20 774,50 237.856.000 50.342.500
2012 15.026,20 2.931,00 146.550.000
2011 15.026,20 2.768,00 138.364.000
2010 15.026,20 2.624,90 131.159.000
2009 15.795,50 2.561,12 115.250,400
2008 15.795,50 2.148,35 79.494,500
2007 15.814,00 2.148,50 64.455.000
2006 15.834,00 2.269,13 79.419.550
Jumlah 15.026,20 2.973,20 (2013) 774,50 237.856.000 (2013) 50.342.500
Berdasarkan tabel di atas, produksi udang windu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dimana produksi tahun 2013 menempati produksi terbesar, yaitu 2.973,20 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 237.856.000, meningkat pesat jika dibandingkan produksi pada tahun 2006 yang memproduksi udang windu sebesar 2.269,13 ton dengan nilai produksi Rp. 79.419.550. Peningkatan produksi ini mempengaruhi peningkatan kesejahteraan pembudidaya udang windu. Namun, dari segi persentase peningkatan produksi dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan karena metode budidaya yang diterapkan oleh pembudidaya didominasi budidaya tradisional dengan kepadatan 10.000 – 20.000 ekor perhektar. Dimana rata-rata produksi perhektar dengan kepadatan 1 - 2 ekor/m2 yaitu 150 – 200 kg.
Belum maksimalnya peningkatan produksi udang windu selain karena pembudidaya tidak memaksakan lahan juga karena terbatasnya benur udang windu berkualitas. Produksi benur pada hatchery di kabupaten. Pinrang belum mencukupi kebutuhan pembudidaya, dimana jumlah hatchery di Pinrang sebanyak 9 buah dengan kapasitas produksi pertahun yaitu 220 juta benur. Sedangkan kebutuhan benur untuk penebaran rata-rata 20.000 perhektar untuk 15.000 hektar tambak yaitu 300 juta benur. Berarti dibutuhkan 80 juta benur harus diperoleh dari luar Kabupaten Pinrang.
Konsep pengembangan Blue economy saat ini kian gencar didengungkan seiring kian meningkatnya kesadaran untuk menjaga lingkungan dalam melakukan usaha budidaya perikanan. Prinsip ini pula yang kini diterapkan oleh para petambak udang windu di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Mereka menyebutnya budidaya udang windu ramah lingkungan. Yaitu budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alami yang disebut sebagai phronima (Phronima suppa). Phronima merupakan sejenis udang renik yang hidup di dasar tambak yang pertama kali ditemukan di kecamatan Suppa maka diberi sebutan Phronima Suppa. Rencananya pakan alami lokal ini akan segera dipatenkan dengan nama Phronima Suppa agar tidak diakui oleh daerah lain.
PEMBAHASAN
Petambak udang windu di Pinrang saat telah bangkit. Bertambak cara tradisional di era modern ternyata membawa keberuntungan. Udang windu yang diproduksi dengan sistim modular dengan pakan alami Phronima Suppa menjadi incaran konsumen di pasar internasional, karena udangnya padat, sehat, alami dan yang paling penting ramah lingkungan.
Sistem modular sudah lama dipraktikkan oleh sebagian petambak udang windu sejak era tahun 1980-an. Cara itulah yang menyebabkan udang windu masih berkelanjutan di Pinrang. Sistim modular yaitu cara budidaya udang windu dengan melakukan pemindahan dari satu petakan ke petakan tambak yang lain sebelum masa panen. Tujuannya agar kualitas air tambak selalu optimal dan ketersediaan pakan alami phronima selalu ada.
Pakan alami phronima menjadi potensi lokal yang mampu menggenjot produksi udang windu. Untuk mengkultur phronima di tambak perlu keterampilan khusus. Sebab jika salah dalam menumbuhkan maka akan menjadi kompetitor bagi udang yang dipelihara. Karena Phronima ini semacam udang renik yang butuh pakan alami dan oksigen dalam pertumbuhannya. Tapi, jika tepat dalam penanganannya, maka cukup 55-70 hari pembudidaya sudah panen udang windu dengan ukuran size antara 25-30 ekor/kg.
Hewan kecil yang menyukai dasar tambak liat berpasir ini merupakan keluarga udang-udangan yang masuk dalam genus Phronima sp. Untuk tumbuh dan berkembang biak Phronima sp memerlukan kisaran parameter kualitas air seperti suhu 28–25 derajat celsius, salinitas 28–40ppt dan idealnya 38 itu sudah bagus, oksigen terlarut 0,3–4,9 ppm, ammonia 0,080–1,600 ppm dan Nitrit 0,056–1,329 ppm.
Pengalaman Pembudidaya
Untuk bertambak udang windu sistem modular dengan pakan alami Phronima Suppa paling tidak petambak harus memiliki 2-3 petakan tambak. Jumlah petakan tambak tersebut satu petakan seluas 0,25-0,35 ha digunakan untuk petak pentongkolan benur. Sedangkan petakan lainnya (luasnya 0,50-1,00 ha) untuk penumbuhan dan perbanyakan populasi phronima. Untuk mengembangbiakkan phronima di tambak perlu dilakukan persiapan media yaitu mulai pengeringan lahan dan pemberantasan hama menggunakan saponin. Kemudian tambak diberi kapur bakar 500-1.000 kg/ha atau tergantung tingkat keasaman (pH) tanah dasar tambak. Beri pupuk urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, ZA 50 kg/ha dan dedak 300 kg/ha serta pupuk cair organik sebanyak 5 liter/ha. Dedak tersebut lebih dahulu dipermentasi menggunakan ragi roti atau ragi tape lalu masukkan air sampai ketinggian 30 cm di atas pelataran tambak. Jika plankton sudah tumbuh maka tebar induk atau bibit phronima sebanyak 3 liter yang diperoleh dari stok Phronima yang ada di petakan tambak lain. Phronima yang dikultur selama 20 hari populasinya diperkirakan cukup untuk dimakan oleh 10.000-15.000 ekor udang maka tokolan udang yang sudah seukuran besar rokok dapat segera dipindahkan ke petakan yang telah ditumbuhi phronima.
Tokolan udang yang telah dipindah, setelah dipelihara sekitar 55-70 hari udang sudah bisa panen sebanyak 250-300 kg/ha dengan ukuran size 40-35 ekor/kg. Namun terkadang petambak belum puas harga Rp. 95-100 ribu/kg dengan ukuran tersebut sehingga udang itu dipindah lagi ke petakan yang lain yang telah tersedia pakan alami phronima. Dalam tempo satu bonang (satu siklus pasang surut) atau sekitar 15 hari maka ukuran udang sudah berubah capai size 25-30 ekor/kg yang laku terjual Rp.115-125 ribu/kg. Cara seperti ini berulang dilakukan oleh petambak sampai lima kali siklus panen dalam setahun..
Tambak Percontohan
Untuk menyebarluaskan pengalaman keberhasilan pembudidaya udang windu di desa Tasiwalie kecamatan Suppa ke petambak yang lain di kabupaten Pinrang, maka penyuluh perikanan kerjasama dengan Dinas Kelautan dan
Perikanan Pinrang, akademisi dan WWF-Indonesia melakukan kajian lapangan berupa tambak percontohan (dempond) budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa..
Kegiatan tambak percontohan budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa berlangsung Maret sampai Agustus 2014 di desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang.. Percontohan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa dikelola sesuai dengan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) . Pendampingan dilakukan dengan cara memberikan bimbingan secara langsung dalam peningkatan produksi dan pendapatan pembudidaya tambak udang windu. Pembudidaya yang menjadi sampel dalam kegiatan kajian tersebut ditetapkan bedasarkan kesediaan mereka untuk melakukan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa berbasisi CBIB. Berdasarkan persyaratan tersebut maka terpilih 9 orang pembudidaya sebagai kelompok A.. Sedangkan kelompok B sebagai pembanding sebanyak 8 orang pembudidaya yang tidak menggunakan Phronima sebagai pakan alami. Tambak terpilih adalah tambak marjnal atau tambak yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya WSSV dan V.harvey sejak 1998.
Indikator yang dipergunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan dempond ini antara lain meliputi: (1) periode budidaya, (2) sintasan, (3) produksi tambak, (4) analisis kelayakan ekonomi berdasarkan pendapatan dan R/C rasio.
1. Periode Budidaya
Periode kegiatan budidaya udang windu dengan aplikasi Phronima Suppa (A) lebih singkat dibandingkan dengan perlakukan tanpa Phronima Suppa (B). Aplikasi Phronima Suppa dapat memproduksi udang windu rata-rata 285 kg/ha dengan ukuran size 39,67 ekor /kg dengan periode masa budidaya rata-rata 47 hari. Sedangkan kelompok B memproduksi udang windu rata-rata 50,63 kg/ha dengan ukuran size rata-rata 44 ekor/kg dan produksi ikan bandeng 337,50 kg/ha selama 112 hari kegiatan budidaya. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) memerlukan periode produksi rata-rata lebih lama dibandingkan dengan aplikasi phronima suppa (Tabel 2 dan Gambar 2). Aplikasi phronima suppa (A) dengan periode produksi 47 hari memungkinkan untuk melakukan aktivitas budidaya sebanyak tiga siklus per tahun. Pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) kegiatan budidaya hanya dapat dilaksanakan sebanyak dua siklus produksi per tahun.
Tabel 2. Luas Tambak, Periode Budidaya, Padat Tebar, dan Produksi pada
Kedua Kelompok Pembudidaya
N
o
Nama Pembudidaya Luas Tambak Periode Budidaya Padat Penebaran (ekor) Sintasan Udang Produksi (kg)
Udang Bandeng Udang Bandeng
(ha) (hari) (%)
Ap likasi Phronima Suppa (Kelompok A)
1 Baharuddin 1,40 45,00 15.000 62,67 235
2 Ilyas 1,20 45,00 15.000 65,00 250
3 Nurdin 1,70 47,00 25.000 51,20 320
4 Darise 1,00 45,00 15.000 60,80 240
5 Yusuf 1,50 50,00 35.000 51,43 450
6 Bahri 2,00 50,00 20.000 76,00 380
7 Ridwan 1,00 48,00 15.000 75,20 282
8 Abd. Rahim 1,00 48,00 15.000 69.87 262
9 Idris 1,00 45,00 12.000 50,00 150
Ju mlah
11,80
423,00
167.000
492,3
2.569
Ra ta-rata 1,31±0,37 47,00±2,12 18.555,56± 61,54± 285,44±
7.247,60 10,36 88,02
Ta npa Aplikasi Phronima Suppa (Kelompok B)
10 Amir 1,00 60,00 10.000 1.500 12,00 30 350
11 Syamsuddin 1,00 120,00 10.000 1.500 28,00 50 300
12 Ramli 2,00 120,00 25.000 3.500 8,00 50 600
13 Suardi 1,50 120,00 15.000 3.000 17,27 70 500
14 Ahmadi 1,00 120,00 15.000 1.500 8,33 25 150
15 Ambo Paro 2,00 120,00 25.000 3.000 18,00 100 500
16 Odding 0,70 120,00 7.500 700 24,00 40 150
17 Umar 0,80 120,00 10.000 1.000 22,00 40 150
Jumlah 10,00 900,00 117.500 15.700 137,6 405 2.700
Rata-rata 1,25± 112,50± 14.687,50±6870, 1.962,50± 17,20± 50,63± 337,50±
0,52 21,21 94 1.047,36 7,34 24,27 180,77
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer , 2014
Pada Kedua Kelompok Pembudidaya
2. Sintasan
Keterbatasan kemampuan finansial dan trauma kegagalan budidaya udang windu selama sekitar 16 tahun serta kualitas manajemen budidaya yang tidak memadai menyebabkan padat penebaran pada tingkat pembudidaya masih relatif rendah (Fattah dan Busaeri, 2002). Aplikasi phronima suppa lebih efektif pada budidaya dengan komoditas tunggal (monokultur) udang windu. Pola penebaran komoditas ganda (polikultur) udang windu dan bandeng disarankan dikembangkan pada petakan tanpa aplikasi phronima suppa sebagaimana umumnya dilakukan oleh pembudidaya di Kabupaten Pinrang dan Sulawesi Selatan. Pola monokultur udang windu adalah pilihan rasional dalam memaksimalkan potensi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya pada tambak marjinal. Namun perlu ketelitian dalam menumbuhkan Phronima, sebab apabila kepadatan populasi phronima yang tidak terkendali dapat menyebabkan kematian ikan bandeng dengan indikasi ditemukannya phronima suppa pada lembar insang sehingga menghambat proses pernapasan pada bandeng.
Sintasan pada tambak terpilih disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Pembahasan sintasan difokuskan pada udang windu Tambak terpilih adalah tambak marjinal yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya wabah WSSV dan V. harvey pada tahun 1998. Keberhasilan reklamasi memperbesar peluang pengembangan budidaya udang windu dan ikan bandeng pada tambak marjinal. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) menghasilkan sintasan rata-rata 61,54 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima (B) yang menghasilkan sintasan rata-rata 17,20 persen sebagaimana yang disajikan pada Gambar 3. Hal ini memperkuat pembuktian bahwa phronima suppa potensial menyediakan nutrien sesuai dengan kebutuhan udang windu, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki kualitas lingkungan budidaya (Fattah et al., 2014). Sintasan udang windu pada aplikasi phronima suppa lebih tinggi meskipun kawasan tambak secara keseluruhan belum terbebas dari wabah WSSV dan V. harvey. Kondisi tersebut dialami oleh salah seorang pembudidaya bernama Idris yang pada awal kegiatan budidaya belum mengaplikasikan phronima suppa. Aplikasi baru dilakukan setelah ditemukan beberapa ekor udang peliharaannya mati. Sisa udang yang masih hidup dipindah ke petak yang telah ditumbuhi Phronima. Metode yang dikenal dengan sistem modular menghasilkan sintasan udang windu sebesar 50 persen. (Tabel 2 dan Gbr. 2).
3. Produksi
Produksi tambak dempond disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 4. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berhasil memproduksi komoditas udang windu rata-rata sebanyak 285,kg/ha/siklus. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) rata-rata memproduksi udang windu sebanyak 50,63 kg/ha/siklus dan ikan bandeng sebanyak 337,50 kg/ha/siklus. Produksi udang windu pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) lebih tinggi dibandingkan dengan tambak tanpa aplikasi phronima (B). Kontribusi phronima suppa dalam menyediakan nutrien, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki lingkungan budidaya sesuai dengan kebutuhan udang windu sangat berperan dalam peningkatan produksi. Pengembangan metode budidaya sistem modular dan upaya penyediaan phronima suppa secara berkesinambungan dapat meningkatkan produksi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan metode aplikasi sebelumnya yang memproduksi udang windu sebanyak 150,51 kg/ha.MT (Fattah et al., 2012).
Secara alami puncak populasi phronima pada tambak endemik terjadi pada sekitar 15 hari inokulasi. Populasi phronima suppa mengalami penurunan setelah 15 hari inokulasi (Fattah et al., 2010). Pemberian pakan alami kombinasi jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan populasi phronima suppa hingga hari 28 hari (Fattah et al., 2014). Budidaya udang windu dengan sistem modular atau aplikasi saponin berhasil mempetahankan ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan sehingga stabilitas populasi phronima dapat dipertahankan di dalam wadah budidaya selama periode budidaya selama 47 hari.
Berdasarkan pengamatan lapangan selama ini bahwa ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan dan pengendalian faktor lingkungan secara penuh menjadi faktor penentu ketersedian phronima suppa secara memadai untuk mendukung peningkatan produksi udang windu dengan aplikasi phronima suppa. Hal ini mengindikasikan bahwa phronima suppa telah dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan pemberian kombinasi fitoplankton jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp. Hal ini membuka peluang diproduksinya phronima suppa sebagai pengganti Artemia salina untuk keperluan operasional panti pembenihan dan budidaya tambak. Kehidupan phronima suppa sangat dipengaruhi oleh kualitas media. Hal ini sejalan dengan pernyataan Boyd dan Clay (1998) dan Odum (1971) bahwa kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan.
4. Pendapatan
Pada Tabel 3 disajikan biaya produksi dan penerimaan pada kedua kategori budidaya. Biaya operasional rata-rata pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) sebesar Rp 3.122.222 lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional rata-rata pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) yakni Rp 2.775.000. Nilai penerimaan dengan aplikasi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima. Demikian pula dengan hasil analisis R/C-rasio aplikasi phronima suppa (8,48) lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi phronima suppa (2,35).
Tabel 3. Biaya dan Penerimaan pada Kedua Kelompok (A dan B)
No
Nama Pembudidaya Biaya (Rp)
Penerimaan (Rp)
Udang Bandeng Jumlah (Rp)
Apli kasi Phronima Suppa (A)
1 Baharuddin 2.800.000 22.090.000 22.090.000
2 Ilyas 3.000.000 27.500.000 27.500.000
3 Nurdin 4.300.000 34.240.000 34.240.000
4 Darise 2.000.000 27.600.000 27.600.000
5 Yusuf 5.000.000 40.150.000 40.150.000
6 Bahri 4.000.000 40.660.000 40.660.000
7 Ridwan 2.900.000 30.174.000 30.174.000
8 Abd. Rahim 2.300.000 28.034.000 28.034.000
9 Idris 1.800.000 16.050.000 16.050.000
Juml ah 28.100.000 266.498.000 266.498.000
Ratarata 3.122.222,22 ± 29.610.888,89± 29.610.888,89±
1.091.762,08 7.955.729,58 7.955.729,58
Tanp a Aplikasi Phro nima Suppa (B)
10 Amir 1.200.000 3.210.000 280.000 3.490.000
11 Syamsuddin 3.000.000 5.350.000 3.750.000 9.100.000
12 Ramli 4.500.000 5.350.000 8.400.000 13.750.000
13 Suardi 4.000.000 7.910.000 7.000.000 9.410.000
14 Ahmadi 1.500.000 2.375.000 1.500.000 3.875.000
15 Ambo Paro 3.500.000 11.000.000 6.000.000 17.000.000
16 Odding 1.000.000 4.000.000 1.800.000 5.800.000
17 Umar 3.500.000 10.000.000 2.000.000 12.000.000
Jumlah 22.200.000 49.195.000 30.730.000 74.425.000
Rata-rata 2.775.000,00± 6.149.375,00± 3.841.250,00± 9.303.125,00±
1.354.094,32 3.167.678,78 2.955.606,96 4.808.790,27
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer,2014
Biaya produksi aplikasi phronima (A) yang lebih tinggi dipengaruhi oleh jumlah benur yang ditebar dan aplikasi pupuk yang lebih tinggi. Padat penebaran rata-rata pada perlakukan aplikasi phronima (A) sebanyak 18.555 ekor/ha lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi (B) yakni rata-rata sebanyak 14.687 ekor benur/ha dan rata-rata 1.962 ekor ikan bandeng/ha. Tingkat sintasan, produksi udang windu serta size udang windu yang dipanen lebih besar pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan keuntungan pembudidaya. Harga jual udang windu bervariasi berdasarkan ukuran (size). Pemberian phronima suppa menghasilkan udang windu berukuran relatif lebih besar (39,67 ekor/kg) dalam waktu 47 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, C.E., and Clay, J.W., 1998. Shrimp aquaculture and the environment. Sci. Am., 278: 58–65.
Fattah, M.H. dan M. Saenong. 2008. Uji Pendahuluan Kultur Udang Suppa (Phronima sp). Laboratorium Lapang Akultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. 45 hal.
Fattah,M.H., M. Saenong, S.R. Busaeri, dan Saidah. 2009. Standarisasi Teknologi Produksi dan Kualitas Produk Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) secara Organik Berdasarkan Ketentuan Pasar Uni Eropa Hibah Bersaing. 92 hal.
Fattah, M.H., M.Saenong, Asbar, dan S.R.Busaeri. 2010. Analisis Jenis dan Kelimpahan Plankton pada Habitat Endemik untuk Pendugaan
Penyediaan Pakan Phronima Suppa (Phronima sp). Ditlitabmas Dikti, Jakarta. 89 hal.
Nurdjana, I.M. 2005. Membangun Kembali Sang Primadona. Makala Dipresentasikan pada Seminar Nasional Udang II di Bandung, 10 September 2005. Dirjen Perikanan Budidaya DKP, Jakarta.
Rukyani, A. 2000. Masalah Penyakit Udang dan Harapan Solusinya. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Ketika itu, terjadi booming udang windu di enam kecamatan wilayah pesisir di kabupaten Pinrang. Pada masa itu, budidaya udang windu diandalkan sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat pesisir. Booming udang windu yang terjadi sepanjang tahun 1980-an hingga awal 1990 berimplikasi pada semakin bertambahnya luas lahan tambak yang mencapai lebih dari 15.000 ha. Mengingat, pada saat itu banyak lahan sawah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dipaksakan untuk dialihfungsikan menjadi lahan budidaya udang. Akibatnya, bermunculan berbagai masalah yang menyebabkan gagal panen terjadi dimana-mana.
Budidaya tambak yang tidak memenuhi syarat telah menyebabkan kerusakan pada lingkungan, penurunan produksi tambak dan kualitas produksi udang, berjangkitnya wabah penyakit oleh virus dan bakteri. Akibat serangan patogen khususnya virus White Spote Syndrome Virus (WSSV) dan Vibrio Harvey berdampak terhadap sekitar 39.022 ha areal tambak di Sulawesi selatan tidak lagi berproduksi (iddle) pada periode 1988 sampai dengan 2007. Gagal panen di Sulawesi selatan diprediksi menimbulkan kegugian bagi pembudidaya sekitar 33,4 juta USD per tahun. Kerugian akibat serangan penyakit udang di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta USD atau lebih dari 3 triliun rupiah per tahun (Wahyono, 1999 diacu dalam Rukyani, 2000).
Pemicu serangan disebabkan degradasi lingkungan sebagai akibat dari pengelolaan lahan yang tidak memenuhi standar serta penggunaan input produksi terutama antibiotik, pestisida, bahan dan zat kimia lainnya secara tidak terkendali yang semula dimaksudkan untuk penanggulangan penyakit dan pembasmian hama. Selain itu, pemberian pakan, penggunaan pupuk maupun pengolahan tanah dasar tambak yang tidak tepat telah menyebabkan peningkatan cemaran organik. Pemberian pakan dengan jumlah dua kali lipat dari produk biomassa. Sisanya 88 – 90 persen terbuang ke lingkungan (Nurdjana, 2005). Pakan yang sebagian besar bahan organik tersebut (terutama organik-C dan organik –N) mengalir dalam siklus aliran nutrient di dalam air (Boyd dan Clay, 1989).
Permintaan akan komoditas udang windu yang terus meningkat dengan tingkat harga yang relative tinggi terutama pada era booming udang windu mendorong pembudidaya memacu tingkat produksi tambak dengan menggunakan antibiotik, pestisida serta bahan dan zat kimia secara berlebihan telah menyebabkan berkembangnya organism patogen yang resisten terhadap obat-obatan dan bahan kimia tertentu serta rusaknya keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari matinya jasad renik yang berperan penting dalam siklus hara dan rantai makananan ( food chain) di dalam tambak. Pemberian antibiotik, obatobatan serta bahan dan zat kimia lainnya secara serampangan menyebabkan matinya berbagai jenis bakteri seperti Nitrosomonas dan Nitrobacter yang sangat berperan dalam proses nitrifikasi (Nurdjana, 2005). Ketidakseimbangan lingkungan internal dan eksternal tersebut menyebabkan daya dukung tambak sangat rendah atau menyebabkan tambak menjadi kehilangan potensi produktivitas atau dikenal dengan tambak marjinal. Reklamasi tambak secara epektif, perbaikan lingkungan, dan penataan system budidaya udang windu secara holistik berhasil menormalisasi tambak marjinal (Fattah et al., 2009) .
Manajemen budidaya yang buruk berpotensi memicu eksplosifnya kembali serangan patogen terutama WSSV dan V.harvey yang saat ini dalam proses pemulihan atau membuka peluang infeksi patogen baru yakni Early Mortality Syndrome (EMS) atau Acute Hepatopancretic Nectrotic Disease (AHPND) yang dipicu oleh V. parahaemolyticus. Saat ini undustri udang nasional sedang bersiaga hadapi ancaman baru yang berasal dari EMS atau AHPND setelah industry udang global dan negara tetangga seperti China (2009), Vietnam (2010), Thailand (2011) dan Malaysia (2012) mengalami kegagalan produski (clopse).. Hal tersebut menyebabkan kelangkaan stok udang dunia diperkirakan mencapai 300 ton per tahun.
Sejak tahun 2005 ditemukan populasi phronima suppa (Phronima sp) jenis mikro crustacea yang hidup secara alami pada perairan tambak tertentu di desa Wiringtassi dan desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang. Phronima sp tidak ditemukan pada tambak di luar kedua desa tersebut (Fattah dan Saenong, 2008). Pada awal ditemukannya organisme tersebut, masyarakat lokal menyebutnya sebagai were. Were berasal dari kosa kata bahasa Bugis yang bermakna anugerah, berkah atau rahmat. Phronima Suppa menjadi anugerah, berkah dan rahmat bagi pembudidaya pada saat kondisi pertambakan udang nasioanl mengalami keterpurukan karena degradasi mutu lingkungan, infeksi patogen dan buruknya manajemen budidaya.
Keberadaan Phronima Suppa menjadi indikator bangkitnya udang windu pada kawasan yang sedang terserang virus WSSV dan V.harvey. Kawasan tambak yang ditemukan Phronima sp serta kawasan tambak yang sedang terjangkit WSSV berhasil memproduksi udang windu dengan sintasan sekitar 70 persen. Sebaliknya, tambak udang windu tanpa Phronima sp hanya mampu memproduksi udang windu dengan sintasan 10 persen (Fattah dan Saenong, 2008). Phronima Suppa diduga kaya nutrien dan berperan penting dalam membangun sistem immunitas internal pada udang serta memperbaiki struktur tanah dan lingkungan perairan.
Berkembangnya pakan alami Phronima Suppa menjadikan kabupaten Pinrang sebagai daerah pemasok udang windu tersebesar di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 2013 produksi udang windu terbesar di Sulawesi Selatan, yaitu 2.973,2 ton, meningkat dari produksi tahun 2012 sebesar 2.931 ton. Di Pinrang, luas lahan potensi perikanan tambak mencapai 15.675 ha dengan pola budidaya tradisional, semi intensif, polikultur udang dan bandeng serta sedikit budidaya pola intensif. Kawasan tambak terbagi di enam lkecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.5675 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cemapa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha).
Tabel 1. Produksi udang windu dari tahun 2006 – 2013 di Kab. Pinrang.
Tahun Luas (HA) Produksi (TON) Nilai Produksi (Rp)
Windu Vannamei Windu Vannamei
2013 15.026,20 2.973,20 774,50 237.856.000 50.342.500
2012 15.026,20 2.931,00 146.550.000
2011 15.026,20 2.768,00 138.364.000
2010 15.026,20 2.624,90 131.159.000
2009 15.795,50 2.561,12 115.250,400
2008 15.795,50 2.148,35 79.494,500
2007 15.814,00 2.148,50 64.455.000
2006 15.834,00 2.269,13 79.419.550
Jumlah 15.026,20 2.973,20 (2013) 774,50 237.856.000 (2013) 50.342.500
Berdasarkan tabel di atas, produksi udang windu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dimana produksi tahun 2013 menempati produksi terbesar, yaitu 2.973,20 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 237.856.000, meningkat pesat jika dibandingkan produksi pada tahun 2006 yang memproduksi udang windu sebesar 2.269,13 ton dengan nilai produksi Rp. 79.419.550. Peningkatan produksi ini mempengaruhi peningkatan kesejahteraan pembudidaya udang windu. Namun, dari segi persentase peningkatan produksi dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan karena metode budidaya yang diterapkan oleh pembudidaya didominasi budidaya tradisional dengan kepadatan 10.000 – 20.000 ekor perhektar. Dimana rata-rata produksi perhektar dengan kepadatan 1 - 2 ekor/m2 yaitu 150 – 200 kg.
Belum maksimalnya peningkatan produksi udang windu selain karena pembudidaya tidak memaksakan lahan juga karena terbatasnya benur udang windu berkualitas. Produksi benur pada hatchery di kabupaten. Pinrang belum mencukupi kebutuhan pembudidaya, dimana jumlah hatchery di Pinrang sebanyak 9 buah dengan kapasitas produksi pertahun yaitu 220 juta benur. Sedangkan kebutuhan benur untuk penebaran rata-rata 20.000 perhektar untuk 15.000 hektar tambak yaitu 300 juta benur. Berarti dibutuhkan 80 juta benur harus diperoleh dari luar Kabupaten Pinrang.
Konsep pengembangan Blue economy saat ini kian gencar didengungkan seiring kian meningkatnya kesadaran untuk menjaga lingkungan dalam melakukan usaha budidaya perikanan. Prinsip ini pula yang kini diterapkan oleh para petambak udang windu di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Mereka menyebutnya budidaya udang windu ramah lingkungan. Yaitu budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alami yang disebut sebagai phronima (Phronima suppa). Phronima merupakan sejenis udang renik yang hidup di dasar tambak yang pertama kali ditemukan di kecamatan Suppa maka diberi sebutan Phronima Suppa. Rencananya pakan alami lokal ini akan segera dipatenkan dengan nama Phronima Suppa agar tidak diakui oleh daerah lain.
PEMBAHASAN
Petambak udang windu di Pinrang saat telah bangkit. Bertambak cara tradisional di era modern ternyata membawa keberuntungan. Udang windu yang diproduksi dengan sistim modular dengan pakan alami Phronima Suppa menjadi incaran konsumen di pasar internasional, karena udangnya padat, sehat, alami dan yang paling penting ramah lingkungan.
Sistem modular sudah lama dipraktikkan oleh sebagian petambak udang windu sejak era tahun 1980-an. Cara itulah yang menyebabkan udang windu masih berkelanjutan di Pinrang. Sistim modular yaitu cara budidaya udang windu dengan melakukan pemindahan dari satu petakan ke petakan tambak yang lain sebelum masa panen. Tujuannya agar kualitas air tambak selalu optimal dan ketersediaan pakan alami phronima selalu ada.
Pakan alami phronima menjadi potensi lokal yang mampu menggenjot produksi udang windu. Untuk mengkultur phronima di tambak perlu keterampilan khusus. Sebab jika salah dalam menumbuhkan maka akan menjadi kompetitor bagi udang yang dipelihara. Karena Phronima ini semacam udang renik yang butuh pakan alami dan oksigen dalam pertumbuhannya. Tapi, jika tepat dalam penanganannya, maka cukup 55-70 hari pembudidaya sudah panen udang windu dengan ukuran size antara 25-30 ekor/kg.
Hewan kecil yang menyukai dasar tambak liat berpasir ini merupakan keluarga udang-udangan yang masuk dalam genus Phronima sp. Untuk tumbuh dan berkembang biak Phronima sp memerlukan kisaran parameter kualitas air seperti suhu 28–25 derajat celsius, salinitas 28–40ppt dan idealnya 38 itu sudah bagus, oksigen terlarut 0,3–4,9 ppm, ammonia 0,080–1,600 ppm dan Nitrit 0,056–1,329 ppm.
Pengalaman Pembudidaya
Untuk bertambak udang windu sistem modular dengan pakan alami Phronima Suppa paling tidak petambak harus memiliki 2-3 petakan tambak. Jumlah petakan tambak tersebut satu petakan seluas 0,25-0,35 ha digunakan untuk petak pentongkolan benur. Sedangkan petakan lainnya (luasnya 0,50-1,00 ha) untuk penumbuhan dan perbanyakan populasi phronima. Untuk mengembangbiakkan phronima di tambak perlu dilakukan persiapan media yaitu mulai pengeringan lahan dan pemberantasan hama menggunakan saponin. Kemudian tambak diberi kapur bakar 500-1.000 kg/ha atau tergantung tingkat keasaman (pH) tanah dasar tambak. Beri pupuk urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, ZA 50 kg/ha dan dedak 300 kg/ha serta pupuk cair organik sebanyak 5 liter/ha. Dedak tersebut lebih dahulu dipermentasi menggunakan ragi roti atau ragi tape lalu masukkan air sampai ketinggian 30 cm di atas pelataran tambak. Jika plankton sudah tumbuh maka tebar induk atau bibit phronima sebanyak 3 liter yang diperoleh dari stok Phronima yang ada di petakan tambak lain. Phronima yang dikultur selama 20 hari populasinya diperkirakan cukup untuk dimakan oleh 10.000-15.000 ekor udang maka tokolan udang yang sudah seukuran besar rokok dapat segera dipindahkan ke petakan yang telah ditumbuhi phronima.
Tokolan udang yang telah dipindah, setelah dipelihara sekitar 55-70 hari udang sudah bisa panen sebanyak 250-300 kg/ha dengan ukuran size 40-35 ekor/kg. Namun terkadang petambak belum puas harga Rp. 95-100 ribu/kg dengan ukuran tersebut sehingga udang itu dipindah lagi ke petakan yang lain yang telah tersedia pakan alami phronima. Dalam tempo satu bonang (satu siklus pasang surut) atau sekitar 15 hari maka ukuran udang sudah berubah capai size 25-30 ekor/kg yang laku terjual Rp.115-125 ribu/kg. Cara seperti ini berulang dilakukan oleh petambak sampai lima kali siklus panen dalam setahun..
Tambak Percontohan
Untuk menyebarluaskan pengalaman keberhasilan pembudidaya udang windu di desa Tasiwalie kecamatan Suppa ke petambak yang lain di kabupaten Pinrang, maka penyuluh perikanan kerjasama dengan Dinas Kelautan dan
Perikanan Pinrang, akademisi dan WWF-Indonesia melakukan kajian lapangan berupa tambak percontohan (dempond) budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa..
Kegiatan tambak percontohan budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa berlangsung Maret sampai Agustus 2014 di desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang.. Percontohan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa dikelola sesuai dengan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) . Pendampingan dilakukan dengan cara memberikan bimbingan secara langsung dalam peningkatan produksi dan pendapatan pembudidaya tambak udang windu. Pembudidaya yang menjadi sampel dalam kegiatan kajian tersebut ditetapkan bedasarkan kesediaan mereka untuk melakukan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa berbasisi CBIB. Berdasarkan persyaratan tersebut maka terpilih 9 orang pembudidaya sebagai kelompok A.. Sedangkan kelompok B sebagai pembanding sebanyak 8 orang pembudidaya yang tidak menggunakan Phronima sebagai pakan alami. Tambak terpilih adalah tambak marjnal atau tambak yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya WSSV dan V.harvey sejak 1998.
Indikator yang dipergunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan dempond ini antara lain meliputi: (1) periode budidaya, (2) sintasan, (3) produksi tambak, (4) analisis kelayakan ekonomi berdasarkan pendapatan dan R/C rasio.
1. Periode Budidaya
Periode kegiatan budidaya udang windu dengan aplikasi Phronima Suppa (A) lebih singkat dibandingkan dengan perlakukan tanpa Phronima Suppa (B). Aplikasi Phronima Suppa dapat memproduksi udang windu rata-rata 285 kg/ha dengan ukuran size 39,67 ekor /kg dengan periode masa budidaya rata-rata 47 hari. Sedangkan kelompok B memproduksi udang windu rata-rata 50,63 kg/ha dengan ukuran size rata-rata 44 ekor/kg dan produksi ikan bandeng 337,50 kg/ha selama 112 hari kegiatan budidaya. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) memerlukan periode produksi rata-rata lebih lama dibandingkan dengan aplikasi phronima suppa (Tabel 2 dan Gambar 2). Aplikasi phronima suppa (A) dengan periode produksi 47 hari memungkinkan untuk melakukan aktivitas budidaya sebanyak tiga siklus per tahun. Pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) kegiatan budidaya hanya dapat dilaksanakan sebanyak dua siklus produksi per tahun.
Tabel 2. Luas Tambak, Periode Budidaya, Padat Tebar, dan Produksi pada
Kedua Kelompok Pembudidaya
N
o
Nama Pembudidaya Luas Tambak Periode Budidaya Padat Penebaran (ekor) Sintasan Udang Produksi (kg)
Udang Bandeng Udang Bandeng
(ha) (hari) (%)
Ap likasi Phronima Suppa (Kelompok A)
1 Baharuddin 1,40 45,00 15.000 62,67 235
2 Ilyas 1,20 45,00 15.000 65,00 250
3 Nurdin 1,70 47,00 25.000 51,20 320
4 Darise 1,00 45,00 15.000 60,80 240
5 Yusuf 1,50 50,00 35.000 51,43 450
6 Bahri 2,00 50,00 20.000 76,00 380
7 Ridwan 1,00 48,00 15.000 75,20 282
8 Abd. Rahim 1,00 48,00 15.000 69.87 262
9 Idris 1,00 45,00 12.000 50,00 150
Ju mlah
11,80
423,00
167.000
492,3
2.569
Ra ta-rata 1,31±0,37 47,00±2,12 18.555,56± 61,54± 285,44±
7.247,60 10,36 88,02
Ta npa Aplikasi Phronima Suppa (Kelompok B)
10 Amir 1,00 60,00 10.000 1.500 12,00 30 350
11 Syamsuddin 1,00 120,00 10.000 1.500 28,00 50 300
12 Ramli 2,00 120,00 25.000 3.500 8,00 50 600
13 Suardi 1,50 120,00 15.000 3.000 17,27 70 500
14 Ahmadi 1,00 120,00 15.000 1.500 8,33 25 150
15 Ambo Paro 2,00 120,00 25.000 3.000 18,00 100 500
16 Odding 0,70 120,00 7.500 700 24,00 40 150
17 Umar 0,80 120,00 10.000 1.000 22,00 40 150
Jumlah 10,00 900,00 117.500 15.700 137,6 405 2.700
Rata-rata 1,25± 112,50± 14.687,50±6870, 1.962,50± 17,20± 50,63± 337,50±
0,52 21,21 94 1.047,36 7,34 24,27 180,77
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer , 2014
Pada Kedua Kelompok Pembudidaya
2. Sintasan
Keterbatasan kemampuan finansial dan trauma kegagalan budidaya udang windu selama sekitar 16 tahun serta kualitas manajemen budidaya yang tidak memadai menyebabkan padat penebaran pada tingkat pembudidaya masih relatif rendah (Fattah dan Busaeri, 2002). Aplikasi phronima suppa lebih efektif pada budidaya dengan komoditas tunggal (monokultur) udang windu. Pola penebaran komoditas ganda (polikultur) udang windu dan bandeng disarankan dikembangkan pada petakan tanpa aplikasi phronima suppa sebagaimana umumnya dilakukan oleh pembudidaya di Kabupaten Pinrang dan Sulawesi Selatan. Pola monokultur udang windu adalah pilihan rasional dalam memaksimalkan potensi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya pada tambak marjinal. Namun perlu ketelitian dalam menumbuhkan Phronima, sebab apabila kepadatan populasi phronima yang tidak terkendali dapat menyebabkan kematian ikan bandeng dengan indikasi ditemukannya phronima suppa pada lembar insang sehingga menghambat proses pernapasan pada bandeng.
Sintasan pada tambak terpilih disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Pembahasan sintasan difokuskan pada udang windu Tambak terpilih adalah tambak marjinal yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya wabah WSSV dan V. harvey pada tahun 1998. Keberhasilan reklamasi memperbesar peluang pengembangan budidaya udang windu dan ikan bandeng pada tambak marjinal. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) menghasilkan sintasan rata-rata 61,54 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima (B) yang menghasilkan sintasan rata-rata 17,20 persen sebagaimana yang disajikan pada Gambar 3. Hal ini memperkuat pembuktian bahwa phronima suppa potensial menyediakan nutrien sesuai dengan kebutuhan udang windu, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki kualitas lingkungan budidaya (Fattah et al., 2014). Sintasan udang windu pada aplikasi phronima suppa lebih tinggi meskipun kawasan tambak secara keseluruhan belum terbebas dari wabah WSSV dan V. harvey. Kondisi tersebut dialami oleh salah seorang pembudidaya bernama Idris yang pada awal kegiatan budidaya belum mengaplikasikan phronima suppa. Aplikasi baru dilakukan setelah ditemukan beberapa ekor udang peliharaannya mati. Sisa udang yang masih hidup dipindah ke petak yang telah ditumbuhi Phronima. Metode yang dikenal dengan sistem modular menghasilkan sintasan udang windu sebesar 50 persen. (Tabel 2 dan Gbr. 2).
3. Produksi
Produksi tambak dempond disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 4. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berhasil memproduksi komoditas udang windu rata-rata sebanyak 285,kg/ha/siklus. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) rata-rata memproduksi udang windu sebanyak 50,63 kg/ha/siklus dan ikan bandeng sebanyak 337,50 kg/ha/siklus. Produksi udang windu pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) lebih tinggi dibandingkan dengan tambak tanpa aplikasi phronima (B). Kontribusi phronima suppa dalam menyediakan nutrien, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki lingkungan budidaya sesuai dengan kebutuhan udang windu sangat berperan dalam peningkatan produksi. Pengembangan metode budidaya sistem modular dan upaya penyediaan phronima suppa secara berkesinambungan dapat meningkatkan produksi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan metode aplikasi sebelumnya yang memproduksi udang windu sebanyak 150,51 kg/ha.MT (Fattah et al., 2012).
Secara alami puncak populasi phronima pada tambak endemik terjadi pada sekitar 15 hari inokulasi. Populasi phronima suppa mengalami penurunan setelah 15 hari inokulasi (Fattah et al., 2010). Pemberian pakan alami kombinasi jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan populasi phronima suppa hingga hari 28 hari (Fattah et al., 2014). Budidaya udang windu dengan sistem modular atau aplikasi saponin berhasil mempetahankan ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan sehingga stabilitas populasi phronima dapat dipertahankan di dalam wadah budidaya selama periode budidaya selama 47 hari.
Berdasarkan pengamatan lapangan selama ini bahwa ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan dan pengendalian faktor lingkungan secara penuh menjadi faktor penentu ketersedian phronima suppa secara memadai untuk mendukung peningkatan produksi udang windu dengan aplikasi phronima suppa. Hal ini mengindikasikan bahwa phronima suppa telah dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan pemberian kombinasi fitoplankton jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp. Hal ini membuka peluang diproduksinya phronima suppa sebagai pengganti Artemia salina untuk keperluan operasional panti pembenihan dan budidaya tambak. Kehidupan phronima suppa sangat dipengaruhi oleh kualitas media. Hal ini sejalan dengan pernyataan Boyd dan Clay (1998) dan Odum (1971) bahwa kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan.
4. Pendapatan
Pada Tabel 3 disajikan biaya produksi dan penerimaan pada kedua kategori budidaya. Biaya operasional rata-rata pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) sebesar Rp 3.122.222 lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional rata-rata pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) yakni Rp 2.775.000. Nilai penerimaan dengan aplikasi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima. Demikian pula dengan hasil analisis R/C-rasio aplikasi phronima suppa (8,48) lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi phronima suppa (2,35).
Tabel 3. Biaya dan Penerimaan pada Kedua Kelompok (A dan B)
No
Nama Pembudidaya Biaya (Rp)
Penerimaan (Rp)
Udang Bandeng Jumlah (Rp)
Apli kasi Phronima Suppa (A)
1 Baharuddin 2.800.000 22.090.000 22.090.000
2 Ilyas 3.000.000 27.500.000 27.500.000
3 Nurdin 4.300.000 34.240.000 34.240.000
4 Darise 2.000.000 27.600.000 27.600.000
5 Yusuf 5.000.000 40.150.000 40.150.000
6 Bahri 4.000.000 40.660.000 40.660.000
7 Ridwan 2.900.000 30.174.000 30.174.000
8 Abd. Rahim 2.300.000 28.034.000 28.034.000
9 Idris 1.800.000 16.050.000 16.050.000
Juml ah 28.100.000 266.498.000 266.498.000
Ratarata 3.122.222,22 ± 29.610.888,89± 29.610.888,89±
1.091.762,08 7.955.729,58 7.955.729,58
Tanp a Aplikasi Phro nima Suppa (B)
10 Amir 1.200.000 3.210.000 280.000 3.490.000
11 Syamsuddin 3.000.000 5.350.000 3.750.000 9.100.000
12 Ramli 4.500.000 5.350.000 8.400.000 13.750.000
13 Suardi 4.000.000 7.910.000 7.000.000 9.410.000
14 Ahmadi 1.500.000 2.375.000 1.500.000 3.875.000
15 Ambo Paro 3.500.000 11.000.000 6.000.000 17.000.000
16 Odding 1.000.000 4.000.000 1.800.000 5.800.000
17 Umar 3.500.000 10.000.000 2.000.000 12.000.000
Jumlah 22.200.000 49.195.000 30.730.000 74.425.000
Rata-rata 2.775.000,00± 6.149.375,00± 3.841.250,00± 9.303.125,00±
1.354.094,32 3.167.678,78 2.955.606,96 4.808.790,27
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer,2014
Biaya produksi aplikasi phronima (A) yang lebih tinggi dipengaruhi oleh jumlah benur yang ditebar dan aplikasi pupuk yang lebih tinggi. Padat penebaran rata-rata pada perlakukan aplikasi phronima (A) sebanyak 18.555 ekor/ha lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi (B) yakni rata-rata sebanyak 14.687 ekor benur/ha dan rata-rata 1.962 ekor ikan bandeng/ha. Tingkat sintasan, produksi udang windu serta size udang windu yang dipanen lebih besar pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan keuntungan pembudidaya. Harga jual udang windu bervariasi berdasarkan ukuran (size). Pemberian phronima suppa menghasilkan udang windu berukuran relatif lebih besar (39,67 ekor/kg) dalam waktu 47 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, C.E., and Clay, J.W., 1998. Shrimp aquaculture and the environment. Sci. Am., 278: 58–65.
Fattah, M.H. dan M. Saenong. 2008. Uji Pendahuluan Kultur Udang Suppa (Phronima sp). Laboratorium Lapang Akultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. 45 hal.
Fattah,M.H., M. Saenong, S.R. Busaeri, dan Saidah. 2009. Standarisasi Teknologi Produksi dan Kualitas Produk Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) secara Organik Berdasarkan Ketentuan Pasar Uni Eropa Hibah Bersaing. 92 hal.
Fattah, M.H., M.Saenong, Asbar, dan S.R.Busaeri. 2010. Analisis Jenis dan Kelimpahan Plankton pada Habitat Endemik untuk Pendugaan
Penyediaan Pakan Phronima Suppa (Phronima sp). Ditlitabmas Dikti, Jakarta. 89 hal.
Nurdjana, I.M. 2005. Membangun Kembali Sang Primadona. Makala Dipresentasikan pada Seminar Nasional Udang II di Bandung, 10 September 2005. Dirjen Perikanan Budidaya DKP, Jakarta.
Rukyani, A. 2000. Masalah Penyakit Udang dan Harapan Solusinya. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
0 comments:
Post a Comment