PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut terdapat di daerah tropik atau sub tropik di sepanjang pantai terlindung dan di muara sungai yang merupakan komunitas tumbuhan pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Sementara itu, Anwar (1997) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah satu persekutuan hidup alam hayati dan alam lingkungannya yang terdapat di daerah pantai laut kawasan tropika. Kebanyakan hutan mangrove terdapat di sekitar teluk yang lautnya tenang dan daratannya secara berangsur – angsur melandai ke laut.
Keanekaragaman jenis hutan mangrove di Indonesia sangat tinggi dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2001). Menurut Dahuri (2001), beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tengar(Ceriops spp.) dan Buta-buta (Exoecaria spp.).
Hutan mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).
II. Manfaat Mangrove dalam perikanan
Ekosistem mangrove memiliki manfaat yang salah satunya sebagai penunjang kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), ekosistem mangrove secara khusus sangat penting bagi kegiatan perikanan mengingat bahwa :
1. Berbagai jenis organisme laut menjadikan ekosistem mangrove sebagai habitat.
2. Ekosistem mangrove menyediakan tempat perlindungan dan habitat aman bagi larva dan juvenil ikan serta sumber makanan dari serasah yang membusuk.
3. Ekosistem mangrove menyediakan tempat untuk pemijahan, periode pelagik dan rekruitmen spesies ikan dan udang.
4. Ekosistem mangrove menjadi tempat berlindung bagi organisme yang bersifat plankton yang terdorong arus ke pantai.
5. Ekosistem mangrove membentuk hubungan yang penting dalam siklus hidup berbagai biota termasuk ikan komersial tinggi.
Menurut Supriharyono (2000), menyatakan bahwa peranan hutan mangrove yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi ikan, kepiting, udang dan moluska. Sementara itu, menurut Nontji (2005) menyatakan di kawasan mangrove Indonesia sedikitnya tercatat 80 jenis krustasea, dan 65 jenis moluska. Lokasi dan potensi produksi perikanan udang di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan lokasi serta luas hutan mangrove di dekatnya. Selain udang, beberapa jenis ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove misalnya bandeng dan belanak.
III. Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan terhadap hutan mangrove dapat terjadi secara alamiah atau adanya tekanan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove. Secara alamiah timbul karena adanya peristiwa alam seperti adanya topan badai atau iklim yang berkepanjangan yang menyebabkan akumulasi garam dalam tanaman mangrove (Murdiyanto, 2003). Menurut Simbolon (1990), gangguan yang serius terhadap kelestarian hutan mangrove yaitu terjadinya perombakan hutan dan penebangan liar. Gangguan lainnya adalah pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan hutan dan adanya sedimentasi.
Ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove (Kusmana, 2002) yaitu :
1. Pencemaran.
Pencemaran yang terjadi pada areal hutan mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan.
2. Konversi lahan hutan mangrove.
Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, lahan pertanian, jalan raya, industri, perkotaan, pertambangan, penggalian pasir dan sebagainya.
3. Penebangan yang berlebihan.
Penebangan kayu mangrove secara legal maupun ilegal untuk produksi kayu bakar, arang dan chip telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan sehingga telah menimbulkan kerusakan dan menurunkan fungsi atau potensi produksi hutan mangrove.
Selanjutnya, Kusmana (2002) mengemukakan adanya faktor – faktor pendukung penyebab kerusakan hutan mangrove yang antara lain adalah pertumbuhan ekonomi memerlukan tersedianya sarana dan prasarana transportasi terutama jalan raya, terminal, pelabuhan dan prasarana lainnya, urbanisasi dan sebagainya merupakan indikator terjadinya peningkatan aktivitas perekonomian. Peningkatan aktivitas perekonomian seperti ini ikut mempercepat terjadinya kerusakan areal hutan mangrove.
IV. Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Mangrove
Dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove, menurut Bengen (2001) terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan yaitu perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka mengupayakan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan mangrove untuk menjadi kawasan hutan konservasi, dan suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil, contohnya seperti yang dapat dilihat di Pulau Rambut dan Pulau Dua, Jawa Barat yang telah ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka margasatwa(Dahuri, 2001).
V. Kebijakan dan Peraturan Pengelolaan Hutan Mangrove
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), terdapat beberapa kebijakan – kebijakan dasar dalam pengelolaan hutan mangrove yang antara lain, meliputi :
1. Untuk kawasan mangrove yang masih asli atau mendekati kondisi asli, harus dilakukan pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi. Pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi ini terus dipertahankan sebelum tersedia data dan informasi untuk menganalisis dampak bentuk pengelolaan lainnya.
2. Untuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan, misalnya untuk budidaya ramah lingkungan, pariwisata, maka harus mengedepankan pendekatan kehati – hatian (precautionary approach), khususnya apabila tidak tersedia informasi tentang pemanfaatannya secara berkelanjutan.
3. Apabila direncanakan pemanfaatan ekonomi, khususnya yang menyebabkan hilangnya mangrove seperti industri, permukiman, pertanian dan pertambakan, maka perlu diambil seperti analisis dampak lingkungan, audit lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.
4. Untuk kawasan mangrove yang berfungsi sebagai jalur hijau, berada pada pantai yang rawan erosi, bantaran sungai dan mengurangi dampak negatif fenomena alam seperti badai tropis, maka harus dilakukan pengelolaan untuk perlindungan dan konservasi.
VI. Strategi pelestarian hutan mangrove
Strategi pelestarian hutan mangrove yang digunakan adalah pelestarian dengan melibatkan masyarakat. Pelestarian hutan mangrove adalah merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan suatu sifat akomodatif terhadap segenap elemen yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam konteks pengelolaan ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management). Dahuri (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Tujuan mendasar dari pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk meningkatkan konservasi, rehabilitasi dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem mangrove (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Tujuan ini dapat dicapai melalui prinsip :
1. Pengelolaan ekosistem mangrove yang mengedepankan prinsip kehati – hatian (precautionary) dengan mempertimbangkan praktek yang sudah ada, kearifan, keyakinan dan kebiasaan masyarakat setempat.
2. Pengelolaan mangrove yang didasarkan pada pendekatan ekosistem dengan mempertimbangkan kegiatan dan dampaknya baik di kawasan hulu dan hilir.
3. Pengelolaan kawasan mangrove yang berorientasi pada keberlanjutan fungsi lingkungan dan nilai – nilai ekologi untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat pesisir.
4. Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan di kawasan ekosistem mangrove.
5. Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses berulang (interative process) yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pemanfaatan lestari serta didukung dengan upaya – upaya pembinaan dan pengendalian yang konsisten dan berkelanjutan.
6. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berlandaskan pada asas keterpaduan, keberlanjutan, desentralisasi, dan perencanaan berbasis masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen Dietriech. G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL – IPB, Bogor.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keaneka Ragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.
Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan – IPB Bogor.
PP. No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah PesisirTropis. PT. Gramedia Pustaka Umum Jakarta, Jakarta.
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut terdapat di daerah tropik atau sub tropik di sepanjang pantai terlindung dan di muara sungai yang merupakan komunitas tumbuhan pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Sementara itu, Anwar (1997) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah satu persekutuan hidup alam hayati dan alam lingkungannya yang terdapat di daerah pantai laut kawasan tropika. Kebanyakan hutan mangrove terdapat di sekitar teluk yang lautnya tenang dan daratannya secara berangsur – angsur melandai ke laut.
Keanekaragaman jenis hutan mangrove di Indonesia sangat tinggi dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2001). Menurut Dahuri (2001), beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tengar(Ceriops spp.) dan Buta-buta (Exoecaria spp.).
Hutan mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).
II. Manfaat Mangrove dalam perikanan
Ekosistem mangrove memiliki manfaat yang salah satunya sebagai penunjang kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), ekosistem mangrove secara khusus sangat penting bagi kegiatan perikanan mengingat bahwa :
1. Berbagai jenis organisme laut menjadikan ekosistem mangrove sebagai habitat.
2. Ekosistem mangrove menyediakan tempat perlindungan dan habitat aman bagi larva dan juvenil ikan serta sumber makanan dari serasah yang membusuk.
3. Ekosistem mangrove menyediakan tempat untuk pemijahan, periode pelagik dan rekruitmen spesies ikan dan udang.
4. Ekosistem mangrove menjadi tempat berlindung bagi organisme yang bersifat plankton yang terdorong arus ke pantai.
5. Ekosistem mangrove membentuk hubungan yang penting dalam siklus hidup berbagai biota termasuk ikan komersial tinggi.
Menurut Supriharyono (2000), menyatakan bahwa peranan hutan mangrove yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi ikan, kepiting, udang dan moluska. Sementara itu, menurut Nontji (2005) menyatakan di kawasan mangrove Indonesia sedikitnya tercatat 80 jenis krustasea, dan 65 jenis moluska. Lokasi dan potensi produksi perikanan udang di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan lokasi serta luas hutan mangrove di dekatnya. Selain udang, beberapa jenis ikan komersial juga mempunyai kaitan dengan mangrove misalnya bandeng dan belanak.
III. Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan terhadap hutan mangrove dapat terjadi secara alamiah atau adanya tekanan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove. Secara alamiah timbul karena adanya peristiwa alam seperti adanya topan badai atau iklim yang berkepanjangan yang menyebabkan akumulasi garam dalam tanaman mangrove (Murdiyanto, 2003). Menurut Simbolon (1990), gangguan yang serius terhadap kelestarian hutan mangrove yaitu terjadinya perombakan hutan dan penebangan liar. Gangguan lainnya adalah pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan hutan dan adanya sedimentasi.
Ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove (Kusmana, 2002) yaitu :
1. Pencemaran.
Pencemaran yang terjadi pada areal hutan mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan.
2. Konversi lahan hutan mangrove.
Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, lahan pertanian, jalan raya, industri, perkotaan, pertambangan, penggalian pasir dan sebagainya.
3. Penebangan yang berlebihan.
Penebangan kayu mangrove secara legal maupun ilegal untuk produksi kayu bakar, arang dan chip telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan secara berlebihan sehingga telah menimbulkan kerusakan dan menurunkan fungsi atau potensi produksi hutan mangrove.
Selanjutnya, Kusmana (2002) mengemukakan adanya faktor – faktor pendukung penyebab kerusakan hutan mangrove yang antara lain adalah pertumbuhan ekonomi memerlukan tersedianya sarana dan prasarana transportasi terutama jalan raya, terminal, pelabuhan dan prasarana lainnya, urbanisasi dan sebagainya merupakan indikator terjadinya peningkatan aktivitas perekonomian. Peningkatan aktivitas perekonomian seperti ini ikut mempercepat terjadinya kerusakan areal hutan mangrove.
IV. Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Mangrove
Dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove, menurut Bengen (2001) terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan yaitu perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka mengupayakan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan mangrove untuk menjadi kawasan hutan konservasi, dan suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil, contohnya seperti yang dapat dilihat di Pulau Rambut dan Pulau Dua, Jawa Barat yang telah ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka margasatwa(Dahuri, 2001).
V. Kebijakan dan Peraturan Pengelolaan Hutan Mangrove
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), terdapat beberapa kebijakan – kebijakan dasar dalam pengelolaan hutan mangrove yang antara lain, meliputi :
1. Untuk kawasan mangrove yang masih asli atau mendekati kondisi asli, harus dilakukan pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi. Pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi ini terus dipertahankan sebelum tersedia data dan informasi untuk menganalisis dampak bentuk pengelolaan lainnya.
2. Untuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan, misalnya untuk budidaya ramah lingkungan, pariwisata, maka harus mengedepankan pendekatan kehati – hatian (precautionary approach), khususnya apabila tidak tersedia informasi tentang pemanfaatannya secara berkelanjutan.
3. Apabila direncanakan pemanfaatan ekonomi, khususnya yang menyebabkan hilangnya mangrove seperti industri, permukiman, pertanian dan pertambakan, maka perlu diambil seperti analisis dampak lingkungan, audit lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.
4. Untuk kawasan mangrove yang berfungsi sebagai jalur hijau, berada pada pantai yang rawan erosi, bantaran sungai dan mengurangi dampak negatif fenomena alam seperti badai tropis, maka harus dilakukan pengelolaan untuk perlindungan dan konservasi.
VI. Strategi pelestarian hutan mangrove
Strategi pelestarian hutan mangrove yang digunakan adalah pelestarian dengan melibatkan masyarakat. Pelestarian hutan mangrove adalah merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan suatu sifat akomodatif terhadap segenap elemen yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam konteks pengelolaan ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management). Dahuri (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Tujuan mendasar dari pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk meningkatkan konservasi, rehabilitasi dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem mangrove (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005). Tujuan ini dapat dicapai melalui prinsip :
1. Pengelolaan ekosistem mangrove yang mengedepankan prinsip kehati – hatian (precautionary) dengan mempertimbangkan praktek yang sudah ada, kearifan, keyakinan dan kebiasaan masyarakat setempat.
2. Pengelolaan mangrove yang didasarkan pada pendekatan ekosistem dengan mempertimbangkan kegiatan dan dampaknya baik di kawasan hulu dan hilir.
3. Pengelolaan kawasan mangrove yang berorientasi pada keberlanjutan fungsi lingkungan dan nilai – nilai ekologi untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat pesisir.
4. Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan di kawasan ekosistem mangrove.
5. Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses berulang (interative process) yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pemanfaatan lestari serta didukung dengan upaya – upaya pembinaan dan pengendalian yang konsisten dan berkelanjutan.
6. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berlandaskan pada asas keterpaduan, keberlanjutan, desentralisasi, dan perencanaan berbasis masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen Dietriech. G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL – IPB, Bogor.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keaneka Ragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.
Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan – IPB Bogor.
PP. No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah PesisirTropis. PT. Gramedia Pustaka Umum Jakarta, Jakarta.
0 comments:
Post a Comment