Aspek Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Sistematika Ikan Lele Dumbo
Menurut Saanin (1986), sistematika lele dumbo adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Fhyllum : Chordata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
Morfologi
Dilihat dari ciri morfologinya ikan lele dumbo (C. gariepinus) berbeda dengan jenis ikan lainnya seperti ikan nila, ikan gurami, maupun ikan mas. Lele dumbo (C. gariepinus) memiliki bentuk badan yang memanjang tanpa sisik sama sekali dan licin, dengan bagian kepala gepeng dan panjang hampir seperempat dari panjang tubuhnya,batok kepala umumnya keras dan meruncing ke belakang, memiliki mulut yang lebar (sesuai dengan besar tubuhnya) (Khairuman & Amri, 2008). Lele dumbo juga memiliki ciri yang khas yaitu memiliki sungut yang berada di sekitar mulut yang berjumlah 8 buah atau 4 pasang sungut yang terdiri dari 2 buah sungut nasal, 2 buah sungut mandibular luar, 2 buah sungut mandibular dalam, 2 buah sungut maxilar (Khairuman & Amri, 2008). Selain memiliki 4 pasang sungut, lele dumbo memiliki 5 buah sirip yang terdiri dari sirip berpasangan yang meliputi sirip dada, sirip perut, dan sirip dubur sedangkan sirip tunggal meliputi sirip punggung dan sirip ekor (Saanin, 1986). Ikan lele dumbo (C. garepinus) memiliki alat penapasan tambahan yang disebut aborescent organ (Pamunjtak, 2010). Alat pernapasan tersebut merupakan membran yang berlipat-lipat penuh dengan kapiler darah. Aborescent organ terletak di bagian kepala di dalam rongga yang dibentuk oleh dua pelat tulang kepala. Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh kapiler darah (Najiyati, 2010).
Habitat
Ikan lele dumbo (C. gariepinus) hidup dan berkembang biak diperairan tawar seperti rawa-rawa, danau atau sungai tenang. Ikan lele dapat hidup pada air yang tercemar seperti di got-got dan selokan pembuangan. Semua kelebihan tersebut membuat ikan ini tidak memerlukan kualitas air yang jernih atau air mengalir ketika dipelihara di dalam kolam (Khairuman & Amri, 2008).
Ikan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap (Khairuman & Amri, 2012).
Penyakit Ikan
Dalam usaha budidaya ikan, penyakit ikan dapat mengakibatkan kerugian ekonomis, karena penyakit dapat menyebabkan kekerdilan, periode pemeliharaan lebih lama, tingginya konversi pakan, tingkat padat tebar yang rendah, dan kematian (Handajani & Samsundari, 2005).
Penyakit ikan merupakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan baik secara langsung maupun tidak langsung (Kordi, 2004). Pada dasarnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi ikan (inang), dan adanya jasad patogen (jasad penyakit) (Handajani & Samsundari, 2005). Timbulnya suatu penyakit disebabkan dari hasil interaksi yang tidak sesuai dengan lingkungan yang menyebabkan stres pada ikan, sehingga mengakibatkan kondisi tubuhnya melemah dan nantinya terserang oleh penyakit (Kordi, 2004). Penyakit merupakan suatu gangguan pada organisme yang disebabkan oleh parasit (Mulia, 2007). Serangan penyakit yang terjadi pada ikan di kolam budidaya terjadi karena terganggunya keharmonisan interaksi antara tiga komponen utama yaitu ikan, kondisi lingkungan, dan organisme penyakit
(Mukaromah, 2011).
Sumber penyakit yang sering menyerang ikan dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi (Afrianto
& Liviawaty, 1992 dalam Mukaromah, 2011).
a. Penyakit Infeksi
Penyakit yang disebabkan adanya aktivitas organisme parasit. Organisme yang sering menyerang ikan pemeliharaan, antara lain virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing, dan udang renik.
b. Penyakit Non-infeksi
Penyakit yang disebabkan oleh selain mikroorganisme hidup yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan, lingkungan, keturunan, dan penanganan.
Interaksi yang terjadi pada ikan akibat serangan parasit merupakan masalah yang cukup serius dibandingkan dengan gangguan yang disebabkan oleh faktor lain (Zonneveld et al., 1991). Organisme parasit bisa menjadi wabah infeksi sekunder, maksudnya infeksi yang sudah berbahaya dan adanya organisme lain seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing, dan udang renik (Purwoko, 2004).
Pengertian Parasit
Organisme parasit adalah organisme yang hidup di dalam atau pada tubuh organisme lain dan mendapatkan makanan untuk hidupnya tanpa memberi hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi organisme yang menjadi tempat hidupnya
(Brotowidjoyo, 1987). Parasit adalah hewan atau tumbuhan yang
hidup atas pengorbanan inangnya, yaitu dengan suatu cara parasit itu menyakiti inangnya sendiri (Noble & Noble, 1989).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme lain yang mengambil makanan dari tubuh organisme tersebut, sehingga organisme tempatnya makan (inang) akan mengalami kerugian (Kabata, 1985 dalam Prasetiyawan, 2011). Parasitisme adalah hubungan dari salah satu spesies parasit dengan inangnya. Inang perperan sebagai tempat untuk memperoleh makanan dan nutrisi bagi parasit, sehingga tubuh inang merupakan lingkungan yang paling utama untuk habitat parasit (Adelaide et al., 2011).
Penyakit akibat infeksi parasit menjadi salah satu ancaman keberhasilan akuakultur. Pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat tebar tinggi pada area yang terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung perkembangan dan
penyebaran penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebar tinggi akan menyebabkan ikan mudah stress sehingga menyebabkan ikan menjadi mudah terserang penyakit. Selain itu kualitas air, volume air, dan alirannya berpengaruh terhadap berkembangnya suatu penyakit. Populasi yang tinggi akan mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan yang sakit dengan ikan yang sehat (Irianto, 2005). Berdasarkan sifat hidupnya parasit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu obligat dan fakultatif.
Golongan obligat yaitu parasit yang hanya bisa hidup jika berada pada inang. Golongan fakultatif yaitu parasit yang mampu hidup di lingkungan air jika tidak ada inang disekitarnya (Adelaide et al., 2011). Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit (Syakuri et al., 2004).
Pengertian Ektoparasit
Ektoparasit merupakan organisme parasit yang menginfeksi bagian luar dari inang (ikan) dan dapat menimbulkan kerugian pada budidaya ikan (Stickney, 1994 dalam Purbomartono, 2005). Pada ikan budidaya, ektoparasit dapat menimbulkan mortalitas yang tinggi terutama pada fase pembenihan yang merupakan periode sensitif terhadap serangan ektoparasit (Purbomartono, 2005). Ektoparasit pada ikan air tawar seringkali menjadi wabah penyakit pada kegiatan usaha budidaya ikan (Mukaromah, 2011).
Jenis-jenis Ektoparasit
Ektoparasit berdasarkan sistematika penyebabnya
digolongkan menjadi tiga, yaitu ektoparasit protozoa, ektoparasit cacing, dan ektoparasit udang renik (Tim Karya Tani Mandiri,
2009).
a. Jenis Ektoparasit Protozoa
1) Costiasis.
Costiasis merupakan penyakit yang disebabkan
adanya parasit Costia. Penyakit ini menyerang larva ikan/ikan muda. Selain ditemukan pada ikan air tawar, juga ditemukan menyerang katak dan ikan-ikan hias akuarium. Parasit ini menyebar melalui air dan adanya kontak langsung pada ikan dengan ikan lainnya. Costia menghisap nutrisi ikan inang dengan cara menempel dan menembus sel kulit ikan melalui bagian anterior yang meruncing membentuk jari. Gejala ikan yang terserang ektoparasit ini adalah tidak mau makan, berenang tidak normal, berwarna pucat kehitaman, lemah, dan akhirnya dapat mengalami kematian (Tim Karya Tani
Mandiri, 2009).
2) Trichodina sp.
Trichodina sp. merupakan parasit yang menyerang bagian luar ikan yaitu pada bagian kulit dan bagian insang ikan (Klinger & Floyd, 1998 dalam Mukaromah, 2011). Sel Trichodina sp. berbentuk bundar seperti cawan, dengan diameter 50 µm, bulu getar terangkai pada kedua sisi sel, dan memiliki makro serta mikronukleus (Irianto, 2005). Ikan yang sering terkena penyakit ini ditandai oleh adanya bintik-bintik putih keabu-abuan pada bagian tubuh ikan, terutama pada bagian kepala dan sirip, juga dapat mengakibatkan
peningkatan produksi lendir (Irawan, 2000).
3) Ichthyophthirius multifiliis
Ichthyophthirius multifiliis merupakan salah satu anggota protozoa yang sering menyerang dan menimbulkan suatu penyakit pada ikan air tawar, baik ikan konsumsi ataupun ikan hias. Protozoa ini mempunyai ukuran yang relatif kecil, sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang krena hanya berdiameter 0,5-1 mm (Kordi, 2004).
I. multifiliis merupakan protozoa berbulu getar, parasit obligat pada ikan air tawar yang harus menemukan inang baru dalam 48 jam (pada suhu sekitar 25-27oC) (Irianto, 2005). I. multifiliis dikenal sebagai penyakit bintik putih dan sangat umum terjadi pada ikan-ikan peliharaan dalam akuarium atau tengki pembenihan (Mukaromah, 2011). Organisme ini menyebabkan penyakit yang dikenal dengan white spot, karena pada infeksi tinggi dapat menyebabkan bintik-bintik putih pada tubuh. Secara klinis ikan yang terinfeksi menjadi hiperaktif dan berenang sambil menggesekkan tubuhnya pada bebatuan atau dinding kolam (Irianto, 2005). Bagian tubuh ikan yang sering terinfeksi oleh organisme ini adalah bagian dari tubuh luar ikan, terutama lapisan lendir kulit, sirip, dan insang (Afrianto & Liviawaty, 1992 dalam Mukaromah,
2011).
4) Myxobolus sp.
Myxobolus sp. menyebabkan penyakit yang disebut Myxoboliasis pada ikan (Kabata, 1985). Spesies ini menghasilkan semacam kista yang kemudian akan pecah. Bentuk membulat dan melebar pada bagian anterior. Parasit ini tidak hanya tinggal di insang ikan, merupakan parasit obligat pada jaringan-jaringan ikat, hati, dan ginjal. Siklus hidupnya belum semua diketahui, tetapi jenis parasit ini membentuk spora pada insang atau di bawah kulit ikan
(Daelami, 2001).
5) Epistylis sp.
Epistylis sp. merupakan parasit yang mempunyai kemampuan untuk membentuk koloni dan dapat
mengakibatkan luka yang dapat dijadikan suatu pintu masuknya bakteri (Mukaromah, 2011).
Epistylis sp. berbentuk silinder tipis seperti lonceng bertangkai berukuran 0,4-0,5 nm. Hidup berkoloni dan biasanya ditemukan di kulit dan insang (Kabata, 1985). Epistylis sp. merupakan protozoa bertangkai dan bercabang, memiki bulu getar, dan hidup bebas dengan melekat pada tanaman air. Pada kondisi kualitas air kaya akan bahan organik, maka Epistylis sp. dapat berubah menjadi organisme penyakit. Secara klinis, ikan yang sakit menunjukkan adanya borok atau adanya massa seperti kapas yang tumbuh di kulit, sisik, dan sirip sehingga menimbulkan bercak-bercak merah atau borok yang memerah (Irianto, 2005).
6) Oodinum sp.
Oodinium sp. berbentuk bundar, berdiameter 20-80 nm dengan filamen seperti akar, biasanya menyerang jaringan kulit dan sel-sel kulit ikan. Infeksi terjadi bukan di bagian kulit saja tetapi pada rongga mulut dan pada bagian insang sehingga insang mengalami pembengkakan. Jenis parasit ini hidup pada inang, apabila dalam 24 jam tidak menemukan inang maka jenis parasit ini akan mati (Daelami, 2001). Jenis parasit ini dapat dikenali pada ikan yang terinfeksi, yaitu gerakan ikan menjadi lemas dan tidak tahan terhadap permukaan sehingga dapat menyebabkan kematian masal yang disebabkan karena kerusakan kulit dan insang (Kordi,
2004).
7) Vorticella sp.
Vorticella sp. memiliki bentuk seperti lonceng terbalik dengan tangkai bersilia yang mengandung fibril (Kabata, 1985). Vorticella sp. dapat hidup di air tawar dan di air laut serta dapat menempel di tumbuhan atau hewan. Reproduksi aseksualnya dengan cara pembelahan proses budding
(Mukaromah, 2011).
8) Chillodonella sp.
Chillodonella sp. merupakan parasit yang menyerang bagian luar ikan, yaitu sirip dan insang. Parasit ini kadang ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak menyerang
ikan air tawar. Parasit jenis ini memiliki ciri–ciri tubuh yang pipih dorsoventral, kaku, oval, dengan bagian permukaan dorsal yang cekung dan bagian ventralnya berbentuk pipih dan bersilia. Infeksi Chillodonella sp. baik berada pada permukaan tubuh maupun filamen insang ikan akan
mengakibatkan sekresi mucus berlebihan dan iritasi (Klinger
& Floyd, 1998 dalam Mukaromah, 2011).
b. Jenis Ektoparasit Trematoda
1) Dactylogyrus sp.
Parasit cacing ini hidup pada inang sehingga seluruh hidupnya berfungsi sebagai parasit dan merupakan ektoparasit yang ditemukan menyerang insang ikan dan jarang ditemukan pada permukaan tubuh ikan. Ikan yang diserang parasit ini biasanya akan menjadi kurus dan kulitnya tidak kelihatan bening lagi. Kulit juga terlihat pucat, bintik-bintik merah di bagian tertentu, produksi lendir tidak normal, dan pada sebagian atau seluruh tubuh berwarna gelap, sisik dan kulit terkelupas danrespirasi terganggu (ikan kelihatan megapmegap seperti kekurangan oksigen), juga ikan sering terlihat menggosok-gosokkan badannya ke dasar atau pematang kolam serta benda-benda keras lain di sekitarnya (Kordi,
2004).
2) Gyrodactylus sp.
Gyrodactylus sp. adalah ektoparasit yang sering menyerang ikan pada bagian kulit maupun insang (Klinger &
Floyd, 1998 dalam Purwoko, 2004). Organisme jenis ini
dapat diisolasi dari permukaan tubuh ikan, insang, dan sirip (Anonim, 2009). Ikan yang terserang biasanya banyak mengeluarkan lendir, warna tubuhnya pucat, ikan lemas tidak suka bergerak dan siripnya kuncup, insang pucat, pertumbuhan ikan terhambat, nafsu makan ikan berkurang, maka dapat dipastikan ikan tersebut terserang penyakit ini
(Kordi, 2004).
c. Ektoparasit Jenis Crustacea
1) Learnea sp.
Learnea sp. merupakan parasit berjangkar, pada stadium dewasa menghujamkan kepalanya ke jaringan badan ikan dengan kuat sekali. Tubuh Learnea sp. memanjang seperti cacing, pada bagian kepalanya terdapat empat tonjolan seperti tanduk-tanduk (Daelami, 2001). Parasit menempel pada tutup insang, sirip atau pada mata, setelah 15 menit kemudian terlihat luka-luka di tempat penyerangan tersebut. Pada umumnya infeksi Learnea sp. ditandai oleh kehilangan berat badan akibat turunnya nafsu makan (Kordi,
2004).
2) Ergasiliosis sp.
Ergasiliosis sp. merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh ektoparasit genus Ergasilus. Ikan yang terserang organisme ini biasanya operkulum membuka dan tidak menutup secara sempurna, selain itu menyerang organ lain seperti sirip dan jaringan dekat mata. Akibatnya, terjadi kelainan bentuk insang, penyempitan pembuluh darah, kematian jaringan insang dan jaringan tubuh, produksi lendir yang berlebihan, dan dapat mengakibatkan tingginya mortalitas pada ikan (Tim Karya Tani Mandiri, 2009).
3) Caligusias sp.
Ikan yang terserang penyakit parasit ini akan terlihat adanya parasit yang menempel pada permukaan tubuh ikan, karena permukaan tubuh dan sirip merupakan organ target dari parasit ini. Penularannya biasanya melalui ikan budidaya yang terinfeksi (kontak langsung), air mengandung larva parasit dan ikan liar sebagai carrier (Tim Karya Tani
Mandiri, 2009).
4) Argulus sp.
Argulus sp. merupakan ektoparasit sejenis udang renik yang mempunyai bentuk tubuh bulat pipih seperti kutu, sehingga sering disebut sebagai kutu ikan. Tubuhnya dilengkapi dengan pengait untuk mengaitkan tubuhnya pada inang. Ciri ikan yang terserang penyakit ini adalah tubuhnya kurus, lemah, dan kurang darah akibat dihisap darahnya. Luka bekas alat hisap inilah yang merupakan bagian yang mudah diserang bakteri dan jamur, sehingga dapat terjadi infeksi sekunder yang menyebabkan ikan akan mengalami kematian masal (Afrianto & Liviawaty, 1992 dalam Rokhmawati, 2006). Argulus sp. selain menyerang insang juga menyerang pada bagian tubuh (Klinger & Floyd, 1998 dalam Mukaromah, 2011).
Ciri-Ciri Ikan Lele Dumbo Yang Terserang Penyakit
Lele dumbo (C.gariepinus) yang terserang penyakit dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda yang ditunjukkan oleh aktifitas yang dilakukannya. Adapun ciri-ciri lele dumbo (C.gariepinus) yang terserang hama dan penyakit antara lain ikan terlihat pasif, lemah, dan kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga cenderung mengapung di permukaan air, nafsu makan menurun bahkan pada ikan sangat lemah tidak ada nafsu makan sama sekali, ikan mengalami kesulitan untuk bernafas (megap-megap), dan mempunyai reaksi lambat bahkan sering dijumpai ikan tidak bereaksi sama sekali. Adapun ciri lain, yaitu tubuh ikan tidak licin lagi karena selaput lendirnya telah berkurang atau habis sehingga ikan mudah ditangkap. Pada bagian-bagian tertentu dari tubuh ikan dapat terlihat pendarahan terutama di dada, perut, dan pangkal sirip. Pendarahan ini menunjukkan bahwa tingkat serangan penyakit sudah tinggi. Sirip punggung, dada, dan ekor mengalami rusak serta pecah-pecah, sering pula sirip hanya tinggal tulang yang kerasnya saja. Insang mengalami kerusakan dan tidak berfungsi lagi, sehingga ikan sering terlihat mengalami kesulitan untuk bernafas. Warna insang yang semula merah segar berubah menjadi keputih-putihan atau kebiru-biruan. Jika bagian perutnya dibelah akan terlihat organ hati menjadi berwarna kekuningkuningan dan ususnya agak rapuh (Afrianto & Liviawaty, 1992 dalam
Purwoko, 2004).
Faktor Penyebab Penyakit Pada Lele Dumbo
Dalam membudidayakan ikan lele dumbo, sering mendapat kendala karena serangan penyakit. Faktor penyebab penyakit atau peristiwa yang memicu terjadinya serangan penyakit antara lain patogen, stres, kekurangan gizi, pemberian pakan yang berlebihan, dan kualitas air.
a. Patogen
Patogen merupakan organisme yang dapat menyebabkan penyakit, yang termasuk patogen di antaranya yaitu bakteri, jamur, virus, dan protozoa (Tim Karya Tani Mandiri, 2009).
b. Stres
Semua perubahan pada lingkungan dianggap sebagai penyebab stres bagi ikan dan untuk itu diperlukan adanya adaptasi dari ikan. Stres
dapat menyebabkan ikan menjadi shok, tidak mau makan, dan
meningkatnya kepekaan terhadap penyakit (Kordi, 2004).
c. Kekurangan Gizi
Ikan yang kekurangan gizi juga merupakan sumber dan penyebab penyakit. Pakan yang kandungan proteinnya rendah akan mengurangi laju pertumbuhan, proses reproduksi kurang sempurna, dan dapat menyebabkan ikan menjadi lebih mudah terserang penyakit (Kordi,
2004).
d. Pemberian Pakan yang Berlebihan
Pemberian pakan yang berlebihan dapat menyebabkan ikan mengalami kekenyangan yang berlebihan sehingga usus ikan mudah pecah. Pakan yang berlebihan dan tidak habis dimakan oleh ikan akan tertimbun di dasar kolam, dengan demikian akan mempercepat penurunan kualitas air. Pakan merupakan sumber bahan organik yang bila mengalami dekomposisi akan menjadi amonia, sedangkan konsentrasi amonia yang berlebihan dapat menyebabkan timbulnya keracunan pada ikan (Kordi, 2004).
e. Kualitas Air
Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha budidaya perikanan. Kualitas dan kuantitas air yang memenuhi syarat merupakan kunci keberhasilan dalam budidaya ikan, karena air merupakan tempat hidup bagi ikan (Kordi, 2004).
Kualitas air untuk lele dumbo (C. gariepinus)
Kualitas air untuk budidaya ikan lele dumbo merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air antara lain faktor fisika, kimia, dan biologi. parameter fisika dan kimia yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan antara lain suhu, pH, dan oksigen terlarut.
a. Suhu
Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu dan dapat menekan laju pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sangat drastis. Kisaran suhu optimum bagi kehidupan ikan lele dumbo 25-28˚C (Pamunjtak, 2010). Menurut Suyanto
(2007) suhu air untuk budidaya ikan lele dumbo adalah 24-28˚C.
b. pH pH merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan sangat berperan pada organisme perairan dalam keadaan terlarut, sehingga dapat digunakan untuk mengukur baik buruknya kualitas perairan. Kisaran pH yang ideal untuk kehidupan budidaya perikanan ikan lele dumbo berkisar antara 6,5 sampai 9 (Pamunjtak, 2010).
c. DO (Kadar Oksigen Terlarut)
Kandungan oksigen terlarut dalam air merupakan komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya (Kordi, 2004).
Sebagian besar ikan membutuhkan oksigen terlarut sebanyak 5ppm. Idealnya batas pertumbuhan ikan adalah 5 ppm (Sitanggang, 2002 dalam Mukaromah, 2011). Oksigen terlarut untuk budidaya ikan lele dumbo adalah 3 ppm (Khairuman & Amri, 2012).
Sistematika Ikan Lele Dumbo
Menurut Saanin (1986), sistematika lele dumbo adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Fhyllum : Chordata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
Morfologi
Dilihat dari ciri morfologinya ikan lele dumbo (C. gariepinus) berbeda dengan jenis ikan lainnya seperti ikan nila, ikan gurami, maupun ikan mas. Lele dumbo (C. gariepinus) memiliki bentuk badan yang memanjang tanpa sisik sama sekali dan licin, dengan bagian kepala gepeng dan panjang hampir seperempat dari panjang tubuhnya,batok kepala umumnya keras dan meruncing ke belakang, memiliki mulut yang lebar (sesuai dengan besar tubuhnya) (Khairuman & Amri, 2008). Lele dumbo juga memiliki ciri yang khas yaitu memiliki sungut yang berada di sekitar mulut yang berjumlah 8 buah atau 4 pasang sungut yang terdiri dari 2 buah sungut nasal, 2 buah sungut mandibular luar, 2 buah sungut mandibular dalam, 2 buah sungut maxilar (Khairuman & Amri, 2008). Selain memiliki 4 pasang sungut, lele dumbo memiliki 5 buah sirip yang terdiri dari sirip berpasangan yang meliputi sirip dada, sirip perut, dan sirip dubur sedangkan sirip tunggal meliputi sirip punggung dan sirip ekor (Saanin, 1986). Ikan lele dumbo (C. garepinus) memiliki alat penapasan tambahan yang disebut aborescent organ (Pamunjtak, 2010). Alat pernapasan tersebut merupakan membran yang berlipat-lipat penuh dengan kapiler darah. Aborescent organ terletak di bagian kepala di dalam rongga yang dibentuk oleh dua pelat tulang kepala. Alat pernapasan ini berwarna kemerahan dan berbentuk seperti tajuk pohon rimbun yang penuh kapiler darah (Najiyati, 2010).
Habitat
Ikan lele dumbo (C. gariepinus) hidup dan berkembang biak diperairan tawar seperti rawa-rawa, danau atau sungai tenang. Ikan lele dapat hidup pada air yang tercemar seperti di got-got dan selokan pembuangan. Semua kelebihan tersebut membuat ikan ini tidak memerlukan kualitas air yang jernih atau air mengalir ketika dipelihara di dalam kolam (Khairuman & Amri, 2008).
Ikan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap (Khairuman & Amri, 2012).
Penyakit Ikan
Dalam usaha budidaya ikan, penyakit ikan dapat mengakibatkan kerugian ekonomis, karena penyakit dapat menyebabkan kekerdilan, periode pemeliharaan lebih lama, tingginya konversi pakan, tingkat padat tebar yang rendah, dan kematian (Handajani & Samsundari, 2005).
Penyakit ikan merupakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan baik secara langsung maupun tidak langsung (Kordi, 2004). Pada dasarnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi ikan (inang), dan adanya jasad patogen (jasad penyakit) (Handajani & Samsundari, 2005). Timbulnya suatu penyakit disebabkan dari hasil interaksi yang tidak sesuai dengan lingkungan yang menyebabkan stres pada ikan, sehingga mengakibatkan kondisi tubuhnya melemah dan nantinya terserang oleh penyakit (Kordi, 2004). Penyakit merupakan suatu gangguan pada organisme yang disebabkan oleh parasit (Mulia, 2007). Serangan penyakit yang terjadi pada ikan di kolam budidaya terjadi karena terganggunya keharmonisan interaksi antara tiga komponen utama yaitu ikan, kondisi lingkungan, dan organisme penyakit
(Mukaromah, 2011).
Sumber penyakit yang sering menyerang ikan dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi (Afrianto
& Liviawaty, 1992 dalam Mukaromah, 2011).
a. Penyakit Infeksi
Penyakit yang disebabkan adanya aktivitas organisme parasit. Organisme yang sering menyerang ikan pemeliharaan, antara lain virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing, dan udang renik.
b. Penyakit Non-infeksi
Penyakit yang disebabkan oleh selain mikroorganisme hidup yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan, lingkungan, keturunan, dan penanganan.
Interaksi yang terjadi pada ikan akibat serangan parasit merupakan masalah yang cukup serius dibandingkan dengan gangguan yang disebabkan oleh faktor lain (Zonneveld et al., 1991). Organisme parasit bisa menjadi wabah infeksi sekunder, maksudnya infeksi yang sudah berbahaya dan adanya organisme lain seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, cacing, dan udang renik (Purwoko, 2004).
Pengertian Parasit
Organisme parasit adalah organisme yang hidup di dalam atau pada tubuh organisme lain dan mendapatkan makanan untuk hidupnya tanpa memberi hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi organisme yang menjadi tempat hidupnya
(Brotowidjoyo, 1987). Parasit adalah hewan atau tumbuhan yang
hidup atas pengorbanan inangnya, yaitu dengan suatu cara parasit itu menyakiti inangnya sendiri (Noble & Noble, 1989).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme lain yang mengambil makanan dari tubuh organisme tersebut, sehingga organisme tempatnya makan (inang) akan mengalami kerugian (Kabata, 1985 dalam Prasetiyawan, 2011). Parasitisme adalah hubungan dari salah satu spesies parasit dengan inangnya. Inang perperan sebagai tempat untuk memperoleh makanan dan nutrisi bagi parasit, sehingga tubuh inang merupakan lingkungan yang paling utama untuk habitat parasit (Adelaide et al., 2011).
Penyakit akibat infeksi parasit menjadi salah satu ancaman keberhasilan akuakultur. Pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat tebar tinggi pada area yang terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung perkembangan dan
penyebaran penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebar tinggi akan menyebabkan ikan mudah stress sehingga menyebabkan ikan menjadi mudah terserang penyakit. Selain itu kualitas air, volume air, dan alirannya berpengaruh terhadap berkembangnya suatu penyakit. Populasi yang tinggi akan mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan yang sakit dengan ikan yang sehat (Irianto, 2005). Berdasarkan sifat hidupnya parasit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu obligat dan fakultatif.
Golongan obligat yaitu parasit yang hanya bisa hidup jika berada pada inang. Golongan fakultatif yaitu parasit yang mampu hidup di lingkungan air jika tidak ada inang disekitarnya (Adelaide et al., 2011). Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit (Syakuri et al., 2004).
Pengertian Ektoparasit
Ektoparasit merupakan organisme parasit yang menginfeksi bagian luar dari inang (ikan) dan dapat menimbulkan kerugian pada budidaya ikan (Stickney, 1994 dalam Purbomartono, 2005). Pada ikan budidaya, ektoparasit dapat menimbulkan mortalitas yang tinggi terutama pada fase pembenihan yang merupakan periode sensitif terhadap serangan ektoparasit (Purbomartono, 2005). Ektoparasit pada ikan air tawar seringkali menjadi wabah penyakit pada kegiatan usaha budidaya ikan (Mukaromah, 2011).
Jenis-jenis Ektoparasit
Ektoparasit berdasarkan sistematika penyebabnya
digolongkan menjadi tiga, yaitu ektoparasit protozoa, ektoparasit cacing, dan ektoparasit udang renik (Tim Karya Tani Mandiri,
2009).
a. Jenis Ektoparasit Protozoa
1) Costiasis.
Costiasis merupakan penyakit yang disebabkan
adanya parasit Costia. Penyakit ini menyerang larva ikan/ikan muda. Selain ditemukan pada ikan air tawar, juga ditemukan menyerang katak dan ikan-ikan hias akuarium. Parasit ini menyebar melalui air dan adanya kontak langsung pada ikan dengan ikan lainnya. Costia menghisap nutrisi ikan inang dengan cara menempel dan menembus sel kulit ikan melalui bagian anterior yang meruncing membentuk jari. Gejala ikan yang terserang ektoparasit ini adalah tidak mau makan, berenang tidak normal, berwarna pucat kehitaman, lemah, dan akhirnya dapat mengalami kematian (Tim Karya Tani
Mandiri, 2009).
2) Trichodina sp.
Trichodina sp. merupakan parasit yang menyerang bagian luar ikan yaitu pada bagian kulit dan bagian insang ikan (Klinger & Floyd, 1998 dalam Mukaromah, 2011). Sel Trichodina sp. berbentuk bundar seperti cawan, dengan diameter 50 µm, bulu getar terangkai pada kedua sisi sel, dan memiliki makro serta mikronukleus (Irianto, 2005). Ikan yang sering terkena penyakit ini ditandai oleh adanya bintik-bintik putih keabu-abuan pada bagian tubuh ikan, terutama pada bagian kepala dan sirip, juga dapat mengakibatkan
peningkatan produksi lendir (Irawan, 2000).
3) Ichthyophthirius multifiliis
Ichthyophthirius multifiliis merupakan salah satu anggota protozoa yang sering menyerang dan menimbulkan suatu penyakit pada ikan air tawar, baik ikan konsumsi ataupun ikan hias. Protozoa ini mempunyai ukuran yang relatif kecil, sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang krena hanya berdiameter 0,5-1 mm (Kordi, 2004).
I. multifiliis merupakan protozoa berbulu getar, parasit obligat pada ikan air tawar yang harus menemukan inang baru dalam 48 jam (pada suhu sekitar 25-27oC) (Irianto, 2005). I. multifiliis dikenal sebagai penyakit bintik putih dan sangat umum terjadi pada ikan-ikan peliharaan dalam akuarium atau tengki pembenihan (Mukaromah, 2011). Organisme ini menyebabkan penyakit yang dikenal dengan white spot, karena pada infeksi tinggi dapat menyebabkan bintik-bintik putih pada tubuh. Secara klinis ikan yang terinfeksi menjadi hiperaktif dan berenang sambil menggesekkan tubuhnya pada bebatuan atau dinding kolam (Irianto, 2005). Bagian tubuh ikan yang sering terinfeksi oleh organisme ini adalah bagian dari tubuh luar ikan, terutama lapisan lendir kulit, sirip, dan insang (Afrianto & Liviawaty, 1992 dalam Mukaromah,
2011).
4) Myxobolus sp.
Myxobolus sp. menyebabkan penyakit yang disebut Myxoboliasis pada ikan (Kabata, 1985). Spesies ini menghasilkan semacam kista yang kemudian akan pecah. Bentuk membulat dan melebar pada bagian anterior. Parasit ini tidak hanya tinggal di insang ikan, merupakan parasit obligat pada jaringan-jaringan ikat, hati, dan ginjal. Siklus hidupnya belum semua diketahui, tetapi jenis parasit ini membentuk spora pada insang atau di bawah kulit ikan
(Daelami, 2001).
5) Epistylis sp.
Epistylis sp. merupakan parasit yang mempunyai kemampuan untuk membentuk koloni dan dapat
mengakibatkan luka yang dapat dijadikan suatu pintu masuknya bakteri (Mukaromah, 2011).
Epistylis sp. berbentuk silinder tipis seperti lonceng bertangkai berukuran 0,4-0,5 nm. Hidup berkoloni dan biasanya ditemukan di kulit dan insang (Kabata, 1985). Epistylis sp. merupakan protozoa bertangkai dan bercabang, memiki bulu getar, dan hidup bebas dengan melekat pada tanaman air. Pada kondisi kualitas air kaya akan bahan organik, maka Epistylis sp. dapat berubah menjadi organisme penyakit. Secara klinis, ikan yang sakit menunjukkan adanya borok atau adanya massa seperti kapas yang tumbuh di kulit, sisik, dan sirip sehingga menimbulkan bercak-bercak merah atau borok yang memerah (Irianto, 2005).
6) Oodinum sp.
Oodinium sp. berbentuk bundar, berdiameter 20-80 nm dengan filamen seperti akar, biasanya menyerang jaringan kulit dan sel-sel kulit ikan. Infeksi terjadi bukan di bagian kulit saja tetapi pada rongga mulut dan pada bagian insang sehingga insang mengalami pembengkakan. Jenis parasit ini hidup pada inang, apabila dalam 24 jam tidak menemukan inang maka jenis parasit ini akan mati (Daelami, 2001). Jenis parasit ini dapat dikenali pada ikan yang terinfeksi, yaitu gerakan ikan menjadi lemas dan tidak tahan terhadap permukaan sehingga dapat menyebabkan kematian masal yang disebabkan karena kerusakan kulit dan insang (Kordi,
2004).
7) Vorticella sp.
Vorticella sp. memiliki bentuk seperti lonceng terbalik dengan tangkai bersilia yang mengandung fibril (Kabata, 1985). Vorticella sp. dapat hidup di air tawar dan di air laut serta dapat menempel di tumbuhan atau hewan. Reproduksi aseksualnya dengan cara pembelahan proses budding
(Mukaromah, 2011).
8) Chillodonella sp.
Chillodonella sp. merupakan parasit yang menyerang bagian luar ikan, yaitu sirip dan insang. Parasit ini kadang ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak menyerang
ikan air tawar. Parasit jenis ini memiliki ciri–ciri tubuh yang pipih dorsoventral, kaku, oval, dengan bagian permukaan dorsal yang cekung dan bagian ventralnya berbentuk pipih dan bersilia. Infeksi Chillodonella sp. baik berada pada permukaan tubuh maupun filamen insang ikan akan
mengakibatkan sekresi mucus berlebihan dan iritasi (Klinger
& Floyd, 1998 dalam Mukaromah, 2011).
b. Jenis Ektoparasit Trematoda
1) Dactylogyrus sp.
Parasit cacing ini hidup pada inang sehingga seluruh hidupnya berfungsi sebagai parasit dan merupakan ektoparasit yang ditemukan menyerang insang ikan dan jarang ditemukan pada permukaan tubuh ikan. Ikan yang diserang parasit ini biasanya akan menjadi kurus dan kulitnya tidak kelihatan bening lagi. Kulit juga terlihat pucat, bintik-bintik merah di bagian tertentu, produksi lendir tidak normal, dan pada sebagian atau seluruh tubuh berwarna gelap, sisik dan kulit terkelupas danrespirasi terganggu (ikan kelihatan megapmegap seperti kekurangan oksigen), juga ikan sering terlihat menggosok-gosokkan badannya ke dasar atau pematang kolam serta benda-benda keras lain di sekitarnya (Kordi,
2004).
2) Gyrodactylus sp.
Gyrodactylus sp. adalah ektoparasit yang sering menyerang ikan pada bagian kulit maupun insang (Klinger &
Floyd, 1998 dalam Purwoko, 2004). Organisme jenis ini
dapat diisolasi dari permukaan tubuh ikan, insang, dan sirip (Anonim, 2009). Ikan yang terserang biasanya banyak mengeluarkan lendir, warna tubuhnya pucat, ikan lemas tidak suka bergerak dan siripnya kuncup, insang pucat, pertumbuhan ikan terhambat, nafsu makan ikan berkurang, maka dapat dipastikan ikan tersebut terserang penyakit ini
(Kordi, 2004).
c. Ektoparasit Jenis Crustacea
1) Learnea sp.
Learnea sp. merupakan parasit berjangkar, pada stadium dewasa menghujamkan kepalanya ke jaringan badan ikan dengan kuat sekali. Tubuh Learnea sp. memanjang seperti cacing, pada bagian kepalanya terdapat empat tonjolan seperti tanduk-tanduk (Daelami, 2001). Parasit menempel pada tutup insang, sirip atau pada mata, setelah 15 menit kemudian terlihat luka-luka di tempat penyerangan tersebut. Pada umumnya infeksi Learnea sp. ditandai oleh kehilangan berat badan akibat turunnya nafsu makan (Kordi,
2004).
2) Ergasiliosis sp.
Ergasiliosis sp. merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh ektoparasit genus Ergasilus. Ikan yang terserang organisme ini biasanya operkulum membuka dan tidak menutup secara sempurna, selain itu menyerang organ lain seperti sirip dan jaringan dekat mata. Akibatnya, terjadi kelainan bentuk insang, penyempitan pembuluh darah, kematian jaringan insang dan jaringan tubuh, produksi lendir yang berlebihan, dan dapat mengakibatkan tingginya mortalitas pada ikan (Tim Karya Tani Mandiri, 2009).
3) Caligusias sp.
Ikan yang terserang penyakit parasit ini akan terlihat adanya parasit yang menempel pada permukaan tubuh ikan, karena permukaan tubuh dan sirip merupakan organ target dari parasit ini. Penularannya biasanya melalui ikan budidaya yang terinfeksi (kontak langsung), air mengandung larva parasit dan ikan liar sebagai carrier (Tim Karya Tani
Mandiri, 2009).
4) Argulus sp.
Argulus sp. merupakan ektoparasit sejenis udang renik yang mempunyai bentuk tubuh bulat pipih seperti kutu, sehingga sering disebut sebagai kutu ikan. Tubuhnya dilengkapi dengan pengait untuk mengaitkan tubuhnya pada inang. Ciri ikan yang terserang penyakit ini adalah tubuhnya kurus, lemah, dan kurang darah akibat dihisap darahnya. Luka bekas alat hisap inilah yang merupakan bagian yang mudah diserang bakteri dan jamur, sehingga dapat terjadi infeksi sekunder yang menyebabkan ikan akan mengalami kematian masal (Afrianto & Liviawaty, 1992 dalam Rokhmawati, 2006). Argulus sp. selain menyerang insang juga menyerang pada bagian tubuh (Klinger & Floyd, 1998 dalam Mukaromah, 2011).
Ciri-Ciri Ikan Lele Dumbo Yang Terserang Penyakit
Lele dumbo (C.gariepinus) yang terserang penyakit dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda yang ditunjukkan oleh aktifitas yang dilakukannya. Adapun ciri-ciri lele dumbo (C.gariepinus) yang terserang hama dan penyakit antara lain ikan terlihat pasif, lemah, dan kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga cenderung mengapung di permukaan air, nafsu makan menurun bahkan pada ikan sangat lemah tidak ada nafsu makan sama sekali, ikan mengalami kesulitan untuk bernafas (megap-megap), dan mempunyai reaksi lambat bahkan sering dijumpai ikan tidak bereaksi sama sekali. Adapun ciri lain, yaitu tubuh ikan tidak licin lagi karena selaput lendirnya telah berkurang atau habis sehingga ikan mudah ditangkap. Pada bagian-bagian tertentu dari tubuh ikan dapat terlihat pendarahan terutama di dada, perut, dan pangkal sirip. Pendarahan ini menunjukkan bahwa tingkat serangan penyakit sudah tinggi. Sirip punggung, dada, dan ekor mengalami rusak serta pecah-pecah, sering pula sirip hanya tinggal tulang yang kerasnya saja. Insang mengalami kerusakan dan tidak berfungsi lagi, sehingga ikan sering terlihat mengalami kesulitan untuk bernafas. Warna insang yang semula merah segar berubah menjadi keputih-putihan atau kebiru-biruan. Jika bagian perutnya dibelah akan terlihat organ hati menjadi berwarna kekuningkuningan dan ususnya agak rapuh (Afrianto & Liviawaty, 1992 dalam
Purwoko, 2004).
Faktor Penyebab Penyakit Pada Lele Dumbo
Dalam membudidayakan ikan lele dumbo, sering mendapat kendala karena serangan penyakit. Faktor penyebab penyakit atau peristiwa yang memicu terjadinya serangan penyakit antara lain patogen, stres, kekurangan gizi, pemberian pakan yang berlebihan, dan kualitas air.
a. Patogen
Patogen merupakan organisme yang dapat menyebabkan penyakit, yang termasuk patogen di antaranya yaitu bakteri, jamur, virus, dan protozoa (Tim Karya Tani Mandiri, 2009).
b. Stres
Semua perubahan pada lingkungan dianggap sebagai penyebab stres bagi ikan dan untuk itu diperlukan adanya adaptasi dari ikan. Stres
dapat menyebabkan ikan menjadi shok, tidak mau makan, dan
meningkatnya kepekaan terhadap penyakit (Kordi, 2004).
c. Kekurangan Gizi
Ikan yang kekurangan gizi juga merupakan sumber dan penyebab penyakit. Pakan yang kandungan proteinnya rendah akan mengurangi laju pertumbuhan, proses reproduksi kurang sempurna, dan dapat menyebabkan ikan menjadi lebih mudah terserang penyakit (Kordi,
2004).
d. Pemberian Pakan yang Berlebihan
Pemberian pakan yang berlebihan dapat menyebabkan ikan mengalami kekenyangan yang berlebihan sehingga usus ikan mudah pecah. Pakan yang berlebihan dan tidak habis dimakan oleh ikan akan tertimbun di dasar kolam, dengan demikian akan mempercepat penurunan kualitas air. Pakan merupakan sumber bahan organik yang bila mengalami dekomposisi akan menjadi amonia, sedangkan konsentrasi amonia yang berlebihan dapat menyebabkan timbulnya keracunan pada ikan (Kordi, 2004).
e. Kualitas Air
Kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha budidaya perikanan. Kualitas dan kuantitas air yang memenuhi syarat merupakan kunci keberhasilan dalam budidaya ikan, karena air merupakan tempat hidup bagi ikan (Kordi, 2004).
Kualitas air untuk lele dumbo (C. gariepinus)
Kualitas air untuk budidaya ikan lele dumbo merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air antara lain faktor fisika, kimia, dan biologi. parameter fisika dan kimia yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan antara lain suhu, pH, dan oksigen terlarut.
a. Suhu
Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu dan dapat menekan laju pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sangat drastis. Kisaran suhu optimum bagi kehidupan ikan lele dumbo 25-28˚C (Pamunjtak, 2010). Menurut Suyanto
(2007) suhu air untuk budidaya ikan lele dumbo adalah 24-28˚C.
b. pH pH merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan sangat berperan pada organisme perairan dalam keadaan terlarut, sehingga dapat digunakan untuk mengukur baik buruknya kualitas perairan. Kisaran pH yang ideal untuk kehidupan budidaya perikanan ikan lele dumbo berkisar antara 6,5 sampai 9 (Pamunjtak, 2010).
c. DO (Kadar Oksigen Terlarut)
Kandungan oksigen terlarut dalam air merupakan komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya (Kordi, 2004).
Sebagian besar ikan membutuhkan oksigen terlarut sebanyak 5ppm. Idealnya batas pertumbuhan ikan adalah 5 ppm (Sitanggang, 2002 dalam Mukaromah, 2011). Oksigen terlarut untuk budidaya ikan lele dumbo adalah 3 ppm (Khairuman & Amri, 2012).
0 comments:
Post a Comment