Kesehatan Ekosistem dan Pengelolaan Sumberdaya Laut
1. Kompleksitas Pemanfaatan Ekosistem Laut
Kebanyakan sumberdaya hayati di muka bumi ditemukan dalam lokasi-lokasi geografis tertentu, seperti wilayah pesisir, sungai, danau atau bagian perairan laut dalam. Saat ini, sekitar 3 milyar manusia hidup di sekitar wilayah-wilayah yang kaya sumberdaya hayati dan memiliki ketergantungan pada sumberdaya hayati tersebut, baik untuk sebagian ataupun keseluruhan dari kebutuhan bahan makanannya atau sebagai bahan mentah bagi kegiatan industri. Sebagai konsekuensi dari keadaan ini adalah kebanyakan limbah, industri maupun rumah tangga, dan berbagai jenis perubahan dalam ekosistem serta kerusakan habitat yang ditimbulkan oleh tingginya populasi manusia di sekitar wilayah-wilayah produktif tersebut. Padahal, wilayah-wilayah ini memiliki nilai-nilai penting dalam hal biologi dan ekonomi yang secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia.
Oleh karena masalah kualitas lingkungan menjadi masalah global saat ini, jelas bahwa penting untuk segera mengimplementasikan prosedur-prosedur penilaian dampak ekologis yang dapat diterima secara luas (internasional) untuk mengelola masalah-masalah tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa pencemaran tidak mengenal batas negara, lokasi kehilangan sumberdaya hayati dan biodiversitas, memiliki dampak kesehatan manusia yang meluas serta tidak mengenal perbedaan aspirasi politik rakyat dan pemerintahan negara untuk pengendalian dan penanggulangannya.
Dampak pada kesehatan ekosistem dan manusia, baik oleh sebab alami maupun oleh hasil aktifitas manusia (anthropogenic) merupakan masalah penting yang harus segera diatasi dan merupakan isu internasional. Hal ini nampak dari hasil studi ekonomi beberapa waktu lalu, skala kerugian yang ditimbulkan oleh masalah kerusakan ekosistem sebesar 12,6 Trilliun Dollar AS/tahun (Wilayah Pesisir), 6,6 Trilliun Dollar AS/tahun (Sungai, Rawa dan Danau) dengan jumlah rata-rata global mencapai nilai 33,3 Trilliun Dollar AS/tahun (Costanza et al., 1997).
Stressor lingkungan utama, termasuk di dalamnya bahan-bahan kimia pencemar dari sektor industri, peningkatan radiasi ultra violet, pengayaaan atau pemiskinan nutrien, hypoxia, gangguan pada habitat dan meningkatnya jumlah jenis penyakit baru, terus bertambah baik dalam hal jumlah frekuensi kejadian maupun tingkat keparahan dampak yang ditimbulkan. Hal ini secara jelas mengindikasikan bahwa dampak dari stressor lingkungan telah dirasakan oleh seluruh hirarki organisasi biologis, dari level molekuler dan seluler, level organisme dan populasi, hingga level komunitas dan ekosistem.
Akan tetapi, hingga saat ini pemahaman kita dalam proses pemulihan ekosistem (ecosystem recovery) masih terbatas. Di masa lalu, kerusakan lingkungan sebagian besar dinyatakan sebagai akibat atau sebagai respon akut terhadap bencana-bencana utama, seperti kecelakaan industri nuklir Bhopal, kecelakaan kapal tanker Amoco Cadiz dan Exxon Valdez, serta kasus Teluk Buyat akibat kesalahan dalam pengelolaan limbah tambang emas. Keseluruh dampak ini umumnya diukur dalam konteks kesehatan manusia dan perubahan-perubahan nyata seperti hilangnya populasi atau komunitas tertentu. Akan tetapi, pemaparan jangka panjang atau kronik organisme terhadap stressor lingkungan, termasuk bahan kimia pencemar dan faktor-faktor anthropogenik, sangat jarang yang secara langsung memperlihatkan dampak cepat yang merusak atau mematikan. Umumnya, dampak akan timbul secara perlahan, bertahap, tidak terlihat dan sangat sulit untuk dilepaskan dari proses dan dampaknya pada perubahan lingkungan alami. Skala waktu untuk timbulnya suatu dampak kronik dapat dalam hitungan dekade, sehingga kurang menarik minat untuk menelaahnya, walaupun penelaahan terhadap dampak lingkungan telah dimulai sejak awal 1960-an.
Isu utama dalam konteks kerusakan ekosistem saat ini meliputi: industrialisasi global, peningkatan populasi manusia dan ancaman terselubung dari urbanisasi, yang kesemuanya menjadi sumber utama pencemaran. Sulitnya melepaskan dampak perubahan jangka panjang dari seluruh aktifitas manusia ini, membutuhkan dukungan dan kerjasama internasional dalam hal pembiayaan dan transfer teknologi ramah lingkungan bagi negara-negara berkembang dalam rangka mempromosikan industri berkelanjutan dengan prinsip-prinsip mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse and recycle).
2. Kesehatan Ekosistem
Konsep kesehatan ekosistem (ecosystem health) memiliki banyak keterkaitan dengan kesehatan manusia. Konsep ini mulai diajukan pada 1992 saat berlangsungnya the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) dan Convention on Biological Diversity (CBD) yang keduanya bertujuan mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Konsep kesehatan ekosistem dibangun di atas dasar prinsip kehati-hatian dan penerapan pendekatan ekosistem melalui pengelolaan terpadu terhadap dampak aktifitas manusia pada ekosistem agar tercapai pemanfaatan berkelanjutan dalam hal barang dan jasa yang disediakan ekosistem dengan tetap memelihara struktur, fungsi dan keutuhan ekosistem. Pendekatan ekosistem telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebijakan dan kegiatan dari berbagai konvensi, instrumen pengelolaan dan badan-badan internasional (misal: CBD, EC, OSPAR, HELCOM, FAO, European Marine Strategy, dsbnya).
Untuk dapat melakukan pemantauan dan penilaian terhadap perubahan dan kondisi dan kecenderungan ekosistem laut dan komponennya, maka dibutuhkan penetapan sistem koheren dari target dan titik-titik acuan (referensi) yang melibatkan indikator-indikator untuk membantu proses konservasi dan restorasi kualitas ekologi, dimana perlu. Sistem dalam isu-isu ekologis dan tujuan kualitas ekologi harus ditetapkan, sesuai dan mencakup seluruh komponen dari ekosistem laut tertentu yang terkena dampak dari berbagai hasil aktifitas manusia, sehingga memudahkan untuk mengklasifikasi status kesehatan ekosistem secara tepat (misalnya: Baik, Sedang atau Kurang) dibandingkan dengan lokasi acuan (reference point). Selain itu, dibutuhkan untuk menetapkan hubungan sebab-akibat, berdasarkan analisis rantai sebab-akibat (Gambar 20) antara aktifitas-aktifitas manusia yang dapat menyebabkan dampak serius terhadap satu (atau lebih) komponen ekosistem, sehingga aturan pengelolaan harus ditujukan pada akar masalah yang akan mampu menurunkan dampak-dampak merusak bagi ekosistem.
Kesehatan didefinisikan sebagai “suatu keadaan dimana organisme fit dan dalam kondisi baik”. Dalam konteks organisasi atau sistem, maka dikatakan ’berfungsi dengan baik’. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa kondisi kerusakan serius (tidak dapat pulih) tidak terjadi, maka harus diambil tindakan kehati-hatian/precautions (Hopkins, 2005). Dalam konteks kesehatan ekosistem, suatu ekosistem dikatakan sehat apabila berada dalam kondisi dan berfungsi dengan baik, berkelanjutan dalam memelihara struktur/organisasi (spesies dan populasi di dalamnya) dan fungsi/vigor (aliran enerji dan bahan) dari waktu ke waktu dalam menghadapi tekanan eksternal (resilience) (Costanza and Mageau, 1999). Suatu ekosistem yang sehat adalah yang mampu secara aktif menghasilkan sumberdaya, memelihara organisasi biologis dan aliran nutrient atau bahan-bahan yang dibutuhkan, serta mampu bertahan dan memiliki daya pulih terhadap tekanan-tekanan yang senantiasa hadir, walaupun hal ini merupakan konsep normatif yang melibatkan aspek interpretasi manusia terhadap nilai-nilai sebuah ekosistem secara keseluruhan. Misalnya, produktifitas dari suatu ekosistem estuaria dapat mengalami peningkatan akibat eutrofikasi, namun peningkatan ini dapat berupa pertumbuhan yang sangat cepat dari organisme-organisme kecil yang merugikan organisme-organisme besar yang mungkin saja berusia lebih panjang dan lebih berharga bagi manusia. Dari perspektif ini, kesehatan estuaria tersebut mengalami penurunan sebagai akibat pengayaan nutrien dan berbarengan dengan menurunnya ketersediaan cahaya serta hilangnya habitat-habitat yang menghasilkan keanekaragaman, misalnya ikan-ikan dan udang yang bernilai ekonomis tinggi. Umumnya, ekosistem yang telah mengalami eutrofikasi mengalami penurunan keanekagaman hayati yang memiliki organisasi baik dan lebih lambat dalam proses pemulihannya dari dampak stressor lingkungan (Ulanowicz, 1997). Indikator kesehatan ekosistem (US.EPA, 2002) : kandungan bahan pencemar dalam air, oksigen terlarut, kondisi habitat pesisir, eutrofikasi, kandungan bahan pencemar sedimen, indeks bentik dan kandungan bahan pencemar dalam jaringan tubuh biota/komoditas.
Perhatian pada kesehatan ekosistem laut dan samudera bukan hal baru. Contohnya, Komisi Oseanografi Antar-negara (UNESCO – IOC : intergovernmental oceanographic commission) telah melakukan aktifitas penelaahan kesehatan samudera (HOTO: health of ocean observations) selama beberapa dekade, termasuk pembentukan panel HOTO beberapa tahun lalu, yang kemudian dikembangkan menjadi sistem observasi samudera global (GOOS: global ocean observing system) dan panel observasi pesisir dan samudera (COOP: coastal oceans observations panel).
Modul GOOS dari HOTO memberikan dasar untuk penilaian kondisi dan kecenderungan lingkungan laut yang berkaitan dengan dampak aktifitas manusia, termasuk peningkatan resiko kesehatan manusia, bahaya bagi sumberdaya laut, perubahan siklus alami dan kesehatan samudera secara umum. Istilah kesehatan samudera merupakan definisi untuk tujuan operasional dalam modul GOOS yang merefleksikan kondisi lingkungan laut dari kemungkinan terjadinya dampak buruk yang disebabkan oleh hasil berbagai aktifitas manusia, khususnya mobilisasi bahan pencemar dan masuknya patogen manusia ke dalam lingkungan laut (IOC, 2001). Kondisi ini dimaksudkan sebagai status lautan kontemporer, prognosis bagi kemajuan atau rusaknya kualitas wilayah lautan: http://ioc.unesco.org/goos/docs/GOOS_099_HOTO_design_plan_3.pdf.
1. Kompleksitas Pemanfaatan Ekosistem Laut
Kebanyakan sumberdaya hayati di muka bumi ditemukan dalam lokasi-lokasi geografis tertentu, seperti wilayah pesisir, sungai, danau atau bagian perairan laut dalam. Saat ini, sekitar 3 milyar manusia hidup di sekitar wilayah-wilayah yang kaya sumberdaya hayati dan memiliki ketergantungan pada sumberdaya hayati tersebut, baik untuk sebagian ataupun keseluruhan dari kebutuhan bahan makanannya atau sebagai bahan mentah bagi kegiatan industri. Sebagai konsekuensi dari keadaan ini adalah kebanyakan limbah, industri maupun rumah tangga, dan berbagai jenis perubahan dalam ekosistem serta kerusakan habitat yang ditimbulkan oleh tingginya populasi manusia di sekitar wilayah-wilayah produktif tersebut. Padahal, wilayah-wilayah ini memiliki nilai-nilai penting dalam hal biologi dan ekonomi yang secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia.
Oleh karena masalah kualitas lingkungan menjadi masalah global saat ini, jelas bahwa penting untuk segera mengimplementasikan prosedur-prosedur penilaian dampak ekologis yang dapat diterima secara luas (internasional) untuk mengelola masalah-masalah tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa pencemaran tidak mengenal batas negara, lokasi kehilangan sumberdaya hayati dan biodiversitas, memiliki dampak kesehatan manusia yang meluas serta tidak mengenal perbedaan aspirasi politik rakyat dan pemerintahan negara untuk pengendalian dan penanggulangannya.
Dampak pada kesehatan ekosistem dan manusia, baik oleh sebab alami maupun oleh hasil aktifitas manusia (anthropogenic) merupakan masalah penting yang harus segera diatasi dan merupakan isu internasional. Hal ini nampak dari hasil studi ekonomi beberapa waktu lalu, skala kerugian yang ditimbulkan oleh masalah kerusakan ekosistem sebesar 12,6 Trilliun Dollar AS/tahun (Wilayah Pesisir), 6,6 Trilliun Dollar AS/tahun (Sungai, Rawa dan Danau) dengan jumlah rata-rata global mencapai nilai 33,3 Trilliun Dollar AS/tahun (Costanza et al., 1997).
Stressor lingkungan utama, termasuk di dalamnya bahan-bahan kimia pencemar dari sektor industri, peningkatan radiasi ultra violet, pengayaaan atau pemiskinan nutrien, hypoxia, gangguan pada habitat dan meningkatnya jumlah jenis penyakit baru, terus bertambah baik dalam hal jumlah frekuensi kejadian maupun tingkat keparahan dampak yang ditimbulkan. Hal ini secara jelas mengindikasikan bahwa dampak dari stressor lingkungan telah dirasakan oleh seluruh hirarki organisasi biologis, dari level molekuler dan seluler, level organisme dan populasi, hingga level komunitas dan ekosistem.
Akan tetapi, hingga saat ini pemahaman kita dalam proses pemulihan ekosistem (ecosystem recovery) masih terbatas. Di masa lalu, kerusakan lingkungan sebagian besar dinyatakan sebagai akibat atau sebagai respon akut terhadap bencana-bencana utama, seperti kecelakaan industri nuklir Bhopal, kecelakaan kapal tanker Amoco Cadiz dan Exxon Valdez, serta kasus Teluk Buyat akibat kesalahan dalam pengelolaan limbah tambang emas. Keseluruh dampak ini umumnya diukur dalam konteks kesehatan manusia dan perubahan-perubahan nyata seperti hilangnya populasi atau komunitas tertentu. Akan tetapi, pemaparan jangka panjang atau kronik organisme terhadap stressor lingkungan, termasuk bahan kimia pencemar dan faktor-faktor anthropogenik, sangat jarang yang secara langsung memperlihatkan dampak cepat yang merusak atau mematikan. Umumnya, dampak akan timbul secara perlahan, bertahap, tidak terlihat dan sangat sulit untuk dilepaskan dari proses dan dampaknya pada perubahan lingkungan alami. Skala waktu untuk timbulnya suatu dampak kronik dapat dalam hitungan dekade, sehingga kurang menarik minat untuk menelaahnya, walaupun penelaahan terhadap dampak lingkungan telah dimulai sejak awal 1960-an.
Isu utama dalam konteks kerusakan ekosistem saat ini meliputi: industrialisasi global, peningkatan populasi manusia dan ancaman terselubung dari urbanisasi, yang kesemuanya menjadi sumber utama pencemaran. Sulitnya melepaskan dampak perubahan jangka panjang dari seluruh aktifitas manusia ini, membutuhkan dukungan dan kerjasama internasional dalam hal pembiayaan dan transfer teknologi ramah lingkungan bagi negara-negara berkembang dalam rangka mempromosikan industri berkelanjutan dengan prinsip-prinsip mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse and recycle).
2. Kesehatan Ekosistem
Konsep kesehatan ekosistem (ecosystem health) memiliki banyak keterkaitan dengan kesehatan manusia. Konsep ini mulai diajukan pada 1992 saat berlangsungnya the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) dan Convention on Biological Diversity (CBD) yang keduanya bertujuan mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Konsep kesehatan ekosistem dibangun di atas dasar prinsip kehati-hatian dan penerapan pendekatan ekosistem melalui pengelolaan terpadu terhadap dampak aktifitas manusia pada ekosistem agar tercapai pemanfaatan berkelanjutan dalam hal barang dan jasa yang disediakan ekosistem dengan tetap memelihara struktur, fungsi dan keutuhan ekosistem. Pendekatan ekosistem telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebijakan dan kegiatan dari berbagai konvensi, instrumen pengelolaan dan badan-badan internasional (misal: CBD, EC, OSPAR, HELCOM, FAO, European Marine Strategy, dsbnya).
Untuk dapat melakukan pemantauan dan penilaian terhadap perubahan dan kondisi dan kecenderungan ekosistem laut dan komponennya, maka dibutuhkan penetapan sistem koheren dari target dan titik-titik acuan (referensi) yang melibatkan indikator-indikator untuk membantu proses konservasi dan restorasi kualitas ekologi, dimana perlu. Sistem dalam isu-isu ekologis dan tujuan kualitas ekologi harus ditetapkan, sesuai dan mencakup seluruh komponen dari ekosistem laut tertentu yang terkena dampak dari berbagai hasil aktifitas manusia, sehingga memudahkan untuk mengklasifikasi status kesehatan ekosistem secara tepat (misalnya: Baik, Sedang atau Kurang) dibandingkan dengan lokasi acuan (reference point). Selain itu, dibutuhkan untuk menetapkan hubungan sebab-akibat, berdasarkan analisis rantai sebab-akibat (Gambar 20) antara aktifitas-aktifitas manusia yang dapat menyebabkan dampak serius terhadap satu (atau lebih) komponen ekosistem, sehingga aturan pengelolaan harus ditujukan pada akar masalah yang akan mampu menurunkan dampak-dampak merusak bagi ekosistem.
Kesehatan didefinisikan sebagai “suatu keadaan dimana organisme fit dan dalam kondisi baik”. Dalam konteks organisasi atau sistem, maka dikatakan ’berfungsi dengan baik’. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa kondisi kerusakan serius (tidak dapat pulih) tidak terjadi, maka harus diambil tindakan kehati-hatian/precautions (Hopkins, 2005). Dalam konteks kesehatan ekosistem, suatu ekosistem dikatakan sehat apabila berada dalam kondisi dan berfungsi dengan baik, berkelanjutan dalam memelihara struktur/organisasi (spesies dan populasi di dalamnya) dan fungsi/vigor (aliran enerji dan bahan) dari waktu ke waktu dalam menghadapi tekanan eksternal (resilience) (Costanza and Mageau, 1999). Suatu ekosistem yang sehat adalah yang mampu secara aktif menghasilkan sumberdaya, memelihara organisasi biologis dan aliran nutrient atau bahan-bahan yang dibutuhkan, serta mampu bertahan dan memiliki daya pulih terhadap tekanan-tekanan yang senantiasa hadir, walaupun hal ini merupakan konsep normatif yang melibatkan aspek interpretasi manusia terhadap nilai-nilai sebuah ekosistem secara keseluruhan. Misalnya, produktifitas dari suatu ekosistem estuaria dapat mengalami peningkatan akibat eutrofikasi, namun peningkatan ini dapat berupa pertumbuhan yang sangat cepat dari organisme-organisme kecil yang merugikan organisme-organisme besar yang mungkin saja berusia lebih panjang dan lebih berharga bagi manusia. Dari perspektif ini, kesehatan estuaria tersebut mengalami penurunan sebagai akibat pengayaan nutrien dan berbarengan dengan menurunnya ketersediaan cahaya serta hilangnya habitat-habitat yang menghasilkan keanekaragaman, misalnya ikan-ikan dan udang yang bernilai ekonomis tinggi. Umumnya, ekosistem yang telah mengalami eutrofikasi mengalami penurunan keanekagaman hayati yang memiliki organisasi baik dan lebih lambat dalam proses pemulihannya dari dampak stressor lingkungan (Ulanowicz, 1997). Indikator kesehatan ekosistem (US.EPA, 2002) : kandungan bahan pencemar dalam air, oksigen terlarut, kondisi habitat pesisir, eutrofikasi, kandungan bahan pencemar sedimen, indeks bentik dan kandungan bahan pencemar dalam jaringan tubuh biota/komoditas.
Perhatian pada kesehatan ekosistem laut dan samudera bukan hal baru. Contohnya, Komisi Oseanografi Antar-negara (UNESCO – IOC : intergovernmental oceanographic commission) telah melakukan aktifitas penelaahan kesehatan samudera (HOTO: health of ocean observations) selama beberapa dekade, termasuk pembentukan panel HOTO beberapa tahun lalu, yang kemudian dikembangkan menjadi sistem observasi samudera global (GOOS: global ocean observing system) dan panel observasi pesisir dan samudera (COOP: coastal oceans observations panel).
Modul GOOS dari HOTO memberikan dasar untuk penilaian kondisi dan kecenderungan lingkungan laut yang berkaitan dengan dampak aktifitas manusia, termasuk peningkatan resiko kesehatan manusia, bahaya bagi sumberdaya laut, perubahan siklus alami dan kesehatan samudera secara umum. Istilah kesehatan samudera merupakan definisi untuk tujuan operasional dalam modul GOOS yang merefleksikan kondisi lingkungan laut dari kemungkinan terjadinya dampak buruk yang disebabkan oleh hasil berbagai aktifitas manusia, khususnya mobilisasi bahan pencemar dan masuknya patogen manusia ke dalam lingkungan laut (IOC, 2001). Kondisi ini dimaksudkan sebagai status lautan kontemporer, prognosis bagi kemajuan atau rusaknya kualitas wilayah lautan: http://ioc.unesco.org/goos/docs/GOOS_099_HOTO_design_plan_3.pdf.
0 comments:
Post a Comment