Budidaya udang merupakan Usaha Budidaya yang dikenal
hanya dilakukan pada kawasan pantai dengan salinitasi air diantara 15-35 ppt
(konkeo,1994) yang merupakan kondisi salinitasi perairan yang paling ideal
untuk budidaya pembesaran di tambak karena memberikan kondisi lingkungan yang
sesuai dengan tingkat escomotic cairan tubuh udang. Pemeliharaan udang pada
salitasi terlalu tinggi atau terlalu rendah dari kisaran tersebut mengakibatkan
produktifitas tambak rendah.
Namun demikian, dengan teknik budidaya yang menerapkan
BMPs (Best Management Practices),
maka budidaya udang masih dapat dilaksanakan dengan kondisi salinitas air
rendah, bahkan hingga 2 ppt dan masih memberikan hasil, seperti yang dilakukan
di Sidoarjo, Demak, Gresik, Lamongan, dan Kendal. Penerapan BMPs (Best Management Practices) pada budidaya
udang meliputi meliputi perbaikan kualitas tanah dasar tambak, penggunaan benih
berkualitas baik dengan standar SPF (Spesific
Pathogen Free), pengelolaan air yang baik, pengelolaan pakan dengan dosis
yang tepat, penggunaan petak biofilter serta pengelolaan limbah dari
pencemaran.
Kawasan tambak untuk budidaya udang baik udang windu
maupun udang vaname dengan salinitas rendah berada pada kawasan estuarine yaitu kawasan tambak yang
masih terkena pengaruh iklim pantai. Kawasan tambak ini bisa berada hingga 30
km dari pantai tetapi masih ada pengaruhnya pasang surut air baik melalui
sungai maupun saluran. Sebagai contoh kawasan ini adalah kawasan tambak di
daerah Kabupaten Gresik dan Lamongan di sisi aliran Sungai Bengawan Solo. Pada
musim kemarau, aliran air pasang pada Sungai Bengawan Solo masuk kedaratan
hingga puluhan kilometer, sehingga menyebabkan salintas air payau sekitar 1-2
ppt. berdasrkan kajian di lapangan ternyata udang windu maupun vaname masih
dapt hidup dan tumbuh pada tambak dengan salinitas air mencapai 1 ppt.
Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah kadar
garam air tambak yang rendah tersebut berasal dari dari kadar garam air laut
yang terus mengalami penurunan atau pengenceran karena mendapat tambahan air
tawar dari air hujan maupun air sungai. Kadar garam yang rendah pada tambak
udang bukan berasal dari cara menambahkan garam krosok atau NaCl pada air
tambak. Hal ini diduga penambahan garam krosok untuk menaikan kadar garam pada
media air untuk budidaya udang, tidak cukup melengkapi kebutuhan anion dan
kation yang diperlukan untuk kehidupan dan pertumbuhan udang
PERSIAPAN TAMBAK
Persiapan tambak
dilalukan adalah perbaikan konstruksi tambak untuk membuat tambak kedap, tidak
banyak kotor sehingga dapat mempertahankan ketinggian air minimal 60 cm pada
teknologi sederhana serta mencegah masuknya organisme pengganggu seperti
kepiting. Perbaikan kualitas tanah dasar dilakukan dengan cara pengeringan.
Untuk memudahkan pengeringan dibuat caren (parit) keliling, dibagian dalam
pematang.
Lumpur organik yang ada di tambak pada saat kering
terlihat berbeda dengan tanah dasar tambak dan selanjutnya diangkat dari dasar
tambak dengan cara pengupasan. Untuk mempercepat bahan organik dan penguapan
gas beracun dilakukan perbaikan aerasi tanah dengan cara pembalikan tanah.
Pengapuran dilakukan bila nila pH tanah kurang dari 6,5. Kualitas tanah dasar tambak
siap dilakukan penebaran benih bila tealh mencapai pH > 6.5 dan redok
potensial lebih -50 MEV, serta warna terlihat sudah normal dan tidak menunjukan
warna kehitaman. Pengisian air ke petak pembesaran berasal dari petak tendon
atau reservoir selama minimal 3 hari. Ketinggian air petak pembesaran udang
minimal 60 cm.
AKLIMASI SALINITAS DAN
PENEBARAN BENIH
Aklimasi salinitas pada media pemeliharaan benih
marupakan kunci utama untuk menekan angka kematian. Perbedaan salinitas antara
media pemeliharaan benih dan air tambak maksimum 3ppt lebih rendah atau lebih
tinggi dari air tambak. Salinitas optimum untuk pemeliharaan udang antara 15
hingga 25 ppt. Untuk salinitas dibawah 15 ppt, aklimasi benih dapat dilakukan
lebih rendah maksimum 3 ppt dari salinitas air tambak
Media pemeliharaan benih udang umumnya dengan dengan
salinitas 28-30 ppt. Penurunan salinitas lebih baik dilakukan di bak
pemeliharaan benih yang dimulai setelah larva udang berumur 10-12 12
(PL10-PL12) dengan penambahan air secara bertahap sebesar 2-3 ppt perhari
hingga salinitas media air 15 ppt. Penurunan salinitas media benih selanjutnya
dilakukan secara bertahap 1-2 ppt hingga salinitas yang sesuai dengan salinitas
air tambak. Secara umum untuk aklimasi salinitas media benih menjadi 2 ppt diperlukan
waktu sekitar 15 hari atau benuh berukuran tokolan (PL25). Oleh karena itu
sebelum melakukan aklimasi penurunan salinitas juga sudah diperhitungkan
kepadatan jumlah benih dalam bak.
Setelah salinitas disesuaikan dengan salinitas air
tambak, dilakukan pemanenan dan transportasi ke tambak. Pada proses
transportasi dilakukan dengan penurunan suhu media hingga 240C agar
benih tidak aktif untuk menghindari kanibalisme. Setelah sampai tambak
dilakukan adaptasi suhu sesuai dengan suhu air tambak dengan cara mengapungkan
kantong benih pada air tambak. Setelah sehu naik sama dengan air tambak yang
ditandai benih udang mulai aktif bergerak dilakukan penenyebaran dengan menuang
benih dalam air tambak.
PENGELOLAAN KUALITAS AIR
Untuk memenuhi kriteria kualitas kualitas air yang
baik, maka air yang diambil dari saluran penyedian air dilakukan dengan cara
memompa air dan ditampung dengan petak reservoir
yang dilengkapi dengan biofilter, berupa
ikan bandeng. Setiap penambahan air baru dari sumber air harus dilakukan
sterilisasi dengan kaporit dan telah melaui biofilte.
Parameter kualitas air yang penting yang dilakukan
pengendalian adalah kepadatan plankton dipertahankan pada kecerahan 35-45 cm
dengan warna air hijau muda, coklat muda, hijau kecoklatan. Oksigen terlarut
pada air di dasar tahan dipertahankan minimal 3,5 ppm selama pemeliharaan
dengan pengguanaan kincir. Alkalinitas dipertahankan berkisar 90-140 ppm. Nilai
pH air berkisar 7,8-8,5. Kedalaman air minimal 60 cm dan bahan organic terlarut
minimal 150 ppm.
Permasalahan yang sering terdiri pada budidaya udang
windu dengan salinitas rendah adalah tumbuhnya makroalga dari jenis submerged plant, yang dikenal dengan
gangang. Beberapa spesies yang ditemukan adalah Nitella sp dan Clara sp
yang tumbuh dengan akar di dasar tambak dan batang serta daun pada kolom air
dengan kerapatan yang tinggi. Makroalga tersebut tumbuh memanjang ke atas
hingga permukaan air. Jenis tanaman air lainnya seperti rumput yang dikenal
oleh masyarakat petani adalah rumput asinan.
Dampak positif tanaman makroalga tersebut dapat
menurunkan kandungan bahan organik tanah dan air sehingga dapat mencegah
pembetukan ammonia dan nitrit serta asam sulfide. Disamping itu pada akar
tanaman makroalga tersebut banyak tumbuh cacing dan organisme renik lainya
sebagai bahan pakan utama udang. Namun demikian dampak negatif adalah kerapatan
yang tinggi menyebabkan udang tidak bebas bergerak karena terperangkap serta
membuat kelarutan oksigen pada pagi hari kurang dari 3 ppm pada saat biomassa
makroalga melebihi 10 kg/m2 berat basah.
Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melakukan penebaran ikan herbivora yang mampu memanfaatkan makroalga tersebut
sebagai pakan. Jenis ikan herbivora yang dapat digunakan adalah grass carp (Koan), Nila GIFT, dan
bandeng.
HASIL PANEN
Hasil
penen yang dipeloreh melalui pelaksanaan ujicoba budidaya udang windu pada
tambak salitasi rendah 3 ppt dengan
teknologi semi intensif pada pemeliharaan siklus pertama didapatkan produksi
udang produksi udang setara dengan 1.8 ton/Ha, sedangkan pada siklus II
didapatkan peningkatan produksi menjadi 2.7 ton/Ha. Peningkatan produksi pada
siklus II disebabkan kerana persiapan tambak dilakukan dengan lebih baik, yaitu
dengan pengoperasian beckhoe sehingga
tanah dasar memiliki kualitas yang lebih baik.
Kendala yang dialami pada saat salinitas air rendah
adalah rendahnya nafsu makan, sehingga perlu dilakukan pemberian suplemen
berupa ikan ikan rucah atau daging keong eamas (besusul). Untuk peningktan daya
tubuh udang dilakukan dengan pemberian multivitamin (Vit-C) melaui pakan segar.
Kendala pemberian vitamin adalah sifat vitamin yang mudah larut dan sifat makan
udang yang dengan cara mengerogoti pakan. Oleh karena itu pemberian vitamin
yang dilakukan adalah dengan penggunaan daging kerang yang telah kering
(besusul). Cara aplikasi adalah vitamin dilarutkan dalam air tawar dosis 2-3
gr/ltr/kg daging kerang kering yang telah digiling dengan ukuran butiran 1-2
mm. Selanjutnya daging kerang direndam dalam larutan yang dicampur vitamin.
Selama 0.5-1 jam air akan terserap masuk daging kerang dan siap diberikan pada
udang. Pemberian vitamin dengan pakan segar ini rutin dilakukan 3 hari.
Tabel hasil panen dan biaya produksi selama dua siklus
pemeliharaan
No
|
Uraian
|
Jumlah
|
|
Siklus I
|
Siklus II
|
||
1
|
Padat tebar (ekor/m2)
|
15
|
15
|
2
|
Jumlah tebar
|
90.000
|
90.000
|
3
|
Umur pemeliharaan (hari)
|
105
|
115
|
4
|
Sintasan /SR (%)
|
60.5
|
80.5
|
5
|
Bobot rataan panen
|
23
|
25
|
6
|
Hasil panen (ton/6600 m2)
|
1.250
|
1.875
|
7
|
Hasil produksi (ton/Ha)
|
1.8
|
2.7
|
8
|
Jumlah pakan komersial
|
1.750
|
2.200
|
9
|
Konversi pakan (FCR)
|
1,4
|
1,2
|
10
|
Biaya produksi per kg udang (Rp)
|
37.000
|
28.000
|
11
|
Ukuran size (ekor/kg)
|
44,5
|
40
|
12
|
Harga jual per kg (Rp)
|
49.000
|
55.000
|
13
|
Keuntungan per kg (Rp)
|
13.000
|
27.000
|
14
|
Keuntungan total bersih
|
16.250.000
|
49.059.000
|
Catatan: Biaya produksi per kg udang (biaya penyusutan
iventaris, operasional, dan bunga bank)
0 comments:
Post a Comment