Monday, July 21, 2014

PENGELOLAAN EKSTRAK LIMBAH UDANG (SEBAGAI PENGAWET PADA TAHU

July 21, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment


LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia merupakan negara maritim dengan dua per tiga wilayahnya terdiri dari perairan. Dengan luas seperti itu, Indonesia sebagai negara maritim sangat berpotensi menghasilkan devisa. Salah satu devisa terbesar negara ini adalah udang dan hingga saat ini devisa terbesar di Indonesia adalah udang. Udang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein (21%), lemak (0,2%), vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat kapur dan fosfor.
Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku, udang kering, udang kaleng, dan lain-lain. Limbah kulit udang dapat menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan udang. Limbah udang ini dapat mencemari lingkungan di sekitar pabrik sehingga perlu dimanfaatkan. Selama ini kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak. Padahal 20-30% limbah tersebut mengandung senyawa chitin yang dapat diubah menjadi chitosan. Pada prinsipnya untuk mengawetkan makanan membutuhkan chitosan dengan konsentrasi 1,5 % (dalam 1 liter air dibutuhkan 15 gram chitosan) sedangkan aplikasi chitosan sebagai bahan pengawet dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pencampuran dan perendaman pada bahan pangan seperti tahu. Tahu merupakan suatu produk berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp) dengan cara pengendapan proteinnya dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diijinkan. Tahu sebagai salah satu produk olahan patut dikembangkan untuk mengatasi masalah kekurangan protein bagi masyarakat luas. Hal ini ditunjang oleh harga tahu itu sendiri yang relatif murah dan terjangkau
Kegunaan yang diharapkan dari teknologi ini adalah:
1.      Memberikan solusi kepada masyarakat mengenai pengolahan limbah khususnya limbah kulit udang dengan memanfaatkannya sebagai bahan pengawet alami produk tahu.
2.      Memberikan informasi tentang pemanfaatan kulit udang yang berguna sebagai bahan pengawet yang sehat seperti untuk bahan pengawet tahu secara alami.
TINJAUAN PUSTAKA
Udang Udang adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut, atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua "genangan" air yang berukuran besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan. Udang biasa dijadikan makanan laut (seafood). Banyak crustaceae yang dikenal dengan nama "udang". Misalnya mantis shrimp dan mysid shrimp, keduanya berasal dari kelas Malacostraca sebagai udang sejati, tetapi berasal dari ordo berbeda, yaitu Stomatopoda dan Mysidaceae. Triops longicaudatus dan Triops cancriformis juga merupakan hewan populer di air tawar, dan sering disebut udang, walaupun mereka berasal dari Notostraca, kelompok yang tidak berhubungan.
Kulit Udang Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu : epikutikula, eksokutikula, endokutikula dan epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada lokasinya, di daerah kepala tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian pangkal kaki hanya 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7% zat anorganik yang mengandung 98,5% kalsium. Pada waktu moulting chitin dan protein dari kulit yang lama lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum moulting epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula yang lama, kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan tertimbun ke dalam eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut menjadi sempurna. Pertukaran kalsium antara cairan tubuh dengan air laut berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap dan 79% dikeluarkan . G.3 Chitin dan Chitosan Kata ”kitin” berasal dari bahasa Yunani, yaitu ”chiton”, yang berarti baju rantai besi.
Kitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan ”fugine”. Pada tahun 1823, Odier mengisolasi suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama ”chitin” (Firdaus dkk, 2009). Pada umumnya chitin di alam tidak berada dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Walaupun chitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan chitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah hasil dari pembuatan udang . Chitin (C8H13NO5)n merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa dan mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) dengan ikatan β- glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Chitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas.
Namun dengan modifikasi struktur kimiawinya maka akan diperoleh senyawa turunan chitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik (Srijanto dan Imam, 2009). Salah satu turunan chitin adalah chitosan (C6H11O4N)n suatu polisakarida linier dengan komposisi glukosamin. Chitosan mempunyai rumus kimia poli (2-amino2- dioksi-β-D-Glukosa) dan dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis chitin menggunakan basa kuat (Srijanto dan Imam, 2009). Chitosan berbentuk serpihan putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kadar chitin dalam berat udang, berkisar antara 60-70 % dan bila diproses menjadichitosan menghasilkan yield 15-20 % (Wardaniati, 2009).
Menurut Hardjito (2009) chitosan mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2 dimana gugus hidroksi (OH) pada C-2 digantikan oleh gugus amina (NH2). Proses utama dalam pembuatan chitosan, meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa (Mudhzz, 2010). Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, chitosan mempunyai sifat biodegradabel yaitu mudah terurai secara hayati, tidak beracun, dapat larut dalam larutan asam organik encer, tetapi tidak larut dalam air, larutan alkali pada PH di atas 6,5 dan pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat (Mahmiah, 2005).
Menurut Harini (2003) molekul chitosan bersifat lebih kompak dibandingkan dengan polisakarida lainnya apabila berada dalam larutan asam encer dengan kekuatan ionik rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh densitas muatan yang tinggi. Di dalam larutan berionik tinggi atau bila ke dalam larutan ditambahkan urea, ikatan hidrogen dan gaya elektrostatik pada molekul chitosan terganggu, konformasinya menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel molekul ini menjadikannya dapat membentuk baik konformasi kompak maupun memanjang (polisakarida lain umumnya berbentuk memanjang).
Chitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi chitin, sedangkan chitin sendiri dapat diperoleh dari kulit udang. Produksi kitin biasanya dilakukan dalam tiga tahap yaitu: tahap demineralisasi, penghilangan mineral; tahap deproteinasi, penghilangan protein; dan tahap depigmentasi, pemutihan. Sedangkan chitosan diperoleh dengan deasetilasi chitin yang didapat dengan larutan basa konsentrasi tinggi. Deproteinasi menggunakan natrium hidroksida lebih sering digunakan, karena lebih mudah dan efektif. Pada pemisahan protein menggunakan natrium hidroksida, protein diekstraksi sebagai natrium proteinat yang larut. Pembuatan chitosan dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil (-COCH3) pada gugusan asetil amino chitin menjadi gugus amino bebas chitosan dengan menggunakan larutan basa.
Chitin mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida konsentrasi 40-50% dan suhu yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan chitosan dari chitin. Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu chitosan. Spesifikasi chitin dan chitosan dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Spesifikasi (standart mutu) chitin dan chitosan
Spesifikasi Deskripsi Air 2-10% pada kondisi normal laboratorium Nitrogen 6-7% dalam chitin, 7-8,4% dalam chitosan Derajat deasetilasi < 10% untuk chitin, >70% untuk chitosan Abu < 1,0% Sumber : Muzzarelli (1985) dalam Handayani (2004) Menurut Hardjito (2009) chitosan memiliki beberapa manfaat sebagai berikut :
1.      Penggunaan chitosan pada produk pangan dapat menghindarkan konsumen dari kemungkinan terjangkit penyakit typhus, karenachitosan dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroba patogen penyebab penyakit typhus seperti Salmonella enterica, S. enterica var. Paratyphi-A dan S. enterica var. Paratyphi-B. Chitosan juga dapat menghambat perbanyakan sel kanker lambung manusia dan meningkatkan daya tahan tubuh. Chitosan telah mendapatkan persetujuan dari BPOM No.HK.00.05.52.6581 untuk digunakan dalam produk pangan. Di Amerika chitosan telah mendapat pengesahan sebagai produk GRAS (Generally Recognised As Safe) oleh FDA.
2.        Chitosan dapat menjerat lemak (fat absorber) dan mengeluarkannya bersama kotoran karena chitosan sebagai serat tidak dapat dicerna oleh tubuh, sehingga penggunaan chitosan akan mengurangi resiko terkena kolesterol tinggi
3.        Berfungsi sebagai pelembab, antioksidan, tabir surya pada produk kosmetik. G.4 Protein Menurut Suhardjo dan Clara (1992) protein berasal dari bahasa Yunani (Greek). “Primary, holding first place” yang berarti menduduki tempat yang terutama. Protein terbentuk dari unsur-unsur organik yang hampir sama dengan karbohidrat dan lemak yatu terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan mineral yaitu fosfor, sulfur dan zat besi. Molekul protein tersusun dari satuan-satuan dasar kimia yaitu asam amino. Dalam molekul protein, asam-asam amino ini saling berhubung-hubungan dengan suatu ikatan yang disebut ikatan peptida (-CONH-). Satu molekul protein terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan dapat mencapai ratusan asam amino.
Kebutuhan badan manusia untuk mempertahankan dan memperbaiki tenunan yang sudah tua terus berlangsung selama hidup. Protein dalam jaringan tubuh kita tidak statis, atau tetap. Artinya, sel-sel jaringan tersebut dipecah dan diganti dengan protein baru yang disintesis dari asam amino yang berasal dari makanan dan tenunan dalam tubuh. Apabila seseorang baru saja menjadi donor darah, mengalami menstruasi yang berlebihan, pendarahan yang hebat, kebakaran kulit, TBC kronis, dan sebagainya, maka keperluan proteinnya akan sangat tinggi (Winarno, 1993).
Protein sendiri mempunyai banyak sekali fungsi di dalam tubuh kita. Pada dasarnya protein menunjang keberadaan setiap sel tubuh, proses kekebalan tubuh, sumber energi, pembentukan dan perbaikan sel dan jaringan, sebagai sintesis hormon, enzim, antibodi, pengatur keseimbangan kadar asam basa dalam sel. Menurut Budianto (2001) protein berfungsi sebagai media perambatan impuls syaraf, alat pengangkut dan alat penyimpan, pengatur pergerakan. Semua enzim adalah protein yang bertindak sebagai katalis dalam pencernaan dan metabolisme. Beberapa hormon, khususnya tiroksin, adrenalin, dan insulin yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar hormon pada umumnya terdiri atas protein. Hormon tersebut berfungsi mengatur dan mengkoordinasi keaktifan badan.
Antibodi adalah senyawa yang membantu kemampuan badan untuk melawan infeksi, yaitu masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh (Winarno, 1993). Setiap orang dewasa harus sedikitnya mengkonsumsi 1 g protein per kg berat tubuhnya. Kebutuhan akan protein bertambah pada perempuan yang mengandung dan atlet-atlet. Sumber protein dapat diperoleh dari : daging, ikan, telur, susu, tumbuhan berbiji, suku polong-polongan,kentang.
Menurut Anonymous (2009) kekurangan protein bisa berakibat fatal antara lain:
1.      Kerontokan rambut (rambut terdiri dari 97-100% dari protein – keratin)
2.      Kwasiorkor, penyakit kekurangan protein. Biasanya pada anak-anak kecil yang menderitanya, dapat dilihat dari yang namanyabusung lapar, yang disebabkan oleh filtrasi air di dalam pembuluh darah sehingga menimbulkan odem. Simptom yang lain dapat dikenali adalah: hipotonus, gangguan pertumbuhan, hati lemak. Kekurangan yang terus menerus menyebabkan marasmusdan berkibat kematian. Kelebihan protein dianggap tidak membahayakan. Banyak orang mengkonsumsi lebih dari 200 gr protein per hari tanpa mengalami sakit.
3.      Akan tetapi, beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsumsi protein yang terlalu tinggi dapat berpengaruh tidak baik. Kelebihan protein dalam makanan yang dikonsumsi dirusak dan sebagian besar nitrogennya dikeluarkan dalam bentuk urea. Beban yang harus dikerjakan dalam menyaring dan membuang hasil metabolisme oleh ginjal, meningkat bila konsumsi protein meningkat (Winarno, 1993).
Tahu Tahu merupakan suatu produk yang terbuat dari hasil penggumpalan protein kedelai. Dalam perdagangan dikenal dua jenis tahu, yaitu tahu biasa dan tahu Cina. Pada pembuatan tahu Cina, kedelai direbus terlebih dahulu sebelum direndam dan biasanya mempunyai ukuran lebih besar (Koswara, 1992).
Tahu dikenal masyarakat sebagai makanan sehari-hari yang umumnya sangat digemari serta mempunyai daya cerna yang tinggi. Keuntungan lain pada pembuatan tahu adalah berkurangnya senyawa anti tripsin (tripsin inhibitor) yang terbuang bersama whey dan rusak selama pemanasan. Disamping itu adanya proses pemanasan dapat menghilangkan bau langu kedelai (Koswara, 1992).
Tahu sebagai salah satu produk olahan patut dikembangkan untuk mengatasi masalah kekurangan protein bagi masyarakat luas. Hal ini ditunjang oleh harga tahu itu sendiri yang relatif murah dan terjangkau.Tahu mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi terutama kandungan proteinnya. Komposisi nilai gizi pada 100 gr tahu segar dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini: Tabel.2. Komposisi Nilai Gizi pada 100 gr Tahu Segar Komposisi Jumlah Energi 63 kal Air 86,7 g Protein 7,9 g Lemak 4,1 g Karbohidrat 0,4 g Serat 0,1 g Abu 0,9 g Kalsium 150 mg Besi 0,2 mg Vitamin B1 0,04 mg, Vitamin B2 0,02 mg Niacin 0,4 mg (Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam Suciati, 2003).
Tahu termasuk bahan makanan yang berkadar air tinggi. Besarnya kadar air dipengaruhi oleh bahan penggumpal yang dipakai pada saat pembuatan tahu. Bahan penggumpal asam menghasilkan tahu dengan kadar air lebih tinggi dibanding garam kalsium. Bila dibandingkan dengan kandungan airnya, jumlah protein tahu tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan oleh kadar airnya yang sangat tinggi. Makanan-makanan yang berkadar air tinggi umumnya kandungan protein agak rendah. Selain air, protein juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan bahan mempunyai daya awet rendah. Pengeringan dapat menaikkan daya awet, tetapi menyebabkan bahan berubah sifat dan penggunaannya yaitu tidak dapat digunakan sebagaimana dalam bentuk segar, tetapi dikonsumsi sebagai kripik tahu (Fazani, 2009).
Pada dasarnya proses pembuatan tahu terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan susu kedelai dan penggumpalan proteinnya. Zat yang dapat digunakan sebagai penggumpal (koogulan) adalah jeruk nipis, cuka, larutan asam laktat, larutan CaCI2 atau CaSO4. Beberapa faktor yang mempengaruhi rendaman protein dan mutu tahu adalah : cara penggilingan atau ekstraksi, pemilihan bahan baku, bahan penggumpal dan keadaan sanitasi proses pengolahan pada umumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi secara panas menghasilkan rendaman lebih banyak.
METODE PELAKSANAAN
Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan program ini terdiri atas:
1.      Tahap Persiapan Pada tahap ini kami akan melakukan uji pendahuluan dengan menggunakan pengawet alami Chitosan berbagai dosis untuk mendapatkan dosis terbaik dalam proses pengawetan. Kemudian dilakukan pula uji kadar protein untuk mengetahui peningkatan kadar protein pada tahu yang sudah ditambahkan ekstrak Chitosan. Semua uji dilakukan di Laboratorium.
2.      Tahap Produksi Chitosan Setelah memperoleh dosis terbaik serta pengaruh Chitosan pada protein tahu kami melakukan salah satu pelaksanaan program yaitu tahap produksi yang dimulai dengan:
Mempersiapkan alat dan bahan Alat – alat :
1.      Statif 2. Klem 3. Magnetic stirer 4. Thermometer 5. Pemanas listrik 6. Oven 7. Timbangan analitik 8. Blender 9. Pisau 10.
Alat-alat gelas Bahan – bahan :
1. Aquades 2. NaOH 3. HCl 4. Asam asetat 5. Tahu 6. H2SO4 7. Br 8. Bahan untuk analisa kadar protein 9. Kulit udang Vannamei.
Proses pembuatan chitosan :
Chitosan berasal dari limbah udang atau cangkang udang yang biasanya digunakan sebagai pakan ternak. Dahulu bahkan hingga saat ini masih ada yang memanfaatkan limbah udang ini menjadi pakan ternak. Karena limbah ini jika dibuang begitu saja dapat menimbulkan bau yang amat sangat tidak enak. Oleh karena itu, biasanya limbah udang diolah menjadi pakan.
Chitosan merupakan turunan dari chitin yang dideasetilasi dapat larut dalam larutan asam seperti asam asetat atau asam format. Isolasi secara tradisional chitin dari limbah udang melewati tiga tahapan yaitu demineralisasi, deproteinase dan dekolorisasi. Tiga tahapan tersebut merupakan standard prosedur oada pembuatan chitosan. Aplikasi chitosan sudah dilakukan di berbagai bidang, mulai dari manajemen limbah, pembuatan makanan, obat- obatan dan bioteknologi.
Chitosan juga dapat diaplikasikan pada industri farmasi dan kosmetika karena sifat biodegradabilitas dan biocompabilitas serta kemampuan toksik atau racun rendah Proses pembuatan chitosan biasanya melalui beberapa tahapan yakni pengeringan bahan baku mentah chitosan (ranjungan), pengilingan, penyaringan, deproteinasi, pencucian dan penyaringan, deminarisasi (penghilangan mineral Ca), pencucian, deasilitilisasi, pengeringan dan akhirnya terbentuklah produk akhir berupa chitosan. Pada tahap persiapan, limbah kulit udang dicuci dengan air lalu dikeringkan di dalam oven dengan temperatur 65o C selama 4 jam. Setelah kering, kulit udang dihancurkan di dalam grinder dan diayak untuk mendapatkan bubuk dengan ukuran mesh 50. Kulit udang yang ukurannya melebihi mesh 50 akan dimasukkan kembali ke dalam grinder. Tahap Demineralisasi. Serbuk hasil gilingan kulit udang bersih yang diperoleh diperlakukan dengan HCl 1 N; 1: 5 (w/v), lalu diaduk selama 3-4 jam pada suhu 65o C untuk menghilangkan mineral-mineral. Kemudian dilakukan penyaringan dan pencucian sampai netral lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 65o C. Tahapan Deproteinasi. Selanjutnya dilakukan deproteinasi dengan 3,5 % NaOH; 1 : 10 (w/v) selama 4 – 5 jam pada suhu 65o C sambil diaduk. Lalu disaring dan dicuci dengan air sampai netral.
Tahapan Depigmentasi. Residu yang diperoleh diekstraksi dengan menggunakan aseton untuk menghilangkan zat warna (pigmen). Kemudian dicuci kembali dengan air sampai netral. Residu yang berupa kitin dikeringkan dalam oven pada suhu 65-70o C. Tahapan Deasetilasi. Kitin yang diperoleh dari hasil isolasi tersebut direfluks (deasetilasi) dengan 50 % NaOH; 1 : 10 (w/v) sambil diaduk pada suhu 100o C selama 4 jam. Lalu didinginkan dan dicuci dengan air sampai netral.
Residu adalah kitin yang terdeasetilasi sebagian atau seluruhnya. Lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 65-70o C. 3. Tahap Pengaplikasian Setelah pematangan koordinasi, persiapan telah tercapai dan tahap pembuatan Chitosan telah dilakukan, kami akan mengaplikasikan penambahan ekstrak limbah Chitosan pada tahu. Dalam proses pengaplikasian ini dilakukan pendampingan cara pengunaan Chitosan.
Adapun cara penggunaan seperti di bawah ini:
1.      Melarutkan Chitosan kedalam larutan asam asetat encer (1 %)
2.      Menuangkan larutan Chitosan tersebut ke dalam suatu wadah
3.      Memasukkan tahu kedalam larutan Chitosan dan direndam selama 15 menit. 4. Tahap Monitoring dan Evaluasi Monitoring dilakukan setiap kali produksi yang bertujuan untuk melihat kualitas tahu pada setiap pembelian yang meliputi daya minat konsumen terhadap tahu. Sedangkan pada tahap evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil dari proses penambahan ekstrak Chitosan yang dilakukan pada setiap minggunya. Dari hasil evaluasi nantinya dapat diketahui apakah dengan proses ini sudah benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan program atau masih belum.

1 comment: