Proses pengolahan
yang baik dan benar dapat membuat ikan menjadi awet dan memungkinkan untuk
didistribusikan antar daerah. Pengasapan dan pemanggangan merupakan salah satu
proses pengolahan ikan secara tradisional. Pengolahan tradisional masih
mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai alternatif memeratakan distribusi
antar daerah penghasil dengan daerah konsumen. Hasil uji kesukaan menunjukkan
jika hasil olahan pengasapan lebih disukai daripada hasil olahan pemanggangan.
Ikan merupakan
salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah
didapat, dan harganya murah. Ikan banyak mengandung unsur organik dan anorganik,
yang berguna bagi manusia. Namun ikan juga cepat mengalami proses pembusukan
setelah ditangkap dan mati. Ikan perlu ditangani dengan baik agar tetap dalam
kondisi yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Ikan yang tidak diawetkan hanya
layak untuk dikonsumsi dalam waktu sehari setelah ditangkap. Berbagai cara
pengawetan ikan telah banyak dilakukan, tetapi sebagian diantaranya tidak mampu
mempertahankan sifat-sifat ikan yang alami. Salah satu cara mengawetkan ikan
yang tidak merubah sifat alami ikan adalah pendinginan dan pembekuan.
Pengawetan ikan secara tradisional bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam
tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang
biak. Adapun komposisi kandungan ikan sebagai berikut:
Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan
No
|
Kandungan
|
Besaran (%)
|
1
|
Protein
|
16 – 24
|
2
|
Lemak
|
0,2 – 2,2
|
3
|
Air
|
56 - 80
|
4
|
Mineral (Ca, Na, K, J,
Mn),
Vitamin (A, B, D) dll
|
2,5 – 4,5
|
Sumber: Susanto, 2006.
Subsektor
perikanan dan peternakan merupakan andalan utama sumber pangan dan gizi bagi
masyarakat Indonesia, selain merupakan sumber protein, juga diakui sebagai
“functional food” yang mempunyai arti penting bagi kesehatan karena mengandung
asam lemak tidak jenuh berantai panjang (terutama yang tergolong asam lemak
omega-3), vitamin, serta makro dan mikro mineral (Heruwati, 2002).
Propinsi Jawa
tengah memiliki subsektor perikanan yang meliputi kegiatan usaha perikanan
darat dan perikanan laut. Perikanan darat terdiri dari usaha budidaya (tambak,
sawah, kolam, karamba) dan perairan umum (sawah, sungai, telaga dan rawa).
Selama beberapa tahun terakhir produksi perikanan Jawa tengah telah menunjukkan
adanya peningkatan. Produksi yang dihasilkan dari kegiatan perikanan tersebut
pada tahun 2011 di Jawa Tengah mencapai 515 ribu ton dengan nilai 4,93 trilyun
rupiah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi ikan meningkat 22,34
persen dan nilai produksinya meningkat 38,25 persen. Produksi perikanan
didominasi oleh perikanan darat sebesar 251,52 ribu ton (sekitar 50 persen dari
total produksi perikanan) dengan nilai sebesar 1,45 trilyun rupiah.
Jenis ikan
yang pada umumnya dibudidayakan dalam usaha budidaya dan di perairan umum
diantaranya: nila, gurami, lele, patin, bandeng, bawal, mas, belut nilem dan
sebagainya. Ikan bawal air tawar sebagai salah satu ikan hasil budidaya
perairan darat mempunyai keunggulan seperti pertumbuhan berat yang cukup pesat.
Nama ikan bawal air tawar (Collosoma
macropomum) tidak sepopuler ikan mas atau gurame. Ikan bawal adalah ikan
pemakan segala (omnivora), sehingga pakannya dapat berasal dari sampah sayuran
pasar (Susanto, 2006).
Pendistribusian
ikan yang tidak merata merupakan salah satu masalah yang masih dihadapi pada
umumnya, di Indonesia. Jarak yang jauh antara pusat produsen dengan pusat
konsumen menjadikan pengolahan dan pengawetan ikan mempuyai prospek untuk
dikembangkan. Sehingga perumusan masalahnya sebagai berikut: 1). Jenis
pengawetan ikan apa saja yang dapat dilakukan, agar ikan dapat sampai ke tangan
konsumen tanpa mengalami pembusukan?, 2). Bagaimana hasil yang optimum dari
cara pengawetan ikan secara pengasapan
(smoking) dan pemanggang (roasting)?
BAHAN DAN METODE
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental skala
laboratorium. Dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Fakultas
Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, pada bulan Maret sampai Mei tahun
2011. Alat dan bahan yang digunakan sebagai berikut:
Pembuatan Smoked Fish
Alat
1.
Smoke cabinet 8.
Baskom
2.
Vacuum sealer 9.
Peniris
3.
Hand sealer 10.
Pisau
4.
Eksikator 11. Sendok
5.
Timbangan analit 12.
Serbet
6.
Gelas beker 500 ml 13.
Plastik
7.
Gelas ukur 100 ml 14.
Tissue
Bahan
1.
Ikan bawal 5. Silica gel
2.
Garam 6. Air
3.
Asap cair 7. Vaselin
4.
Serbuk kayu
Pembuatan Roasted Fish
Alat yang digunakan dalam pembuatan Roasted Fish sama seperti
alat pembuatan Smoked fish, hanya alat Smoke cabinet diganti Meat roaster.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam pembuatan Roasted Fish juga sama seperti
bahan yang digunakan pada pembuatan Smoked Fish.
Pengujian Kesukaan
Setelah pembuatan Smoked
fish dan Roasted fish, tahap
selanjutnya dilakukan pengujian kesukaan (uji organoleptik) untuk menentukan
produk mana yang lebih disukai. Alat yang digunakan: Piring kecil, Gelas,
tissue, alat tulis, borang penilaian. Sedangkan bahannya; Ikan asap, ikan
panggang, air putih.
Penilaian uji
kesukaan ini berdasarkan pada proses pengindraan. Hal-hal yang dinilai meliputi
warna, rasa, aroma, dan tekstur. Penilaian dilakukan oleh 10 panelis agak
terlatih yang mempunyai kepekaan cukup baik. Pengujian dilakukan dalam ruang
pencicip yang merupakan ruangan yang terisolasi dan kedap suara sehingga dapat
dihindarkan komunikasi antar panelis, suhu ruang yang cukup sejuk (20-25oC)
dengan kelembaban 65-70% dan mempunyai sumber cahaya yang baik dan netral,
karena cahaya dapat mempengaruhi warna komoditi yang diuji. Penilaian dibagi dalam
lima skala yaitu sangat tidak suka(1), tidak suka(2), netral(3), suka(4), dan
sangat suka(5).
Protein Ikan serta
Kerusakan/Pembusukan Ikan
Ikan merupakan
makhluk hidup yang memiliki protein tinggi yaitu sekitar 20 persen, yang sangat
baik bagi tubuh manusia dan relatif murah harganya. Protein sendiri merupakan
bagian utama dari susunan (komposisi) tubuh manusia.
Protein dalam ikan diantaranya berguna untuk :
1. Mempercepat
pertumbuhan badan (baik tinggi maupun berat).
2. Meningkatkan
daya tahan tubuh.
3. Mencerdaskan
otak/mampertajam pikiran.
4. Meningkatkan
generasi/keturunan yang baik.
Selain itu
protein yang terkandung dalam ikan mempunyai mutu yang baik, sebab sedikit
mengandung kolesterol (suatu zat yang bisa menyebabkan penyakit tekanan darah
tinggi) dan sedikit lemak. Kebutuhan akan protein berbeda-beda pula, tetapi
secara umum dapat diterapkan sebagai berikut :
- Anak-anak
(1-9 th) : 25 – 40 g protein/orang/hari.
- Laki-laki
( 10-60 th) : 50 – 60 g protein/orang/hari. - Perempuan (10-60
th) :
50 – 55 g protein/orang/hari. - Perempuan hamil :
60 – 75 g protein/orang/hari. - Perempuan menyusui :
75 – 80 g protein/orang/hari.
Ikan yang
sudah mati akan cepat mengalami proses pembusukan. Pencegahan proses pembusukan
dpat dilakukan dengan proses pengawetan. Pengawetan ikan diartikan sebagai
setiap usaha untuk mempertahankan mutu ikan selama mungkin sehingga masih dapat
dimanfaatkan dalam keadaan yang baik dan layak. Secara umum, kerusakan atau
pembusukan ikan dan hasil-hasil olahannya dapat digolongkan sebagai berikut:
1.
Kerusakan-kerusakan biologis yang disebabkan oleh
bakteri, jamur, ragi, dan serangga.
2.
Kerusakan-kerusakan enzimatis yang disebabkan oleh
enzim.
3.
Kerusakan-kerusakan fisika yang disebabkan oleh
kecerobohan dalam penanganan, misalnya luka-luka memar, patah, kering, dsb.
4.
Kerusakan-kerusakan kimiawi yang disebabkan oleh adanya
reaksi-reaksi kimia, misalnya ketengikan (rancidity)
yang diakibatkan oleh oksidasi lemak, dan denaturasi (perubahan sifat)
protein.
Kerusakan yang
paling menonjol adalah kerusakan yang disebabkan oleh enzim dan bakteri, yaitu
kerusakan yang mengakibatkan pembusukan. Untuk mencegah pembusukan akan sangat
efektif bila kedua penyebab utama disingkirkan dari ikan, dibunuh, dan dicegah
kedatangan penyebab lain yang berasal dari luar. Usaha terbaik yang dapat
dilakukan manusia untuk mempertahankan mutu ikan terhadap pembusukan adalah sebagai
berikut:
1.
Mengurangi sebanyak mungkin jumlah enzim dan bakteri
pada tubuh ikan.
2.
Membunuh atau sekurang-kurangnya menghambat kegiatan
sisa-sisa enzim dan bakteri.
3.
Melindungi ikan terhadap kontaminasi bakteri dan
penyebab kerusakan lain yang datang dari luar.
Pengawetan Ikan
dengan Pengasapan dan Pemanggangan
Pemanggangan dan pengasapan dapat
digunakan sebagai alternatif pengawetan ikan secara tradisional selain
penggaraman, pengeringan, pemindangan dan fermentasi. Cara pengolahan
tradisional lebih dominan daripada cara pengolahan modern seperti pembekuan dan
pengalengan (Tabel 2). Menurut terminologi FAO, ikan olahan tradisional, atau
“cured fish” adalah produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan
pada skala industri rumah tangga. Jenis olahan yang termasuk produk olahan
tradisional ini adalah ikan kering atau asin kering, ikan pindang, ikan asap
serta produk fermentasi yaitu kecap, peda, terasi dan sejenisnya (Heruwati,
2002).
Tabel 2. Jumlah Jenis Pengolahan Ikan di
Jawa Tengah tahun 2011.
No
|
Jenis Pengolah
|
Jumlah
|
1.
|
Pengalengan
|
6
|
2.
|
Pembekuan
|
15
|
3.
|
Penggaraman/Pengeringan
|
1.631
|
4.
|
Pemindangan
|
1.960
|
5.
|
Pengasapan/pemanggangan
|
2.569
|
6.
|
Fermentasi
|
486
|
7.
|
Pengekstrasian/Pereduksian
|
199
|
8.
|
Pengolahan jelly ikan
|
10
|
9.
|
Penanganan produk segar
|
434
|
10.
|
Pengolahan lainnya
|
1.157
|
|
Total
|
8.467
|
Sumber: Data statistik Kelautan dan
Perikanan Jawa Tengah, 2012
Di Indonesia, pengolahan ikan secara
tradisional dilakukan oleh para nelayan dan keluarganya di sepanjang pantai
tempat pendaratan ikan dengan cara pengolahan yang diwariskan secara turun
temurun. Produk ikan olahan tradisonal mempunyai sebaran distribusi yang luas
karena pada umumnya produk relatif stabil walaupun pengawetan dan pengemasannya
sangat sederhana (Heruwati, 2002). Di Jawa Tengah kondisinya juga demikian, termasuk dalam hal penerapan teknologinya,
dari 8.467 jenis pengolahan ikan di Jawa Tengah, yang masih manual sebesar
8.330 buah atau 98,38 persen. Berdasarkan klasifikasinya yang termasuk usaha
mikro sebesar 7.969 buah atau 94,12 persen.
Pengasapan adalah cara
pengawetan/pengolahan ikan dengan menggunakan asap yang berasal dari hasil
pembakaran arang kayu atau tempurung kelapa, sabut, serbuk gergaji atau sekam
padi. Dalam hal ini dalam asap terkandung senyawa-senyawa yang mempunyai sifat
mengawetkan, seperti senyawa phenol, formaldehyde dan lain-lain (Anonim2,
2011). Asap terbentuk karena pembakaran yang tidak sempurna, yaitu pembakaran
dengan jumlah oksigen yang terbatas. Pengasapan ikan dilakukan dengan tujuan :
1). Untuk mengawetkan ikan (banyak dilakukan di negara-negara yang belum atau
sedang berkembang dengan memanfaatkan bahan-bahan alam berupa kayu yang
melimpah dan murah), 2). Untuk memberikan rasa dan aroma yang khas (Murniyati,
2000). Sebenarnya asap sendiri daya pengawetnya sangat terbatas (yang
tergantung pada lama dan ketebalan asap), sehingga agar ikan dapat tahan lam,
pengasapan harus dikombinasikan dengan cara-cara pengawetan lainnya, misalnya
penyimpanan pada suhu rendah. Menurut perkiraan FAO, 2% dari hasil tangkapan ikan
dunia diawetkan dengan cara pengasapan, sedangkan di negaranegara tropis
jumlahnya mencapai 30% (Anonim1, 2007).
Pengasapan dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu pengasapan dingin (cold
smoking), dan pengasapan panas (hot
smoking). Perbedaan antara keduanya dapat dilihat pada tabel. 3, berikut
ini:
Tabel 3. Perbedaan Pengasapan Panas dan pengasapan Dingin
|
Temperatur
|
Waktu
|
Daya Awet
|
Pengasapan dingin
Pengasapan panas
|
40 - 50°
70 - 100°
|
1 – 2 minggu
Beberapa jam
|
2 –
3 minggu sampai beberapa minggu. Beberapa hari
|
Sumber: Murniyati, 2000.
Suhu yang digunakan untuk pengasapan
panas cukup tinggi sehingga daging ikan menjadi matang. Daya awet ikan yang
diasap panas, ditimbulkan oleh garam, asap dan panas. Sedangkan pada ikan yang
diasap dingin, ditimbulkan oleh garam, asam dan pengeringan.
Pemanggangan juga merupakan cara
pengawetan/pengolahan ikan. Pemanggangan dapat dilakukan dengan menggunakan
gas, arang ataupun listrik. Pemanggangan dapat menyebabkan kenampakan ikan
menjadi kecoklatan (Anonim3, 2011). Warna kecoklatan yang
diakibatkan pemanasan yang berlebihan
terjadi karena adanya reaksi
Maillard antara senyawa asam amino dengan gula pereduksi membentuk Melanoidin.
Selain itu pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein, peptida, dan
asam amino dengan hasil dekomposisi lemak (Heruwati, 2002).
Proses
pengolahan pengawetan ikan secara roasted
dan smoked pada skala laboratorium ini, proses
pengolahannya dilakukan melalui beberapa tahap/orientasi (tabel 4). Hasil
orientasi ke-enam menunjukkan kondisi yang optimum. Pengolahan dan pengawetan
ikan dengan smoked dan roasted dengan cara seperti orientasi
ke-enam dapat menjadi salah satu rujukan peluang dalam pendistribusian ikan
antar daerah, dengan jarak antar daerah yang relatif jauh. Menjadi peluang
karena masih adanya masalah lain yang dihadapi yaitu belum meratanya distribusi
ikan antar daerah. Dengan pengolahan, ikan menjadi awet serta dengan pengemasan
vakum yang bertujuan untuk mengurangi kontak bahan dengan udara luar dan
memungkinkan untuk didistribusikan dari pusat produksi ke pusat konsumsi. Namun
menurut Zotos, dalam Heruwati (2002), pengasapan harus dilakukan pada waktu dan
kepekatan asap serendah mungkin, karena asap mengandung senyawa-senyawa
karbonil yang akan bereaksi dengan lisin dan mereduksi kualitas protein. Bahan
baku yang disimpan beku hingga 33 minggu dapat menyebabkan hilangnya lisin dan
tiamin yang tersedia setelah pengasapan masing-masing 74% dan 90%. Sedangkan
menurut Burt dalam Heruwati (2002) menyatakan bahwa beberapa jenis vitamin yang
terdapat dalam ikan akan mengalami kerusakan sebagai akibat proses pengeringan
atau pengasapan, tergantung waktu dan suhu, pH, serta terjadinya penirisan.
Pengasapan panas (di atas 80°C) dapat menyebabkan hilangnya vitamin yang larut
dalam air seperti
Hasil proses
pengasapan dan pemanggangan dapat dilihat pada perubahan warna ikan. Proses
roasting menghasilkan warna coklat pucat, sedangkan proses smoking menghasilkan
warna coklat mengkilap. Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pengasapan
dan pemanggangan pada orientasi ini diantaranya: a). berat ikan, b). penirisan
dan penganginan, c). suhu,d). waktu, e). metode pengemasan,dan f). kondisi penyimpanan.
Dari data
orientasi sekiranya dapat dijadikan rujukan dalam proses pengolahan ikan secara
pengasapan dan pemanggangan, serta pengemasannya. Menurut Heruwati (2002),
rasionalisasi dalam pengolahan perlu dilakukan dengan terlebih dahulu
menentukan proses yang sesuai dengan masa simpan yang diperlukan. Apabila
produk hanya ditujukan untuk dipasarkan di wilayah yang tidak jauh dari
produsen, dan mempunyai perputaran cepat (cepat dibeli konsumen), maka produk
tidak perlu mempunyai daya awet sangat tinggi, karena perpanjangan daya awet
pasti memerlukan tenaga dan biaya tambahan, selain menimbulkan resiko bahaya
terhadap konsumen.
Tabel 4. Hasil orientasi perlakuan roasted dan smoked fish.
Orientasi
|
Kegiatan
|
Hasil
|
I
|
Membuat roasted
fish dengan variasi konsentrasi larutan asap cair 1% dan 3%. Suhu roasting 210oC selama satu
jam. Pada larutan asap cair ditambahkan setengah sendok makan garam dan
seperempat sendok makan merica
|
Ikan yang dihasilkan matang dan kering pada bagian luar,
pada bagian dalam masih basah.
Bau asap pada ikan yang direndam dengan asap cair 3%
masih cukup menyengat, dan setelah selama empat hari disimpan dalam plastik
biasa dan pada suhu ruang, ikan mulai mengeluarkan bau busuk.
|
II
|
Membuat smoking
dan roasting. Dalam larutan garam
digunakan satu sendok makan garam yang dilarutkan dalam
500 ml air. Asap cair untuk pembuatan roasted fish dicampurkan sebanyak 5 ml
ke dalam larutan garam. Suhu smoking
100oC selama tiga jam, sedangkan suhu roasting, 210oC selama satu jam.
|
Hasil yang didapat untuk smoked fish yaitu ikan matang namun kadar airnya masih terlalu
tinggi. Roasted fish yang
dihasilkan lebih kering daripada sebelumnya namun kadar airnya masih cukup
tinggi. Ikan dimasukkan dalam plastik dan disimpan pada suhu ruang. Hasilnya
ikan busuk, berjamur, dan muncul belatung kurang dari satu minggu.
|
III
|
Smoking dan roasting dilakukan dalam dua tahap dengan perubahan waktu. Tahap
pertama pada masing-masing metode bertujuan untuk mengeluarkan air dari
bagian dalam ke permukaan ikan, sedangkan tahapan kedua bertujuan untuk
mengeringkan dan mendapatkan tekstur ikan yang keras serta kenampakan yang
mengkilap untuk smoked fish. Pada roasted fish, suhu roasting I adalah 90oC
selama satu jam dan suhu roasting
II adalah 210oC selama dua jam. Pada smoked fish, suhu smoked
I adalah 80oC selama satu jam dan suhu smoked II adalah 100oC selama tiga jam.
|
Hasilnya, kadar air ikan sudah cukup rendah, hal ini dapat
dilihat dari ketampakan luar yaitu kulit sudah kering. Namun, pada bagian
daging ikan yang tebal masih lembek. Rasa yang dominan adalah rasa asin sedangkan
bau asap sudah tidak muncul.
Pada smoked fish,
hasilnya, tampakan luar ikan mengkilap dan kulit sudah kering namun daging
bagian dalam masih lembek. Bau asap sangat menyengat dan lebih dominan
daripada rasa asin.
Pengemasan dilakukan dengan metode vakum.
|
IV
|
Pembuatan smoked fish
dan pengamatan terhadap produk yang dihasilkan dari orientasi kedua.
Untuk mengurangi kadar air, waktu untuk smoking II diperlama menjadi 5 jam.
|
Kemasan vakum pada roasted
fish dan smoked fish sudah
bocor tetapi roasted fish masih
keras dan kering. Smoked fish sudah
mulai lembek. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan penyimpanan
yang kurang terkendali yaitu hanya di suhu ruang. Oleh karena itu, produk
dipindahkan ke dalam eksikator yang telah diberi silica gel dan ditempatkan
pada ruangan yang sejuk (ber-AC).
Hasilnya, aroma asap tidak terlalu menyengat yang mungkin
|
Jurnal Ilmu – ilmu Pertanian 43
|
|
disebabkan oleh bahan bakar kurang sehingga asap
yang dihasilkan terlalu sedikit. Ketampakan ikan di beberapa bagian gosong
dan di daging ikan masih ada yang lembek dan kurang kering. Hal ini dapat
disebabkan oleh waktu smoking I
kurang lama sehingga air dari bagian dalam ikan belum semuanya keluar dan
waktu smoking II terlalu lama
sehingga menyebabkan ikan gosong.
|
V
|
Pembuatan roasted fish.
Waktu roasting II tetap dua
jam, namun waktu roasting I diperlama menjadi satu setengah jam untuk
mengoptimalkan pengeluaran air dari bagian dalam ikan sehingga roasted fish yang dihasilkan lebih
kering.
|
Hasil yang didapat adalah roasted
fish dengan tekstur keras pada bagian luar. Setelah dikemas secara vakum,
roasted fish disimpan pada
eksikator sama seperti pada orientasi sebelumnya dan dilakukan pengamatan
seminggu sekali.
|
VI
|
Pembuatan roasted fish dan smoked fish.
Waktu roasting I tetap satu
setengah jam, namun waktu roasting II diperlama menjadi dua
setengah jam.
Pada smoked fish dilakukan
perubahan kombinasi masingmasing tahap , namun total waktu yang digunakan
tetap sama yaitu enam jam. Waktu smoking
I diperlama menjadi satu setengah jam Sedangkan waktu smoking II dipersingkat dari lima jam
menjadi empat setengah jam.
|
Hasil yang didapat adalah roasted
fish dengan tekstur keras dan kering pada bagian luar dan dalam.
Pada smoking hasil yang didapat adalah ikan dengan tekstur yang keras
dan warna yang mengkilap.
Setelah dikemas secara vakum, roasted
fish dan smoked fish disimpan
pada eksikator dan dilakukan pengamatan seminggu sekali. Setelah dilakukan
pengamatan selama lebih dari satu bulan, masih ditemukan sedikit jamur pada
ikan hasil orientasi keempat dan kelima. Pada ikan hasil orientasi keenam
tidak ditemukan jamur. Tekstur ikan pun masih keras dan kering.
|
Sumber: Data orientasi laboratorium, 2011
Setelah melakukan berbagai variasi
orientasi proses pengasapan dan pemanggangan, maka tahap selanjutnya dilakukan
uji kesukaan produk kepada panelis. Panelis dipilih adalah panelis agak
terlatih yang mempunyai kepekaan cukup baik. Panelis ini dapat menilai beberapa
rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik. Berikut tabel data hasil
pengujian kesukaan (uji organoleptik) untuk mengetahui produk mana yang lebih
disukai oleh panelis (tabel 5).
Tabel 5. Data hasil pengujian kesukaan
Atribut
|
Smoked Fish
|
Roasted Fish
|
Kenampakan
|
3.7
|
3.1
|
Warna
|
3.8
|
2.9
|
Tekstur
|
3.2
|
2.8
|
Aroma
|
4
|
3.1
|
Rasa
|
3.9
|
3.1
|
Keterangan :
1 =
sangat tidak suka
2 =
tidak suka
3 =
netral
4 =
suka
5 =
sangat suka
Angka yang didapat merupakan angka hasil
rata-rata dari penilaian sepuluh panelis. Dari tabel data hasil pengujian,
dapat diketahui bahwa produk smoked fish
lebih disukai oleh panelis daripada roasted
fish. Atribut sensoris yang paling disukai adalah aroma sebab aroma yang
dihasilkan pada smoked fish berasal
dari asap hasil pembakaran serbuk kayu secara langsung. Atribut kedua yang
disukai adalah rasa. Ikan yang diasapi mempunyai rasa yang sangat spesifik,
yiatu rasa keasap-asapan yang sedap. Rasa tersbut dihasilkan oleh asam-asam
organic dan phenol serta zat-zat lain sebagai pembantu. Atribut sensoris pada roasted fish yang kurang disukai oleh
panelis adalah atribut warna, yaitu pucat sehingga kurang menarik.
Kesimpulan
Proses pengolahan pengasapan dan
pemanggangan merupakan salah satu bentuk cara pengawetan ikan. Pengolahan ini
mempunyai prospek untuk dikembangkan, selain dikarenakan distribusi ikan antar
daerah yang belum merata, ikan yang diproses menjadi awet dan memungkinkan
untuk didistribusikan ke daerah pusat konsumen. Pada uji kesukaan diperoleh
hasil produk olahan pengasapan lebih disukai oleh panelis daripada produk
pemanggangan. Atribut sensoris yang paling disukai adalah aroma, sedangkan
atribut yang kurang disukai dari produk pemanggangan adalah atribut warna. Dengan jumlah pengolah jenis pengasapan dan
pemanggangan di Jawa Tengah yang relatif banyak dibandingkan jenis pengolah
lain, maka diperlukan sosialisasdan pembinaan dari instansi pemerintahan terkait agar
pengolah memahami prinsip dasar pengolahan pengasapan dan pemanggangan yang
benar, sehingga produk-produk olahan ikan aman dikonsumsi oleh masyarakat.
0 comments:
Post a Comment