Indonesia merupakan
Negara yang terkenal dengan hasil lautnya yang melimpah. Namun sayang, di
Indonesia masakan laut dan peng- olahan hasil laut dari Cructaceae belum dapat
optimal. Pada umum- nya sebagian besar pengolahan hasil laut dari Cructaceae
hanya diguna- kan sebagai bahan campuran pem- buatan krupuk, terasi atau
makanan ternak, di mana harga jual ketiga produk olahan tersebut tidak se-
tinggi harga chitosan.
Salah satu iklan di internet
menyebutkan harga 50 gram chitosan ± $ 23 US. Belum dimanfaatkannya limbah
pengolahan udang dan kepiting sebagai sum- ber chitosan boleh jadi
disebabkan karena belum dikenalnya industri chitosan secara umum atau karena
tidak ada publikasi yang memuat proses yang dikerjakan secara seder- hana di
Indonesia.
Chitosan
(2-amino-2-deoksi- D-glukopiranosa) adalah senyawa tu- runan dari chitin
(N-asetil-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa) yang ter- deasetilasi pada gugus
nitrogennya (Anonim, 1998). Chitin dan chitosan merupakan polimer linier.
Deaseti- lasi yang terjadi pada chitin hampir tidak pernah selesai sehingga
dalam chitosan masih ada
gugus asetil yang terikat pada
beberapa gugus N.
Seperti selulosa dan
chitin, chitosan merupakan polimer alami- ah yang sangat melimpah keberada-
annya di alam. Namun hal tersebut menunjukkan keterbatasannya da- lam hal
reaktivitas. Oleh karena itu, chitosan dapat digunakan sebagai sumber material
alami, sebab chito- san sebagai polimer alami mempu- nyai karakteristik yang
baik, seperti dapat terbiodegradasi, tak beracun, dapat mengadsorpsi, dan
lain-lain.
Chitosan memiliki
beberapa manfaat bagi manusia, sehingga me rupakan bahan perdagangan yang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Manfaat chitosan antara lain adalah : (1)
dalam bidang pertanian, chitosan menawarkan alternatif alami dalam penggunaan
bahan kimia yang terkadang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Chitosan
membuat mekanisme pertahanan pada tumbuhan (seperti vaksin bagi manusia),
menstimulasi pertumbuhan dan merangsang enzim tertentu (sintesa fitoaleksin,chitinase,pectinnase,glucanase
dan lignin). Pengontrol organik baru ini menawarkan pendekatan sebagai alat
biokontrol; (2) dalam bidang pengolahan air, chitosan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan membran ultrafiltrasi; (3) dalam bidang makanan,
chitosan sudah banyak di- gunakan dalam komposisi makanan di Jepang, Eropa
dan Amerika Serikat, sebagai perangkap lemak yang merupakan terobosan dalam
bidang diet; dan (5) dalam bidang kesehatan, chitosan digunakan untuk bakteriostatik,
immunologi, anti tu- mor,
cicatrizant, homeostatic dan anti koagulan, obat salep untuk luka,
ilmu pengobatan mata, ortopedi dan penyembuhan jahitan akibat pem- bedahan.
Membran ultrafiltrasi
yang sering digunakan dalam proses
pengolahan air adalah membran ter- buat dari selulosa asetat, polisulfon dan
poliakrilonitril, yang harganya cukup mahal.
Oleh karena itu diperlukan suatu bahan baku alternatif yang relatif
mudah dan murah de- ngan memanfaatkan
limbah lain se- bagai membran.
Dalam penelitian ini,
mem- bran dibuat dari chitosan yang dilarutkan dalam asam asetat dengan
beberapa variasi komposisi tertentu dari chitosan dan pelarutnya.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini
dilakukan untuk mencari alternatif baru dalam proses pengolahan air bersih
dengan memanfaatkan limbah industri pengepakan udang sebagai membrannya.
1. Persiapan Sampel
Dalam penelitian ini
memanfaatkan chitosan dari penelitian Wi- darta (2004) dengan derajat deaseti-
lasi 79,32%. Nilai derajat deasetilasi sudah memenuhi standard,
yaitu > 70% sehingga chitosan
bisa digunakan.
2. Persiapan Alat
Peralatan laboratorium
yang menunjang penelitian ini adalah peralatan kaca
laboratorium, neraca analitik untuk menimbang bahan, magnetic stirrer untuk
melarutkan chitosan, dan cetakan membran dari bahan acrylic berukuran 10 x 10
cm.
3. Prosedur Kerja
a. Pembuatan Membran
Chitosan Ada beberapa hal
yang di- perlukan untuk
membuat membran chitosan, antara
lain adalah seperti berikut. Tahap Pembuatan Kulit
Udang menjadi Serbuk Chitin dan Chitosan
Tahap ini diawali
dengan pencucian kulit udang windu dicuci sampai bersih dari kotoran yang me-
nempel kemudian direbus dalam air mendidih (± 80°C) selama 15 menit. Setelah
itu dikeringkan dibawah si- nar matahari setelah itu diblender. Untuk menjadi
serbuk chitin akan mengalami proses isolasi chitin me- liputi tiga tahap yaitu
tahap deproteinasi didapat crude chitin, demi- neralisasi dan depigmentasi
didapat- kan serbuk chitin. Setelah itu
chitin melalui suatu proses dan mengalami transformasi menjadi chitosan (Wi-
darta, 2004).Serbuk chitosan inilah yang merupakan bahan dasar pembuat membran
chitosan. Tahap Transformasi Chitosan menjadi Membran Setelah menjadi serbuk
chitosan dapat langsung dibuat membran dengan melarutkannya dalam Asam
Asetat sebagai pelarut. Sebelumnya harus dipastikan bahwa cetakan yang akan
digunakan harus dibersihkan dahulu dengan meng- gunakan aseton. Setelah
terbentuk suatu lapisan film basah cetakan dioven sampai film menjadi kering
dimana diperlukan larutan
NaOH 4% untuk merendam membran ke- ring
agar terlepas dari cetakannya. Selanjutnya, agar membran bersih
dari alkali diperlukan aquabidestilata untuk pembilas (Widarta, 2004).
b. Pengukuran Ketebalan
Mem- bran
Pengukuran ketebalan
membran adalah indikator keseragaman dan kontrol kualitas embran. Membran diukur sisi kanan,
kiri, tengah, atas dan bawah. Tebal membran diukur beberapa kali, menggunakan mikrometer
sekrup kemudian dihitung ketebalan rata-rata nya.
C. HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Chitin
dan Chitosan
Dalam penelitian ini,
proses isolasi chitin terdiri dari dua tahap yaitu tahap deproteinasi
dilanjutkan tahap demineralisasi dan pada akhir- nya akan mengalami tahap
deaseti- lasi dimana chitin mengalami trans- formasi menjadi chitosan. Tahap deproteinasi
adalah tahap proses pe- misahan protein yang terdapat pada limbah kulit udang.
Setelah tahap deproteinasi dilanjutkan dengan tahap
demineralisasi yang merupakan tahap peng- hilangan mineral pada kulit udang
yang sebagian besar adalah CaCO3 dan Ca3(PO)4
pada chitin kasar se- hingga dihasilkan chitin. Untuk mendapatkan chitosan
dilakukan tahap
deasetilasi, dimana
derajat diaseti- lasi yang dihasilkan harus ada dalam range nilai chitosan
standart. Pada penelitian ini chitosan yang diguna- kan berasal dari penelitian
yang di- lakukan oleh Widarta (2004) dengan karakteristik seperti yang terdapat
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik
Chitin dan Chitosan
Proses
|
Deproteinasi
|
Demineralisasi
|
Deasetilasi
|
Warna
|
Kuning
keruh
keme-
rahan menjadi kuning
keruh
oranye (lebih muda).
|
Kuning
keruh
ora-
nye
(lebih muda) menjadi kuning pu- cat (semi transpa- ran).
|
Berubah warna
dari
kuning pucat menjadi putih kekuningan
(semi transparan)
|
Zat yang
Ditamba
hkan
|
Penambahan NaOH
7% (NaOH
tak ber-
warna menjadi coklat
dan terbentuk endap-
an)
|
HCl 2 N (terbentuk
gelembung gas arti-
nya ada CO2 yang terbentuk)
|
NaOH
50
%
(meru-
sak zat warna).
|
Pengura-
ngan
Massa
|
42,65% (Tanda pro-
ses penghilangan pro- tein dari kulit udang)
|
62,18% (menunjuk-
kan larutnya mine-
ral pada crude
chitin)
|
7,078% (mengalami
deasetilasi)
|
Hasil
akhir
|
Crude Chitin
|
Chitin
|
Chitosan
|
Derajat
Deasetilasi
|
-
|
37,25 %
|
79,32 %
|
Sumber : (Widarta, 2004)
Pada Tabel 4.1 yang
paling perlu untuk diperhatikan dalam kontrol kualitas chitosan adalah nilai derajat
deasetilasi dari chitosan sebesar 79,32% yang artinya telah memenuhi standard. Semakin besar derajat deasetilasi
dari chitosan akan memberikan distribusi ukuran pori yang semakin baik, yang
akan meningkatkan kualitas membran.
2. Pembuatan Membran
Penelitian ini dimulai
dengan kegiatan membuat larutan chitosan terlebih dahulu. Bubuk chitosan di-
timbang dengan menggunakan neraca
analitik sesuai dengan
berat yang diinginkan untuk selanjutnya ditambah dengan larutan asam asetat
0,75%. Setelah dilakukan penimbangan dilanjutkan dengan pengadukan awal yaitu
dengan spatula kaca agar bubuk chitosan benar-benar terendam dalam larutan asam
asetat, kemudian dilakukan pengadukan meng- gunakan magnetic stirrer untuk
memastikan serbuk chitosan larut sempurna sehingga didapatkan larut- an yang
homogen. Pengadukan dilakukan selama 24 jam untuk mem- percepat proses
pelarutan. Sebelum dicetak di atas pelat kaca, larutan harus didiamkan selama
24 jam untuk menghilangkan gelembung-gelembung udara yang ada di dalamnya.
Proses pencetakan
membran diawali dengan pembersihan sisi-sisi cetakan menggunakan aseton. Larut-
an selanjutnya dicetak diatas pelat kaca dengan berat yang sama yaitu sebanyak
20 gram. Kemudian cetak- an yang telah terisi larutan chitosan diangin-anginkan
selama 24 jam (sampai setengah kering), selanjut- nya cetakan dimasukkan ke
dalam oven pada suhu
60˚C selama ± 5
jam. Untuk memastikan membran kering sempurna cetakan didiamkan selama 24 jam
di udara terbuka, karena apabila langsung
direndam membran akan rusak dengan menjadi menggelembung dan berkerut. Membran
disimpan bersama dengan cetakannya, baru akan dilepas apabila akan
diaplikasikan (digunakan). Proses pengeringan membran di udara terbuka.
Proses Pengeringan di
Udara Terbuka
Melepas membran harus
di- lakukan secara hati-hati karena la- pisannya sangat tipis sehingga mu- dah
robek atau bocor. Pada mulanya membran direndam dengan larutan NaOH 4% selama
± 2 menit, selanjutnya direndam dengan
menggunakan aquabidestilata ± 5 menit. La- rutan NaOH dalam hal ini berfungsi
sebagai larutan nonpelarut yang da- pat berdifusi ke bagian bawah mem- bran
yang berhimpitan dengan kaca sehingga membran tersebut akan terdorong ke atas
dan terkelupas. Baru kemudian membran dilepas dengan cara memotong tepi-tepi
ce- takan dengan menggunakan cutter, pelepasan sisi-sisi membran harus
dilakukan bersamaan agar membran tidak robek. Membran dapat dilepas karena ter-
jadi difusi pelarut kedalam air yang merupakan non pelarut, sedangkan air
segera berdifusi ke dalam membran sehingga terjadi koagulasi. Supaya pelarut
aseton yang ber- difusi dengan air dapat terbuang dan untuk menghilangkan
sisa-sisa pelarut yang masih ada dalam
membran maka dilakukan perendaman dengan aquabidestilata Selanjutnya, membran
dipotong sesuai ukuran yang diinginkan.
Kedua permukaan membran
yang terbentuk memiliki perbedaan. Bagian atas mengkilat dan halus sedangkan
permukaan bagian bawah buram dan berpori (Gambar 3). Ini disebabkan permukaan
bagian ba- wah kontak dengan
kaca dan pula terjadinya polimer
dikontrol dengan cara mengubahnya dari keadaan la- rutan menjadi keadaan padat.
Pada proses perubahan, larutan akan me- madat sehingga terbentuk matriks padat.
Membran chitosan yang di- hasilkan
setelah proses penguapan pelarut berupa lembaran tipis tak
berwarna (transparan), kaku pada keadaan kering, dan elastis pada ke- adaan
basah.
Padatan terbentuk karena
adanya pertukaran pelarut dan non pelarut selama proses perendaman. Karena pada
membran ada bagian atas yang kontak dengan udara dan bagian bawah menempel pada
plat kaca, maka kecepatan difusi pelarut dan non pelarut beda. Pada bagian atas
pelarut lebih cepat difusi de- ngan non pelarut (air) sehingga struktur pori
yang terbentuk lebih halus, sedangkan bagian bawah pro- ses difusinya
lebih lambat, karena air harus melalui pori yang sudah
terbentuk untuk menuju daerah
pengendapan dan secara otomatis bagian bawah memiliki struktur pori yang lebih
besar. Dari proses pembuatan diharapkan struktur pori yang terbentuk dengan
teknik infersi fasa didapatkan pori bagian atas atau permukaan berukuran kecil dan makin ke bawah
ukuran porinya makin besar.
KESIMPULAN
Proses pembuatan membran ultrafiltrasi yang memanfaatkan limbah
kulit udang ini mengikuti tahap- an (1) transformasi chitin menjadi chitosan;
(2) pelarutan chitosan dalam asam asetat; (3) pencetakan membran pada plat
kaca; dan (4) pelepasan membran dari plat kaca menggunakan larutan NaOH. Proses
pelepasan membran hanya dilaku- kan
ketika membran chitosan
ini akan diaplikasikan.
0 comments:
Post a Comment