Friday, November 25, 2011

Bagaimana Membangun Manajemen Perikanan

November 25, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Pembangunan perikanan tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana mengelola Sumber Daya Alam dan Manusia. Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi, dan berbagai avertebrata penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.
Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).
Sumberdaya ikan adalah sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable) yang berarti jika sumberdaya diambil sebagian, sisa ikan yang tertinggal memiliki kemampuan untuk memperbaruhi dirinya dengan berkembang biak (Nikijuluw, 2002). Dengan sifat yang dapat dipulihkan, stok sumberdaya ikan tidak boleh diambil atau dimanfaatkan semaunya tanpa memperhatikan struktur umur ikan dan rasio dari populasi yang tersedia. Jika kemampuan memulihkan diri ikan yang tersisa sangat rendah akibat pemanfaatan sumberdaya ikan yang sangat berlebihan, maka sumberdaya ikan tersebut dalam kondisi hampir punah. Apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka akan mengancam kerbelanjutan nelayan yang sangat mengantungkan hidupnya pada perikanan laut. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan perikanan yang baik agar pemanfaatan ikan akan dapat terus berlanjut.
Sebagian besar armada perikanan adalah armada perikanan rakyat yang dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga dalam usaha penangkapan ikan kurang kesadaran akan kelestarian sumberdaya ikan yang di tandai rusaknya ekosistem laut sebagai akibat pola dan metode penangkapan yang tidak tepat cara, waktu dan sasaran. Kerusakan itu juga diakibatkan oleh rendahnya pengetahuan tentang pentingnya lingkungan bagi pemulihan stok sumberdaya perikanan sehingga terjadi kerusakan mangrove, padang lamun (seagrass beds) dan terumbu karang yang merupakan habibat dan daerah asuhan bagi ikan dan organisme laut lainnya (khusnul dkk, 2003), maka pemerintah seyogyanya memberikan penyuluhanpenyuluhan kepada nelayan sehingga mereka tahu bagaimana menjaga stok ikan yang pada gilirannya mampu memberikan hasil tangkapan yang berlimpah.
Menurut Panayotou dalam Nikijuluw (2002) pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan seperti penetapan alat tangkap yang selektif, penetapan musim, atau penutupan daerah penangkapan sementara atau permanen bertujuan untuk membatasi ukuran dan umur ikan ketika ditangkap. Pendekatan seperti penetapan jumlah kapal dan penetapan kuota bertujuan untuk membatasai jumlah upaya penangkapan serta jumlah ikan yang ditangkap. Pendekatan penutupan daerah penangkapan bertujuan untuk membentuk iklim yang kondusif yang memungkinkan nelayan melakukan sendiri pengendalian dan pengawasan penangkapan ikan. Penutupan kegiatan penangkapan ikan dalam kurun waktu yang lama dilakukan jika kondisi kritis karean sudah sangat tinggi tingkat pemanfaatannya. Tujuannya supaya ikan memiliki kemampuan untuk
memperbaruhi dirinya kembali pada kondisi yang lebih baik seperti semula. 
Kebijakan penutupan daerah penangkapan ikan dapat dilakukan secara selektif dengan cara mengkhususkan daerah bersangkutan bagi kelompok nelayan dengan skala usaha atau penangkapan ikan tertentu. Contoh kebijakan seperti ini sangat popular di negara berkembang dan di kenal dengan nama coastal belt atau fishing belt , yaitu kawasan dengan radius atau jarak tertentu dari garis pantai yang diperuntukan bagi kelompok atau golongan nelayan tertentu. Fishing belt di
Indonesia dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu (Nikijuluw, 2002):
(1)   perairan pada radius 4 mil laut dari garis pantai,
(2)   perairan pada radius 4 mil laut hingga 12 mil laut dari garis pantai,
(3)   perairan di atas 12 mil laut.
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
bahwa wilayah daerah provinsi terdiri dari wilayah darat dan laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai. Sedangkan kewenangan kabupaten dan kota di wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi. Degan demikian fishing belt sejauh 4 mil dari laut menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten atau kota. Fishing belt kedua 4 mil laut hingga 12 mil laut merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi. Fishing belt ketiga di atas 12 mil laut pemanfaatannya di tentukan pemerintah pusat.
Kebijakan atau pendekatan selektivitas alat tangkap dalam manajemen sumberdaya perikanan adalah metode penangkapan ikan yang bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Contohnya adalah pembatasan minimum terhadap ukuran mata jaring, sehingga  ikan yang tertankap hanya ikan yang berukuran besar sementara ikan yang kecil akan lolos dan berkesempatan untuk menjadi besar. Pembatasan ukuran minimum mata pancing, ikan yang akan tertangkap besarnya ukuran mulutnya dari mata pancing sehingga ikan dengan mulut lebih kecil akan lolos dari penangkapan. Pembatasan ukuran mulut perangkap pada kondisi terbuka, ikan yang akan tertangkap hanya yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari ukuran mulut perangkap.
Kebijakan pelarangan alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu, tujuannya adalah untuk  melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang dilarang (Panayotou dalam Nikijuluw, 2002).. Pengawasan terhadap pemakaian alat tangkap illegal (dilarang) harus lebih dintensifkan untuk melindungi nelayan kecil karena pemakian alat-alat illegal (dilarang) dapat merusak/menganggu habibat ikan (Susilowati, 2002). 
Open Acces Equilibrium
Hubungan jangka panjang antara total revenew (TR), Effort (E) dan total cost (TC) ditunjukkan pada Gambar 2.3. Open acess equilibrium yield terjadi di E3 dimana total penerimaan sama dengan Total Biaya (rata-rata penerimaan sama dengan rata-rata total biaya). Maximum sustainable profit terjadi pada E1, dimana perbedaan antara curve total penerimaan dan total biaya adalah maksimum (Anderson, 1985). 
Untuk menghitung maximum sustainable yield (MSY) digunakan model Schaefer. Model Schaefer  menggambarkan hasil per unit upaya dengan fungsi upaya sebagai berikut(dalam El-gammal dan Mehanna, 2002):

Y/f      =          a + bf dimana
Y = tangkapan f = upaya
 dan nilai a dan b dapat diestimasi dengan menggunakan metode least sequare  dan hubungan yield curve dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y         =          af  +  bf2
Curve maximum sustainable yield MSY =  -a2 / 4b pada upaya  fmsy = -a / 2b

0 comments:

Post a Comment