
Pembangunan
perikanan tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana mengelola Sumber Daya Alam dan
Manusia. Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak
dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi, dan berbagai
avertebrata penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya.
Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang
termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai
dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan
demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya,
perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain
itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan),
dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.
Usaha
perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau
membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk
kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan
tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha
(komersial/bisnis).
Sumberdaya
ikan adalah sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable) yang berarti jika sumberdaya diambil sebagian, sisa ikan
yang tertinggal memiliki kemampuan untuk memperbaruhi dirinya dengan berkembang
biak (Nikijuluw, 2002). Dengan sifat yang dapat dipulihkan, stok sumberdaya
ikan tidak boleh diambil atau dimanfaatkan semaunya tanpa memperhatikan
struktur umur ikan dan rasio dari populasi yang tersedia. Jika kemampuan
memulihkan diri ikan yang tersisa sangat rendah akibat pemanfaatan sumberdaya
ikan yang sangat berlebihan, maka sumberdaya ikan tersebut dalam kondisi hampir
punah. Apabila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut maka akan mengancam
kerbelanjutan nelayan yang sangat mengantungkan hidupnya pada perikanan laut.
Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan perikanan yang baik agar pemanfaatan
ikan akan dapat terus berlanjut.
Sebagian
besar armada perikanan adalah armada perikanan rakyat yang dilakukan oleh
nelayan-nelayan kecil dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga dalam
usaha penangkapan ikan kurang kesadaran akan kelestarian sumberdaya ikan yang
di tandai rusaknya ekosistem laut sebagai akibat pola dan metode penangkapan
yang tidak tepat cara, waktu dan sasaran. Kerusakan itu juga diakibatkan oleh
rendahnya pengetahuan tentang pentingnya lingkungan bagi pemulihan stok
sumberdaya perikanan sehingga terjadi kerusakan mangrove, padang lamun (seagrass beds) dan terumbu karang yang
merupakan habibat dan daerah asuhan bagi ikan dan organisme laut lainnya
(khusnul dkk, 2003), maka pemerintah seyogyanya memberikan penyuluhanpenyuluhan
kepada nelayan sehingga mereka tahu bagaimana menjaga stok ikan yang pada
gilirannya mampu memberikan hasil tangkapan yang berlimpah.
Menurut
Panayotou dalam Nikijuluw (2002) pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan
seperti penetapan alat tangkap yang selektif, penetapan musim, atau penutupan
daerah penangkapan sementara atau permanen bertujuan untuk membatasi ukuran dan
umur ikan ketika ditangkap. Pendekatan seperti penetapan jumlah kapal dan
penetapan kuota bertujuan untuk membatasai jumlah upaya penangkapan serta
jumlah ikan yang ditangkap. Pendekatan penutupan daerah penangkapan bertujuan
untuk membentuk iklim yang kondusif yang memungkinkan nelayan melakukan sendiri
pengendalian dan pengawasan penangkapan ikan. Penutupan kegiatan penangkapan
ikan dalam kurun waktu yang lama dilakukan jika kondisi kritis karean sudah
sangat tinggi tingkat pemanfaatannya. Tujuannya supaya ikan memiliki kemampuan
untuk
memperbaruhi
dirinya kembali pada kondisi yang lebih baik seperti semula.
Kebijakan
penutupan daerah penangkapan ikan dapat dilakukan secara selektif dengan cara
mengkhususkan daerah bersangkutan bagi kelompok nelayan dengan skala usaha atau
penangkapan ikan tertentu. Contoh kebijakan seperti ini sangat popular di negara
berkembang dan di kenal dengan nama coastal
belt atau fishing belt , yaitu
kawasan dengan radius atau jarak tertentu dari garis pantai yang diperuntukan
bagi kelompok atau golongan nelayan tertentu. Fishing belt di
Indonesia dibagi
menjadi 3 bagian besar, yaitu (Nikijuluw, 2002):
(1) perairan
pada radius 4 mil laut dari garis pantai,
(2)
perairan pada radius 4 mil laut hingga 12 mil laut dari
garis pantai,
(3) perairan
di atas 12 mil laut.
Berdasarkan
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
bahwa wilayah
daerah provinsi terdiri dari wilayah darat dan laut sejauh 12 mil laut yang
diukur dari garis pantai. Sedangkan kewenangan kabupaten dan kota di wilayah
laut sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi. Degan demikian fishing
belt sejauh 4 mil dari laut menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten atau
kota. Fishing belt kedua 4 mil laut hingga 12 mil laut merupakan tanggung jawab
pemerintah provinsi. Fishing belt ketiga di atas 12 mil laut pemanfaatannya di
tentukan pemerintah pusat.
Kebijakan
atau pendekatan selektivitas alat tangkap dalam manajemen sumberdaya perikanan
adalah metode penangkapan ikan yang bertujuan untuk mencapai atau
mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Contohnya
adalah pembatasan minimum terhadap ukuran mata jaring, sehingga ikan yang tertankap hanya ikan yang berukuran
besar sementara ikan yang kecil akan lolos dan berkesempatan untuk menjadi
besar. Pembatasan ukuran minimum mata pancing, ikan yang akan tertangkap
besarnya ukuran mulutnya dari mata pancing sehingga ikan dengan mulut lebih
kecil akan lolos dari penangkapan. Pembatasan ukuran mulut perangkap pada
kondisi terbuka, ikan yang akan tertangkap hanya yang ukuran tubuhnya lebih
kecil dari ukuran mulut perangkap.
Kebijakan
pelarangan alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara
waktu, tujuannya adalah untuk melindungi
sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang
memang dilarang (Panayotou dalam Nikijuluw, 2002).. Pengawasan terhadap
pemakaian alat tangkap illegal (dilarang) harus lebih dintensifkan untuk
melindungi nelayan kecil karena pemakian alat-alat illegal (dilarang) dapat
merusak/menganggu habibat ikan (Susilowati, 2002).
Open Acces Equilibrium
Hubungan
jangka panjang antara total revenew (TR), Effort (E) dan total cost (TC)
ditunjukkan pada Gambar 2.3. Open acess
equilibrium yield terjadi di E3 dimana total penerimaan sama dengan Total
Biaya (rata-rata penerimaan sama dengan rata-rata total biaya). Maximum sustainable
profit terjadi pada E1, dimana perbedaan antara curve total penerimaan dan
total biaya adalah maksimum (Anderson, 1985).
Untuk
menghitung maximum sustainable yield (MSY) digunakan model Schaefer. Model
Schaefer menggambarkan hasil per unit
upaya dengan fungsi upaya sebagai berikut(dalam El-gammal dan Mehanna, 2002):
Y/f = a + bf dimana
Y = tangkapan f = upaya
dan nilai a dan b dapat diestimasi dengan
menggunakan metode least sequare dan
hubungan yield curve dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y = af + bf2
Curve maximum
sustainable yield MSY = -a2 /
4b pada upaya fmsy = -a / 2b
0 comments:
Post a Comment