Sunday, August 30, 2015

MEMANFAATKAN LAHAN NON PRODUKTIF DENGAN BUDIDAYA UDANG GALAH

August 30, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Di Ds. Talun Kecamatan Kayen Kabupaten kawasan yang memiliki potensi tanah bekas rawa yang sangat luas. Untuk menanggulangi masalah tersebut sekarang telah berkembang budidaya ikan Bandeng polikultur dengan areal seluas sekitar 300 Ha, Sekarang sedang dicoba budidaya udang galah di kawasan tersebut. Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah salah satu jenis udang air tawar yang merupakan komoditas perikanan asli perairan Indonesia, bernilai ekonomi tinggi dan sangat potensial untuk dikembangkan. Badan udang terdiri atas 3 bagian :kepala dan dada (Cephalothorax), badan (Abdomen) serta ekor (Uropoda).
Cephalothorax dibungkus oleh kulitkeras, di bagian depan kepala terdapat tonjolan karapas yang bergerigi disebut rostrum pada bagian atas sebanyak 11-13 buah dan bagian bawah 8-14 buah.
Udang galah hidup pada dua habitat, pada stadia larva hidup di air payau dan kembali ke air tawar pada stadia juvenil hingga dewasa. Pada stadia larva perubahan metamorfose terjadi sebanyak 11 kali dan berlangsung selama 30-35 hari.
Jenis Udang ini bersifat omnivora, cenderung aktif pada malam hari. Komoditas ini diklaim oleh berbagai negara sebagai fauna asli, antara lain oleh India dan Indonesia.
Di Indonesia, udang galah dapat ditemukan di berbagai wilayah dan masing-masing memiliki varietas dengan ciri tersendiri. Misalnya, dari Sumatera dan Kalimantan memiliki ukuran kepala besar, capit panjang, dan berwarna hijau kuning, dari Jambi memiliki ukuran kepala lebih kecil, capit kecil dan berwarna keemasan.
Peluang pasar udang galah masih terbuka luas baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk pasar lokal, permintaan datang terutama dari wilayah yang banyak dikunjungi turis seperti Bali, Jakarta, Batam, dan Surabaya.
Sementara pasar udang ini di luar negeri telah terbentuk di Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat, Kanada, Skotlandia, Inggris, Belanda, Selandia Baru, dan Australia dengan pasokan utama datang dari Thailand, Cina dan India. Ukurannya mulai 100 gr s.d. 200 gr per ekor. Bahkan udang yang tertangkap di perairan umum dapat mencapai 300 gr per ekor
Udang galah dapat dipelihara di kolam-kolam oleh para pembudidaya udang, baik secara polikultur maupun monokultur dengan biaya yang cukup rendah sehingga dapat meningkatkan penghasilan pembudidaya. (Ahira Anne 2009)
Akhir-akhir ini makin dikeluhkan oleh pebisnis udang galah bahwa pasokan udang galah makin menurun dratis dari waktu ke waktu. Di samping jumlah tangkapan yang menurun dari daerah-daerah yang biasa memasok udang galah ke pasar, ukuran udang galah tangkapanpun makin kecil dari biasanya. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi pada udang galah hasil tangkapan di tanah air, tapi di dunia internasionalpun demikian.
Namun demikian, keinginan untuk meningkatkan produksi di sektor budidaya masih menghadapi beberapa masalah seperti rendahnya produksi karena produksi masih dilakukan secara tradisional, teknologi budidaya yang masih rendah dan kepadatan tebar masih rendah, ditambah lagi ketersediaan lahan yang cocok untuk melaksanakan usaha budidayanya semakin berkurang sehingga teknik budidaya ke arah intensif perlu disiapkan. Produk teknologi Apartemen Udang Galah yang memiliki beberapa manfaat terhadap kehidupan udang galah di kolam diharapkan mampu mengatasi persoalan di atas.
Udang galah merupakan komoditas perikanan yang berpotensi sebagai sumber devisa negara, telah dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (LIPI). Melalui Sarana pembenihan udang berkapasitas 3.000.000 ekor/bulan, dapat mensuplai benih kepada para petani udang di beberapa daerah di Indonesia. Dalam meningkatkan budi daya udang galah, peneliti LIPI berhasil menemukan cara agar udang galah terhindar dari sifat kanibalismenya. Yaitu dengan membangun apartemen untuk udang galah berupa bangunan dari bambu yang dibentuk secara bertingkat. Ini bisa meningkatkan produksi udang sampai 350%.
Perilaku udang yang kanibal (udang makan udang) mengakibatkan hasil pembibitan udang hanya berhasil 10%. Untuk itu para peneliti di Puslit. Limnologi LIPI membuat solusi teknologi untuk produksi udang, diantaranya dengan membentuk suatu 'apartemen udang galah'.
Menurut Dr. Ir. A. Fauzan, M.Sc, Puslit. Limnologi LIPI Cibinong, proses pembenihan udang galah dari mulai kawin hingga menetas butuh waktu sekitar 21 hari (lebih cepat dari cara konvensional yaitu 30 hari). Melalui teknologi yang dikembangkan LIPI, pembibitan udang ini berhasil hingga 50%. Cara yang dilakukan LIPI menurut Fauzan diantaranya dengan memperbaiki kwalitas induk, air, pakan, dan lingkungan. Hasilnya adalah Udang unggul yang mempunyai ukuran sama besar, lebih cepat diproduksi (21 hari), lebih cepat laku dijual, dan harganya lebih mahal.
Fauzan menjelaskan Apartemen udang galah ini merupakan suatu alat/cara untuk mengatasi masalah dan bisa meningkatkan kemampuan pembenihan/pembibitan dan perkembangbiakan serta produktivitas udang, karena tempatnya lebih nyaman dan luas. Dengan demikian mampu menyuplai benih siap tebar, benih ukuran tokolan (benih yang telah diseleksi, tumbuh cepat, penampilan bagus, masa pemeliharaan lebih pendek/cepat), dan udang ukuran konsumsi.
Keunggulan apartemen ini jelas Fauzan a.l. Sederhana, bahannya mudah didapat, harganya murah, dan usefull. Karena ruang tinggalnya makin luas, maka frekwensi pertemuan antar udang berkurang sehingga meminimalkan kanibalisme dan meningkatkan populasinya.
Pengaturan luas kamar pada Apartemen udang yang berukuran 20 x 20 x 20 Cm³ kata Fauzan, dihuni sekitar 30 ekor udang akan memberikan keamanan bagi udang dan menghindari kanibalisme. Selain itu, pemanfaatan air yang optimal, pemberian pakan dan pemeriksaan udang yang lebih efisien dan efektif, mendorong peningkatan populasinya sampai siap dipanen. Biasanya bobot udang ini akan lebih besar (tiga ekor udang per kg) dalam waktu enam bulan. Dan udang ini akan lebih cepat laku di pasaran.
Fauzan mengungkapkan dari satu hektar tebaran udang galah dengan menggunakan teknologi apartemen tersebut dapat menghasilkan 7 ton udang, yang sebelumnya hanya menghasilkan 2 ton. Ini berarti panenan meningkat 3,5 kali lipat. Dan yang penting juga, udang-udang yang hidup di apartemen terhindar dari lumpur yang ada di dasar kolam, sehingga penampilannya lebih bersih dan mudah dipasarkan.
Panti pembenihanyang dikelola LIPI juga memberikan pelatihan dan konsultasi kepada masyarakat petani ikan, perusahaan, dan instansi pendidikan (sekolah kejuruan/perguruan tinggi) dalam bentuk paket teknis pembenihan dan pengelolaan usahanya.
Proses produksi udang galah di kolam berapartemen merupakan pengembangan dari teknik budidaya udang galah pada kolam yang sudah lumrah dilakukan di petani. Bedanya terletak pada tingkat intensitas budidayanya yaitu prinsip pola penebaran benih/tokolan dari pola yang berpatokan pada jumlah ekor udang per luas kolam menjadi jumlah ekor udang per jumlah volume air kolam. Artinya dengan luas kolam yang sama, produksi udang diharapkan bisa menjadi berlipat.
Semua makhluk hidup butuh ruang yang cukup dan tempat tinggal yang aman dengan meniru habitat asli tempat tinggalnya. Kita bisa mendapatkan hasil yang berlipat ganda.
Sifat alami dari udang adalah membutuhkan tempat untuk singgah dan pada umumnya menempati bagian dasar kolam serta butuh ruang yang cukup untuk hidup atau terjadi kanibalisme di antaranya. Hal ini membatasi jumlah optimal udang yang dapat dipelihara di kolam budidaya udang galah intensif dan hasil panennya (1-2 ton / ha kolam).
Penggunaan ranting bambu, pelepah kelapa atau pisang untuk melindungi bibit udang pada proses pengembang biakan menunjukkan bahwa bibit udang ternyata merambat naik. Ini memberikan ide pembuatan apartemen dari bambu bagi udang galah dewasa dengan ukuran 20x20x20 cm dengan tinggi (jumlah tingkat) dan luas disesuaikan dengan keadaan kolam meningkatkan hasil panen beberapa kali lipat, juga keuntungan.
PEMBUDIDAYAAN UDANG
Sarana dan Fasilitas
Jenis tanah yang cocok untuk pemeliharaan Udang Galah adalah tanah yang sedikit berlumpur dan tidak poreous. Luas kolam yang digunakan dapat bervariasi antara 0,2 s/d 0,1 Ha. Sebaiknya berbentuk empat persegi panjang dengan kedalaman kolam antara 0,5 s/d 1,0 m. Dasar kolam harus rata dan dibuat kemalir (caren) secara diagonal dari saluran pemasukan sampai kesaluran pembuangan, hal ini memudahkan pemanenan. Kualitas air yang masuk ke kolam harus baik dan bebas dari polusi.
Pengelolaan Kolam
Sebelum kolam ditebar udang galah, kolam sebaiknya dipersiapkan terlebih dahulu secara baik dengan cara :
1.Kolam dikeringkan terlebih dahulu kemudian dicangkul untuk menggemburkan tanahnya dan biarkan selama 3 s/d 5 hari.
2.Untuk memberantas hama dan penyakit dasar kolam diberi kapur dengan dosis 50 s/d 100 gr/m2 , kapur dicampur dengan air kemudian disebarkan secara merata keseluruh permukaan dasar kolam dan dibiarkan selama 2 s/d 3 hari.
3.Kemudian kolam diisi dengan air mencapai kedalaman yang sudah ditentukan lalu diberi pupuk organik berupa kotoran ayam sebanyak 500-1.000 gr/m2 dengan maksud untuk menumbuhkan pakan alami.
Teknik Pemeliharaan
Benih Udang yang siap dipelihara dikolam adalah benih udang stadia juwana (juvenil / udang muda) atau tokolan.  Pemeliharaannya dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Monokultur
Pemeliharaan secara monokultur adalah pemeliharaan udang di kolam tanpa dicampur ikan lain. Padat penebaran sebanyak 5 s/d 10 ekor/m2 bila pemberian pakan  tidak intensif dan 20 s/d 30 ekor/m2 bila pemberian pakan secara intensif.
2. Polikultur
Pemeliharaan secar polikultur adalah pemeliharaan udang dikolam disatukan dengan ikan lain. Adapun ikan yang dapat dibudidayakan bersam udang adalah Ikan mola, ikan tawes, ikan nilem, dan ikan ”big head”. Padat penebaran udang galah sebanyak 1 s/d 5 ekor/m2 ukuran tokolan, sedangkan padat penebaran ikan 5 s/d 10 ekor/m2 ukuran 5 s/d 8 cm. Selama pemeliharaan dapat dilakukan pemupukan susulan setiap 2 s/d 3 minggu dengan pupuk urea 3 s/d 5 kg dan TSP 5 s/d 10 kg/Ha kolam.
Pemberian Pakan
Selain makanan alami, selama pemeliharaan udang galah perlu diberikan pakan tambahan berupa pellet udang dengan kadar protein 25 s/d 30 % karena makanan alami yang tersedia tergantung pada tingkat kesuburan perairan kolam. Pada pemeliharaan secara monokultur jumlah pakan tambahan yang diberikan mulai 20% menurun sampai 5% dari berat badan total populasi, dengan frekuensi pemberian 4 s/d 5 kali sehari. Sedangkan pada pemeliharaan polikultur jumlah pakan tambahan yang diberikan mulai 6% menurun sampai 3% dari berat badan total populasi, dengan frekuensi pemberian 4 s/d 5 kali sehari.

Friday, August 28, 2015

PENGARUH SUHU , SALINITAS ,ARUS, CAHAYA DAN UPWELLING TERHADAP IKAN

August 28, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
1. Suhu
1.1. pengertian suhu
           Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudera, suhu bervariasi secara horizontal sesuai garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relative sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C.  Selain itu, suhu juga sangat penting bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm. Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada suhu yang cocok, memiliki selera makan yang lebih baik.
Beberapa ahli mengemukakan tentang suhu :
ĂŒ  Nontji (1987), menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya.
ĂŒ  Hela dan Laevastu (1970), hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
ĂŒ  Nybakken (1988), sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar organisme laut bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu laut secara geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut dan penyebaran organisme secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi 4 zona biogeografik utama yaitu:
· kutub,
· tropic,
· beriklim sedang panas dan
· beriklim sedang dingin.
Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini, tetapi tidak mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan musim. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425, 2005).
Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang mampu hidup suhu yang sangat ekstrim. Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C.
1.2. Pengaruh suhu terhadap ikan
Menurut Laevastu dan Hela (1970), pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor yang paling penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut.
1.3. Dampak suhu terhadap ikan
Suhu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa. Suhu air akan berpengaruh terhadap proses penetasan telur dan perkembangan telur. Rentang toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda untuk setiap jenis/spesies ikan, hingga stadia pertumbuhan yang berbeda. Suhu memberikan dampak sebagai berikut terhadap ikan :
a) Suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
b) Peningkatan aktivitas metabolisme ikan
c) Penurunan gas (oksigen) terlarut
d) Efek pada proses reproduksi ikan
e) Suhu ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan. (Anonim, 2009. SITH ITB)
2. Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan 0/00 (per mil, gram perliter). Di perairan samudera, salinitas berkisar antara 340/00 – 350/00. Tidak semua organisme laut dapat hidup di air dengan konsentrasi garam yang berbeda. Secara mendasar, ada 2 kelompok organisme laut, yaitu organisme euryhaline, yang toleran terhadap perubahan salinitas, dan organisme stenohaline, yang memerlukan konsentrasi garam yang konstan dan tidak berubah. Kelompok pertama misalnya adalah ikan yang bermigrasi seperti salmon, eel, lain-lain yang beradaptasi sekaligus terhadap air laut dan air tawar. Sedangkan kelompok kedua, seperti udang laut yang tidak dapat bertahan hidup pada perubahan salinitas yang ekstrim. (Reddy, 1993).
Salinitas merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme antara lain yaitu mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan daya kelangsungan hidup. (Andrianto, 2005).
2.1. Sebaran salinitas di laut
dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut (Nontji, 1993) :
ĂŒ  pola sirkulasi air,
ĂŒ  penguapan,
ĂŒ  curah hujan, dan
ĂŒ  aliran air sungai.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kedalaman 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan.Di lapisan dengan salinitas homogen suhu juga biasanya homogen, baru di bawahnya terdapat lapisan pegat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah. (Nontji, 1993).
Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.
Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas :
1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.
2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.
3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.
Distribusi salinitas permukaan juga cenderung zonal. Air laut bersalinitas lebih tinggi terdapat di daerah lintang tengah dimana evaporasi tinggi. Air laut lebih tawar terdapat di dekat ekuator dimana air hujan mentawarkan air asin di permukaan laut, sedangkan pada daerah lintang tinggi terdapat es yang mencair akan menawarkan salinitas air permukaannya.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya. Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer method).
Volume air dan konsentrasi dalam fluida internal tubuh ikan dipengaruhi oleh konsentrasi garam pada lingkungan lautnya. Untuk beradaptasi pada keadaan ini ikan melakukan proses osmoregulasi, organ yang berperan dalam proses ini adalah insang dan ginjal. Osmoregulasi memerlukan energi yang jumlahnya tergantung pada perbedaan konsentrasi garam yang ada antara lingkungan eksternal dan fluida dalam tubuh ikan. Toleransi dan preferensi salinitas dari organisme laut bervariasi tergantung tahap kehidupannya, yaitu telur, larva, juvenil, dan dewasa. Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup. (Reddy, 1993).
3. Arus
Arus laut adalah gerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain.
Arus laut dapat terjadi karena :
· perbedaan salinitas massa air laut,
· tiupan angin,
· pasang surut, atau perbedaan permukaan samudera.
Arus karena perbedaan salinitas terjadi di kedalaman laut dan tidak dapat dilihat gejalanya dari permukaan laut. Di permukaan samudera, arus laut terjadi terutama karena tiupan angin. Arus yang terjadi di permukaan samudera memiliki pola-pola tertentu yang tetap. Di tempat-tempat tertentu arus laut terjadi kerana perbedaan ketinggian permukaan samudera. Di teluk-teluk atau muara sungai, arus dipengaruhi oleh pasang surut.
3.1. Pengaruh arus terhadap keberadaan ikan
Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan, hubungan arus terhadap penyebaran ikan adalah arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dan daerah pemijahan ke daerah pembesaran dan ke  tempat mencari  makan.  Migrasi ikan-ikan dewasa disebabkan arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; tingkah laku ikan dapat disebabkan arus, khususnya arus pasut, arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokan makanan. (Lavastu dan Hayes 1981).
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus. (Reddy, 1993).
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddi (melalui rantai makanan). (Reddy, 1993).
4. Cahaya
Disebutkan bahwa cahaya merangsang dan menarik ikan (fototaxis positif), sifat fototaxis ini dapat berubah – ubah tergantung kepada tingkathidup dan kedewasaan jenis ikan itu sendiri (Brand, 1964).
Ikan tertarik oleh cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut phototaxis. Dengan demikian, ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan fhototaxis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis.
Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah penyesuaian intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk menerima cahaya. Dengan demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber cahaya sangat berbeda-beda. Ada ikan yang sangat senang pada intensitas cahaya yang rendah, tetapi ada pula ikan yang senang terhadap intensitas cahaya yang tinggi.
Menurut Nikonorov (1975), menyatakan bahwa tingkah laku ikan di bawah sumber cahaya lampu, adalah tidak normal karena ikan tidak dapat meninggalkan sumber cahaya lampu, bahkan kadang – kadang terdapat keganjilan, misalnya ada  beberapa tingkah laku ikan yang terlihat mendekati sumber cahaya, kemudian berenang cepat sekali sambil berputar – putar mengelilingi sumber cahaya, sesudah itu berlompatan ke atas permukaan.
Menurut Ben Yami, M (1976) bahwa adanya cahaya bulan dalam light fishingmemberikan pengaruh negatif, cahaya bulan membuat ikan menjadi enggan, bahkan tidak lagi tertarik pada cahaya lampu. Hal ini disebabkan karena penerangan cahaya lampu berkurang oleh adanya cahaya bulan,
Laevastu dan Hela (1970), menyatakan bahwa dengan diketahui sifat fototaxis, maka biasanya penangkapan ikan akan lebih efektif di lakukan sebelum tengah malam, hal ini disebabkan adanya memanjang dan memendekannya sel – sel kerucut retina mata ikan. Jenis – jenis ikan yang mudah ditarik dan dikumpulkan dengan cahaya lampu antara lain : Ikan Lemuru (Sardinella longiceps), Ikan Layang (Decapterus russeli), Ikan Kembung(Rastrelliger, sp), Cumi – cumi (Loligo sp) dan ikan lainnya.
Subani (1972) menyatakan bahwa pada waktu bulan purnama tingkat keberhasilan penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya lampu biasanya rendah. Hal ini karena cahaya terbagi rata, padahal penangkapan ikan dengan lampu diperlukan keadaan gelap guna menarik ikan – ikan ke titik yang terang.
Menurut laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa ikan – ikan pelagis hanya berkumpul pada suatu titik cahaya selama 1 – 2 jam setelah itu ikan akan menyebar menjauhi cahaya. Hal ini disebabkan karena ikan – ikan sudah kenyang atau juga adanya pemangsa (predator) yang berputar – putar mengililingi cahaya lampu serta berlompatan ke permukaan perairan.
Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), bahwa dengan menggunakan cahaya lampu sebagai pemikat ikan maka ;
a. Nelayan tidak sulit mencari gerombolan ikan.
b. Hasil tangkapan cenderung lebih pasti jumlahnya, dan meningkat.
c. Menghemat waktu dan lain – lainnya.
Usemahu dan Tomasila (2003) menyatakan agar penangkapan dengan cahaya lampu dapat memberikan hasil dan daya guna yang maksimal diperlukan syarat – syarat antara lain sebagai berikut ;
a.  Mampu mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh.
b.  Ikan – ikan tersebut hendaklah akan tertangkap (catchable area).
c.  Setelah ikan terkumpul, hendaklah ikan –ikan tersebut tetap berada di san pada      suatu jangka waktu tertentu, dan
d.  Sekali ikan terkumpul pada sumber cahaya hendaklah ikan – ikan tersebut tidak melarikan diri ataupun menyebarkan diri (berserakan).
4.1.  Pengaruh cahaya
Ikan bersifat fototaktik (responsif terhadap cahaya) baik secara positif maupun negatif. Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan pada malam hari, satu fakta yang digunakan dalam penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain dan pada beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam sehari. Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah matahari terbenam, ikan-ikan ini menyebar pada kolom air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam setelah matahari terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu siang hari di dasar selanjutnya naik dan menyebar pada kolom air pada malam hari.
Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan. Jumlah cahaya juga mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak pada malam hari dibandingkan pada siang hari. (Reddy, 1993).
5. Upwelling
5.1. Pengertian Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993). Menurut Barnes (1988), proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu :
1. Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke permukaan.
2. Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang di utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal ini terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut.
3. Ketiga, upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan dapat disebabkan karena terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik ke permukaan.  (Nontji, 1993).
5.2. Meningkatnya densitas ikan pelagis pada perairan upwelling disebabkan oleh
ketersediaan makanan yang cukup untuk larva dan ikan kecil dan besar. Termasuk ikan pelagis pemangsa seperti tuna yang bermigrasi ke dekat lokasi upwelling. Perairan upwelling  dicirikan dengan nilai suhu  permukaan laut yang rendah di bawah 28°C dan diikuti naiknya kandungan klorofil-a (0.8 - 2.0 mg).
Berdasarkan beberapa penelitian, upwelling di Indonesia terjadi antara lain :
1. di Samudra Hindia selatan
2. Pulau Jawa
3. Nusa Tenggara Barat
4. Sumatra,
5. laut di Kepulauan Maluku,
6. Selat  Makasar, perairan Kepulauan Selayar, Laut Banda dan Laut Arafura.
Pergerakan massa air yang disebabkan oleh perubahan iklim musiman (monsoon) juga berperan dalam penyebaran (migrasi) ikan terutama jenis pelagis. Wilayah yang di pengaruhi oleh fenomena ini adalah
1. Proses pelepasan material   (discharge)  yang beragam dari pantai ke laut merupakan fenomena oseanografi yang berpotensi dapat menurunkan kualitas air.
2. Selanjutnya  di  khawatirkan akan mengganggu kese imbangan ekosistem pesisir serta penurunan potensi sumberdaya perikanan laut.
5.3. Tipe upwelling                                                                                                                                  setidaknya ada 5 tipeUpwelling, yaitu :
1.   Coastal upwelling
Merupakan upwelling yang paling umum diketahui, karena membantu aktivitas manusia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.  Upwelling ini terjadi karena, efek coriolis yang membelokan angin kemudian permukaan laut akan terbawa oleh angin menjauhi pesisir, sehingga air laut dalam yang mengadung nutrien sangat tinggi, akan menggantikan air permukaan yang terbawa olehangin.  Daerah yang sering terjadi coastal upwelling adalah pesisir Peru, Chili, Laut Arabia, Barat Daya Afrika, Timur New Zealand, Selatan Brazil, dan pesisir California
2.  Equatorial Upwelling
Serupa dengan coastal upwelling namun, lokasi terjadi berada di daerah equator.
3.  Southern Ocean Upwelling
Upwelling yang disebabkan oleh angin yang berhembus dari barat bertiup ke arah timur di daerah sekitar Antartica membawa air dalam jumlah yang sangat besar ke arah utara.  Upwelling ini serupa dengan coastal upwelling, namun berbeda dalam lokasi, karena pada daerah selatan tidak ada benua atau daratan besar antara Amerika Selatan dan Antartika, sehingga upwelling ini membawa air dari daerah laut dalam.
4.   Tropical Cyclone Upwelling
Upwelling yang disebakan oleh tropical cyclone yang melewati area.  Biasanya hanya terjadi pada cyclone yang memiliki kecepatan 5 mph (8 km/h).
5.   Artificial Upwelling
Tipe upwelling, yang disebabkan oleh energi gelombang atau konversi dari energi suhu laut yang dipompakan ke permukaan.  Upwelling jenis ini yang menyebabkan blooming algae Secara ekologis, efek dari upwelling berbeda-beda, namun ada dua akibat yang utama :
·  Pertama, upwelling membawa air yang dingin dan kaya nutrien dari lapisan dalam, yang mendukung pertumbuhan seaweed dan blooming phytoplankton.  Blooming phytoplankton tersebut membentuk sumber energi bagi hewan-hewan laut yang lebih besar termasuk ikan laut,mamalia laut, serta burung laut.
·  Akibat kedua dari upwelling adalah pada pergerakan hewan.  Kebanyakan ikan laut dan invertebrata memproduksi larva mikroskopis yang melayang-layang di kolom air. Larva-larva tersebut melayang bersama air untuk beberapa minggu atau bulan tergantung spesiesnya.  Spesies dewasa yang hidup di dekat pantai, upwelling dapat memindahkan larvanya jauh dari habitat asli, sehingga mengurangi harapan hidupnya.  Upwellingmemang dapat memberikan nutrien pada perairan pantai untuk produktifitas yang tinggi, namun juga dapat merampas larva ekosistem pantai yang diperlukan untuk mengisi kembali populasi pantai tersebut.

Oleh Muhammad Ali Rohman

Thursday, August 27, 2015

MENGENAL ALAT TANGKAP IKAN BARONANG

August 27, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Alat Tangkap Ikan Baronang
Alat  penangkapan ikan di Indonesia dibagi atas sepuluh jenis alat tangkap yaitu trawl, pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat pengumpul kerang dan rumput laut, muroami, dan alat tangkap lainnya (Sudirman dan Mallawa 2004). Alat tangkap yang banyak digunakan nelayan di perairan Kepulauan Seribu khususnya dalam penangkapan ikan baronang yaitu, menggunakan alat tangkap perangkap (bubu dasar) dan jaring.
Bubu adalah alat tangkap yang sudah lama dikenal oleh nelayan, terutama untuk menangkap sumber daya ikan di perairan. Bubu dibuat dari anyaman bambu, anyaman rotan, dan anyaman kawat. Bentuknya ada yang seperti silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang atau segitiga memanjang. Bubu termasuk alat tangkap yang pasif, biaya pembuatannya relatif murah dan mudah dalam pengoperasian (Subani dan Barus 1989).
Dalam pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tanpa umpan, selain itu alat tangkap bubu biasanya digunakan pada daerah karang. Umumnya bubu yang digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu badan atau tubuh bubu, lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan, dan mulut bubu (Sudirman dan Mallawa 2004).
Alat tangkap selain bubu yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan baronang di perairan Kepulauan Seribu adalah jaring lingkar (Surrounding Gill Net). Alat tangkap jaring lingkar biasanya digunakan untuk menangkap ikan di daerah lamun, pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan ikan dengan jaring, antara lain untuk menghadang arah lari ikan. Agar gerombolan ikan dapat dilingkari atau ditangkap dengan sempurna, maka bentuk jaring sewaktu operasi dapat membentuk lingkaran, setengah lingkaran, bentuk huruf V atau U, bengkok seperti alur gerombolan ikan (Sudirman dan Mallawa 2004).
Pertumbuhan
Pertumbuhan pada tingkat individu dapat diartikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau bobot dari suatu organisme selama waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi sebagai pertambahan jumlah individu. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks, sangat dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam. Faktor luar seperti jumlah pakan yang tersedia, jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan sumber-sumber pakan yang sama dan kualitas air. Faktor dalam seperti umur, ukuran dan jenis ikan itu sendiri. Faktor yang umumnya sukar dikontrol adalah keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit.
Ricker (1975) menyatakan bahwa terdapat dua macam pola pertumbuhan ikan yaitu pola pertumbuhan isometrik dan allometrik. Isometrik apabila pertumbuhan bobot seimbang dengan pertambahan panjang ikan dan pola pertumbuhan allometrik apabila pertumbuhan bobot tidak seimbang dengan pertambahan panjang ikan.
Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya ditujukan untuk menentukan ukuran badan ikan sebagai fungsi dan waktu. Untuk menghitung pertumbuhan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran panjang tubuh atau bobot tubuh. Di daerah tropis, aspek pertumbuhan ikan yang dipelajari paling banyak mempergunakan pendekatan frekuensi panjang. Analisa frekuensi panjang ini akan mendistribusikan jumlah ikan dalam setiap kelompok panjang. Tahap-tahap dalam menganalisis data ukuran panjang meliputi penentuan selang kelas ukuran panjang dari ikan, menentukan frekuensi panjang masing-masing kelas ukuran dan menentukan nilai tengah dari kelas ukuran panjang (Walpole 1992). Sebaran data frekuensi panjang yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk  pendugaan umur ikan. Berdasarkan data panjang dapat ditentukan panjang ikan maksimum (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K). Hubungan umur dengan panjang ikan dapat dikonversi untuk mendapatkan data komposisi umur. Kemudian data komposisi umur digunakan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan (Sparre dan Venema 1999).
Hubungan Panjang Bobot
Hubungan panjang bobot ikan bertujuan untuk melihat pola pertumbuhan ikan dengan parameter panjang dan bobot. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang atau sebaliknya. Selain itu, dapat diketahui juga pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 2002).
Pengukuran panjang tubuh ikan memberikan bukti langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan. Panjang tubuh ikan dapat diukur dengan cara mengamati panjang total, panjang cagak, dan panjang baku. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau pangkal sirip ekor (Effendie 2002).
Effendie (2002) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb(W=berat, L=panjang, a dan b adalah suatu konstanta). Nilai b berfluktuasi antara 2,5 dan 4 tetapi kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan.
Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobot. Nilai b ≠ 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b<3 b="" bobot.="" cepat="" dari="" ikan="" jika="" lebih="" menunjukkan="" panjang="" pertambahan="">3 menunjukkan pertambahan bobot ikan lebih cepat dari pertambahan panjang ikan (Effendie 2002). 
Ekologi Ikan Karang Secara Umum
Setiap spesies ikan karang memiliki habitat yang berbeda-beda tergantung ketersediaan makanan dan beberapa parameter fisika seperti kedalaman, kejernihan air, arus dan gelombang. Besarnya spesies yang ditemukan di karang mencermikan habitat tersebut mempunyai kondisi habitat yang mendukung bagi pertumbuhan ikan. Di perairan karang terdapat banyak habitat yang bisa didiami oleh ikan-ikan dibandingkan perairan yang lebih dalam karena tidak terdapat barier untuk berlindung dari arus dan predasi (Allen 1999).
Kedalaman perairan untuk ikan karang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: perairan dangkal (0-4 m), intermedit (5-19 m), dan perairan dalam (20 m). batas kedalaman tersebut dapat berbeda tergantung dari jenis habitat dan kondisi perairan laut. Lingkungan dangkal dicirikan dengan adanya gelombang yang rendah di area yang terlindungi atau tertutup seperti pesisir dan laguna. Sebaliknya di luar struktur karang gelombang permukaan terkadang dapat mencapai sekitar 10 m. Jenis ikan karang dan terumbu karang yang baik tersedia pada zona perairan intermedit, karena pada daerah tersebut sinar matahari optimal bagi pertumbuhan karang, gelombang relatif kecil meskipun arus biasanya kencang (Allen 1999).
Parameter Lingkungan Perairan
1. Suhu
Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perubahan bentuk luar dari karang. Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-290C. Keanekaragaman jenis dan keadaan seluruh kehidupan pantai cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu. Distribusi suhu di perairan estuari sebagian besar dipengaruhi oleh kedalaman yang merupakan efek masukan air dari sungai dan pengaruh perubahan pasang surut. 
2. Kedalaman
Kedalaman merupakan faktor fisika yang berhubungan dengan banyaknya volume air yang masuk dalam suatu perairan. Pengaruh kedalaman berhubungan dengan kecerahan dan arus perairan. Padang lamun membutuhkan penetrasi cahaya yang cukup agar dapat melakukan fotosintesis (Merryanto 2000). Perbedaan tekanan pada setiap kedalaman perairan akan berpengaruh terhadap proses osmoregulasi pada tubuh organisme. Dengan demikian organisme akan berusaha agar tekanan osmosis dalam tubuh organisme berjalan dengan baik. 
3. Kecerahan atau Intensitas Cahaya
Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis.  Tingkat kecerahan yang tinggi sangat mendukung kehidupan lamun dan vegetasi air lain untuk melangsungkan proses fotosintesis (Merryanto 2000). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang juga (Nybakken 1992).
4. Salinitas
Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah bobot  semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan °/oo (permil). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1993). Secara fisiologis, salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimal bagi kehidupan karang berkisar 32-35 ‰. Oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup di daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan salinitas yang tinggi (Nybakken 1992).
5. Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodic jangka panjang antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (pasut). Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati diperairan teluk dan pantai. Disamping itu juga, arus dapat membersihkan polip dari  kotoran yang menempel. Oleh karena itu pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan yang tenang dan terlindung (Nontji 1987).
6. Derajat Keasaman
Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogen. Menurut Nybakken (1988), kisaran pH yang optimal untuk air laut berkisar antara 7,5-8,5. Menurut Phillips dan Menez (1988), kisaran pH yang baik untuk lamun adalah pada saat pH air normal, yaitu 7,8-8,5 karena pada saat tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosĂ­ntesis oleh lamun dalam keadaan melimpah. Menurut Tomascik et al. (1997) habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang adalah yang memiliki pH yang bersifat basa (berkisar 8,2 – 8,5).
Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997 dalam Widodo & Suadi 2006). Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo dan Suadi 2006).
Secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi ke dalam empat kelompok yaitu biologis, ekologis, ekonomis dan sosial,  tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Beberapa contoh yang termasuk dalam setiap kelompok tujuan tersebut antara lain menjaga spesies target berada pada tingkat yang diperlukan untuk menjamin produktivitas yang berkelanjutan, meminimalkan berbagai dampak penangkapan atas lingkungan fisik dan nontarget (hasil tangkapan sampingan), memaksimumkan pendapatan bersih bagi nelayan yang terlibat dalam perikanan (tujuan ekonomi) dan memaksimumkan kesempatan kerja bagi masyarakat pesisir (tujuan sosial) (Widodo dan Suadi 2006).

Wednesday, August 26, 2015

BERBISNIS IKAN BARONANG (Siganus canaliculatus (Park, 1797) )

August 26, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Ikan baronang
Baronang (Siganus Sp.)adalah ikan laut yang termasuk famili Siginidae. Ikan beronang dikenal oleh masyarakat dengan nama yang berbeda-beda satu sama lain seperti di Pulau Seribu dinamakan kea-kea, di Jawa Tengah dengan namabiawas dan nelayan-nelayan di Pulau Maluku menamakan dengan sebutansamadar. Baronang ditemukan di perairan dangkal laguna di Indo-Pasifik dan timurMediterania. ikan ini dalam bahasa inggris disebut rabbitfish hal ini karena pemakan tumbuh-tumbuhan (rumput laut) yang rapi seperti dipangkas mesin rumput kecil. Baronang merupakan salah satu ikan yang menjadi favorit bagi para pemancing di laut.
Ciri-ciri
baronang angin
Ikan baronang termasuk herbivora , panjang tubuh ikan baronang dewasa mencapai 20-45 cm, tubuhnya membujur dan memipih lateral, dilindungi oleh sisik-sisik yang kecil, mulut kecil posisinya terminal. Rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil. Punggungnya dilengkapi oleh sebuah duri yang tajam mengarah ke depan antara neural pertama dan biasanya tertanam di bawah kulit. Duri-duri ini dilengkapi dengan kelenjar bisa/racun pada ujungnya. Racun hewan ini tidak mematikan hidup manusia dewasa, tapi dapat menyebabkan sakit parah. meskipun duri ikan baronang beracun tetapi daging hewan ini aman untuk dikonsumsi.
A. Deskripsi dan Taksonomi  Ikan Baronang (Siganus Spp)
Ikan beronang dikenal oleh masyarakat dengan nama yang berbeda-beda satu sama lain seperti di Pulau Sribu dinamakan kea-kea, di Jawa Tengah dengan nama biawas dan nelayan-nelayan di Pulau Maluku menamakan dengan sebutan samadar.
Ikan beronang termasuk famili Siginidae dengan tanda-tanda khusus sebagai berikut tubuhnya membujur dan memipih latural, dilindungi oleh sisik-sisik yang kecil, mulut kecil posisinya terminal. Rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil. Punggungnya dilengkapi oleh sebuah duri yang tajam mengarah ke depan antara neural pertama dan biasanya tertanam di bawah kulit. Duri-duri ini dilengkapi dengan kelenjar bisa/racun pada ujungnya.
Secara lengkap taksonomi ikan beronang adalah sebagai berikut.
Kingdom
: Animalia
Filum    
: Chordata
Kelas    
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo     
: Perciformes
Famili 
: Siganidae
Genus 
: Siganus
Spesies 
: S. canaliculatus (Park, 1797)
Nama Lokal
: Samadar, Muriat
B. Kebiasaan Makanan  Ikan Baronang (Siganus Spp)
Sesuai dengan morfologi dari gigi dan saluran pencernaannya yaitu mulutnya kecil, mempunyai gigi seri pada masing-masing rahang, gigi geraham berkembang sempurna, dinding lambung agak tebal, usus halusnya panjang dan mempunyai permukaan yang luas, ikan beronang termasuk pemakan tumbuh-tumbuhan, tetapi kalau dibudidayakan ikan beronang mampu memakan makanan apa saja yang diberikan seperti pakan buatan.
C. Pertumbuhan dan perkembangan  Ikan Baronang (Siganus Spp)
Variasi jumlah telur ikan baronang yang berukuran panjang 22-27 cm adalah antara 200.000-1.300.000 butir. Juwana baronang S. guttatus yang berukuran D35 dapat mencapai berat 5o g atau panjang total 12 cm dalam 115 hari. Sementara itu, baronang S. canaliculatus dapat mencapai berat 93 g/ekor selama 5 bulan pemeliharaan dari benih berukuran 25 g/ekor.Spesies yang dikenal
Baronang susu
Di Indonesia secara umum dikenalBaronang susu (Siganus canaliculatus), baronang tompel (Siganus guttatus) danbaronang angin (Siganus javus), dari ketiga jenis itu yang paling banyak ditemui adalah baronang susu. Selain itu terdapat baronang lada (Siganus stellatus), baronang batik (Siganus vermiculatus), baronang kalung (Siganus virgatus), baronang kunyit dll namun, lantaran populasinya sudah langka, jenis-jenis yang terakhir ini jarang.
Reproduksi
S.canaliculatus jantan mencapai dewasa pada ukuran 11-14 cm dan betina 13-21 cm. Musim pemijahan S.canaliculatus berlangsung sekitar Januari hingga April dan puncaknya pada bulan Februari sampai Maret serta musim kedua pada bulan Juli hingga Oktober. Berdasarkan fase bulan, S. gutattus memijah sekitar fase seperempat bulan pertama di bulan Juni dan Juli, sedangkan S. canaliculatus dan S. spinus memijah sekitar fase bulan baru dari April sampai Juni dan dari bulan Mei sampai Juli (Harahap et al. 2001 dalam Munira 2010). Hal ini menunjukkan bahwa fase atau umur bulan adalah pemicu dalam aktivitas reproduksi bagi ikan Siganidae. 
Ciri Morfometrik
Karakter morfologis (morfometrik dan meristik) telah lama digunakan dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam pengkategorian variasi dalam taksonomi. Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan misalnya panjang total dan panjang baku. Ukuran ini merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomik saat mengidentifikasi ikan. Tiap spesies mempunyai ukuran mutlak yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya. Faktor lingkungan misalnya makanan, suhu, pH dan salinitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan (Affandi et al. 1992 dalam Irwan 2008). 
Menurut Affandi et al. (1992) dalam Irwan (2008) ada 26 karakter morfometrik yang biasa digunakan dalam mengidentifikasi ikan diantaranya panjang total, panjang ke pangkal cabang sirip ekor, panjang baku, panjang kepala, panjang bagian di depan sirip punggung, panjang dasar sirip punggung dan sirip dubur, panjang batang ekor, tinggi badan, tinggi batang ekor, tinggi kepala, lebar kepala, lebar badan, tinggi sirip punggung dan sirip dubur, panjang sirip dada dan sirip perut, panjang jari-jari sirip dada yang terpanjang, panjang jari-jari keras dan jari-jari lemah, panjang hidung, panjang ruang antar mata, lebar mata, panjang bagian kepala di belakang mata, tinggi di bawah mata, panjang antara mata dengan sudut preoperkulum, tinggi pipi, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, dan lebar bukaan mulut. 
1  Ekosistem Terumbu Karang
Salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas tinggi adalah terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan tropis dengan subtropis  maupun kutub. Ekosistem terumbu karang  mempunyai sifat yang sangat menonjol yaitu mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Besarnya produktivitas yang dimiliki terumbu karang disebabkan adanya pendaur ulang zat-zat hara melewati proses hayati secara efisien. Ekosistem terumbu karang ditandai dengan perairan yang hangat dan jernih, produktif dan kaya kalsium karbonat (CaCO3) (Nontji 1987).
Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik sangat tinggi. Dapat dianalogikan terumbu karang seperti oasis di padang pasir, yang memiliki keanekaragaman biota laut yang kaya. Terumbu karang selain berfungsi sebagai habitat bagi biota-biota laut, juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus. Terumbu karang juga merupakan salah satu komponen utama sumberdaya perairan laut (Nontji 1987). 
Ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, kedalaman, eutrofikasi dan cahaya. Perkembangan karang yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya    23 – 25 ÂșC.Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman, kebanyakan hewan karang tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Cahaya adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang (Nybakken 1992).
Berdasarkan kebutuhan akan cahaya, karang di bagi dua kelompok besar yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik menghasilkan terumbu (reef) sedangkan karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu (Nybakken 1992). Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatipik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Zoonxanthellae mempengaruhi laju penumpukan zat kapur oleh polip karang (Thamrin 2006).
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Menurut Nontji 1987 sebagai sumberdaya hayati terumbu karang dapat pula menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomis yang penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, kerang mutiara. Bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
2  Ekosistem Padang Lamun
Padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi perairan wilayah pesisir. Secara taksonomi lamun termasuk kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas pada lingkungan laut dan umumnya hidup diperairan dangkal pesisir. Lamun tumbuh dan berkembang di lingkungan perairan pesisir  mulai dari daerah pasang surut sampai kedalaman 40 meter (Kiswara 1997). Tumbuhan lamun memiliki struktur morfologis yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji.
Lamun juga memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, berbunga, dan sistem transportasi internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas dan nutrien. Akar pada tumbuhan lamun tidakberfungsi penting dalam pengambilan air, karena daun dapat menyerap secara langsung nutrien dari dalam air laut. Tumbuhan lamun dapat menyerap nutrient dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung akar (McKenzie & Yoshida 2009). 
Lamun mempunyai bentuk tanaman yang sama halnya seperti rumput di daratan, yaitu mempunyai bagian tanaman seperti rimpang yang menjalar, tunas tegak, seludang atau pelepah daun, helaian daun, bunga dan buah. Bentuk vegetatif lamun mempunyai keseragaman yang tinggi. Hampir semua jenis lamun mempunyai rimpang yang berkembang baik dan bentuk helaian daun yang memanjang (linear) atau bentuk sangat panjang seperti pita dan ikat pinggang, kecuali pada marga Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur atau lonjong (Lanyon 1986 dalam Kiswara 2009).
Den Hartog (1970); Phillips dan Menez (1988) menyatakan bahwa tumbuhan lamun memiliki beberapa sifat yang memungkinkan dapat berhasil hidup di laut, antara lain :
1. Mampu hidup di media asin.
2. Mampu berfungsi normal di bawah permukaan air.
3. Mempunyai sistem berkembang biak.
4. Mampu melaksanakan daur generatif dalam air.
5. Mampu berkompetisi dengan organisme lain dalam lingkungan air laut.
Kemampuan adaptasi lamun yang cukup baik tersebut menyebabkan lamun memiliki penyebaran yang luas. Komunitas lamun umumnya terdapat pada daerah mid-interidal sampai kedalaman 50-60 m, dan biasanya sangat melimpah di daerah sublitoral. Lamun dapat hidup pada semua tipe substrat, mulai dari lumpur sampai batu-batuan, tetapi lamun yang luas dijumpai pada substrat lunak (Nybakken 1997).
Menurut Nybakken (1988), fungsi ekologis padang lamun adalah : (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil  dasar  perairan  dengan  sistem  perakarannya   yang  dapat  sebagai perangkap sedimen  (trapping  sediment),  (4) tempat  berlindung  bagi  biota  laut,  (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan  (feeding  ground)  bagi  biota-biota  perairan  laut, (6) pelindung  pantai dengan  cara  meredam  arus,   
(7) penghasil  oksigen  dan  mereduksi  CO2  di  dasar perairan.