Laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang sangat berpotensi terjadinya bencana. Bencana yang paling banyak kita temui didaerah pesisir adalah kerusakan akibat gempa bumi, tsunami, banjir pasang surut, sedimentasi, dan abrasi. Gempa bumi sering terjadi di kawasan pesisir dan sekitar pulau-pulau kecil, bahkan episentrumnya seringkali berpusat di wilayah laut (Kawaroe, 2004). Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia yaitu: Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur, menjadikan Indonesia rawan terkena gempa bumi.
Secara umum kerusakan yang terjadi akibat bencana tidak sedikit. Disamping kerusakan bangunan fisik, ekosistem pesisir pun menjadi rusak berat. Masalah sedimentasi dan abrasi dirasakan sangat mengganggu aktivitas pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Misalnya dengan adanya konversi lahan hutan bakau menjadi tambak tanpa pertimbangan yang tepat pada gilirannya akan memicu laju sedimentasi dan abrasi secara tidak terkendali. Besarnya potensi bencana jika tidak disertai dengan tingkat kesiapsiagaan masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi bencana akan berakibat pada besarnya jumlah korban jiwa dan kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir. Kurangnya perencanaan yang berbasis mitigasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut (Anonim, 2008).
Kerusakan lingkungan pesisir akibat bencana dapat diminimalisasi dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan upaya mitigasi bencana berbasis pengelolaan ekosistem dan sumberdaya yang ada dikawasan lingkungan pesisir yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengatasi degradasi lingkungan pesisir yang terus berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis dan menyeluruh sebelum dilakukan pengembangan dan pemanfaatan dalam skala yang lebih luas.
KONSEPSI BENCANA
Bencana mempunyai definisi yang bermacam-macam. Ongkosongo (2004) mendefinisikan bencana sebagai sebuah dampak kegiatan yang memberikan efek negatif terhadap manusia. UU No 27 Tahun 2007 menjelaskan secara umum bencana pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan atau hayati pesisir yang mengakibatkan korban jiwa, harta, dan kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berbagai bencana yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini telah melahirkan kebijakan baru dalam konteks manajemen bencana. Dalam lingkaran manajemen bencana terdapat tiga komponen besar yang dilakukan yaitu kegiatan prabencana, tanggap darurat saat terjadi bencana dan kegiatan pasca bencana. Jika selama ini manajemen bencana lebih menitikberatkan pada aspek penanganan tanggap darurat dan pasca bencana yang ternyata terdapat banyak kelemahan, maka ke depannya manajemen bencana lebih menitikberatkan kegiatan prabencana yaitu kegiatan mitigasi bencana dalam kerangka mengurangi risiko dan dampak bencana (Zakaria, 2009).
Beberapa bentuk kerusakan yang kemudian di kategorikan sebagai bencana di wilayah pesisir menurut Mihardja (2004) adalah: pencemaran, kerusakan hutan mangrove, kerusakan terumbu karang dan lamun, abrasi, perubahan tata guna lahan, algae blooming, kematian ikan. Penyebab kerusakan tersebut adalah: penebangan hutan mangrove, pengeboman ikan di sekitar karang, buangan limbah di kawasan perairan, pembangunan yang menyebabkan degradasi lingkungan, Bencana alam.
UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana pasal 35d dan 39 mengamanatkan pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang penjelasan pasal 5 ayat (2) menjelaskan penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana, lebih lanjut UU No. 27 tahun 2007 pasal 7 ayat 3 mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir yang berbasis mitigasi bencana.
PRINSIP MITIGASI UNTUK WILAYAH PESISIR
Mitigasi bencana merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini dilakukan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi (Nurhasanah dan Aprizal, 2007). Masyarakat sangat besar perannya dalam penanggulangan bencana sehingga perlu ditingkatkan kesadaran, kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinannya terhadap peraturan yang ada. Selain itu juga perlu dipikirkan penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana. Pendekatan ini ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya dan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam perencanaan, penggunaan lahan, pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir (Pratikto, 2004).
Aktifitas mitigasi bencana sesungguhnya adalah upaya untuk mengeliminasi kemungkinan terjadinya bencana, atau mengurangi efek dari bencana yang tidak dapat dicegah kejadiannya (Warfield, tanpa tahun). Selanjutnya disebutkan bahwa efektifitas tindakan mitigasi bencana tergantung pada ketersediaan informasi tentang bencana, resiko keadaan darurat (emergency risks), dan tindakan tanggapan (counter measures) yang diambil. Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar resiko yang ada dapat diminimalisir.
Menurut Ongkosongo (2004) ternyata daerah pantai, pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian yang dinamik, karena berhubungan dengan kondisi lingkungan yang juga dinamik. Dinamika tersebut dapat terjadi karena gerakan massa air, serta akibat bencana alam yang sering terjadi di wilayah lepas pantai seperti gempa, banjir pasang, dan angin besar. Tahapan untuk melakukan deteksi, mitigasi dan pencegahan degradasi akibat bencana dapat dilakukan dengan mempertimbangkan akar masalah penyebab degradasi, komponen utama yang menjadi pokok pendeteksi, satuan upaya deteksi dan tindakan umum deteksi bencana. Menurut Clarks (1996) prinsip mitigasi bencana di suatu wilayah mencakup:
1. Peningkatan antisipasi kerusakan adalah bentuk mitigasi yang menunjukkan ‘peningkatan penanganan’ kerusakan sederhana dari sebuah ekosistem.
2. Mereduksi dampak adalah sebuah model dari mitigasi untuk mengurangi dampak kegiatan pengerukan dan penambangan pasir demi melindungi habitat pemijahan dan menghindari gangguan terhadap benih dan sumberdaya
3. Kompensasi juga salah satu bentuk dari mitigasi yang berimplikasi pada upaya untuk melindungi agar tidak ada sumberdaya yang hilang. Seperti perlindungan waduk.
4. Replacement sebagai sebuah bentuk melindungi sumberdaya dengan memanfaatkan ruang yang ada kemudian melakukan relokasi keruang lainnya.
URGENSI MITIGASI EKOSISTEM
Secara nasional, kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil diupayakan terlindungi dari dampak negatif kegiatan pembangunan. Selain itu, perbaikan kualitas ekosistem terus dilakukan seperti tertuang melalui Program Mitra Bahari Indonesia (Sea Partnership Program). Terkait dengan upaya tersebut, mitigasi kerusakan lingkungan pesisir merupakan salah satu aspek keseimbangan yang harus dicapai. Hal ini penting karena kegiatan pemanfaatan sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir akan rusak apabila tidak terdapat konsep dan langkah untuk antisipasi terjadinya kerusakan.
kerusakan di wilayah pesisir dapat diakibatkan oleh alam (seperti tsunami, gempa, abrasi, dan banjir) atau dampak aktivitas manusia. Kerusakan tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit seperti investasi yang telah ditanam, kegagalan budidaya, menurunnya produksi, perbaikan sarana-prasarana produksi, dan pemulihan kerusakan sumberdaya pesisir. Hal ini semestinya dapat diminimalisasikan seandainya semua pihak mempunyai pemahaman dan informasi yang jelas tentang mitigasi kerusakan lingkungan di wilayah pesisir.
Dampak kerusakan lingkungan pesisir ini perlu disadari urgensinya. Hal ini dikarenakan:
• Sebagian besar dari kota-kota metropolitan di Indonesia terletak di wilayah pesisir
• Sumberdaya penting, khususnya hayati dan jasa lingkungan terletak di pesisir
• Sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil relatif lebih terbelakang dalam hal ekonomi dan sarana-prasarana sosial sehingga kerusakan lingkungan pesisir akan memperburuk kondisi tersebut.
UPAYA MITIGASI KERUSAKAN DI WILAYAH PESISIR
Upaya mitigasi kerusakan di wilayah pesisir dapat dilakukan melalui upaya struktural dan non struktural:
a. Upaya Struktural.
Bentuknya berupa pembangunan infrastruktur seperti rumah, jalan, dan sarana prasarana budidaya yang lebih terpadu dan bersifat antisipatif terhadap kemungkinan bencana. Upaya mitigasi bencana tsunami, misalnya, secara structural (upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai) dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (i) alami, seperti penanaman hutan mangrove di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang; (ii) buatan, seperti pembangunan pemecah gelombang (seawall, breakwater, Groin) sejajar pantai untuk menahan tsunami, memperkuat desain bangunan dan infrastruktur.
b. Upaya Non Struktural
Upaya mitigasi bencana nonstruktural dalam menangani bencana tsunami adalah upaya nonteknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya: kebijakan tentang tata guna lahan kawasan pantai yang rawan bencana; kebijaksanaan tentang standarisasi bangunan serta infrastruktur sarana dan prasarana; kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai; pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, misalnya; penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana; pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya bencana. Menurut Pratikto (2004), jika sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem pengamatan dapat berjalan dengan baik maka dampak korban jiwa dapat diminimalisasi.
Penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana memerlukan keterpaduan dan dukungan baik dari aspek kelembagaan maupun IPTEK yang berwawasan lingkungan. Mitigasi dan antisipasi perlu dilakukan terkait dengan satuan manusianya. Misalnya, masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan bencana perlu mengambil langkah berjaga-jaga untuk menghadapi bencana tersebut. Rumah dan bangunan lainnya dibuat dengan model tahan gempa. Penduduk di kawasan bencana juga perlu memiliki alat-alat “darurat gempa” seperti lampu senter, obat-obatan, dan lain-lain. Mereka juga perlu mengetahui apa yang harus diperbuat saat menghadapi bencana. Misalnya, saat terjadi air surut sejauh 2 km maka jangan ke pantai. Sebab, hal ini salah satu tanda tsunami.
MINIMALISASI DAMPAK BERBASIS EKOSISTEM
Upaya minimalisasi dan mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pendekatan terhadap ekosistem. Ekosistem yang erat kaitannya dan perannya dalam mitigasi bencana di pesisir adalah terumbu karang, lamun dan mangrove. Terumbu Karang terutama jenis soft koral yang termasuk sebagai biota pesisir dan laut daerah dataran pantai mampu menahan laju air sebesar 0,041 m. Dengan kemampuan ini, maka koral selain memiliki tingkat produktivitas yang tinggi juga berpotensi sebagai media untuk menahan gerak dan lajunya gelombang (Weber, 1993). Fenomena tsunami, badai dan berbagai bentuk masukan dari darat juga dapat di toleransi oleh terumbu karang secara baik.
Model mitigasi lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengatasi abrasi adalah dengan melalui penanaman kembali hutan mangrove dilokasi-lokasi yang sesuai setelah mempertimbangkan kondisi lingkungan setempat. Namun, secara umum model mitigasi dengan cara ini mengikuti tahapan sebagai berikut:
(1) Survei kondisi bio-fisik lingkungan dan penentuan lokasi percontohan
Kegiatan ini ditujukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mendukung maupun yang tak mendukung dilakukannya penanaman mangrove dan gambaran kondisi bio-fisik lingkungan.
(2) Partisipasi masyarakat
Dengan pembentukan kelompok masyarakat peduli mangrove Pembentukan kelompok ini dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam program Mitigasi Lingkungan.
(3) Penanaman mangrove
Sebelum penanaman mangrove dilakukan maka dibuat terlebih dahulu alat penahan ombak (APO) agar pertumbuhan mangrove terlindung dari hantaman gelombang.
(4) Pemeliharaan Terumbu Karang.
Terumbu karang menjadi penting dalam antisipasi bencana akibat kerusakan yang di timbulkan oleh gelombang pasang.
(5) Melakukan Pemugaran Daerah pantai.
Langkah mitigasi yang bersifat cepat, tapi tidak mampu bertahan lama adalah dengan melakukan pemugaran di sekitar bagian pantai yang sangat beresiko.
Hutan mangrove juga menjadi salah satu komponen yang mampu menghambat laju gelombang laut menuju darat. Beberapa daerah di timur sumatera seperti di Lampung Timur, Sumatera Selatan, Riau mengalami tekanan gelombang yang kuat saat musim timur. Namun berkat adanya mangrove lokasi tersebut relatif tahan terhadap abrasi pantai. Makin tebal mangrove yang ada di kawasan tersebut, maka makin tinggi juga kekuatan untuk menahan laju pergerakan gelombang, arus, dan sedimen. Pratikto (2004) mengatakan, ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan adanya ekosistem mangrove telah mereduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule. Kehadiran sistem pertahanan pantai alamiah dapat mengurangi kekuatan gelombang tsunami yang melanda ke daratan, sehingga dapat mempersempit luas areal yang terganggu. Pengamatan di Taman Nasional Yala dan Bundala di Sri Lanka menunjukkan bahwa terumbu karang, mangrove, bukit pasir dan berbagai ekosistem lain seperti rawa gambut dapat memberikan perlindungan terhadap daratan pesisir dari gelombang tsunami dengan mengurangi energi gelombang tsunami (Setyawan,2008) .
KESIMPULAN
Menghadapi bencana yang datang secara tiba-tiba diperlukan sikap waspada berupa deteksi bencana dan mitigasi. Pengelolaan ekosistem amat penting untuk mewujudkan kelestarian lingkungan, selain itu juga berguna untuk mitigasi bencana. Mitigasi bencana ditujukan untuk meminimalkan dampak yang diterima manusia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom, M.Sc, Ph.D yang telah memberikan pengarahan atas penulisan karya ilmiah telaah pustaka ini dan Yar Johan S.Pi, M.Si yang telah meberikan masukan dalam pembuatan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mihardja, A., 2004. Mitigasi Bencana Tsunami. Diunduh dari http://geocity. com. [Akses: 20 Agustus 2010]
Anonim, 2008. Kerangka Acuan Lomba Penyusunan Zonasi (Tata Ruang) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi Bencana Universitas Regional Se-Jawa, Bali dan Kalimantan. Diunduh dari (http://pw.geo.ugm.ac.id/download/TorMitigasiBencanaUGM.doc.) [Akses: 20 agustus 2010]
Clarks, J. R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher. 693 p
Kawaroe, M., Indra J., Mulia P., dan Kukuh N., 2004. Mitigasi Ekologi Wilayah Pesisir Lampung Timur. Makalah Pada Konas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Balikpapan.
Nurhasanah, A.,dan Aprizal, 2007. Mitigasi Bencana Kawasan Pesisir. Coastal Hazard - Indonesia. Diunduh dari http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=4665&Itemid=31[Akses: 20 agustus 2010]
Ongkosongo, O., 2004. Perubahan Lingkungan di Wilayah Pesisir. Stuktur Fisik dan Dinamik Pesisir. Makalah Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia.
Pratikto, W. A., 2004. Mitigasi Bencana Tsunami, Artikel Republika, 31 Desember 2004.
Setyawan, W. B., 2008. Menghadapi Ancaman Bahaya Geologi di Wilayah Pesisir. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Kebumian 2008, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta. Diunduh dari http://wahyuancol.wordpress.com20080603mitigasi-bahaya-geologi-wilayah-pesisir.html [Akses: 22 September 2010]
UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI
UU No. 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara RI
Warfield, C., tanpa tahun, The Disaster Management Cycle. Diunduh dari http://www.grdc.org/uem/disaster/1-dm_cycle.html. [Akses: 22 September 2010]
Weber, P., 1993. Abandond Seas Reversing the Decline of The Oceans.
Zakaria, A., 2009. Laporan Pengabdian pada Masyarakat: Sosialisasi Renstra Mitigasi Bencana Kota Bandar Lampung di Kelurahan Susunan Baru. Universitas Lampung. 22 hal. Diunduh dari
www/http.blog.unila.ac.id.ahmadzakariafiles201001mitigasi.pdf [Akses: 20 agustus 2010]
Secara umum kerusakan yang terjadi akibat bencana tidak sedikit. Disamping kerusakan bangunan fisik, ekosistem pesisir pun menjadi rusak berat. Masalah sedimentasi dan abrasi dirasakan sangat mengganggu aktivitas pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Misalnya dengan adanya konversi lahan hutan bakau menjadi tambak tanpa pertimbangan yang tepat pada gilirannya akan memicu laju sedimentasi dan abrasi secara tidak terkendali. Besarnya potensi bencana jika tidak disertai dengan tingkat kesiapsiagaan masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi bencana akan berakibat pada besarnya jumlah korban jiwa dan kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir. Kurangnya perencanaan yang berbasis mitigasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut (Anonim, 2008).
Kerusakan lingkungan pesisir akibat bencana dapat diminimalisasi dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan upaya mitigasi bencana berbasis pengelolaan ekosistem dan sumberdaya yang ada dikawasan lingkungan pesisir yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengatasi degradasi lingkungan pesisir yang terus berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis dan menyeluruh sebelum dilakukan pengembangan dan pemanfaatan dalam skala yang lebih luas.
KONSEPSI BENCANA
Bencana mempunyai definisi yang bermacam-macam. Ongkosongo (2004) mendefinisikan bencana sebagai sebuah dampak kegiatan yang memberikan efek negatif terhadap manusia. UU No 27 Tahun 2007 menjelaskan secara umum bencana pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan atau hayati pesisir yang mengakibatkan korban jiwa, harta, dan kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berbagai bencana yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini telah melahirkan kebijakan baru dalam konteks manajemen bencana. Dalam lingkaran manajemen bencana terdapat tiga komponen besar yang dilakukan yaitu kegiatan prabencana, tanggap darurat saat terjadi bencana dan kegiatan pasca bencana. Jika selama ini manajemen bencana lebih menitikberatkan pada aspek penanganan tanggap darurat dan pasca bencana yang ternyata terdapat banyak kelemahan, maka ke depannya manajemen bencana lebih menitikberatkan kegiatan prabencana yaitu kegiatan mitigasi bencana dalam kerangka mengurangi risiko dan dampak bencana (Zakaria, 2009).
Beberapa bentuk kerusakan yang kemudian di kategorikan sebagai bencana di wilayah pesisir menurut Mihardja (2004) adalah: pencemaran, kerusakan hutan mangrove, kerusakan terumbu karang dan lamun, abrasi, perubahan tata guna lahan, algae blooming, kematian ikan. Penyebab kerusakan tersebut adalah: penebangan hutan mangrove, pengeboman ikan di sekitar karang, buangan limbah di kawasan perairan, pembangunan yang menyebabkan degradasi lingkungan, Bencana alam.
UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana pasal 35d dan 39 mengamanatkan pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang penjelasan pasal 5 ayat (2) menjelaskan penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana, lebih lanjut UU No. 27 tahun 2007 pasal 7 ayat 3 mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir yang berbasis mitigasi bencana.
PRINSIP MITIGASI UNTUK WILAYAH PESISIR
Mitigasi bencana merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif dalam penanggulangan bencana, karena kegiatan ini dilakukan sebelum terjadinya bencana yang dimaksudkan agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi (Nurhasanah dan Aprizal, 2007). Masyarakat sangat besar perannya dalam penanggulangan bencana sehingga perlu ditingkatkan kesadaran, kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinannya terhadap peraturan yang ada. Selain itu juga perlu dipikirkan penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana. Pendekatan ini ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya dan daya dukung lingkungan suatu wilayah pesisir yang mencakup suatu kesatuan dalam perencanaan, penggunaan lahan, pemeliharaan, kontrol, evaluasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi lingkungan pesisir (Pratikto, 2004).
Aktifitas mitigasi bencana sesungguhnya adalah upaya untuk mengeliminasi kemungkinan terjadinya bencana, atau mengurangi efek dari bencana yang tidak dapat dicegah kejadiannya (Warfield, tanpa tahun). Selanjutnya disebutkan bahwa efektifitas tindakan mitigasi bencana tergantung pada ketersediaan informasi tentang bencana, resiko keadaan darurat (emergency risks), dan tindakan tanggapan (counter measures) yang diambil. Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar resiko yang ada dapat diminimalisir.
Menurut Ongkosongo (2004) ternyata daerah pantai, pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian yang dinamik, karena berhubungan dengan kondisi lingkungan yang juga dinamik. Dinamika tersebut dapat terjadi karena gerakan massa air, serta akibat bencana alam yang sering terjadi di wilayah lepas pantai seperti gempa, banjir pasang, dan angin besar. Tahapan untuk melakukan deteksi, mitigasi dan pencegahan degradasi akibat bencana dapat dilakukan dengan mempertimbangkan akar masalah penyebab degradasi, komponen utama yang menjadi pokok pendeteksi, satuan upaya deteksi dan tindakan umum deteksi bencana. Menurut Clarks (1996) prinsip mitigasi bencana di suatu wilayah mencakup:
1. Peningkatan antisipasi kerusakan adalah bentuk mitigasi yang menunjukkan ‘peningkatan penanganan’ kerusakan sederhana dari sebuah ekosistem.
2. Mereduksi dampak adalah sebuah model dari mitigasi untuk mengurangi dampak kegiatan pengerukan dan penambangan pasir demi melindungi habitat pemijahan dan menghindari gangguan terhadap benih dan sumberdaya
3. Kompensasi juga salah satu bentuk dari mitigasi yang berimplikasi pada upaya untuk melindungi agar tidak ada sumberdaya yang hilang. Seperti perlindungan waduk.
4. Replacement sebagai sebuah bentuk melindungi sumberdaya dengan memanfaatkan ruang yang ada kemudian melakukan relokasi keruang lainnya.
URGENSI MITIGASI EKOSISTEM
Secara nasional, kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil diupayakan terlindungi dari dampak negatif kegiatan pembangunan. Selain itu, perbaikan kualitas ekosistem terus dilakukan seperti tertuang melalui Program Mitra Bahari Indonesia (Sea Partnership Program). Terkait dengan upaya tersebut, mitigasi kerusakan lingkungan pesisir merupakan salah satu aspek keseimbangan yang harus dicapai. Hal ini penting karena kegiatan pemanfaatan sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir akan rusak apabila tidak terdapat konsep dan langkah untuk antisipasi terjadinya kerusakan.
kerusakan di wilayah pesisir dapat diakibatkan oleh alam (seperti tsunami, gempa, abrasi, dan banjir) atau dampak aktivitas manusia. Kerusakan tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit seperti investasi yang telah ditanam, kegagalan budidaya, menurunnya produksi, perbaikan sarana-prasarana produksi, dan pemulihan kerusakan sumberdaya pesisir. Hal ini semestinya dapat diminimalisasikan seandainya semua pihak mempunyai pemahaman dan informasi yang jelas tentang mitigasi kerusakan lingkungan di wilayah pesisir.
Dampak kerusakan lingkungan pesisir ini perlu disadari urgensinya. Hal ini dikarenakan:
• Sebagian besar dari kota-kota metropolitan di Indonesia terletak di wilayah pesisir
• Sumberdaya penting, khususnya hayati dan jasa lingkungan terletak di pesisir
• Sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil relatif lebih terbelakang dalam hal ekonomi dan sarana-prasarana sosial sehingga kerusakan lingkungan pesisir akan memperburuk kondisi tersebut.
UPAYA MITIGASI KERUSAKAN DI WILAYAH PESISIR
Upaya mitigasi kerusakan di wilayah pesisir dapat dilakukan melalui upaya struktural dan non struktural:
a. Upaya Struktural.
Bentuknya berupa pembangunan infrastruktur seperti rumah, jalan, dan sarana prasarana budidaya yang lebih terpadu dan bersifat antisipatif terhadap kemungkinan bencana. Upaya mitigasi bencana tsunami, misalnya, secara structural (upaya teknis yang bertujuan untuk meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai) dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (i) alami, seperti penanaman hutan mangrove di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang; (ii) buatan, seperti pembangunan pemecah gelombang (seawall, breakwater, Groin) sejajar pantai untuk menahan tsunami, memperkuat desain bangunan dan infrastruktur.
b. Upaya Non Struktural
Upaya mitigasi bencana nonstruktural dalam menangani bencana tsunami adalah upaya nonteknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya: kebijakan tentang tata guna lahan kawasan pantai yang rawan bencana; kebijaksanaan tentang standarisasi bangunan serta infrastruktur sarana dan prasarana; kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai; pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, misalnya; penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana; pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya bencana. Menurut Pratikto (2004), jika sistem peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem pengamatan dapat berjalan dengan baik maka dampak korban jiwa dapat diminimalisasi.
Penerapan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management) untuk mitigasi bencana memerlukan keterpaduan dan dukungan baik dari aspek kelembagaan maupun IPTEK yang berwawasan lingkungan. Mitigasi dan antisipasi perlu dilakukan terkait dengan satuan manusianya. Misalnya, masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan bencana perlu mengambil langkah berjaga-jaga untuk menghadapi bencana tersebut. Rumah dan bangunan lainnya dibuat dengan model tahan gempa. Penduduk di kawasan bencana juga perlu memiliki alat-alat “darurat gempa” seperti lampu senter, obat-obatan, dan lain-lain. Mereka juga perlu mengetahui apa yang harus diperbuat saat menghadapi bencana. Misalnya, saat terjadi air surut sejauh 2 km maka jangan ke pantai. Sebab, hal ini salah satu tanda tsunami.
MINIMALISASI DAMPAK BERBASIS EKOSISTEM
Upaya minimalisasi dan mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pendekatan terhadap ekosistem. Ekosistem yang erat kaitannya dan perannya dalam mitigasi bencana di pesisir adalah terumbu karang, lamun dan mangrove. Terumbu Karang terutama jenis soft koral yang termasuk sebagai biota pesisir dan laut daerah dataran pantai mampu menahan laju air sebesar 0,041 m. Dengan kemampuan ini, maka koral selain memiliki tingkat produktivitas yang tinggi juga berpotensi sebagai media untuk menahan gerak dan lajunya gelombang (Weber, 1993). Fenomena tsunami, badai dan berbagai bentuk masukan dari darat juga dapat di toleransi oleh terumbu karang secara baik.
Model mitigasi lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengatasi abrasi adalah dengan melalui penanaman kembali hutan mangrove dilokasi-lokasi yang sesuai setelah mempertimbangkan kondisi lingkungan setempat. Namun, secara umum model mitigasi dengan cara ini mengikuti tahapan sebagai berikut:
(1) Survei kondisi bio-fisik lingkungan dan penentuan lokasi percontohan
Kegiatan ini ditujukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mendukung maupun yang tak mendukung dilakukannya penanaman mangrove dan gambaran kondisi bio-fisik lingkungan.
(2) Partisipasi masyarakat
Dengan pembentukan kelompok masyarakat peduli mangrove Pembentukan kelompok ini dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam program Mitigasi Lingkungan.
(3) Penanaman mangrove
Sebelum penanaman mangrove dilakukan maka dibuat terlebih dahulu alat penahan ombak (APO) agar pertumbuhan mangrove terlindung dari hantaman gelombang.
(4) Pemeliharaan Terumbu Karang.
Terumbu karang menjadi penting dalam antisipasi bencana akibat kerusakan yang di timbulkan oleh gelombang pasang.
(5) Melakukan Pemugaran Daerah pantai.
Langkah mitigasi yang bersifat cepat, tapi tidak mampu bertahan lama adalah dengan melakukan pemugaran di sekitar bagian pantai yang sangat beresiko.
Hutan mangrove juga menjadi salah satu komponen yang mampu menghambat laju gelombang laut menuju darat. Beberapa daerah di timur sumatera seperti di Lampung Timur, Sumatera Selatan, Riau mengalami tekanan gelombang yang kuat saat musim timur. Namun berkat adanya mangrove lokasi tersebut relatif tahan terhadap abrasi pantai. Makin tebal mangrove yang ada di kawasan tersebut, maka makin tinggi juga kekuatan untuk menahan laju pergerakan gelombang, arus, dan sedimen. Pratikto (2004) mengatakan, ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan adanya ekosistem mangrove telah mereduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule. Kehadiran sistem pertahanan pantai alamiah dapat mengurangi kekuatan gelombang tsunami yang melanda ke daratan, sehingga dapat mempersempit luas areal yang terganggu. Pengamatan di Taman Nasional Yala dan Bundala di Sri Lanka menunjukkan bahwa terumbu karang, mangrove, bukit pasir dan berbagai ekosistem lain seperti rawa gambut dapat memberikan perlindungan terhadap daratan pesisir dari gelombang tsunami dengan mengurangi energi gelombang tsunami (Setyawan,2008) .
KESIMPULAN
Menghadapi bencana yang datang secara tiba-tiba diperlukan sikap waspada berupa deteksi bencana dan mitigasi. Pengelolaan ekosistem amat penting untuk mewujudkan kelestarian lingkungan, selain itu juga berguna untuk mitigasi bencana. Mitigasi bencana ditujukan untuk meminimalkan dampak yang diterima manusia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom, M.Sc, Ph.D yang telah memberikan pengarahan atas penulisan karya ilmiah telaah pustaka ini dan Yar Johan S.Pi, M.Si yang telah meberikan masukan dalam pembuatan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mihardja, A., 2004. Mitigasi Bencana Tsunami. Diunduh dari http://geocity. com. [Akses: 20 Agustus 2010]
Anonim, 2008. Kerangka Acuan Lomba Penyusunan Zonasi (Tata Ruang) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi Bencana Universitas Regional Se-Jawa, Bali dan Kalimantan. Diunduh dari (http://pw.geo.ugm.ac.id/download/TorMitigasiBencanaUGM.doc.) [Akses: 20 agustus 2010]
Clarks, J. R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher. 693 p
Kawaroe, M., Indra J., Mulia P., dan Kukuh N., 2004. Mitigasi Ekologi Wilayah Pesisir Lampung Timur. Makalah Pada Konas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Balikpapan.
Nurhasanah, A.,dan Aprizal, 2007. Mitigasi Bencana Kawasan Pesisir. Coastal Hazard - Indonesia. Diunduh dari http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=4665&Itemid=31[Akses: 20 agustus 2010]
Ongkosongo, O., 2004. Perubahan Lingkungan di Wilayah Pesisir. Stuktur Fisik dan Dinamik Pesisir. Makalah Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan Degradasi Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia.
Pratikto, W. A., 2004. Mitigasi Bencana Tsunami, Artikel Republika, 31 Desember 2004.
Setyawan, W. B., 2008. Menghadapi Ancaman Bahaya Geologi di Wilayah Pesisir. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Kebumian 2008, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta. Diunduh dari http://wahyuancol.wordpress.com20080603mitigasi-bahaya-geologi-wilayah-pesisir.html [Akses: 22 September 2010]
UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI
UU No. 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara RI
Warfield, C., tanpa tahun, The Disaster Management Cycle. Diunduh dari http://www.grdc.org/uem/disaster/1-dm_cycle.html. [Akses: 22 September 2010]
Weber, P., 1993. Abandond Seas Reversing the Decline of The Oceans.
Zakaria, A., 2009. Laporan Pengabdian pada Masyarakat: Sosialisasi Renstra Mitigasi Bencana Kota Bandar Lampung di Kelurahan Susunan Baru. Universitas Lampung. 22 hal. Diunduh dari
www/http.blog.unila.ac.id.ahmadzakariafiles201001mitigasi.pdf [Akses: 20 agustus 2010]
0 comments:
Post a Comment