Wilayah pesisr adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang slaing bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et al, 2002 dalam Bappenas, 2004). Wilayah pesisir terdapat berbagai habitat dan ekosistem seperti estuaria, terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyedia bernagi bahan kebutuhan hidup manusia dan penyedia jasa bagi komunitas yang tinggal di wilayah pesisir.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan suatu proses dinamis yang berjalan terus menerus dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir. Bagian penting dari pengelolaan adalah perancangan prose kelembagaan untuk mencpai harmonisasi dalam car yang dapat di terima secara politis (Cincin-Sain dan Knecht, 1998).
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu tampak sederhana, namun dalam pelaksanaannya sangat rumit karena meliputi 4 proses keterpaduan yaitu keterpaduan perencanaan antar sector secara horizontal dan secara vertical, keterpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, keterpaduan sains dan manajemen, dan yang terakhir keterpaduan antar Negara (Bappenas, 2004).
Manfaat pengelolaan wilayah pesisir terpadu ada yang langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung bagi masyarakat yang ikut serta adalah pelestarian terumbu karang dapat meningkatkan sumberdaya ikan dan mempunyai nilai tambah terhadap jasa lingkungan sebagai lokasi wisata bahari. Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah dapat memberi manfaat antara lain (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003):
1. Keberlanjutan sumberdaya pesisir , seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan padang lamun.
2. Menghindari pencemaran dan melindungi kesehatan masyarakat.
3. Meningkatkan manfaat ekonomi yang di peroleh dari jasa lingkungan laut.
4. Mengembangkan bioteknologi sumberdaya pesisir untuk produk farmasi, kosmetika dan lain-lain.
5. Mengembamgkan system perekonomian yang berbasis pada masyarakat.
6. Mengembangkan kearifan local bagi kelestarian ekosistem pesisir.
2.2 Pengelolaan Habitat Satwa Liar
Aktifitas pengelolaan pada umumnya di desain untuk mengubah status satwa liar baik dari segi kelangkaannya, ataupun mengubahnya dari yang kurang bermanfaat menjadi suatu produk yang lebih bermanfaat serta keadaan yang lebih baik, baik ditinjau dari status kelangkaannya maupun status pemanfaatannya merupakan tujuan pengelolaan (Alikodra, 2010).
Secara umum pengelolaan satwa liar berkepentingan dalam mengatur jumlah individu, peningkatan atau penurunan angka kelahiran, peningkatan atau penurunan angka kematian, atau mengatur habitatnya untuk mengubah kepadatan dan penyebaran spesies. Pengelolaan dapat juga pasif, jika tujuannya untuk membiarkan agar ekosistemnya berkembang sesuai dengan kemampuannya secara alami.
Untuk mengelola populasi secara efektif diperlukan data serta pemahaman terhadap dinamika populasi dan interaksi populasi dengan habitatnya. Keadaan perkembangan habitatnya yang diperlukan untuk mendukung perkembangan populasi, seperti tempat bersarang dan tempat berlindung. Pengelolaan populasi seharusnya didasarkan pada kawasan habitat yang sesuai untuk mendukung kehidupannya.
Termasuk dalam tujuan program pemantauan dan pengelolaan berjangka panjang adalah untuk mengumpulkan berbagai data dasar, mengenai fungsi ekosistem, komunitas hayati, dan tiap – tiap spesies yang akan digunakan untuk memantau perubahan komunitas alami. Pemantauan memungkinkan para pengelola untuk mengetahui apakah tujuan proyek mereka tercapai atau bila rencana pengelolaan perlu diadaptasi berdasarkan perkembangan dan pengetahuan terkini. Menyadari pentingnya hubungan antara masyarakat dan konservasi, maka pemantauan keanekaragaman hayati kini digabungkan dengan pemantauan karakteristik sosial ekonomi, misalnya penghasilan harian, kecukupan pangan, dari ekosistem di dekatnya (Kremen et al, 1994; Bawa dan Menon, 1997 dalam Indrawan et al, 2007).
Suatu kawasan perlu dikelola secara aktif agar dapat mencakup seluruh tipe ekosistem/habitat alami yang ada (Richard et al, 1999; Gram et al, 2003). Banyak spesies langka yang hanya dapat berfungsi dalam habitat tertentu atau tahapan suksesi tertentu. Ketika suatu lahan ditetapkan sebagai suatu kawasan yang dilindungi, seringkali pola gangguan serta pemanfaatan oleh manusia berubah drastis. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu kondisi yang optimal bagi perkembangan populasi satwa liar (Yoakum dan Dasmann, 1971).
Beberapa prinsip pokok yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan habitat agar tidak bertentangan dengan tujuan konservasi ialah : pertimbangan ekologis, prinsip keterpaduan dan efektifitas kegiatan dan secara teknis dapat dikerjakan serta secara ekonomis dapat dilaksanakan.
Penentuan strategi pengelolaan yang optimal dapat diperoleh melalui upaya riset dan percobaan di lapangan. Sebagai contoh, padang rumput di Inggris membutuhkan pengelolaan khusus untuk mempertahankan kekayaan komunitas hayatinya. Riset dan percobaan lapangan menunjukkan bahwa baik jumlah spesies maupun keberadaan spesies tertentu akan ditentukan oleh perlakukan yang selanjutnya akan ditentukan strategi maupun pilihan pengelolaan (Krueper, 2003 dalam Indrawan et al, 2007).
2.3. Ekosistem Manggrove
Ekosistem hutan mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut, daerah pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem yang khas untuk daerah tropis dan disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Indriyanto, 2006). Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, sehingga hutan mangrove dinamakan juga hutan pasang. Tetapi hutan mangrove tidak dapat tumbuh pada pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur.
Hutan mangrove merupakan ekosistem peralihan antara komponen darat dan laut. Mangrove tersebut mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Ditinjau dari segi potensinya maka dapat dibedakan menjadi 2 aspek yaitu ekologis dan ekonomis. Dalam potensi ekologis maka mangrove berperan dalam kemampuan mendukung eksistensi lingkungan fisik dan lingkungan biota. Di lingkungan fisik berperan sebagai bahan penahan ombak, penahan angin, pengendali banjir, perangkap sedimen dan penahan intrusi air asin. Sedangkan peranannya di dalam lingkungan biota adalah sebagai tempat persembunyian, tempat berkembang biaknya berbagai macam biota air (termasuk ikan, udang, moluska, reptilia, mamalia dan burung). Selain tersebut di atas hutan mangrove juga sebagai penyumbang zat hara yang berguna untuk kesuburan perairan di sekitarnya. Sedangkan potensi ekonomi ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menyediakan produk dari hutan mangrove yang secara ekonomis potensial dapat langsung diambil adalah hasil hutan dan produksi perikanan mangrove. Hasil hutan yang langsung dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk bangunan, bahan untuk pembuat arang, tannin, chipwood dan sebagai bahan obat tradisional (Wartapura, 1990 dalam Soeroyo, 1993).
Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove tidak sekomplek pada hutan alam primer. Walaupun kelihatan sama akan tetapi hutan mangrove sangat beragam. Diperkirakan salinitas mempengaruhi komposisi mangrove, dimana tingkat salinitas antara satu spesies dengan spesien yang lainnya tidak sama. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biografi, iklim, faktor edafik dan kondisi lingkungan lainnya (Bandaranayake, 1998).
Perbedaan frekwensi genangan, salinitas dan jenis substrat, menyebabkan hutan mangrove mempunyai struktur yang khas, yakni membentuk lapisan vegetasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pada daerah pantai yang lurus hutan mangrove mempunyai tajuk yang seragam, sedangkan di kawasan muara dan delta hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik dan subur dalam kawasan yang luas.
Soerianegara dan Indrawan (1980) menyatakan bahwa ciri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut : 1. Tidak terpengaruh iklim; 2. Terpengaruh pasang surut; 3. Tanah tergenang air laut, tanah lumpur atau pasir terutama tanah liat; 4. Tanah rendah pantai; 5. Hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6. Pohon-pohon dapat mencapai tinggi 30 meter; 7. Jenis-jenis kayu mulai dari laut ke darat adalah : Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros, Scyphyphora dan Nypa; 8. Tumbuh-tumbuhan bawah terdiri dari : Acrosthicum aureum, Acanthus ilicifolius, Acanthus ebracteatus; 9. Tumbuh di pantai merupakan jalur.
Jenis - jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara - muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda - beda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan. Dalam hal ini, Watson (1928), Chapman (1944) dan de Hann (1931) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi genangan pasang (kelas genang) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada daerah yang bersangkutan, seperti disajikan pada
Table 1.
Table 1. Penyebaran Jenis-jenis Pohon Mangrove Berdasarkan Kelas Genang
Tipe Pasang/kelas
Penggenangan
Watson (1928) Kelas Penggenangan
(Salinitas dan Frekuensi Pasang) de Haan (1931) Frekuensi Penggenangan
Chapman (1944) Jenis Pohon dominan
1. All high tides A. Payau sampai asin, salinitas 10-30 ppt, selalu tergenang.
A1. 1-2 kali/hari, minimal 20 hr /bln 530 – 700 + kali Avicennia spp
Sonneratia spp
2. Medium High tides A2. 10 – 19 hr/bln 400 – 530 kali/th Rhizophora spp
Bruguiera spp
3. Normal high tides A3. 9 hr/bln Xylocarpus spp
Heritiera spp
4. Spring tides only A4. Beberapa hr/bln 150 – 250 kali/th Lumnitzera spp
Bruguiera spp
Scyphyphora spp
5. Storm higes tides only B. Air tawar sampai payau 4 – 100 kali/thn Jenis-jenis ꞌmarginalꞌ halophyta
B1. Jarang tergenang pasang Nypa fruticans, Oncosperma, Cerbera
Kusmana et al (2003), menambahkan bahwa beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh dari fenomena pasang surut dan ketinggian tempat rata - rata muka laut. Sebagai contoh, keterkaitan antara faktor lingkungan dengan penyebaran jenis-jenis mangrove dapat dilihat pada Table 2.
Table 2. Keterkaitan antara Faktor-faktor Lingkungan dengan Penyebaran Beberapa
Jenis Pohon Mangrove secara Alami.
Zonasi Pola Pasang Surut Frekuensi Penggenangan (Hari/bln) Salinitas Tipe Tanah Jenis-jenis Pohon Mangrove
Pinggir Pantai Harian 20 + 10 - 30 Koral, berpasir, lempung berpasir Avicennia marina, Sonneratia, S. Caseolaris, Rhizophora stylosa, dan Rh. apiculata
Tengah Harian 10 – 19 10 - 30 Berdebu sampai liat berdebu A. Alba, A. Officinalis, Rh. Mucronata, Aegiceras corniculatum, A. Floridum, Bruguiera gymnorrhiza, B. Sexangula, Ceriops tagal, C. Decandra, Excoecaria agallocha, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus granatum
Pedalaman Tergenang
Hanya saat
Pasang purnama 4 – 9 0 - 10 Berdebu-liat berdebu sampai liat A. Alba, B. Sexangula, C. Tagal, E. Agallocha, Heritiera littoralis, Scyphiphora hydrophylaceae, Xylocarpus granatum, X. mekongensis, Nypa fruticans
Pinggir sungai
(Riveriae) Jarang tergenang : air tawar - payau 2 0 - 10 Berpasir sampai liat berdebu Muara sungai : Avicennia marina, A. Officinalis, Aegiceras corniculatum, A. Floridum, Camptostemon philipinensis, Rh. apiculata, Rh. mucronata, Rh. stylosa
Hulu sungai : A. Alba, A. Officinalis, Aegiceras corniculatum, A. Floridum, Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Camtostemon philippinensis, E. Egalocha, Heritiera littoralis, Nypa fruticans, Rh. mucronata, Rh. apiculata, Xylocarpus granatum, X. mekongensis
Penelitian di kawasan mangrove milik Perhutani Jawa Tengah di Cilacap (Marsono, 1989) yang menggunakan model ordinasi dua dimensi menunjukkan bahwa lapisan terluar dicirikan oleh Avicennia alba dan Sonneratia alba. Bahkan lapisan ini telah dikenal sejak Watson (1928) sebagai assosiasi Avicennia-Sonneratia. Lapisan kedua didominasi oleh Rhizophora mucronata yang disertai oleh Bruguiera sp dan Aegieras cumiculatum. Kemudian lapisan terakhir merupakan lapisan transisi antara lautan dan daratan. Didominasi oleh Ficus sp, Carava sp, Excoecaria sp, Heritiera sp. Berdasarkan diagram ordinari tersebut dilaporkan bahwa pola ini berhubungan erat dengan kandungan pospor dan sodium. Yang menarik perhatian adalah bahwa jenis Rhizopohora sp dan Bruguiera sp selalu muncul di seluruh lapisan walaupun dominasinya dilapisan tengah.
Pola yang dilaporkan di Cilacap ini hampir sama dengan laporan Ostman (1989) di Serawak, Malaysia Timur. Dengan metode analisis assosiasi yang dipadu dengan model ordinasi diperoleh hasil bahwa Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrizha selalu nampak ditepi laut, tengah maupun kearah belakang (daratan), sedangkan lapisan terluar disertai oleh Avicennia dan Sonneratia. Anwar et al (1984), melaporkan bahwa pada hutan mangrove di Sumatra dijumpai 17 jenis pohon dari 4 suku yaitu Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Verbenaceae dan Meliaceae. Sedangkan Suhardjono (1999) juga melaporkan bahwa hutan mangrove di Gosong Telaga/Anak Laut Aceh Singkil mempunyai keanekaragaman jenis cukup tinggi yang didominasi oleh Rhizophora apiculata, Bruguiera sexangula, Sonneratia caseolaris, Lumnitzera littorea, Cerbera odollam dan Xylocarpus granatum.
2.4. Tuntong Laut (Batagur borneoensis).
Tuntong Laut (Batagur borneoensis) merupakan satwa jenis kura - kura yang diklasifikasikan dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordota, Sub Phylum Vertebrata, Class Reptilia, Order Testudine, Family Geoemydidae dan Spesies Batagur borneoensis.
Tuntong Laut (Batagur borneoensis) adalah satwa yang termasuk dalam 25 spesies kura - kura yang sangat terancam punah (TCF, 2003 dalam Guntoro, 2010). Status dalam International Union for Concervation of Nature (IUCN), spesies Tuntong Laut (Batagur borneoensis) ini termasuk dalam (Red List) katagori critically endangered atau sangat terancam punah, termasuk dalam Apendiks II CITES (Guntoro, 2010). Pemerintah Indonesia memasukkan spesies ini ke dalam prioritas tinggi yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/MenHut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018.
Di Indonesia, meskipun belum ada pedoman khusus untuk pengelolaan dan konservasi Tunong laut, di beberapa lokasi pantai peneluran satwa ini telah diupayakan penyelamatan populasinya, di antaranya dengan memindahkan sarang-sarang telur ke areal pantai tertentu di pantai yang dilindungi untuk ditetaskan. Upaya penyelamatan atau konservasi Tuntong Laut, khususnya di Indonesia dirasakan masih perlu ditingkatkan lagi. Penyelamatan terhadap satwa ini tentu membutuhkan suatu bentuk pengelolaan yang tepat dan integral, dimana selain didukung dengan peraturan perundangan, juga perlu didukung dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian sumberdaya alam. Bentuk-bentuk upaya penyelamatan tersebut berupa pengelolaan yang tepat terhadap pantai dan sarang, penanganan dan pemindahan sarang, serta pelepasan tukik ke laut (Priyono, 1989).
Tuntong Laut (Batagur borneoensis) hidup, mencari makan, berkembang-biak dan memainkan perannya sebagai salah satu mata rantai keseimbangan lingkungan hutan mangrove. Tuntong Laut (Batagur borneoensis) bertelur di pantai dekat muara, dalam setahun bertelur sekali yaitu pada bulan Oktober sampai Februari dan sekali bertelur bisa menghasilkan telur dalam satu lobang 12 sampai 18 butir (Guntoro, 2010).
Penetasan telur merupakan salah satu simpul siklus hidup bagi Tuntong Laut. Penetasan memberi harapan awal untuk hidup bagi satwa ini. Umumnya satwa ini menyiasati predator dengan bertelur dalam jumlah yang banyak dan bertelur pada satu musim tertentu yang hampir sama dengan prinsip pemutusan hama dalam pertanian.
Ancaman kerusakan telur Tuntong Laut sangat tinggi, baik dari predator alami seperti babi dan biawak maupun dari manusia. Umumnya di setiap muara besar ada puluhan pencari telur Tuntong yang sudah mengetahui betul seluk beluk kapan musim migrasi satwa ini ke muara untuk bertelur, hubungan waktu bertelur dengan pasang surut air laut, serta posisi bulan bahkan mereka mempunyai keahlian menampung telur dengan tangan tanpa Tuntong merasa terganggu. Hal ini akan menjadi ancaman serius terhadap populasi Tuntong di masa depan.
Pakan utama Tuntong Laut (Batagur borneoensis) adalah buah pohon berembang (Sonneratia sp) yang jatuh kesungai, selain itu juga memakan tumbuhan dan buah yang terdapat di hutan mangrove (Moll, 1976 dalam Guntoro, 2010).
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan suatu proses dinamis yang berjalan terus menerus dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir. Bagian penting dari pengelolaan adalah perancangan prose kelembagaan untuk mencpai harmonisasi dalam car yang dapat di terima secara politis (Cincin-Sain dan Knecht, 1998).
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu tampak sederhana, namun dalam pelaksanaannya sangat rumit karena meliputi 4 proses keterpaduan yaitu keterpaduan perencanaan antar sector secara horizontal dan secara vertical, keterpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, keterpaduan sains dan manajemen, dan yang terakhir keterpaduan antar Negara (Bappenas, 2004).
Manfaat pengelolaan wilayah pesisir terpadu ada yang langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung bagi masyarakat yang ikut serta adalah pelestarian terumbu karang dapat meningkatkan sumberdaya ikan dan mempunyai nilai tambah terhadap jasa lingkungan sebagai lokasi wisata bahari. Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah dapat memberi manfaat antara lain (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003):
1. Keberlanjutan sumberdaya pesisir , seperti ikan, mangrove, terumbu karang dan padang lamun.
2. Menghindari pencemaran dan melindungi kesehatan masyarakat.
3. Meningkatkan manfaat ekonomi yang di peroleh dari jasa lingkungan laut.
4. Mengembangkan bioteknologi sumberdaya pesisir untuk produk farmasi, kosmetika dan lain-lain.
5. Mengembamgkan system perekonomian yang berbasis pada masyarakat.
6. Mengembangkan kearifan local bagi kelestarian ekosistem pesisir.
2.2 Pengelolaan Habitat Satwa Liar
Aktifitas pengelolaan pada umumnya di desain untuk mengubah status satwa liar baik dari segi kelangkaannya, ataupun mengubahnya dari yang kurang bermanfaat menjadi suatu produk yang lebih bermanfaat serta keadaan yang lebih baik, baik ditinjau dari status kelangkaannya maupun status pemanfaatannya merupakan tujuan pengelolaan (Alikodra, 2010).
Secara umum pengelolaan satwa liar berkepentingan dalam mengatur jumlah individu, peningkatan atau penurunan angka kelahiran, peningkatan atau penurunan angka kematian, atau mengatur habitatnya untuk mengubah kepadatan dan penyebaran spesies. Pengelolaan dapat juga pasif, jika tujuannya untuk membiarkan agar ekosistemnya berkembang sesuai dengan kemampuannya secara alami.
Untuk mengelola populasi secara efektif diperlukan data serta pemahaman terhadap dinamika populasi dan interaksi populasi dengan habitatnya. Keadaan perkembangan habitatnya yang diperlukan untuk mendukung perkembangan populasi, seperti tempat bersarang dan tempat berlindung. Pengelolaan populasi seharusnya didasarkan pada kawasan habitat yang sesuai untuk mendukung kehidupannya.
Termasuk dalam tujuan program pemantauan dan pengelolaan berjangka panjang adalah untuk mengumpulkan berbagai data dasar, mengenai fungsi ekosistem, komunitas hayati, dan tiap – tiap spesies yang akan digunakan untuk memantau perubahan komunitas alami. Pemantauan memungkinkan para pengelola untuk mengetahui apakah tujuan proyek mereka tercapai atau bila rencana pengelolaan perlu diadaptasi berdasarkan perkembangan dan pengetahuan terkini. Menyadari pentingnya hubungan antara masyarakat dan konservasi, maka pemantauan keanekaragaman hayati kini digabungkan dengan pemantauan karakteristik sosial ekonomi, misalnya penghasilan harian, kecukupan pangan, dari ekosistem di dekatnya (Kremen et al, 1994; Bawa dan Menon, 1997 dalam Indrawan et al, 2007).
Suatu kawasan perlu dikelola secara aktif agar dapat mencakup seluruh tipe ekosistem/habitat alami yang ada (Richard et al, 1999; Gram et al, 2003). Banyak spesies langka yang hanya dapat berfungsi dalam habitat tertentu atau tahapan suksesi tertentu. Ketika suatu lahan ditetapkan sebagai suatu kawasan yang dilindungi, seringkali pola gangguan serta pemanfaatan oleh manusia berubah drastis. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu kondisi yang optimal bagi perkembangan populasi satwa liar (Yoakum dan Dasmann, 1971).
Beberapa prinsip pokok yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan habitat agar tidak bertentangan dengan tujuan konservasi ialah : pertimbangan ekologis, prinsip keterpaduan dan efektifitas kegiatan dan secara teknis dapat dikerjakan serta secara ekonomis dapat dilaksanakan.
Penentuan strategi pengelolaan yang optimal dapat diperoleh melalui upaya riset dan percobaan di lapangan. Sebagai contoh, padang rumput di Inggris membutuhkan pengelolaan khusus untuk mempertahankan kekayaan komunitas hayatinya. Riset dan percobaan lapangan menunjukkan bahwa baik jumlah spesies maupun keberadaan spesies tertentu akan ditentukan oleh perlakukan yang selanjutnya akan ditentukan strategi maupun pilihan pengelolaan (Krueper, 2003 dalam Indrawan et al, 2007).
2.3. Ekosistem Manggrove
Ekosistem hutan mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut, daerah pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem yang khas untuk daerah tropis dan disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Indriyanto, 2006). Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, sehingga hutan mangrove dinamakan juga hutan pasang. Tetapi hutan mangrove tidak dapat tumbuh pada pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur.
Hutan mangrove merupakan ekosistem peralihan antara komponen darat dan laut. Mangrove tersebut mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Ditinjau dari segi potensinya maka dapat dibedakan menjadi 2 aspek yaitu ekologis dan ekonomis. Dalam potensi ekologis maka mangrove berperan dalam kemampuan mendukung eksistensi lingkungan fisik dan lingkungan biota. Di lingkungan fisik berperan sebagai bahan penahan ombak, penahan angin, pengendali banjir, perangkap sedimen dan penahan intrusi air asin. Sedangkan peranannya di dalam lingkungan biota adalah sebagai tempat persembunyian, tempat berkembang biaknya berbagai macam biota air (termasuk ikan, udang, moluska, reptilia, mamalia dan burung). Selain tersebut di atas hutan mangrove juga sebagai penyumbang zat hara yang berguna untuk kesuburan perairan di sekitarnya. Sedangkan potensi ekonomi ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menyediakan produk dari hutan mangrove yang secara ekonomis potensial dapat langsung diambil adalah hasil hutan dan produksi perikanan mangrove. Hasil hutan yang langsung dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk bangunan, bahan untuk pembuat arang, tannin, chipwood dan sebagai bahan obat tradisional (Wartapura, 1990 dalam Soeroyo, 1993).
Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove tidak sekomplek pada hutan alam primer. Walaupun kelihatan sama akan tetapi hutan mangrove sangat beragam. Diperkirakan salinitas mempengaruhi komposisi mangrove, dimana tingkat salinitas antara satu spesies dengan spesien yang lainnya tidak sama. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biografi, iklim, faktor edafik dan kondisi lingkungan lainnya (Bandaranayake, 1998).
Perbedaan frekwensi genangan, salinitas dan jenis substrat, menyebabkan hutan mangrove mempunyai struktur yang khas, yakni membentuk lapisan vegetasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pada daerah pantai yang lurus hutan mangrove mempunyai tajuk yang seragam, sedangkan di kawasan muara dan delta hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik dan subur dalam kawasan yang luas.
Soerianegara dan Indrawan (1980) menyatakan bahwa ciri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut : 1. Tidak terpengaruh iklim; 2. Terpengaruh pasang surut; 3. Tanah tergenang air laut, tanah lumpur atau pasir terutama tanah liat; 4. Tanah rendah pantai; 5. Hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6. Pohon-pohon dapat mencapai tinggi 30 meter; 7. Jenis-jenis kayu mulai dari laut ke darat adalah : Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros, Scyphyphora dan Nypa; 8. Tumbuh-tumbuhan bawah terdiri dari : Acrosthicum aureum, Acanthus ilicifolius, Acanthus ebracteatus; 9. Tumbuh di pantai merupakan jalur.
Jenis - jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara - muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda - beda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan. Dalam hal ini, Watson (1928), Chapman (1944) dan de Hann (1931) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi genangan pasang (kelas genang) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada daerah yang bersangkutan, seperti disajikan pada
Table 1.
Table 1. Penyebaran Jenis-jenis Pohon Mangrove Berdasarkan Kelas Genang
Tipe Pasang/kelas
Penggenangan
Watson (1928) Kelas Penggenangan
(Salinitas dan Frekuensi Pasang) de Haan (1931) Frekuensi Penggenangan
Chapman (1944) Jenis Pohon dominan
1. All high tides A. Payau sampai asin, salinitas 10-30 ppt, selalu tergenang.
A1. 1-2 kali/hari, minimal 20 hr /bln 530 – 700 + kali Avicennia spp
Sonneratia spp
2. Medium High tides A2. 10 – 19 hr/bln 400 – 530 kali/th Rhizophora spp
Bruguiera spp
3. Normal high tides A3. 9 hr/bln Xylocarpus spp
Heritiera spp
4. Spring tides only A4. Beberapa hr/bln 150 – 250 kali/th Lumnitzera spp
Bruguiera spp
Scyphyphora spp
5. Storm higes tides only B. Air tawar sampai payau 4 – 100 kali/thn Jenis-jenis ꞌmarginalꞌ halophyta
B1. Jarang tergenang pasang Nypa fruticans, Oncosperma, Cerbera
Kusmana et al (2003), menambahkan bahwa beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh dari fenomena pasang surut dan ketinggian tempat rata - rata muka laut. Sebagai contoh, keterkaitan antara faktor lingkungan dengan penyebaran jenis-jenis mangrove dapat dilihat pada Table 2.
Table 2. Keterkaitan antara Faktor-faktor Lingkungan dengan Penyebaran Beberapa
Jenis Pohon Mangrove secara Alami.
Zonasi Pola Pasang Surut Frekuensi Penggenangan (Hari/bln) Salinitas Tipe Tanah Jenis-jenis Pohon Mangrove
Pinggir Pantai Harian 20 + 10 - 30 Koral, berpasir, lempung berpasir Avicennia marina, Sonneratia, S. Caseolaris, Rhizophora stylosa, dan Rh. apiculata
Tengah Harian 10 – 19 10 - 30 Berdebu sampai liat berdebu A. Alba, A. Officinalis, Rh. Mucronata, Aegiceras corniculatum, A. Floridum, Bruguiera gymnorrhiza, B. Sexangula, Ceriops tagal, C. Decandra, Excoecaria agallocha, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus granatum
Pedalaman Tergenang
Hanya saat
Pasang purnama 4 – 9 0 - 10 Berdebu-liat berdebu sampai liat A. Alba, B. Sexangula, C. Tagal, E. Agallocha, Heritiera littoralis, Scyphiphora hydrophylaceae, Xylocarpus granatum, X. mekongensis, Nypa fruticans
Pinggir sungai
(Riveriae) Jarang tergenang : air tawar - payau 2 0 - 10 Berpasir sampai liat berdebu Muara sungai : Avicennia marina, A. Officinalis, Aegiceras corniculatum, A. Floridum, Camptostemon philipinensis, Rh. apiculata, Rh. mucronata, Rh. stylosa
Hulu sungai : A. Alba, A. Officinalis, Aegiceras corniculatum, A. Floridum, Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Camtostemon philippinensis, E. Egalocha, Heritiera littoralis, Nypa fruticans, Rh. mucronata, Rh. apiculata, Xylocarpus granatum, X. mekongensis
Penelitian di kawasan mangrove milik Perhutani Jawa Tengah di Cilacap (Marsono, 1989) yang menggunakan model ordinasi dua dimensi menunjukkan bahwa lapisan terluar dicirikan oleh Avicennia alba dan Sonneratia alba. Bahkan lapisan ini telah dikenal sejak Watson (1928) sebagai assosiasi Avicennia-Sonneratia. Lapisan kedua didominasi oleh Rhizophora mucronata yang disertai oleh Bruguiera sp dan Aegieras cumiculatum. Kemudian lapisan terakhir merupakan lapisan transisi antara lautan dan daratan. Didominasi oleh Ficus sp, Carava sp, Excoecaria sp, Heritiera sp. Berdasarkan diagram ordinari tersebut dilaporkan bahwa pola ini berhubungan erat dengan kandungan pospor dan sodium. Yang menarik perhatian adalah bahwa jenis Rhizopohora sp dan Bruguiera sp selalu muncul di seluruh lapisan walaupun dominasinya dilapisan tengah.
Pola yang dilaporkan di Cilacap ini hampir sama dengan laporan Ostman (1989) di Serawak, Malaysia Timur. Dengan metode analisis assosiasi yang dipadu dengan model ordinasi diperoleh hasil bahwa Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrizha selalu nampak ditepi laut, tengah maupun kearah belakang (daratan), sedangkan lapisan terluar disertai oleh Avicennia dan Sonneratia. Anwar et al (1984), melaporkan bahwa pada hutan mangrove di Sumatra dijumpai 17 jenis pohon dari 4 suku yaitu Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Verbenaceae dan Meliaceae. Sedangkan Suhardjono (1999) juga melaporkan bahwa hutan mangrove di Gosong Telaga/Anak Laut Aceh Singkil mempunyai keanekaragaman jenis cukup tinggi yang didominasi oleh Rhizophora apiculata, Bruguiera sexangula, Sonneratia caseolaris, Lumnitzera littorea, Cerbera odollam dan Xylocarpus granatum.
2.4. Tuntong Laut (Batagur borneoensis).
Tuntong Laut (Batagur borneoensis) merupakan satwa jenis kura - kura yang diklasifikasikan dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordota, Sub Phylum Vertebrata, Class Reptilia, Order Testudine, Family Geoemydidae dan Spesies Batagur borneoensis.
Tuntong Laut (Batagur borneoensis) adalah satwa yang termasuk dalam 25 spesies kura - kura yang sangat terancam punah (TCF, 2003 dalam Guntoro, 2010). Status dalam International Union for Concervation of Nature (IUCN), spesies Tuntong Laut (Batagur borneoensis) ini termasuk dalam (Red List) katagori critically endangered atau sangat terancam punah, termasuk dalam Apendiks II CITES (Guntoro, 2010). Pemerintah Indonesia memasukkan spesies ini ke dalam prioritas tinggi yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/MenHut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018.
Di Indonesia, meskipun belum ada pedoman khusus untuk pengelolaan dan konservasi Tunong laut, di beberapa lokasi pantai peneluran satwa ini telah diupayakan penyelamatan populasinya, di antaranya dengan memindahkan sarang-sarang telur ke areal pantai tertentu di pantai yang dilindungi untuk ditetaskan. Upaya penyelamatan atau konservasi Tuntong Laut, khususnya di Indonesia dirasakan masih perlu ditingkatkan lagi. Penyelamatan terhadap satwa ini tentu membutuhkan suatu bentuk pengelolaan yang tepat dan integral, dimana selain didukung dengan peraturan perundangan, juga perlu didukung dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian sumberdaya alam. Bentuk-bentuk upaya penyelamatan tersebut berupa pengelolaan yang tepat terhadap pantai dan sarang, penanganan dan pemindahan sarang, serta pelepasan tukik ke laut (Priyono, 1989).
Tuntong Laut (Batagur borneoensis) hidup, mencari makan, berkembang-biak dan memainkan perannya sebagai salah satu mata rantai keseimbangan lingkungan hutan mangrove. Tuntong Laut (Batagur borneoensis) bertelur di pantai dekat muara, dalam setahun bertelur sekali yaitu pada bulan Oktober sampai Februari dan sekali bertelur bisa menghasilkan telur dalam satu lobang 12 sampai 18 butir (Guntoro, 2010).
Penetasan telur merupakan salah satu simpul siklus hidup bagi Tuntong Laut. Penetasan memberi harapan awal untuk hidup bagi satwa ini. Umumnya satwa ini menyiasati predator dengan bertelur dalam jumlah yang banyak dan bertelur pada satu musim tertentu yang hampir sama dengan prinsip pemutusan hama dalam pertanian.
Ancaman kerusakan telur Tuntong Laut sangat tinggi, baik dari predator alami seperti babi dan biawak maupun dari manusia. Umumnya di setiap muara besar ada puluhan pencari telur Tuntong yang sudah mengetahui betul seluk beluk kapan musim migrasi satwa ini ke muara untuk bertelur, hubungan waktu bertelur dengan pasang surut air laut, serta posisi bulan bahkan mereka mempunyai keahlian menampung telur dengan tangan tanpa Tuntong merasa terganggu. Hal ini akan menjadi ancaman serius terhadap populasi Tuntong di masa depan.
Pakan utama Tuntong Laut (Batagur borneoensis) adalah buah pohon berembang (Sonneratia sp) yang jatuh kesungai, selain itu juga memakan tumbuhan dan buah yang terdapat di hutan mangrove (Moll, 1976 dalam Guntoro, 2010).
0 comments:
Post a Comment