Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem perairan tropis memiliki
karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya
ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari
kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah
menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan
perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang
optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang
menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Pengelolaan perikanan
merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan Undang-Undang
tersebut yaitu pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Penerapan Pendekatan
Ekosistem (PE) membantu untuk menyeimbangkan tiga tujuan konservasi Konvensi
Keanekaragaman Hayati; pemanfaatan secara berkelanjutan; dan pembagian yang
adil dan merata dari keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya
genetik. Akibatnya, PE dapat dianggap sebagai cara untuk menerapkan pembangunan
berkelanjutan, konsep yang menggantikan kebijakan sebelumnya berupa pembangunan
berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja.
Kata kunci: Pendekatan
Ekosistem, Pengelolaan Perikanan, Sumberdaya Ikan
PENDAHULUAN
Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang
dari segi fisik, terdiri dari Perairan Nusantara seluas 2,8 juta km2,
Laut Teritorial seluas 0,3 juta km2. Perairan Nasional seluas 3,1
juta km2, Luas Daratan sekitar 1,9 juta km2, Luas Wilayah
Nasional 5,0 juta km2, luas ZEE (Exlusive Economic Zone) sekitar 3,0
juta km2, Panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau
lebih dari 18.000 pulau besar dan kecil yang menyimpan kekayaan alam yang
melimpah, 12.000 pulau diantaranya berpenghuni, 9.634 pulau belum bernama.
Sekitar 60% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat
kegiatan perekonomian seperti: perdagangan, perikanan tangkap, perikanan
budidaya, pertambangan, transportasi laut, dan pariwisata bahari. Potensi
penduduk yang berada menyebar di pulau-pulau merupakan aset yang strategis
untuk peningkatan aktivitas ekonomi antar pulau sekaligus pertahanan keamanan
negara.
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban
seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang
ditegaskan kembali pada perbaikan Undang-Undang tersebut yaitu pada
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut,
pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan
hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati.
Servis ekosistem dan manfaat penting untuk mengenali
beberapa manfaat ekosistem laut pesisir yang berikan kepada manusia. Manfaat
ini bisa disebut "jasa ekosistem" dan meliputi: (a) pasokan ikan
untuk makanan; (b) mata pencaharian dan pendapatan nelayan dan masyarakat
nelayan melalui pemanenan, pengolahan dan perdagangan; (c) nilai-nilai warisan
budaya dan tradisional; (d) pembangunan ekonomi melalui pariwisata, perdagangan
dan transportasi; dan (e) perlindungan pesisir dan ketahanan terhadap variabilitas
iklim dan perubahan, serta bencana alam. Pendekatan ekosistem kini diterima
sebagai pendekatan manajemen dapat diterapkan pada berbagai skala, sektor dan
pendekatan multi-sektoral. Istilah "pendekatan ekosistem" ini (PE)
pertama kali dicetuskan pada awal tahun 1980, tetapi menemukan penerimaan
formal pada KTT Bumi di Rio pada tahun 1992, di mana ia menjadi konsep yang
mendasari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang didefinisikan sebagai:
"Strategi untuk pengelolaan terpadu tanah, air dan sumber daya hayati yang
mempromosikan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dengan cara yang
adil" (SEAFDEC, 2015).
Secara alamiah, pengelolaan perikanan tidak dapat
dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1)
dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan
sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3)
dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga
dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan
keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana kepentingan pemanfaatan untuk
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan
misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan
masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi
wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah,
pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan
perikanan (ecosystem approach to fisheries
management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting.
Berdasarkan beberapa keadaan dan permasalahan tersebut perlu dilakukan
penulisan artikel ilmiah mengenai “Pentingnya Penerapan Pendekatan Ekosistem
dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia” dalam rangka turut memberikan
masukan kepada pihak terkait.
TUJUAN PENULISAN ARTIKEL
Tujuan penulisan artikel ini adalah:
1.
Menjelaskan konsep pengelolaan perikanan berpendekatan ekosistem.
2.
Menjelaskan pentingnya pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan.
3.
Menjelaskan implementasi pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan
tangkap di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to
Fisheries (EAF) sebagai : “an
ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives,
by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and
human components of ecosystems and their interactions and applying an
integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. Mengacu
pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah
konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan
perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll)
dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang
komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui
sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan antara lain adalah : (1)
perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat
ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan
ekosistemnya harus dijaga; (3 perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi
sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan
pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem
ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut di
atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun
fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Hal ini paling tidak menyangkut perubahan kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas
perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions),
namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (Adrianto, 2005).
Sementara itu, Pikitch, et.al (2004) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah proses
penyempurnaan pengelolaan perikanan yang dimulai dari sudut pandang kesehatan
ekosistem (ecosystem health)
sebagai media penting dari proses keberlanjutan sumberdaya ikan sebagai obyek
dari pengelolaan perikanan. Dalam pengertian lebih sederhana, EAFM sesungguhnya
menitikberatkan pada keterkaitan (konektivitas)
antara target species sumberdaya ikan dengan ekosistem perairan dan segenap
unsur terkait di dalamnya. Konektivitas ini tidak hanya dalam perspektif
ekologi (ecological connectivities)
tapi juga konektivitas antara sistem ekologis dengan sistem sosial sebagai
unsur utama dari pengelolaan perikanan seperti yang dinyatakan oleh Hilborn
(2010) bahwa “fisheries management is
a matter of managing human behavior”.
Smith and Zhang (2008) menjelaskan: solusi dalam
pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dicirikan oleh stabilitas
keseluruhan sistem. Hal ini penting untuk pengelolan sumber daya secara
keberlanjutan, yakni penekanan: (a) bahwa solusi untuk masalah harus layak
untuk jangka waktu yang panjang; (b) bahwa sistem tidak harus diminta untuk
mengalami perubahan ekstrim dalam jangka pendek waktu untuk mencapai solusi
yang diinginkan; (c) bahwa solusi dicari sering merupakan kompromi dari pilihan
yang tersedia, bukan untuk beberapa kasus ekstrim; dan (d) dan tidak terlalu
rumit untuk dilaksanakan.
PEMBAHASAN
Konsep Pengelolaan Perikanan
Berpendekatan Ekosistem
Penerapan PE membantu untuk menyeimbangkan tiga tujuan
konservasi Konvensi Keanekaragaman Hayati; pemanfaatan secara berkelanjutan;
dan pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang dihasilkan dari
pemanfaatan sumber daya genetik. Akibatnya, PE dapat dianggap sebagai cara
untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, konsep yang menggantikan kebijakan
sebelumnya pembangunan berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan
berkelanjutan didefinisikan oleh Brundtland (1987) sebagai: "Pembangunan
yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri."
Manfaat manajemen EAFM (SEAFDEC 2015), meliputi:
1.
pertimbangan yang lebih luas dari hubungan antara ekosistem dan perikanan;
2.
kontribusi bagi perencanaan penggunaan sumber daya yang lebih efektif;
3.
fasilitasi trade-off antara prioritas pemangku kepentingan yang berbeda,
menyeimbangkan manusia dan kebutuhan ekologis;
4.
partisipasi stakeholder meningkat yang mengarah ke: (1) perencanaan yang lebih
baik dari sumber daya menggunakan; dan
5.
penggunaan yang lebih adil dari sumber daya alam (baik perikanan dan
non-perikanan terkait);
6.
bantuan dengan menyeimbangkan produksi ikan dengan konservasi keanekaragaman
hayati dan habitat perlindungan;
7.
bantuan dengan menyelesaikan atau mengurangi konflik antara para pemangku
kepentingan;
8.
pengakuan yang lebih besar dari nilai-nilai budaya dan tradisional dalam
pengambilan keputusan; dan
9.
memungkinkan untuk skala yang lebih besar, masalah jangka panjang untuk diakui
dan dimasukkan ke dalam perikanan dan pengelolaan sumber daya pesisir (misalnya
implikasi jangka panjang dari perubahan iklim dan pengasaman laut, degradasi
habitat, pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, globalisasi, dll).
Pembangunan berkelanjuatan diterima secara luas
bahwa "kesejahteraan" adalah sebuah konsep yang mengacu pada keadaan
sistem (misalnya ekosistem atau sistem sosial). Aspek-aspek tertentu dari dua
dimensi kesejahteraan dan apa yang dimaksud dengan tata kelola yang baik adalah
sebagai berikut:
1.
Kesejahteraan Ekologi, berkaitan dengan ekosistem laut dan pesisir,
terdiri dari sedikitnya lima aspek utama: (a) Ekosistem yang sehat
memaksimalkan barang dan jasa ekosistem; (b) keanekaragaman hayati yang
mengarah ke ketahanan ekosistem; (c) struktur yang mendukung ekosistem dan
habitat (termasuk DAS terhubung.); (d) lautan sehat, daerah pesisir dan daerah
aliran sungai; dan (e) jaring makanan berdasarkan berbagai sumber produksi
primer. Kesehatan ekosistem sering dinyatakan dengan menggunakan indikator
dalam hal karakteristik terukur yang menggambarkan: (i) proses kunci yang
menjaga ekosistem yang stabil dan berkelanjutan (misalnya ada tidak adanya
ganggang biru-hijau); (ii) zona dampak manusia tidak memperluas atau memburuk
(misalnya pengurangan batas spasial limbah nitrogen); dan (iii) habitat kritis
tetap utuh (misalnya padang lamun).
2.
Kesejahteraan Manusia, mengacu pada semua komponen manusia yang
tergantung pada, dan mempengaruhi, ekosistem. Kesejahteraan manusia
mencerminkan berbagai kegiatan atau prestasi yang merupakan kehidupan yang
baik. Hal ini juga diterima bahwa kesejahteraan adalah konsep multidimensional
yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. Penghasilan, dengan sendirinya,
meskipun komponen penting, bisa tidak cukup menangkap luas atau kompleksitas
kesejahteraan manusia. Delapan aspek kesejahteraan manusia adalah: (a) Standar bahan
hidup (pendapatan, makanan dan kekayaan); (b) Kesehatan; (c) Pendidikan; (d)
Kegiatan Pribadi (rekreasi dan pekerjaan); (e) Suara politik dan pemerintahan;
(f) Hubungan sosial dan hubungan; Lingkungan Hidup (kondisi sekarang dan masa
depan); dan (g) Keamanan Ekonomi dan keselamatan manusia. Aspek-aspek tersebut
didasarkan pada keyakinan bahwa mengukur kesejahteraan manusia melampaui
laporan subjektif diri dan persepsi, dan harus mencakup ukuran yang objektif
dari tingkat rakyat "set kesempatan" dan kapasitas mereka (atau
kebebasan) untuk memilih dari peluang tersebut dalam kehidupan mereka nilai.
Kedua faktor obyektif dan subyektif yang penting dalam pengukuran delapan aspek
yang tercantum di atas.
3.
Tata Kelola yang baik, mengacu pada institusi dan pengaturan yang
efektif untuk menetapkan dan menerapkan aturan dan peraturan. Singkatnya, tata
kelola yang baik terkait dengan kepengurusan di mana individu, organisasi,
komunitas dan masyarakat berusaha untuk mempertahankan kualitas ekosistem yang
sehat dan tangguh dan populasi manusia yang terkait. Stewardship mengambil
pandangan jangka panjang dan mempromosikan kegiatan yang menyediakan untuk
kesejahteraan kedua ini dan masa depan generasi. Manajemen berbasis ekosistem
(MBE) sering digunakan bergantian dengan PE, tetapi dalam beberapa konteks,
lebih memfokuskan pada dimensi ekologi/lingkungan pembangunan berkelanjutan.
Pentingnya Pendekatan Ekosistem
Untuk Pengelolaan Perikanan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang
dikaruniai dengan ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika
sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi.
Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas
ekosistem tropis (tropical ecosystem
complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis.
Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah
memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat
dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya
ikan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model
sederhana dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan terpadu
berbasis ekosistem menjadi sangat penting.
Pada Gambar 2 disajikan model sederhana dari
interaksi antar komponen dalam ekosistem yang mendorong pentingya penerapan
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM). Dari Gambar 2 dapat
dilihat bahwa interaksi antar komponen abiotik dan biotik dalam sebuah kesatuan
fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama mengapa
pendekatan ekosistem menjadi sangat penting.
Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika
komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya,
sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari
pengelolaan sumberdaya ikan. Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan,
maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi terancam. Pada Gambar 2
juga dijelaskan bahwa EAFM sesungguhnya bukan hal yang baru. EAFM merupakan
pendekatan yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah
ada (conventional management).
Pada Gambar tersebut, proses yang terjadi pada conventional management digambarkan melalui garis tebal,
sedangkan pengembangan dari pengelolaan konvensional tersebut melalui EAFM
digambarkan melalui garis putus-putus. Sebagai contoh, pada pengelolaan
konvensional kegiatan perikanan hanya dipandang secara parsial bagaimana
ekstraksi dari sumberdaya ikan yang didorong oleh permintaan pasar. Dalam konteks
EAFM, maka ekstraksi ini tidak bersifat linier namun harus dipertimbangkan pula
dinamika pengaruh dari tingkat survival habitat yang mensupport kehidupan
sumberdaya ikan itu sendiri.
Implementasi Pendekatan Ekosistem
Untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia
Menurut Gracia and Cochrane (2005), sama dengan
pendekatan pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan
kebijakan (policy planning),
perencanaan strategi (strategic
planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management planning).
Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro menitikberatkan pada
pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun daerah
terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga perlu dimuat
pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui
penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumberdaya
ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme
koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara
regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara
komprehensif.
Sementara itu, perencanaan strategi (strategies planning) lebih
menitikberatkan pada formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan pada rencana kebijakan (policy
plan). Strategi yang dipilih bisa saja berasal dari kesepakatan strategi
yang berlaku secara umum baik di level nasional maupun internasional misalnya
pengurangan non-targeted fish dan
by-catch practices;
penanggulangan pencemaran perairan; pengurangan resiko terhadap nelayan dan
sumberdaya ikan; penetapan kawasan konservasi, fish refugia site approach, dan lain sebagainya.
Smith and Zang (2008)
menyebutkan "seafood berkelanjutan" adalah semua
langkah yang dilakukan agar populasi spesies ikan yang sedang dikelola dengan
cara yang dapat menyediakan kebutuhan hari ini tanpa merusak kemampuan spesies
untuk mereproduksi dan mempertahankan populasi berlimpah untuk generasi masa
depan konsumen. Langkah yang dilakukan untuk menuju Pengelolaan Sumber Daya Air
yang Berkelanjutan dimulai dengan menentukan sebagian besar masalah utama
perairan dan indikator. Tujuan jangka panjang dari Pengelolaan Sumber Daya
Air yang Berkelanjutan termasuk pengembangan prinsip-prinsip, kriteria dan
indikator untuk mendukung pengambilan keputusan dan identifikasi peluang untuk
kolaborasi.
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan
menekankan pada perlunya kolaborasi dan komitmen untuk interdisipliner,
antar-yurisdiksi, dan kolaborasi cross-ownership
yang mengidentifikasi dan mendukung baik di tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota, dan wilayah pengelolaan sumberdaya perairan.
Langkah dalam pergerakan prinsip-prinsip menuju aksi:
1.
Dari prinsip untuk tujuan kebijakan
Terjemahan dimulai dengan mengubah prinsip-prinsip
tingkat tinggi membimbing ke tujuan kebijakan. Banyak dari prinsip-prinsip yang
mendasari berharga EAFM begitu generik yang mereka dapat benar-benar dicapai
dalam arti praktis. Selain itu, banyak dari karakteristik ekosistem, seperti
kesehatan ekosistem, integritas, ketahanan sulit untuk mengukur konsep yang
tidak sepenuhnya dipahami dan sulit diterapkan dalam praktek. Prinsip-prinsip
ini sering dimasukkan dalam tujuan kebijakan-tingkat yang lebih tinggi,
misalnya melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan habitat perikanan,
melindungi penting fungsi rantai makanan dan sebagainya, yang biasanya menjadi
dasar kebijakan dan rencana nasional.
2.
Dari tujuan kebijakan terhadap isu-isu dan tujuan pengelolaan
Tujuan kebijakan-tingkat yang lebih tinggi ini maka
perlu dipecah menjadi tujuan pengelolaan yang lebih spesifik. Hal ini dicapai
dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan isu-isu dan kemudian mengembangkan
tujuan manajemen untuk setiap masalah. Pada tingkat operasional ini, prioritas
dapat diatur melalui proses penilaian risiko dan trade-off dan saldo dicapai
melalui konsensus. Tujuan-tujuan ini harus cukup spesifik bahwa satu atau
tindakan manajemen lainnya dapat mengatasi mereka dan keberhasilan (atau
sebaliknya) dari intervensi ini dapat dipantau dan dinilai.
3.
Dari tujuan tindakan manajemen
Setiap tujuan pengelolaan dapat dicapai dengan
pelaksanaan tindakan manajemen (misalnya memperkenalkan batas pada jumlah kapal
penangkap ikan, meningkatkan ukuran mesh jaring, penanaman mangrove,
memperkenalkan KKL, dll). Seringkali, satu tindakan manajemen dapat mengatasi
beberapa tujuan. Asalkan ada keterkaitan yang baik antara tujuan tingkat tinggi
kebijakan dan tujuan pengelolaan, tindakan manajemen dalam rencana EAFM
menerapkan kebijakan.
Rencana pengelolaan perikanan yang baik,
setidaknya memiliki sifat:
1.
Membuat prinsip-prinsip umum dan tingkat tujuan yang lebih tinggi: untuk
prinsip-prinsip EAFM secara umum efektif dan tujuan kebijakan tingkat yang
lebih tinggi perlu diterjemahkan ke dalam tujuan manajemen. Tujuan operasional
merupakan tujuan pengelolaan yang manajemen tepat. Misalnya,
"Mempromosikan pembangunan berkelanjutan perikanan" tidak dapat
diatasi langsung oleh manajemen, tetapi tujuan operasional "Mengurangi
jumlah kapal nelayan" dapat diatasi dengan ukuran manajemen.
2.
Memberikan arahan: perencanaan memberikan arah yang jelas untuk kegiatan
manajemen. Ini memperkuat kepercayaan para pemangku kepentingan dan mendorong
mereka untuk bergerak sepanjang jalan yang dipilih, sementara juga menjelaskan
tindakan yang harus mereka ambil untuk mencapai tujuan.
3.
Pertimbangkan program alternatif tindakan: perencanaan memungkinkan manajer
untuk memeriksa dan menganalisa program alternatif tindakan dengan pemahaman
yang lebih baik dari kemungkinan konsekuensi mereka.
4.
Mengurangi ketidakpastian: Pasukan perencanaan manajer dan para pemangku
kepentingan untuk melihat melampaui keprihatinan langsung. Hal ini mendorong
mereka untuk menganalisis kompleksitas dan ketidakpastian lingkungan dan
berusaha untuk mendapatkan kontrol.
5.
Minimalkan keputusan impulsif dan sewenang-wenang: perencanaan cenderung untuk
meminimalkan kejadian keputusan impulsif dan sewenang-wenang dan tindakan ad
hoc. Ini mengurangi kemungkinan kesalahan utama dan kegagalan dalam tindakan
manajerial. Ini menyuntikkan ukuran disiplin dalam pemikiran dan tindakan.
6.
Memberikan dasar untuk manajemen yang lebih baik: ia menyediakan dasar bagi
fungsi manajerial lainnya. Dengan demikian, perencanaan adalah fungsi sentral
sekitar yang fungsi lain (misalnya monitoring, kontrol dan pengawasan (MCS))
dirancang.
7.
Sertakan respon adaptif: perencanaan cenderung untuk meningkatkan kemampuan
manajemen untuk beradaptasi secara efektif dan menyesuaikan kegiatan dan arah
dalam menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal.
8.
Aktifkan tindakan proaktif: sementara adaptasi dilakukan sebagai reaksi dan
respon terhadap beberapa perubahan di dunia luar, tidak cukup dalam beberapa
situasi. Dalam pengakuan kenyataan ini, perencanaan merangsang manajemen untuk
memutuskan di muka pada tindakan apa yang harus diambil ketika sesuatu tidak
berjalan sesuai rencana (aturan kontrol).
9.
Meningkatkan transparansi: membuat pengambilan keputusan yang transparan dan
tersedia bagi semua pemangku kepentingan.
Menurut Cochrane (2002), rencana strategi
tersebut paling tidak juga memuat instrument aturan main dan perangkat
pengelolaan input dan output control yang disusun
berdasarkan analisis resiko terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu
sendiri.
Sedangkan rencana pengelolaan (management plan) menitikberatkan pada rencana aktivitas dan aksi
yang lebih detil termasuk di dalamnya terkait dengan aktivitas stakeholders,
rencana pengendalian, pemanfaatan dan penegakan aturan main yang telah
ditetapkan dalam rencana strategis. Dalam rencana pengelolaan, mekanisme
monitoring dan pengawasan berbasis partisipasi stakeholders juga ditetapkan.
PENUTUP
Tujuan utama EAFM adalah pemanfaatan berkelanjutan
dari seluruh sistem, bukan hanya satu spesies. Namun, penerapan sebuah EAFM
tidak berarti memulai lagi sebagai EAFM dibangun di atas unsur-unsur yang ada
pada manajemen perikanan. Hal ini juga terjadi secara bertahap dan akan
memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menerapkan semua elemen EAFM. Pengelolaan
sumberdaya yang berkelanjutan menekankan pada perlunya kolaborasi dan komitmen
untuk interdisipliner, antar-yurisdiksi, dan kolaborasi cross-ownership yang mengidentifikasi dan mendukung baik di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah pengelolaan sumberdaya
perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. Y. Matsuda, Y. Sakuma. 2005. Assesing
Sustainability of Fishery Systems in A Small Island Region: Flag Modeling
Approach. Proceeding of IIFET, Tokyo.
Cochrane, K. L. 2002. Fisheries management. In A
Fishery Manager?s Guidebook. Management Measures and their Application. 1e20.
Ed. by K.L. Cochrane. FAO Fisheries Technical Paper, 424. 238 pp.
FAO. 2003. Ecosystem Approach to Fisheries. FAO
Technical Paper.
Gracia, S.M. and Cochrane, K.L 2005. Ecosystem
Approach to Fisheries : A Review of Implementation Guidelines. ICES Journal of
Marine Sciences (62).
Pitcher, T.J. and D. Preikshot. 2001. RAPFISH : A
Rapid Appraisal Technique to Evaluate The Sustainability Status of Fisheries.
Fisheries Research Report, Fisheries Center
University of British Colombia, Vancouver.
SEAFDEC, 2015. Handbook Essential EAFM (Ecosystem Approach
to Fisheries Management) disampaikan pada The Regional Training Courses on
Essential Ecosystem Approach to Fisheries Management (E-EAFM) pada tanggal 2 –
8 Maret 2015 yang diselenggarakan oleh The Southeast Asian Fisheries
Development Center (SEAFDEC), Rayong Province – Bangkok, Thailand.
Smith E. T. and Zhang H. X., 2008. Sustainability of
Marine Resources: Fisheries Utilization. Water Resources Development,
WEFTEC’08, 2008, 1255-1270. New Orleans, LA. Yang didownload dari
http://acwi.gov/swrr/Rpt_Pubs/ WEFTEC08_S17_Smith-Zhang.pdf
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
0 comments:
Post a Comment